Skip to main content

Ekspedisi Sapan/Kelah/Mahseer Borneo (3)

Nama sungai dan kampung Dayak Punan di dalam postingan ini sengaja tidak saya informasikan secara jelas karena jujur saja saya tidak mau sungai indah ini didatangi oleh pemancing yang berkarakter PAKUSU, “Pasukan Kuras Sungai” yang selalu bertindak rakus dengan menguras semua isi sungai untuk memuaskan nafsu mereka! Go to hell PAKUSU! Tulisan sederhana ini sekaligus saya maksudkan sebagai ucapan terima kasih dan hormat kepada kawan-kawan pemancing dari Tanjung Redeb, Berau yakni Bos Husin, Bos Eet, Welie, Asikin, Teguh, Awe, Utay, Adi, Jo, Dian, Darwis, dan Mbah. Dan pastinya tulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk mengabadikan kenangan selama bekerja di lapangan bersama Bayu Noer dan Gilang Gumilang.
---
Pagi yang kami nanti pun tiba. Kabut pekat masih menyelimuti seluruh penjuru hutan namun pagi ini suara satwa tampak begitu riang dan kencang memenuhi udara. Sungai yang berada di ‘bawah’ kampung tampak samar. Tetapi jelas sekali air telah begitu surut, tidak sederas dan meluap seperti hari kemarin. Saya mendengar ada aktivitas orang Dayak di bawah sana, bunyi long boat didorong ke air... Viola!!! Apakah air sungai telah surut dan kembali jernih? Saya langsung berlari ke bawah dengan membawa kamera SLR milik kawan saya Gilang Gumilang. Sambil memeriksa kondisi sungai saya mengabadikan beberapa momen pagi di tepian Sungai X itu. Puji Tuhan! Air sungai telah kembali jernih! Meski jernihnya tidak sebening saat kemarau, tetapi ini adalah harapan. Harapan kami satu-satunya karena ini adalah hari terakhir kami berada di Sungai X ini. Besok, apapun yang terjadi kami harus kembali ke bising ‘peradaban’ sebuah kota kecil bernama Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Kami lalu berkonsultasi dengan ‘lurah’ kampung LX. Konsultasi singkat itu menghasilkan keputusan “berangkat!”. Yess!!! Kami langsung adu cepat menyiapkan alat pancing, logistik, sarapan, mandi dan berlomba-lomba turun ke tepian sungai tempat dimana semua long boat milik warga LX ‘diparkir’. Ada empat long boat yang akan kami gunakan untuk mendaki ke hulu Sungai X. Kesepakatannya hari ini kami akan mendaki ke titik terjauh yang mungkin tercapai pada jam 12 siang. Lalu setelahnya kami langsung mancing sambil drifting atau berhanyut ke arah hilir sekalian pulang. Maksimal jam 5 mancing harus sudah berhenti dan long boat sudah harus ‘berlari’ menuruni sungai kembali ke kampung LX. Karena kemungkinan besar kami akan terpisah-pisah, maka logistik dan peralatan dokumentasi telah dibagi sedemikian rupa sehingga tidak ada yang akan kehausan, kelaparan atau dan atau tidak terekam kamera.

Cepat, kami pun berkonvoi ‘mendaki’ ke hulu. Agar tidak terjadi tabrakan, karena tidak mungkin long boat di rem (kalau di rem atau berhenti long boat akan hanyut, dan kalau pas di jeram kita bisa terbalik dan tenggelam) maka kami melaju ke hulu dalam jarak tertentu yang aman. Bunyi mesin long boat yang menderu keras terpantul di dinding-dinding tebing tepian sungai, menciptakan komposisi aneh seperti bunyi senapan mesin yang ditembakkan entah dari mana. Trang tang tang tang! Trang tang tang tang! Semakin ke atas jeram-jeram di Sungai X semakin besar dan aliran airnya semakin deras. Banyak kelokan sungai yang dihuni monster-monster yang mengerikan, pusaran-pusaran air besar! Namun untunglah, bagi Dayak Punan sungai ini adalah jalan raya mereka. Jadi mereka bisa bermanuver dengan berbagai gaya yang elegan untuk terus melaju di atas jeram dan pusaran-pusaran air itu. Saya berfikir, mungkin jika mereka disuruh jalan di jalanan Jakarta, mereka akan tersandung dan jatuh, tetapi tidak di Sungai X ini. Ini adalah sirkuit bagi mereka, jalur mereka melaju dan meliuk-liuk tiap hari dalam kecepatan tinggi laksana Rossi mengasapi Stoner! Hahaha! Akhirnya, pada pukul 12.00 WITA kami mengakhiri pendakian ke hulu. Saya mengira kami akan tiba di titik terjauh dari sungai ini, di mata airnya, ternyata perjalanan kami ini belum seberapa. Menurut orang-orang Dayak itu, masih diperlukan 3-4 hari perjalanan full speed untuk sampai di mata airnya Sungai X! Waduh!

Usai makan siang bersama, kami langsung drifting ke arah hilir. Mesin long boat kini dimatikan. Tukang perahu kini hanya memerlukan dayung untuk mengarahkan dan mengerem perahu saat menuruni jeram. Saat drifting inilah kami mulai memancing dengan melemparkan umpan-umpan kasting kami ke arah tepian sungai, ke arah dekat tumpukan kayu atau ranting di pinggiran, ke pusaran-pusaran air sekitar batu, dan lain sebagainya. Intinya ke titik-titik potensial yang kira-kira dihuni oleh penghuni Sungai X. Memancing di air sungai pegunungan kita memang harus jeli mengamati dimana kira-kira ikan berada. Biasanya ikan-ikan air tawar berada di lokasi dimana tersedia perlindungan sekaligus struktur atau arus dimana ikan-ikan itu bisa berburu dan atau menunggu makanan lewat. Ikan-ikan di sungai biasanya akan hang out di lokasi-lokasi yang seperti itu saja dan tidak berkeliling karena pergerakan yang terus menerus tanpa makan malah akan menguras energi mereka.

Namun namanya mancing di “surga”, kami semua langsung strike! Namun strike-strike awal banyak didominasi oleh ikan-ikan hampala (sebarau/hampal/ampal) kecil saja. Mungkin karena kami menggunakan umpan spoon dan atau minnow untuk air dangkal, jadi ikan-ikan kecil gesit yang bermain di atas saja yang menyambar. Target kami, ikan sapan, mungkin agak lebih di air yang dalam sehingga tidak melihat umpan-umpan kami atau kalah cepat dengan ikan-ikan hampala itu. Pilihan satu-satunya adalah mengganti umpan dengan minnow yang bisa menyelam lebih dalam, up 1 meter, dan melemparkan umpan ke lokasi-lokasi dimana ikan sang sapan mungkin berada. Agak berbeda dengan hampala yang seringnya menunggu mangsa atau makanan lewat di dekat-dekat kayu/ranting/batu, ikan sapan lebih suka menunggu di tepian-tepian arus. Kesanalah kami kembali melemparkan umpan-umpan ‘imut’itu.(Bersambung/To Be Continue...).

* Foto #1: Asikin mendapatkan ikan sapan besar. Kisahnya bisa dibaca di “Ekspedisi Atuk Ong (4)”. Foto #2: Suasana tepian sungai di kampung LX. Foto #3: Sinar mentari dan kabut ‘berjibaku’ menjadi pemenang penguasa hari. Foto #4: Mengisi ‘bensin’ sebelum memulai pendakian menuju hulu. Foto #5: Orang Punan berusaha mengeluarkan perahu dari jeratan jeram. Foto #6: Me.
* All pictures taken by Me. Please don't use or distribute without permission. Thanks.

Comments