Skip to main content

Wajah Sudah Hampir Mirip Monyet di Hari Kedua di Pulau Rote

Untuk yang tercinta. Hari ini adalah hari kedua-ku di Pulau Rote (Pulau Roti), kebayang gak kalau ini beneran Pulau Roti, wah enak banget jadi penduduk pulau ini tiap hari makan roti gratis? Kamu tahu, perjalanan yang melelahkan harus kutempuh untuk sampai di tempat ini. Musti bangun pukul 3 dinihari WIB di Jakarta, take first flight-nya Batavia Air yang langsung ke Kupang, tiba di Kupang pukul 09.40 WITA, stay semalam di kota ini, lalu besoknya naik kapal cepat selama 1.40 menit ke Ba’a di Pulau Rote. Dari Ba’a lalu langsung menuju ke Nembrala dengan “fishing fleet” yang akan kami gunakan mancing selama kami berada di perairan yang telah dekat sekali dengan Australia ini. Kamu tahu apa topik hangat di sini sekarang? Orang-orang kampung semua membicarakan Australia karena efek kebocoran minyak di rig Montara yang masuk “menyerbu” Laut Timor membuat banyak nelayan dan petani rumput laut menangis. Gila ya Australia, seenaknya saja buang “sampah” di lautan kita yang sangat indah ini? Lebih sedih lagi, pemerintah Indonesia kemana saja ya? Di koran-koran lokal sini banyak pihak yang peduli dengan hal ini berteriak lantang, tetapi anehnya, lagi-lagi, pemerintah daerah juga dingin-dingin saja. Aussie memang pintar, atau kita yang bodoh, tahu bahwa dia (baca: Australia) salah, banyak sekali NGO dengan dana berlimpah saat ini dikirim ke NTT untuk bicara dengan pemerintah daerah mengenai pembangunan dan lain-lain. Pintar sekali ya (atau kita yang bodoh?).

Nembrala adalah desa kecil yang sangat sepi. Memang kehidupan disini tampak tidak mudah untuk, tanahnya berpasir dan berbatu keras, dan udara sangat panas. Rumah-rumah penduduk kampung banyak sekali yang hanya beratap daun nipah dan berdinding anyaman pelepah nipah. Namun di beberapa sudut kampung Nembrala tampak mewah. bahkan ada hotel! International class! Hal ini disebabkan karena desa ini adalah destinasi surfer dari seluruh dunia, utamanya saat Juni-Agustus dimana angin dan gelombang sedang besar-besarnya. Hari ini saja, meski sebenarnya bukan musim surfing, aku berjumpa dengan Indies Trader IV yang merupakan mother boat para surfer kelas dunia yang wilayah operasinya di seluruh dunia (meski base kapal ini sebenarnya di Mentawai). Kapal mewah ini sedang parkir di depan kampung menunggu para surfernya bermain gelombang di Nemberala. Hebat ya Nemberala? Namun yang kudengar, meski dekat sekali dengan Australia, tidak banyak surfer yang main ke sini. Kebanyakan yang datang dari USA, Eropa dan atau Jepang. Aussie tampaknya sukanya hanya ke Bali saja karena di sana bisa nge-hedon gila-gilaan. Di Nemberala tidak begitu suasananya, di sini adalah tempat orang baik-baik. Wisatawan seperti surfer ataupun pemancing datang ke sini karena ingin ‘bertatap muka’ dengan alam bernama lautan dan isinya. Bukan untuk berisik tidak jelas ataupun hal-hal tak jelas yang lain yang sering menempel di wilayah-wilayah tujuan wisatawan asing.

Oleh karena ini adalah destinasi wisata yang popular, meski dengan fasilitas dan rupa kampung –menurutku lebih baik begitu, tak sulit di sini untuk menemukan penginapan ataupun hotel. Mau harga 150 ribu semalam, ada. Mau harga 2.5 juta semalam juga ada. Jadi aku tak perlu lagi buka tenda di tepi pantai seperti di Lamalera (Pulau lembata) misalnya. Tetapi anehnya, agak sebel juga, meski begitu terkenal, Nembrala ini tidak punya dermaga (sekalipun itu dermaga kayu). Jadi waktu kami loading barang-barang terutama alat-alat pancing dari kapal ke penginapan atau sebaliknya agak repot. Namun meski melelahkan, di sini kami sedikit terhibur karena tidak sulit untuk makan dengan layak, tidak seperti di daerah terpencil lainnya yang kadang-kadang kita harus makan nasi putih dengan ikan goreng saja tanpa sayuran. Di sini, karena terbiasa melayani wisatawan, mereka sangat menyadari apa itu yang namanya makanan sehat. Menyenangkan sekali, jadi tiap usai mancing kami tidak perlu kelaparan terlalu lama. Memang bukan menu yang beragam seperti di rumahmu, tetapi rasanya tetap menarik, tepatnya sedikit di bawah rasa masakanmu. Apakah kamu percaya aku mengatakannya bahwa masakanmu adalah yang paling enak? Hehe. Tetapi karena jadwal nyala listrik hanya malam hari, dan juga karena airmya payau (itupun mengalir mengikuti jadwal listrik), kadang agak repot jika berurusan dengan MCK ataupun charge baterai dll.

Pulau Rote konon adalah pulau terluar Indonesia di bagian selatan. Benar tetapi kurang tepat karena masih ada lagi pulau-pulau kecil kosong di sekitar Rote yang lebih selatan lagi. Tetapi mungkin karena Rote adalah “induknya” dan yang merupakan tempat tinggal penduduk yang utama di wilayah ini, maka banyak orang dan bahkan orang-orang pintar menyebutnya dengan Rote adalah pulau terluar Indonesia di bagian selatan. Memang kedaulatan negara di perbatasan sering sekali dikaitkan dengan penduduk, padahal seharusnya itu tidak lagi sepenuhnya berlaku. Dan kalau orang-orang pintar itu juga menyadarinya, seharusnya kita tidak perlu kehilangan pulau-pulau kecil kosong di perairan perbatasan yang diambil alih oleh negara lain. Ingat kembali deh kasus-kasus lama tentang hal ini dimana kita harus kehilangan pulau yang selamai ini menjadi milik kita. Gila, VOC dan Hindia Belanda saja yang menjajah kita tidak pernah memberikan pulau itu ke negara lain begitu saja, kita yang katanya pemilik Nusantara ini malah memberikannya kepada orang lain begitu mudahnya. Luar biasa!

Kembali ke Rote. Mungkin kamu bertanya-tanya kog aku bisa online di internet dari kampung kecil di ujung selatan negeri kita ini? Jadi ternyata janji sebuah operator selular bahwa mereka tersebar di seluruh kecamatan di seluruh negeri itu benar adanya. Buktinya, BTS mereka persisi ada di atas kamarku! Hahahaha! Jadi saat ini aku bisa online lebih cepat dibandingkan saat aku online dari kosanku di Jakarta sekalipun! Waoooow! Tetapi GSM gambar matahari milikku tidak bisa dipakai di sini, mereka tidak punya BTS-nya! Payah! Kembali ke jaringan BTS salah satu operator tadi, tetapi bisa jadi ini karena ini adalah destinasi para surfer kelas dunia. Setahuku, dimanapun destinasi wisata di negeri ini, operator selular kita selalu ‘bergaya’. Mereka selalu memberi yang lebih agar citra mereka terdongkrak. Ya salah satunya ini, jaringan yang bagus sehingga internetan pun mudah. Atau juga karena pengguna internet disini mungkin cuma beberapa puluh orang saja, kebanyakan adalah pengelola hotel atau home stay. Home stay “ndeso” tempatku menginap sekarang saja punya alamat email lho? Dari email inilah mereka menerima bookingan kamar dari seluruh dunia. Dan satu lagi, setiap daerah perbatasan biasanya selalu dimanja dengan banyak fasilitas terbaik oleh negara biar tidak lirik-lirikan dengan negara lain. Jadi itulah sebabnya kenapa aku bisa online.

Hasil mancing selama satu setengah hari ini masih jauh dari memuaskan. Cuaca memang sangat bagus. Cerah. Angin kecil. Ombak dan gelombang di tengah laut juga kecil. Hanya saja arus bawah sangat keancang, metal jig 300 gram baru bisa sampai dasar. Masalahnya kalau sepanjang hari menggenjot metal jig segitu, bisa patah tanganku. Jadi hasil jigging sampai detik ini masih menegecewakan karena masalah arus kencang tadi. Tetapi untuk teknik popping masih cukup memuaskan. Tangkapan popping tidak banyak karena kami fokus di jigging. Hasil popping biasa saja karena air selama dua hari ini sangat jernih dan arus naik (upwelling) sangat sedikit. Tetapi masih ada sekitar 2-3 hari tersisa untuk mancing, semoga di waktu tersisa itu setidaknya aku bisa mengirimimu foto ikan monster. Bagaimana? Tetapi semoga efek Montara tidak sapai berimbas pada game fishes di Laut Timor, kalau sampai ikan-ikan besar juga kena efek dari Montara, maka mungkin ikan monster tinggal harapan kosong. Aku agak sangsi bisa mendapatkan ikan monster saat ini di sini, karena apa? Bayangkan, rumput laut saja bisa mati kena efek Montara, bagaimana dengan plankton? Pasti hancur! Nah berarti ada rantai makanan yang terputus, dan pasti akan berakibat juga pada game fishes di sini. Mereka eksodus besar-besaran ke tempat lain misalnya?

The Geremy Lodge at Oeseli

Orang baik biasanya juga akan sering mendapatkan kebaikan juga. Hehehehe. Apakah aku salah mengetik? Semoga tidak ya. Memang aku ini juga tidak sempurna tetapi semoga masuk kategori orang baik. Well, beberapa foto ini adalah suasana di sebuah lodge milik orang baik yang tiba-tiba saja mengajak kami singgah. Milik Geremy, orang Perancis yang sudah bosan dengan Menara Eiffel dan memutuskan menghabiskan sisa hidupnya di Pulau Rote. Lodge nya enak. Sembilan puluh persen dari kayu dan batu. Sepi, alami, kering, dan hampir semua yang kita butuhkan ada. Suara-suara satwa yang sepanjang hari terdengar. Bahkan burung-burung pun bersarang di pepohonan sekitar lodge. Rote adalah pulau yang kering kerontang. tetapi Geremy juga punya air tawar dari air hujan yang ditampungnya yang kemudian 'ditimbunnya' di dalam tanah. Semua bangunan dirancang sendiri olehnya. Suasananya persis di film-film dengan setting di pegunungan Amerika Latin. Sayang sekali aku tidak sempat memotret wajahnya. Dia masih malu katanya, karena lodge nya sebenarnya masih belums iap 100%! Gila ya dia!

Jadi, bagaimana kabarmu di Jakarta? Meski lelah, badanku kini lebih fit dibanding saat mASIH di Jakarta dan menderita flu berat. Memang tampaknya aku perlu cuaca panas atau hangat, bukan dingin, sehingga flu-ku cepat sembuh. So, kamu baik-baik ya di Jakarta. Hati-hati kalau beraktivitas apapun karena kamu khan orangnya ceroboh? Oh ya, apakah aku sudah mengatakan bahwa di sini panasnya gila-gilaan? Dan harapanmu tentu saja gagal karena wajahku di hari kedua ini telah mirip monyet. Bayangkan jika nanti sudah genap enam atau tujuh hari aku di sini? Apakah kamu siap melihatnya? Hehe. Sampai jumpa. MISS YOU!!!

* All pictures taken by Me. Please don’t use or distribute (especially for commercial purposes) without permission. Thanks

Comments

Sandi Taruni said…
sorryyyyyyy sayanggg... hehehe.. baru liat postingannya...;p walaupun memang jdnya tambah hitam... tetap paling keren dehhh... ;)