Skip to main content

Pulau Berhala: Apakah Kita Sungguh Menjaganya?



Semoga ini bukan suatu postingan yang dianggap keterlaluan oleh siapapun yang berkepentingan dengan pulau ini. Hanya sebuah laporan dari lapangan dari seorang pejalan yang semoga saja dapat diambil manfaatnya. Tentang Pulau Berhala, 60 mil laut di Utara kota Medan. Pulau kecil milik kita yang pernah menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia karena Malaysia pernah mengklaim sebagai miliknya. Pulau ini dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam dengan kapal kayu berkecepatan 8-9 knot dari kota Medan.



Yang dapat saya katakan mengenai pulau kecil di keluasan Selat Malaka ini ada beberapa hal. Pertama, sebagai warga negara biasa saya berterimakasih karena di pulau kita yang kesepian di Selat Malaka ini telah dibangun infrastruktur sebagai tanda-tanda kedaulatan RI. Ada patok baja sebagai tanda koordinat sebagai milik RI (patoknya ditancapkan oleh tim ekspedisi yang digagas DKP dan oleh berbagai pihak lainnya), ada tugu dimana diatasnya ada lambang negara kita Burung Garuda, ada mercusuar (dibangun oleh Dinas Perhubungan) berikut mess untuk para penjaga mercusuar itu, ada guest house kosong yang dibangun oleh Pemda Serdang Berdagai (pulau ini masuk wilayah Kabupaten Serdang Berdagai, Provinsi Sumatra Utara), ada fasilitas penangkaran penyu yang juga kosong melompong, ada dermaga yang cukup bagus namun dibangun di tempat yang dangkal (kapal kayu 19 x 3 meter saja harus ekstra hati-hati saat merapat karena takut terbentur batu karang - bagaimana kalau ada kapal pesiar besar yang singgah ya?), dan disana juga ada sekelompok marinir, kalau tidak salah terdiri dari 30an personil, yang ditugaskan menjaga pulau ini. Marinir-marinir ini menempati mess marinir yang letaknya persis berada di belakang dermaga. Di mess marinir ini di waktu malam saya ikut berteduh selama tiga hari saat saya memancing di seputaran pulau.


Berikutnya kesan saya mengenai pulau ini adalah. Sekilas pulau ini memang benar-benar perawan. Hutannya masih seperti apa adanya. Masih banyak burung dan binatang lainnya (penuturan para marinir banyak sekali ular besar di hutan pulau ini) dan juga sangat sedikit terlihat kerusakan hutan. Kalaupun ada areal terbuka itu berarti karena ada bangunan yang memang harus dibangun; mess marinir, mess dinas perhubungan, guest house pemda, dermaga, jalan setapak bertangga beton menuju mercusuar dan lain-lain. Intinya, wilayah daratan aman terkendali! Dan kedulatan negeri ini di pulau ini juga telah “aman” karena Malaysia jelas-jelas mundur dari perjudiannya mengklaim pulau ini.


Nah, karena ini adalah pulau terluar yang berada di luasnya lautan Selat Malaka, ketika menapak pulau ini, sebagai pejalan penyuka alam saya berharap bahwa bukan hanya daratannya yang lestari dan elok dipandang, namun juga laut sekitar pulau yang layak dinikmati oleh para pelancong. Untuk kasus saya, layak dinikmati oleh sportfisherman. Nyatanya, selama tiga hari mengaplikasikan sportfishing di perairan seputar pulau ini hanya beberapa ekor ikan under 10 kg yang memakan umpan kami. Jumlahnya tidak lebih dari sepuluh ekor! Tiga hari bos! Gila! Kalau ini adalah pulau yang berada di dekat kepadatan pemukiman seperti di Pulau Jawa, saya bisa maklum, lha Pulau Berhala ini jaraknya 60 mil lebih dari daratan besar Sumatra! Bagaimana bisa hanya memberi kami beberapa ekor ikan dengan berat under 10 kg?! Di beberapa spot mancing di Jawa saja, kita bahkan masih bisa mendapatkan puluhan ikan dengan berat up 20 kg per ekornya dalam jumlah yang banyak. Pulau Berhala yang sudah seperti di ujung dunia malah seperti kuburan kondisinya?



Banyak argumen bisa dilontarkan untuk menyanggah pertanyaan kenapa di sebuah pulau terluar Indonesia, mencari ikan up 10 kg per ekornya saja susahnya setengah mati? Mulai dari bodohnya kami dalam mengaplikasikan teknik memancing disini, apakah sportfisherman sebelum kami juga arif lingkungan dengan pro Cn’R misalnya dan lain sebagainya. Namun bagi Anda semua yang membaca postingan ini dan hendak menyanggah postingan saya ini baiknya merenungkan fakta dalam kalimat berikut ini. Yakni, di pinggiran pulau saya melihat terumbu karang di pulau ini mati dan sampah juga berserakan di perairan di seputar pulau (hal yang telah saya lihat sejak pertama berkeliling di Selat Malaka selama seminggu!). Memang kedaulatan negara kita di pulau ini telah ditegakkan, tetapi bagaimana dengan potensinya? Kenapa malah rusak di depan (atau oleh) kita sendiri? Pertanyaannya, siapapun diri kita, apakah kita benar-benar menjaga Pulau Berhala?

* Foto-foto outside and inside Pulau Berhala dalam postingan ini diabadikan 29/09/2009 - 01/10/2009.
* Foto ketiga terakhir terlihat penanda yang ditancapkan oleh tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara. Saya merasa bangga bahwa ada pihak seperti mereka yang begitu gagah melakukan espedisi ke semua pulau terluar Indonesia seperti mereka agar Indonesia semakin mengenal rumahnya. Sayang sekali saya belum sempat membeli buku yang mengabadikan hasil ekspedisi mereka. Salam dan salut untuk Anda semua yang ada dalam ekspedisi ini.

Comments