Skip to main content

Lamalera, Fishing Trip To The Edge Of The World (Full Version Story)

Prolog Lamalera Full Version Story
Sepulang dari Lamalera, Pulau Lembata, NTT bersama Tim Mancing Mania Trans 7 (Kapten DW, Denis Polapa, dan saya) saya sudah memposting kisah singkat perjalanan kami ke 'kerajaan' GT yang luar biasa ini di blog ini juga. Berikut postingan saya tersebut. Ujung Dunia Bernama Lamalera, Sarang GT Monster Yang Sedang Gelisah. Waktu itu saya sengaja tidak menuliskan secara lengkap kisah petualangan kami di Lamalera karena Kapten DW menghimbau saya untuk juga mengirimkan kisahnya ke tabloid, majalah atau media mancing lainnya yang terbit di negeri ini. Akhirnya, kisah perjalanan ke Lamalera itupun terbit di Majalah Mancing, edisi Mei 2010 dan menjadi headline pula. Hey, siapa itu di covernya? Hehehe... Kini telah menginjak bulan Juli, jadi tak berlebihan dan tak melanggar kepatutan juga saya kira jika saya memposting artikel lengkapnya di blog iseng ini. Semoga bisa menjadi bacaan yang memberi banyak informasi kepada siapa saja yang tertarik dengan Lamalera, kampung yang terkenal dengan tradisi (baleo) berburu paus sperm whale yang mendunia itu.

Lamalera, Fishing Trip To The Edge Of The World (Full Version Story)

Tulisan ini terutama sekali dipersembahkan kepada orang-orang Lamalera
---
Ketika saya bersama Tim Mancing Mania Trans 7 akhirnya sampai di rumah Abel O. Beding, salah satu tokoh masyarakat Lamalera, Pulau Lembata, NTT, yang pertama saya serbu adalah kopi panas untuk mengusir penat usai lima jam mengarungi lautan antara kota Larantuka (Pulau Flores) hingga Lamalera. Lima jam yang membuat pantat berasap karena kami berhimpitan dalam kapal kayu kecil yang didorong dengan mesin 15 PK satu buah. Di atas kapal kayu kecil ini ada kami berlima (saya, ‘kapten’ Mancing Mania Trans 7 Mas Dudit Widodo, Denis Surya -kameraman sekaligus ‘assisten kapten’, lalu Rudi Hadikesuma dan Santoso –keduanya adalah pemancing-pemancing asal Surabaya). Tunggu dulu, selain kami masih ada orang-orang Lamalera yang menjemput kami, jumlahnya lima orang juga, dan terakhir adalah setumpuk bagasi berat yang volumenya memakan separo lebih luas badan kapal. Felmina, begitu nama kapal kayu berukuran 1.5 kali 12an meter milik Stanis (anak Abel O. Beding), pun berlayar mengarungi lautan berjarak puluhan mil persis suara orang yang hendak buang air besar tetapi susah keluar alias mengerang sampai mentok namun tetap saja berjalan pelan! Saya pun takjub dalam berbagai rasa sambil badan dan muka terus terkena air asin yang berterbangan dari sisi kapal.

Ujung Dunia Bernama Lamalera

Lamalera adalah kampung kecil yang menurut saya berada di ‘ujung dunia’. Letaknya di sisi selatan Pulau Lembata dan memiliki halaman luas bernama Laut Sawu. Berada di timur Pulau Flores atau beberapa ratus mil di barat Pulau Alor. Begitu melelahkan rasanya untuk sampai di kampung para pemburu paus ini. Sarana transportasi dan komunikasi dan berbagai keterbatasan lain khas daerah terpencil membuat perjalanan ke Lamalera adalah perjalanan yang memerlukan kondisi fisik dan bahkan mental yang tinggi. Namun jangan salah, Lamalera yang berada di sekitar 800 kilometer di timur Bali ini begitu kesohor ke seluruh penjuru dunia –kalau tidak percaya silahkan ketikkan kata “Lamalera” di Google. Semua dikarenakan keunikan tradisi berburu paus (sperm whale) dengan tombak (yang disebut tempuling) yang ada di kampung ini yang mana tradisi ini telah berumur ratusan tahun lamanya dalam kearifan tradisional yang kuat.

Jadi jangan heran, siapa tahu Anda suatu saat nanti akan sampai di Lamalera juga, buku tamu di teras rumah Abel O. Beding penuh dengan coretan tangan dari para tamunya. Ada yang berasal dari Inggris, Amerika, Jepang, Argentina, Jerman, Australia, dan lain sebagainya termasuk saya dari Malang... Haha! Intinya pengunjung dari seluruh penjuru dunia dengan dengan beragam profesi dan tujuan pernah menginjak kampung kecil eksotis ini! Dan salah satu yang begitu sering pergi ke Lamalera adalah Mas Dudit Widodo. Telah sembilan kali dia mengunjungi tempat ini sejak 1989–kebanyakan untuk suting Mancing Mania dan Jejak Petualang (dua program documentary di Trans 7). Jadi jangan heran jika banyak warga Lamalera yang menyapa para ‘turis’ lokal laki-laki (berapapun umurnya) dengan kata “Mas”, itu gara-gara Mas Dudit Widodo.

Dan ketika akhirnya saya berhasil menyeruput kopi panas suguhan anak perempuan Abel O. Beding saya pun setuju dengan baris-baris kalimat yang ditulis seorang turis Jerman di buku tamu yang tergeletak di sebuah meja di teras rumah,”And the end of the world was Lamalera.” Bagaimana tidak, terbang dari Jakarta pukul 06.00 WIB pada tanggal 17 (17/02/2010), tetapi baru sampai di Lamalera tanggal 18 pukul 14.00 WITA. Perjalanan panjang terbentang sepanjang awan antara Jakarta-Denpasar-Tambolaka-Maumere (pesawat selama hampir 10 jam), stay di Maumere semalam lalu Maumere-Larantuka (mobil selama tiga jam), dan Larantuka-Lamalera (selama lima jam dengan angkutan laut terbaik di Lamalera, Felmina!)

Kami tiba di Lamalera tidak seperti kebanyakan pengunjung lain yang sebagian besar ingin melihat perburuan paus. Selusin lebih ‘arsenal’ popping hevy duty kelas PE8-PE10 mengatakan dengan tegas, WE HUNT BIG FISH! Pulau Lembata adalah pulau terjal berbatu yang berhadapan dengan Laut Sawu di selatan dan ‘dikepung’ selat-selat kecil berarus deras di utara-timur dan barat. Struktur dasar laut di sekitar pulau ini juga menyerupai daratannya. Tidak mudah menemukan dasar laut berupa pasir dan pantai berpasir di pulau ini. Dimana-mana batu. Namun struktur batu di wilayah ini tergolong labil dan sering menimbulkan gempa, tercatat gempa hebat yang berujung tsunami besar pernah ‘menyapu’ wilayah ini hingga kota Larantuka pada tahun 1979. Angin yang kencang, arus air yang deras, ketersediaan baitfish (ikan-ikan umpan) yang banyak, serta terisolasinya wilayah ini dari kepala-kepala bersayap tumpukan uang penguras isi laut menjadikan perairan sekitar Pulau Lembata adalah kerajaan ikan-ikan monster. Monster terbesar tentu saja ratusan (mungkin ribuan) mamalia bernama paus jenis sperm whale –di Lamalera disebut koteklema yang melintas perairan ini dalam bulan-bulan tertentu setiap tahunnya. Namun tentu saja paus sperm whale bukan target kami.

Agama mayoritas penduduk di Pulau Lembata adalah Katolik Roma. Namun karena hidup di alam yang keras, ketaatan beragama mereka yang sangat tinggi itu kadang unik, tiap usai bekerja atau berhasil melakukan sesuatu mereka selalu minum bir atau tuak! Namun jangan khawatir, mereka bukanlah para pemabuk yang tak berbudi, mereka adalah orang-orang tangguh yang sangat senang dengan kehadiran pengunjung. Jangan heran, kemanapun kita berjalan kaki disana, dan berapapun jumlah orang yang Anda temui, 99% akan menyapa kita dengan salam yang ramah baik itu pagi-siang-sore-ataupun malam. What a nice people! Karenanya kami dapat beristirahat dengan damai selama satu hari satu malam di rumah Abel O. Beding. Menyantap makanan desa yang dihidangkan teratur, meneguk kopi panas yang tidak pernah telat tersaji, sambil selonjoran di teras rumah menunggu tukang pos membawa kabar gembira. Maaf-maaf, maksud saya, sambil mempersiapkan tackle dan logistik untuk tinggal di basecamp mancing kami nanti.

Waiteba berjarak sekitar 20 mil dari Lamalera adalah pantai berpasir hitam sunyi. Diapit oleh ‘pagar’ tinggi berupa gunung-gunung indah –satu yang tertinggi adalah Gunung Iliwurung. Tempat ini dulu adalah ‘kota’ kecamatan namun musnah dari muka bumi karena ‘tersapu’ oleh tsunami 1979. Tempat yang dalam berbagai makalah ahli geologi dunia sering disebut pernah “menelan apapun di atasnya” ini menjadi basecamp kami mulai tanggal 19 Februari sore hari. Di pantai ini, dekat sebuah sungai yang jernih, kami membangun ‘kampung’ baru yang terdiri dari tiga buah tenda dome untuk kami, satu tenda besar untuk menyimpan logistik, dan satu tenda besar untuk orang-orang Lamalera yang menyertai kami sebagai abk kapal, tukang masak dan tukang angkut barang. Puluhan kilo logistik mulai dari beras, sayur, air minum, minyak goreng, buah-buahan gunung, hingga genset kami pindahkan dari Lamalera ke sini. Di depan ‘kampung’ baru inilah kami tiap hari mendaratkan dua buah kapal kayu bermesin masing-masing 25 PK yakni Felmina dan Villana. Saya tulis “mendaratkan” karena memang dua kapal kayu berukuran 12 kali 1.5 meter ini benar-benar berada di darat, hanya berada di laut saat dipakai mancing saja. Rupanya ini adalah tradisi Lamalera yang muncul dari petuah kuno yang berbunyi “kami juga ingin tidur nyenyak”. Orang Lamalera pantang meninggalkan kapalnya di laut. Usai dipakai beraktifitas, kapal selalu dinaikkan ke darat karena lebih aman dan bisa membuat pemiliknya tidur nyenyak. Untung kapalnya cuma 1.5 kali 12an meter!

Monster GT Tanjung Baru

Namun kami telah memancing sejak tanggal 19 Februari pagi hari, tepatnya setelah Felmina mulai melintasi Tanjung Atadei di dekat Wulandoni, sekitar lima mil di timur Lamalera. Laut begitu tenang hari itu. Ombak sangat kecil. Praktis ombak yang menghantam tebing-tebing tepian Pulau Lembata juga kecil. Sayangnya di Tanjung Atadei kami hanya mendapatkan bluefin trevally kecil. Padahal ini adalah salah satu sarang ‘monster’ terbaik di wilayah ini. Sangat mungkin karena pagi itu di sini tidak ada arus yang bagus. Pertemuan arus yang disebut kala-kala mulai tampak bermain di berbagai sudut tepian sepanjang pulau usai kami meninggalkan Tanjung Atadei. Setiba di spot Tanjung Baru, 3 mil dari Tanjung Atadei, lemparan pertama Rudi Hadikesuma langsung strike! Pemancing popping kawakan yang kesohor ini sedikit terhuyung pada lima detik pertama. Untungnya Felmina telah dipasangi pagar kayu sehingga dia tidak terjun ke laut yang sedang berarus sangat deras itu. Ril kelas 10000 dari merk terkenal itu menjerit-jerit menyeramkan memuntahkan tali PE10 yang terpasang di dalamnya. Namun sekejap dia segera menguasai keadaan. Usai hooking dengan gerakan yang cepat, dia mulai berdiri dengan kuda-kuda yang lebih kokoh dan siap memompa joran popping kaku kelas PE8-10 jenis XXXH (triple extra hard) itu.

Suasana pertarungan yang diiringi dengan sorakan-sorakan “ini Lamalera Bung!” terasa begitu heroik. Namun gerakan-gerakan tak terkontrol dari abk kapal dan juga kami kadang berpotensi bahaya karena Felmina sangat labil. Bergoyang kiri kanan setiap ada gerakan orang di atasnya, maklum kapal kecil ini memang tidak didesain untuk mancing melainkan didesiain untuk bisa tenggelam saat berburu paus. Denis harus berhati-hati saat mengambil sudut terbaik merekam gambar. Rudi Hadikesuma, menurut saya, tidak lagi seperkasa 2 atau 3 tahun silam –dan tentunya tidak seperkasa dahulu saat pada tahun 2005 bersama Wahyu Tamaela dan Mas Dudit melakukan ekspedisi mancing besar pertama ke tempat ini, dia sedikit ngos-ngosan saat meladeni berontak ikan yang seakan tiada henti. Sudah jelas, ini monster GT. Dan memang benar, perlahan sang predator Tanjung Baru menyerahkan diri ke permukaan. Jelas sekali GT monster! Kami tidak menimbangnya, untuk apa? Yang jelas saat dipangku berdua dengan Mas Dudit bagian kepala dan ekor ikan ini masih nongol ke luar pinggiran badan kapal. Dan lebar badannya hampir menutupi wajah kedua pemangkunya saking besarnya. Mantab man! Teriak Rudi sambil mengajukan ‘pensiun’ dini. Hahaha!

Mas Dudit tidak mau mengisi tempat yang ditinggal Rudi sehingga tinggal Santoso yang menjadi prajurit popping –paling nyaman, Felmina hanya untuk dipakai popping maksimal untuk 3 orang saja. Namun sejujurnya karena Mas Dudit sudah terlalu sering memancing monster GT disini sehingga sudah terbiasa dengan ikan-ikan monster Lamalera dan lebih memilih agar mereka yang baru pertama ke sini untuk lebih dahulu strike, saya. Denis jelas tidak bisa secepat itu meninggalkan kameranya, suting episode lebih utama. Apalagi bulan September lalu bersama Mardianto dan juga Mas Dudit dia sudah puas strike di tempat ini. Santoso yang berada di depan segera melempar kembali poppernya ke sisi kiri kapal. Saya langsung melempar kea rah kanan. Tiga kali dimainkan… BUM! Umpan disambar dengan hebat. Tetapi saya tidak beruntung, tidak sampai 3 detik… TASSS! PE10 itu pun putus. Saya melongo memandangi kala-kala yang bergejolak itu. Drag tidak disetel mati, ikatan FG juga sempurna, tali tidak terbelit ujung joran. Kenapa putus?! Denis, Rudi, dan Mas Dudit pun terbahak-bahak. “Ini Lamalera Bung!” Saya nyengir sambil mengelus-elus kepala sendiri.

Santoso semakin penasaran, popper seberat 120 gram dia lemparkan sejauh mungkin melintasi kala-kala. Tak lama kemudian, strike! Teriaknya lantang. Dia juga sempat terhuyung ditarik ikan, padahal dia telah terbiasa popping di Papua yang terkenal dengan ikan-ikan GT besarnya. Pasti monster lagi, batin saya. Pertarungan yang cukup heboh kembali hadir di atas Felmina karena Santoso harus bermanuver kiri-kanan dengan cepat mengikuti gerakan liar ikan. Akhirnya GT besar itupun takluk di tangannya. Hingga pukul 12.00 WITA kami mendapatkan bertubi-tubi strike dengan ukuran variatif, namun rata-rata tidak kurang dari 15 kg. Kami lalu segera merapat ke Waiteba yang berjarak 1 jam dari Tanjung Baru untuk makan dan istirahat siang. Di Waiteba beberapa ekor ikan yang kami bawa langsung dieksekusi untuk dijadikan ikan asin. Jujur saja, dalam trip di Lamalera ini sebagian besar ikan diperuntukkan warga Lamalera. Kami tidak tega merilis semuanya karena persedian makanan sehari-hari mereka di Lamalera terkadang sangat minim –itulah kenapa sejak dahulu mereka memburu paus yang besar itu karena daging paus bisa menjadi persediaan makanan untuk bebulan-bulan lamanya.

Catch and release yang ‘buta’ pada kondisi nyata masyarakat tempat kita ‘bermain’ bisa sangat menyakiti perasaan mereka. Meski kami sadar konsekuensi dicerca pemancing-pemancing yang hanya bermain di ‘kota’ nanti, namun kami tidak akan gusar sedikitpun karena kami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi kehidupan masyarakat disini yang kadang sangat kekurangan bahan makanan. Bagaimana kami tega merilis semua ikan? Orang-orang Lamalera saja masih ada yang menggunakan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka! Pukul dua siang kami kembali ke Tanjung Baru, beberapa strike kami dapatkan namun saya malas mengabadikannya dengan foto karena size ikannya biasa saja antara 10-15an kg. Tidak ada yang istimewa.

Kala-kala Yang Menghilang

Hari kedua rintik hujan tidak juga hilang meski waktu telah beranjak pukul delapan pagi. Ini adalah sisa-sisa hujan deras disertai angin dan petir yang ‘mencambuki’ seluruh penjuru Waiteba sejak pukul dua dini hari tadi. Usai mandi di sungai serta sarapan, kami kembali bersiap di tepian pantai sambil menunggu abk kapal selesai mendorong Felmina dan Villana terjun ke laut. Saya berandai-andai, jika bisa berfikir, tentu Felmina dan Villana pasti malas melaut di hari yang dingin dan basah ini. Kami langsung menuju ke Tanjung Atadei dalam kecepatan penuh. Hari ini kami terbagi dalam dua kapal berbeda. Mas Dudit dan Denis berada di Villana untuk trolling. Saya, Rudi dan Santoso di Felmina untuk popping. Kondisi air jauh berubah dibandingkan hari kemarin. Hari ini air begitu dingin, kelabu, dan kala-kala tidak sehebat kemarin. Hingga sore tim trolling kurang beruntung, tidak banyak strike dan sizenya biasa saja. Saking penasaran, Mas Dudit pun ikut-ikutan popping yang menghasilkan barakuda besar 25 kiloan.

Tim popping lebih beruntung. Kami mengambil titik terjauh dulu di Tanjung Atadei untuk kemudian bergerak perlahan menyisir tepian menuju ke Waiteba. Hasilnya cukup menarik. Santoso beberapa kali strike dan Rudi kembali mendapatkan monster. Namun tetap saja belum bisa membuatnya gembira karena targetnya disini adalah GT 65 kg! Hari ini saya tidak mendapatkan apa-apa karena lebih sibuk dengan handycam sebagai back up video kamera besar dan mengambil foto. Tetapi tak urung, malam harinya di basecamp saya digoda oleh senior-senior mancing saya ini dengan,”Masak kalah dengan Abra?!” Abra adalah rekan kami di Trans 7, reporter Mancing Mania juga, yang saat berada di Lamalera bulan September 2009 lalu berhasil strike beberapa GT besar. Padahal Abra adalah jagoan mancing kolam! Pahit, batin saya. Hahaha!

Big Strike Tanjung DW

Hari ketiga kami mengambil arah yang berbeda. Kami memutuskan ke arah timur. Ada dua tanjungan besar disana yang tampaknya sangat potensial. Namun jarak basecamp dengan tanjungan ini –kemudian kami beri nama Tanjung DW1 dan Tanjung DW2- lumayan jauh. Perlu satu jam lebih untuk sampai, itu artinya hampir 3 jam waktu untuk perjalanan bolak-balik. Ditambah fisik kami dan juga fisik abk yang menurun sehingga banyak jadwal molor, waktu mancing menjadi lebih sedikit. Saya punya misi pribadi yang kuat hari ini,”tidak boleh kalah sama Abra!”. Joran hard action PE8-10 telah siap. Tali PE10 yang putus kemarin juga telah disambung kembali, kali ini leader 170 lbs saya pasang di ujung tali. Popper tetap menggunakan popper 120 gram dengan dua mata kail 5/0, biasanya di tengah saya pasangi nomor 4/0 agar ringan. Masak kali ini naik lagi?! Pikir saya gusar. Felmina sampai lebih dulu di Tanjung DW1. Rudi berada di belakang, saya di tengah dan Santoso di depan. Satu dua lemparan kosong. Lemparan ketiga saya langsung strike! Ngrek ngrek ngrek…. TASSSS! Santoso dan Rudi kembali ngakak berbarengan. Nasiiib!

Saya semakin gusar. Tetapi dengan cepat saya kembali mengikat FG knot –susahnya minta ampun di atas kapal yang terus dimainkan ombak. Drag lalu lebih saya kendorkan lagi. Biarlah GT berlari sejauh mungkin asal tidak putus, piier saya. Popper warna orange merah saya pasang. Mencolok sekali. Namun selama saya memasang FG knot itu beberapa strike didapatkan Rudi, untungnya saya telah mengajari abk kapal untuk merekam video tadi pagi sehingga momen tidak terlewatkan. Saya kembali siap. Lemparan pertama, strike! GT kecil. Lemparan kedua, strike lagi. GT lumayan cukup besar. Lemparan keempat, strike lagi! GT good size yang bisa difoto. Anehnya saya merasa tidak lelah ataupun kesulitan saat melawan GT yang terakhir, padahal sizenya lumayan. Rudi berkata, lokasi ini tidak terlau dalam, ikan tidak bisa berenang jauh. Benar juga katanya. Tetapi saya masih penasaran, usai foto dengan ikan saya kembali melempar, padahal popper sudah pecah. Strike lagi! Michael ngamuk….. Teriak Rudi dan Santoso dalam logat Suroboyoan yang lucu. Sialnya strike yang lebih hebat ini malah lepas. Total hari ini kami mendapatkan lebih dari 10 ekor GT dengan size lumayan, tetapi tidak ada yang cukup monster. Di basecamp kami berbagi cerita, di kapal Villana, siang ini Denis yang merajalela.

Sore hari kami kembali ke Tanjung DW. Kami agak terlambat karena masalah mesin. Baru pada pukul 15.30 kami tiba di spot. Kala-kala menggila dimana-mana membuat kami lebih waspada dengan strike hebat yang bisa terjadi kapan saja. Saya dan Rudi tiba lebih awal. Lemparan pertama saya langsung strike! Big strike! Tetapi saya tungu-tunggu ikan tidak membawa lari tali layaknya GT. Pasti hiu! Pikir saya. Benar, seekor hiu cukup besar akhirnya menyerah dengan mulut tersumpal popper yang remuk dia terkam. Sialnya rombongan Mas Dudit, Denis dan Santoso melintas persis saat saya mendapatkan hiu ini. Mereka pun melambatkan kapal hanya agar bisa tertawa di samping kapal saya. Hahaha! Rudi segera beraksi. Strike lagi! Rudi Hadikesuma ini menurut saya memang pemancing popping jagoan, dia hampir selalu mendapatkan big strike. Dengan cepat GT 25 kiloan itupun menyerah namun dia tidak mau difoto. Ikan kecil, katanya. Di Villana, sore ini Santoso yang berhasil strike paling banyak. Sayangnya karena berbeda kapal tidak ada foto yang sempat dibuat karena disana hanya ada kamera video besar yang dipegang Denis. Saya kembali mendapatkan big strike di tempat ini namun lagi-lagi ikan terlepas. Rupanya saya masih harus banyak belajar popping! Karena angin tiba-tiba menerpa Tanjung DW, kami memutuskan untuk segera kembali ke basecamp. Keputusan kami sangat tepat karena tiba-tiba awan gelap menutupi seluruh penjuru samudera. Bahaya, badai! Kami tiba di Waiteba dalam basah dan perut keroncongan. Usai mandi, dengan cepat hidangan buatan Rafael –tukang masak kami- kami santap dengan lahap. Terasa lebih nikmat meski masakannya persis dengan yang kemarin. Buah alpukat dicampur gula menjadi penutup hidangan. Tunggu dulu, usai bersantap kami duduk-duduk di bale-bale bambu buatan para abk kapal sambil meneguk teh dan kopi panas. Mantaaap!

Pagi harinya kami segera bangun dan berkemas. Hari ini semua pemancing akan berada di Felmina. Villana akan dipakai membawa barang-barang dan hasil-hasil ladang hasil barter abk kapal dengan orang-orang gunung Waiteba yang sering berkunjung ke basecamp kami. Karena barang kami sangat banyak, baru jam sepuluh pagi semua selesai. Felmina berangkat lebih dahulu sambil popping sepanjang jalan pulang antara Waiteba-Lamalera. Tidak ada strike yang bisa dibanggakan, semuanya kecil. Siang pukul dua kami pun bersama-sama merapat di pantai Lamalera dalam tatap cerah para anggota keluarga abk kapal. Benar, mereka bersuka cita karena para abk kapal pasti membawa pulang daging-daging ikan dan beragam hasil-hasil ladang hasil barter di Waiteba. Dan itu artinya rasa aman menjalani hidup karena adanya makanan.

Goodbye Lamalera
Rabu, 24 Februari kami kembali berada di pantai Lamalera. Lagi-lagi untuk pergi, namun bukan pergi memancing, melainkan pulang. Felmina kembali didorong terjun ke air oleh Stanis dan kawan-kawannya. Selalu unik ‘ritual’ dorong perahu ini karena mereka saling berteriak dalam bahasa lokal yang tidak saya mengerti. Dan biasanya usai kapal turun di air selalu ada yang nyeletuk,”buka bir sudah!”. Lucu sekali. Kami segera menaikki Felmina dan segera bergerak meninggalkan Lamalera. Dalam hati, saya masih ingin tinggal. Saya mendengar sedang ada gelisah di kampung kecil ini. Katanya, mulai tahun lalu pemerintah yang bekerjasama dengan sebuah LSM internasional melarang perburuan paus di wilayah ini karena Laut Sawu dijadikan lokasi konservasi paus sperm whale. Program yang menurut saya dibuat terburu-buru untuk ‘cari muka’ di ajang WOC (World Ocean Conference) yang berlangsung di Menado tahun lalu. Apakah mereka pernah melihat dengan mata kepala sendiri kehidupan dan tradisi berburu paus di Lamalera ini? Program konservasi paus sangat menarik, sangat gagah, tetapi bagaimana dengan orang-orang Lamalera?

Felmina yang kini didorong mesin 25 PK semakin menjauh meninggalkan Lamalera. Perlahan kampung kecil bersahaja itu menghilang ditelan tanjungan. Angin dari selatan mulai datang menghempas sisi kiri kapal. Apakah tahun ini paus akan datang ke Lamalera? Saya teringat seorang warga berkata bahwa jalur migrasi paus katanya telah dialihkan oleh sebuah lembaga dengan mengebom jalur migrasinya di dekat Lamalera. Karena paus sangat sensitif, biasanya cara ini efektif untuk memindahkan mereka ke jalur lain. Buktinya tahun lalu tidak satu ekorpun paus berhasil mereka tangkap kata mereka. Tak terasa Tanjung Naga telah terlewati, dua jam lagi Larantuka kami jelang, lalu Maumera, lalu esok Jakarta, lalu sebuah pondokan kecil di sudut Jakarta. Meski telah jauh Lamalera, doaku untukmu semoga paus-paus itu kembali mengunjungimu.

* ALL PICS TAKEN BY ME, AND MY FRIENDS. PLEASE DON'T USE THIS ARTICLE AND THE PHOTOGRAPHS WITHOUT MY PERMISSION. THANKS!!!

Comments

aser said…
Terima kasih narasumber, satu lagi pelosok nusantara yang anda singkap kehidupan sosialnya, potensi alamnya, dan jamahan tangan pemerintah terhadap mereka

Susah bicara konservasi lingkungan ketika dihadapkan dengan perut kosong, yang penting tetap menjaga keseimbangan hayati.

Sukses selalu buat Lamalera, GBU.
Unknown said…
MUANTAP POLL ceritanya bro....jadi kepingin ke sana mas....ada nomor telp orang di lamalera bro....saya akhir tahun mau ke sana mas....email saya, jaya_teddy@yahoo.com......Terima kasih atas cerita pengalaman luar biasa ini.
Unknown said…
Thanks bro Aser, GBU too...

Pak Paulus, saya coba caru dulu pak, semoga masih kesimpan, pergantian gadget membuat manajemen data kontak sering terbengkalai... Terimakasih telah berkunjung...
Mikhael Beding said…
Pak Paulus, kalau pengen merasakan trip mancing diLamalera bisa hubungin saya Michael BEDING di nomor WA sy: 08123903430 atau di Halaman FB saya Lamalera Sport Fishing Charter ( LSFC )