Skip to main content

Ujung Dunia Bernama Lamalera, Sarang GT Monster Yang Sedang Gelisah

Tulisan pendek ini terutama sekali dipersembahkan kepada orang-orang Lamalera


Pada tanggal 17-25 Februari 2010 lalu saya bersama ‘kapten’ Mancing Mania Trans 7 Mas Dudit Widodo dan Denis, Santoso dan Rudi Hadikesuma (pemancing Surabaya) melakukan trip mancing ke salah satu fishing ground terpencil bernama Lamalera di Pulau Lembata. Pulau indah yang sangat jauh, entah berapa ribu kilometer jika diukur dari Jakarta. Dari Bali jarak pulau ini sekitar 800 kilometer. Letak pulau ini ada di timur Pulau Flores atau beberapa ratus kilometer di timur Pulau Alor. Pulau kecil yang kondang ke seluruh penjuru dunia karena di Lamalera ada tradisi kuno yang telah berlangsung ratusan tahun yakni berburu paus sperm whale (dalam bahasa lokal disebut koteklema) dengan tempuling (tombak khas Lamalera). Tradisi yang masih hidup dan menghidupi Lamalera hingga kini.

Meski memiliki ‘halaman’ indah di sebelah selatan yang bernama Laut Sawu namun orang-orang Lamalera menurut saya bukanlah pelaut ataupun nelayasn. Mereka adalah pemburu. Tanah berbatu keras yang sangat sulit ditanami tanaman pangan membuat mereka turun ke laut dengan tombak untuk memburu paus, lumba-lumba, dan ikan pari. Itulah kenapa banyak risalah yang menyebutkan bahwa Lamalera adalah kampung para pemburu laut (sea hunters), bukan kampung nelayan/pelaut (fisherman). Bagi Anda yang belum tahu tentang Lamalera silahkan klik saja ke Google karena ribuan informasi tentang Lamalera berserak disana. Bukti bahwa Lamalera ini sangat terkenal. Jadi saya tidak heran saat pada tanggal 18 Februari pukul 14.00 WITA menginjak rumah Abel O. Beding, tokoh orang Lamalera, maka buku tamu yang ada di terasnya penuh dengan coretan tangan dari orang dari berbagai penjuru bumi.

Trip yang memerlukan persiapan matang baik logistik, tackle, fisik dan mental karena untuk sampai ke Lamalera saja kita harus menempuh perjalanan dengan berbagai moda transportasi yang panjang dan melelahkan. Berbagai keterbatasan infrastruktur khas daerah terencil semakin menguras tenaga siapapun yang berusaha menggapai ujung dunia ini. Namun saya jain, jika kita sudah menginjak Lamalera, segala lelah akan sirna karena kampung eksotis ini dihuni oleh orang-orang taat yang ramah. Mereka sangat riang dengan kehadiran pendatang. Salam hangat selalu diucapkan oleh siapapun yang berpapasan dengan kita. What a nice people!

Kami pun segera melangsungkan trip kami dengan membangun basecamp di Waiteba, sekitar 20an mil di timur Lamalera. Ini adalah lokasi strategis untuk bergerak ke spot-spot popping incaran kami. Waiteba adalah pantai kosong yang dulunya kota kecamatan yang musnah disapu tsunami besar tahun 1979. Praktis kami harus mengangkut segunung peralatan dan logistik untuk dipindahkan ke sini mulai dari beras hingga genset. Tiga tenda dome dan dua tenda besar dari terpal kami bangun untuk menampung kami dan barang-barang. Untungnya kamp kami cukup menarik karena berada di dekat sebuah sungai yang berair jernih. Kebutuhan air tawar dan mandi tidak perlu dirisaukan. Mancing popping selama 4 hari 3 malam tentu tidak nyaman bukan jika tidak bisa mandi?

Dan Lamalera memang luar biasa. Selama waktu itu piranti popping kami yang berkelas PE8 dan PE10 tiap hari harus bekerja keras untuk menaklukkan ikan-ikan GT monster penghuni beberapa tanjungan berarus deras yang disebut kala-kala. Rudi Hadikesuma dan Mas Dudit mungkin sudah tidak terlalu exciting lagi karena pernah kesini beberapa kali. Denis juga sudah pernah kesini September 2009 lalu. Jadi hanya saya dan Santoso saja yang pertama kali ke Lamalera. Entah berapa banyak ikan kami dapatkan. Tak terhitung lagi big strike dan line break di sini. Tetapi memang yang benar-benar monster, maksud saya 30 kg up tidak sampai selusin jumlahnya. Namun banyaknya strike dari GT berukuran 15-25 kg membuat saya hormat dengan spot mancing terisolasi ini. Hari keempat kami pun kembali ke Lamalera dengan kepuasan tinggi meski suasana tim agak murung karena santoso, Rudi dan Mas Dudit agak terganggu kesehatannya. Yah, umur memang tidak bisa dibohongi karena Rudi yang paling muda telah berumur lebih 45 tahun.

Rabu, 24 Februari kami kembali berada di pantai Lamalera. Lagi-lagi untuk pergi, namun bukan pergi memancing, melainkan pulang. Felmina kembali didorong terjun ke air oleh Stanis dan kawan-kawannya. Selalu unik ‘ritual’ dorong perahu ini karena mereka saling berteriak dalam bahasa lokal yang tidak saya mengerti. Dan biasanya usai kapal turun di air selalu ada yang nyeletuk,”buka bir sudah!”. Lucu sekali. Kami segera menaikki Felmina dan segera bergerak meninggalkan Lamalera. Dalam hati, saya masih ingin tinggal.

Saya mendengar sedang ada gelisah di kampung kecil ini. Katanya, mulai tahun lalu pemerintah yang bekerjasama dengan sebuah LSM internasional melarang perburuan paus di wilayah ini karena Laut Sawu dijadikan lokasi konservasi paus sperm whale. Program yang menurut saya dibuat terburu-buru untuk ‘cari muka’ di ajang WOC (World Ocean Conference) yang berlangsung di Menado tahun lalu. Apakah mereka pernah melihat dengan mata kepala sendiri kehidupan dan tradisi berburu paus di Lamalera ini? Program konservasi paus sangat menarik, sangat gagah, tetapi bagaimana dengan orang-orang Lamalera?

Felmina yang didorong mesin 25 PK semakin menjauh meninggalkan Lamalera. Perlahan kampung kecil bersahaja itu menghilang ditelan tanjungan. Angin dari selatan mulai datang menghempas sisi kiri kapal. Apakah tahun ini paus akan datang ke Lamalera? Saya teringat seorang warga berkata bahwa jalur migrasi paus katanya telah dialihkan oleh sebuah lembaga dengan mengebom jalur migrasinya di dekat Lamalera. Karena paus sangat sensitif, biasanya cara ini efektif untuk memindahkan mereka ke jalur lain. Buktinya tahun lalu tidak satu ekorpun paus berhasil mereka tangkap kata mereka. Tak terasa Tanjung Naga telah terlewati, dua jam lagi Larantuka kami jelang, lalu Maumera, lalu esok Jakarta, lalu sebuah pondokan kecil di sudut Jakarta. Meski telah jauh Lamalera, doaku untukmu semoga paus-paus itu kembali mengunjungimu. Dan semoga ikan-ikan GT monster terus tinggal di pantai-pantaimu dengan damai tanpa gangguan bom dan racun laknat para pengeruk laut mata duitan.

* Versi lengkap kisah mancing di Lamalera ini rencananya akan saya kirimkan ke tabloid ataupun majalah mancing, sesuai dengan saran dari ‘kapten’ Dudit Widodo, jadi mohon maaf kalau kisah ini terlalu singkat. Sorry ya bos!
* All pictures taken by Me and my friends. Please don't use (especially for commercial purposes) without our permission.

Comments

WAI LOONG said…
Great fishing man. I am Wei Loong from Malaysia and I am interested to go to Maluku Utara for Papua Black Bass fishing. Do you have any contact there? Here is my blog http://anglingworld.blogspot.com/
if you are interested fishing in Malaysia I can guide you for your DVD producing here.
Unknown said…
This comment has been removed by the author.
Unknown said…
How I can help you??? Yes I have contact @ Maluku Utara.... But how I contact you????
Unknown said…
Hi I'm Stan from Malaysia/Singapore, we are interested to have some contacts for seaw kapal Mancing di Acheck, target 3 haris 2 malam di laut , kapal harus bisa "live-onboard" target ikan kerapu monster, GT monster, Yellow Fin monster >25kg..bro Michael, kalo bisa tolong kirim email ke vsansg@gmail.com thk u salam strikee.