Skip to main content

Kisah Biduk Yang Jatuh Terlalu Cepat

Pagi hari di penghujung bulan Oktober yang mulai membawa udara dingin pancaroba, saya dan tim bersama sekelompok pemancing dari Tanjung Redeb, Kabupaten Berau telah berdiri di dermaga kecil di Teluk Sulaeman, Kalimantan Timur. Sebuah teluk kecil yang mungkin jarang kita dengar namanya karena jarang sekali disebut dalam tulisan di media manapun. Jaraknya dari Tanjung Redeb lebih dari 200 kilometer, kami tidak mengukurnya, yang pasti dengan kecepatan 40-60 km per jam kami memerlukan waktu hampir 7 jam untuk sampai ke tempat ini. Perjalanan panjang yang melelahkan melintasi jalanan ‘nano-nano’ kombinasi jalan aspal, batu, pasir dan tanah lempung yang membentang panjang dan sunyi sejak dari Tanjung Redeb. Saya sebut sunyi karena berkendara di jalanan ini belum tentu setengah jam sekali berpapasan dengan sebuah mobil dan belum tentu 1 jam sekali melintasi pemukiman penduduk! Jadi jangan coba-coba berkendara dengan kendaraan butut sendirian di sini karena Anda akan sengsara jika ada apa-apa di Jalan. Sungguh!

Hari itu kami akan memancing di spot popping bernama Biduk Biduk (di peta Kabupaten Berau di bawah lokasinya berada di bagian pojok paling bawah). Spot popping yang letaknya hanya sekitar 2 mil di lepas pantai Teluk Sulaeman ini pernah ramai dibicarakan oleh banyak pemancing negeri ini karena pernah ada report di sebuah forum mengenai “pembantaian GT Biduk-biduk”. Pro kontra jelas mengiringi report model PAKULA (Pasukan Kuras Laut) itu. Namun tak urung report itu membuka mata banyak pemancing popping negeri ini bahwa lokasi ‘pembantaian’ tersebut merupakan kerajaan ikan giant trevally, GT, yang baru ditemukan! Berat GT, berdasarkan report itu juga tak tanggung-tanggung, 25 kg up per ekor! Siapa yang tidak ngiler mendengar bahwa spot popping luar biasa yang baru ditemukan? Kami termasuk yang ngiler itu. Maka bertolaklah kami dari Jakarta dengan optimism tinggi. “Dua jam sudah lebih dari cukup kayaknya untuk membuat satu tayangan menarik dari Biduk Biduk”. Maka setelah melewati ‘jalan memutar’, karena 5 hari sebelumnya kami sempat naik gunung mencari ikan sapan atau ikan kelah di pedalaman Berau, kami pun tiba di Biduk Biduk dengan selusin alat popping yang ‘mengerikan’. Semuanya PE6 dan PE8 dan tampak haus strike karena jarang dipakai trip ke laut. Beberapa tackle tampak baru dibuka dari kemasannya semalam sebelumnya. Haha…

Pagi itu dermaga kecil di Teluk Sulaeman itu hanya disandari 3 atau empat kapal kayu yang tampaknya sedang menaikkan kopra untuk dijual ke luar daerah. Langit begitu biru dan hutan-hutan pesisir timur Kalimantan tampak lembut dalam terpaan cahaya pagi. Kami segera meluncur ke spot dengan sebuah kapal kayu besar bernama Yanti. Tak sampai setengah jam kapten kapal telah menyuruh kami melemparkan popper. Satu lemparan, kosong. Dua lemparan, kosong. Seratus lima puluh Sembilan lemparan pun ternyata masih kosong! Matahari semakin panas, lima enam gugusan karang dangkal sudah dikunjungi, kami pun mulai mengibarkan bendera putih.

Ternyata saudara-saudara, usai report mengerikan di sebuah forum sekitar dua tahun yang lalu, di Biduk Biduk tampaknya telah terjadi serangan besar-besaran dari nelayan dan pemancing kontra Cn’R sehingga giant trevally di spot ini telah minggat mencari spot baru dan atau telah musnah. Begitu banyak gugusan karang, namun semuanya menhitam. Mati. Tanda-tanda bekas pengeboman tidak saya lihat, namun ya itu tadi, karang dangkalnya menghitam mati terkena racun. Sangat mungkin karang-karan itu mati karena penggunaan racun sianida yang sering dipakai meracun ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi seperti kerapu sunu dan lain-lain. Siapa yang melakukannya? Kami tidak tahu. Yang pasti saya percaya bukan burung yang melakukannya.

Memang, sebanyak apapun pemancing membawa pulang ikan (saya tidak setuju dengan hal ini), meskipun itu ikan game fish seperti giant trevally, mereka tidak akan pernah bisa menghabiskan isi laut karena mereka hanya melakukannya dengan alat pancing saja. Namun masalahnya apakah kita lupa bahwa saat itu di sekitar kita mungkin saja ada mata-mata yang iri dan cemburu dengan tingkah kita, sementara mereka terdesak dengan urusan perut dan kesulitan ekonomi lainnya. Mengetahui ada lumbung ikan yang kita temukan, apalagi kita memberi contoh kuras laut yang jelas, maka mungkin saja keesokan harinya mereka akan datang dengan niat yang berbeda. Dan sangat mungkin, ini terjadi di Biduk Biduk.

Akhir kisah ini adalah. Hingga senja datang, meski telah melemparkan popper sebanyak seribu tujuh ratus lima puluh kali per orang nya (sebenarnya saya tidak menghitungnya) kami hanya mendapatkan dua ekor ikan giant trevally kecil yang semuanya dirilis kembali ke habitatnya. Semoga Biduk Biduk segera ‘sembuh’, meski kami pesimis dengan hal ini. Jadi kawan-kawan semua saya sampaikan sekali lagi bahwa Biduk Biduk telah 'jatuh'! Jatuh yang sangat cepat hingga hancur. :((

* Foto-foto pembantaian GT di Biduk Biduk di atas saya ambil dari sebuah forum mancing. Mengerikan...

Comments

Sukurniawan said…
Awal tahun 2013 sampai pertengahan 2014 saya bertugas di lokasi yg berjarak 2jam perjalanan dengan kapal kelotok (mesin dong feng) dari biduk-biduk. Seringkali saya ngetrip popping atau sengaja popping sembari dalam perjalanan baik ke lokasi atau ke biduk2 dr lokasi. boncos itu biasa kl dapat itu rezeki. potensi species GT mungkin sudah berkurang krn habitat yg tak lagi nyaman untuk mereka hidup. spot/ lokasi yg masih bagus berada di kep. Mataha (arah utara dr biduk2) & keselatan. justru akhir2 ini nubie dengar kabar ada tester tackle dr negeri tetangga yg mengeksplorasi daerah selatan dr biduk2. jauhnya lokasi dan minimnya sarana untuk menjangkau spot tersebut setidaknya menjaga habitat ikan dari tangan2 ilegal fishing (bom, racun, etc). Namun entah sampai kapan :D