Skip to main content

Puji Tuhan, Akhirnya Kedua Pejuang Bersenjata Kamera Itu Mendapatkan Penghargaan Dari Pemerintah Republik Indonesia

Natal kembali datang, momen spesial yang menjadi biasa saja bagi karena saya tidak bisa melewatkannya bersama keluarga tercinta saya di sebuah desa kecil di Malang Selatan, Jawa Timur. Meski demikian, berkirim ucapan selamat Natal ke sahabat dan kerabat tidak boleh dilupakan, meski maknanya semakin tereduksi karena kini kita cukup berkirim ucapan selamat natal melalui sms dan telepon (atau melalui email dan juga jejaring sosial yang tersebar laksana sarang laba-laba di internet saking banyaknya). Pertama yang saya kirimi ucapan selamat Natal adalah keluarga di kampung halaman, Malang Selatan. Sedih sekali rasanya mengucapkan selamat Natal melalui sms dan telepon. Semakin sedih karena saat Natal begini biasanya di rumah selalu memasak aneka makanan kampung yang ‘nendang!’ selera. Begini memang rasanya jadi anak kos, yang dingat tentang rumah adalah makanan dan bukannya orang tua. Lalu saya mengirimi ucapan kepada sahabat-sahabat jaman kuliah di UNPAD dahulu (1999-2007, saya adalah mahasiswa tepat kuliah yakni 7 tahun, hehehe), kebanyakan tinggal di Bandung dan Jakarta. Lalu sahabat-sahabat ‘baru’ di Jakarta dan terakhir adalah sahabat-sahabat saya pemancing. Ucapan Natal kni menurut saya menjadi terasa semakin biasa saja karena telah menjadi rutinitas yang berulang dan saling berbalas begitu saja. Begitu terus dari tahun ke tahun.

Salah satu orang yang saya kirimi ucapan selamat Natal ada seorang perempuan yang telah berusia senja bernama Meity Mendur. Dia adalah anak dari almarhum Alexius Impurung Mendur (Alex Mendur). Bagi Anda yang tidak tahu siapa itu Alex Mendur, beliau adalah fotojurnalis dari jaman awal kemerdekaan negeri ini yang mendirikan IPPHOS (Indonesian Press Photo Service), mungkin IPPHOS adalah satu-satunya kantor berita foto pertama dan satu-satunya yang pernah berdiri di Indonesia. Kini IPPHOS memang telah lama ‘menepi’ dari arus jaman. Tidak eksis lagi karena telah kalah bersaing dengan media-media baru dengan modal kuat dan dukungan kuat dari pemerintah ataupun kelompok bisnis tertentu yang muncul bagai jamur musim hujan sejak tahun 70-an. Tanpa Alex Mendur dan saudaranya Frans Mendur, Indonesia tidak akan pernah memiliki foto-foto sejarah tak ternilai harganya seperti foto proklamasi kemerdekaan, rapat raksasa di IKADA, foto lengkap revolusi kemerdekaan 1945-1950, gerilya Panglima Sudirman, Sjahrir, Hatta, Sukarno, dan lain sebagainya. Tanpa foto-foto yang mereka abadikan pada masa itu, sejarah negeri ini mungkin akan terasa seperti roti tawar tanpa selai.

Usai berkirim ucapan selamat Natal itu, tiba-tiba ada telepon masuk ke ponsel saya. Ibu (dia lebih suka dipanggil Tante) Meity Mendur di seberang sana. Bercerita banyak hal dalam kalimat yang agak susah saya mengerti, maklum beliau sudah tua sekali, dan meski samar sekali dia mengingat saya (maklum kami bertemu tahun 2006 lalu dan hanya selintas saja sempat berkomunikasi, karena saat itu saya sedang mengadakan penelitian tentang IPPHOS untuk penyusunan skripsi saya di Jurusan Sejarah UNPAD Bandung) dia sangat senang saya berkirim ucapan Natal meski hanya melalui sms. Tante Meity Mendur memang orang yang ramai dan menyenangkan.

Pertama yang dia tanyakan adalah sekarang saya bekerja dimana dan sebagainya, termasuk apakah saya sudah menikah atau belum. Hahahaha! Seru sekali. Lucu juga bercerita tentang banyak hal kepada seseorang yang tidak begitu kita kenal baik tetapi sangat antusias dengan kita karena merasa ada keterkaitan. Dia merasa senang karena masih ada saja orang yang tidak melupakan IPPHOS dan para generasi penerusnya. IPPHOS kini memang terlupakan. Sangat sedikit warga negeri ini yang mengetahui apa itu IPPHOS dan apa peranannya pada negeri ini. Mereka tahu dan pernah melihat foto-foto sejarah yang dibuat oleh IPPHOS, foto paling klasik menurut saya adalah foto pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana foto-foto IPPHOS kini mungkin telah direproduksi jutaan kali oleh berbagai lembaga (kebanyakan tanpa royalti) untuk berbagai kepentingan, tetapi mereka tidak tahu siapa sebenarnya institusi ataupun fotografer yang membuat foto-foto itu! Ironis!

Bagi saya, dan bagi Tante Meity Mendur, dan mungkin bagi sedikit orang di negeri ini yang mengenal dan mengetahui peranan almarhum Alex dan Frans Mendur, kedua fotojurnalis ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia tetapi bersenjatakan kamera. Karena kedua fotojurnalis ini memang benar-benar terlibat secara intens selama perjuangan kemerdekaan negeri ini melaui kamera fotonya. Perang kemerdekaan di sudut Indonesia yang mana yang tidak mereka abadikan pada masa itu? Gerilya yang mana yang tidak dia ikuti? Mereka berdua ikut berperang dengan kameranya. Dan melalui foto-foto yang mereka abadikan, mereka kemudian menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri dan dunia. Tentang sebuah negara yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya.

Saat mengadakan penelitian pada tahun 2006 lalu, saya dan Tante Meity Mendur pernah curhat sebentar. Intinya, kami berdua merasa nelangsa karena negeri ini tidak mudah menganugerahkan gelar pahlawan kepada orang-orang yang berkontibusi dengan caranya yang khas (maksud kami adalah Alex dan Frans Mendur). Karena negeri ini masih agak kolot, dengan mengartikan pahlawan adalah sesorang yang berjuang di medan laga dengan senjata pada umumnya (senapan, bambu runcing, tombak, parang, dan lain sebagainya). Obrolan kami saat itu selesai begitu saja. Penelitian saya selesai, skripsi selesai, mengajukan sidang, lulus, dan saya pun sibuk bekerja sebagai ‘kuli ikan’. Komunikasi saya dengan Tante Meity Mendur pun terputus. Namun saya masih terus mengikuti perkembangan IPPHOS meski hanya melalui berita-berita dan kabar-kabar dari para sahabat fotografi di Bandung yang sampai kepada saya di antara macetnya jalanan dan penatnya mencari hidup di Jakarta.

Hadiah Natal, terkadang bentuknya memang tidak diduga. Di akhir pembicaraan dengan Tante Meity Mendur mengatakan bahwa almarhum Alex dan Frans Mendur baru saja dianugerahi Bintang Jasa Utama (tepatnya pada tanggal 9/11/2009) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden RI 058/TK/Tahun 2009 tertanggal 6 November 2009. Saya sempat salah dengar kedua almarhum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Bagaimanapun kabar ini menggembirakan saya, dan terutama Tante Meity Mendur. Harapan sambil lalu saat kami bertemu di ‘kantor’ IPPHOS yang ‘remuk’ di daerah Kampung Melayu dahulu pada tahun 2006 menjadi kenyataan. Penghargaan yang terlambat, namun tetap patut disyukuri. Dan saya yakin ini pasti akan membuat Natal yang dirayakan oleh almarhum Alex dan Frans Mendur di surga sana menjadi semakin hangat. Bagi saya pribadi, kabar ini membuat Natal sunyi saya yang gerah dan pengap di sebuah pojokan kamar kos di Jakarta yang sempit ini menjadi lebih spesial. Merry Christmas and Happy New Year to all!

* Foto #1: Jakarta, Oktober 1946. Sebagian pendiri IPPHOS dipotret di depan gedung Fermont Cuypers. Paling depan adalah Alexius Impurung Mendur (kiri) dan Alexander Mamusung (kanan). Frans Mendur tidak ada di dalam foto ini karena Frans Mendur memang agak kurang menyukai publikasi. Saat disahkan menjadi sebuah badan hukum pada tahun 1946, pimpinan IPPHOS terdiri dari banyak orang, namun nyawa sejati IPPHOS sebenarnya adalah Alex, Frans Mendur dan karya-karya fotonya.
* Penelitian yang saya lakukan kemudian menghasilkan sebuah skripsi berjudul “Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) 1946-1980: Studi Tentang Dinamika Institusi Fotojurnalistik di Indonesia”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melihat perkembangan Kantor Berita Foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) dari tahun 1946 sampai dengan 1980. Masa yang merangkum IPPHOS sejak masih menjadi pejuang bersenjata kamera hingga kemundurannya karena kalah bersaing denganm ‘pemain’ media baru yang lebih kuat dan besar. Karena skripsi inilah saya menjadi sarjana, hah! Skripsi yang terus ditolak penerbit karena kebanyakan sejarahnya dan tidak memiliki nilai komersial katanya. Haha!!!
* Foto #2 & #3: Kalau ada yang tidak tahu kedua foto ini, baiknya melihat lagi KTP-nya dan atau datangilah SD terdekat untuk meminjam buku sejarah untuk Sekolah Dasar di sana. Kedua foto ini setahu saya hak publikasinya telah diambil Kantor Berita Antara yang membeli hak publikasi itu dari para penerus IPPHOS. Semoga saya tidak dikomplain ya oleh Antara?

Comments

Mike, aku share ya tulisanmu yang ini... Banyak yang nanayain tuh, kapan dikau nulis lagi tentang fotografi dan sejarah....
Unknown said…
Bang Ricky.... bangkeu, Mang Kadal, dan kawan-kawan di Bandung kayaknya lebih punya waktu dan kemampuan untuk melakukannya deh Bang.... saya rindu menulis sejarah fotografi lagi, jangankan menulis panjang yang serius yang harus melalui perenungan, menulis iseng di blog atau menulis trip-trip mancing di Majalah/Tabloid aja saya harus berusaha keras dengan 'mensiasati' ikan...

Thanks dah diingatkan jadinya keinginan menulis fotografi itu kembali ada...