Skip to main content

Dia Hadir Begitu Nyata di Jernihnya Aliran Sungai Lereng Gunung Salak


Terimakasih kepada kawan saya, pengunjung setia blog ini, Darmadi Yahya, atas sarannya pada kombinasi kata pada header blog.


Masih, blog ini adalah catatan sekadar dalam cepat dan sempitnya waktu selama perjalanan, dari pengapnya sebuah kamar kecil di sudut panas kota Jakarta, dari main petak umpet dengan omelan pacar, dan dari mana saja ketika hasrat untuk berbagi kisah itu muncul, dan dari segala keterbatasan saya sebagai 'wong ndeso'. Saya bukan siapa-siapa, hanya kisah-kisah di blog ini yang bisa saya bagi, karena hanya kisah perjalanan yang saya miliki. Semoga Tuhan selalu memberi berkah untuk sebuah kisah yang tak pernah terputus. Semoga Tuhan selalu menyertai kita semua! Amin!

Saat baris pertama tulisan ini diketik, telah sehari berlalu namun semua masih tergambar dengan jelas. Semua masih terasa dengan sangat jelas. Gemericik air bening yang dingin mengalir deras di bebatuan dan menelusup di sela-sela kaki itu. Suara satwa yang bersahutan itu; burung, katak, dan juga jangkrik. Gunung Salak yang kadang tampak kadang hilang oleh awan. Para petani yang sesekali melintas di sawah yang baru saja dipanen. Dan bau rerumputan basah yang tumbuh menghijau di sepanjang tepian sungai. Semua masih sangat jelas dan seakan menempel di seluruh badan, menegaskan diri sebagai berkah suci-Nya yang siap melindungi diri dari ‘kekejian’ kota yang siap menerkam di hari-hari mendatang yang bisa saja ‘kejam’.

Saya sebenarnya tidak memiliki rencana sedikitpun untuk datang ke kampung kecil di lereng Gn. Salak, Bogor ini. Namun ternyata sebuah rencana silaturhami yang awalnya digagas di Bogor ke rumah seorang yang baik gagal terlaksana maka perjalanan pun langsung diarahkan ke kampung halaman “yang tercinta” saya ini. Tanpa persiapan apa-apa selain sedikit perbekalan ala kadarnya. Dan bahkan alat pancing air tawar pun juga tidak saya bawa padahal di kampung Gadog Sisi ini banyak sekali sungai-sungai bagus yang masih sangat alami. Tetapi untunglah pepatah air-ikan itu benar dan bahkan telah semakin ‘maju’ saja bunyinya. Dimana ada air maka disitu ada ikan. Dan di desa terdekat pasti ada toko pancingnya! Haha!

Kami datang terlalu siang, baru pada pukul 13.00 WIB merapat di kampung. Maklum karena ngangkot sejak pukul 10.00 WIB dari Cimanggis, Depok. Seharusnya tak perlu terjadi jika sejak pagi kami berangkat bersama-sama dengan rombongan keluarga yang juga datang kesini. Ada yang mengira sebagai anak muda kami sengaja memisahkan diri dari rombongan orang-orang tua. Tetapi sebenarnya tidak demikian adanya. Kami hanya dua orang yang memiliki perancanaan buruk saja. Uuups! Maka karena pepatah ikan-air itu benar adanya, dan juga semakin ‘maju’ saja pepatah itu. Saat kami tiba di kampung tak lama kemudian tiga set alat pancing ikan beunteur (wader) telah disiapkan oleh seorang famili yang berdomisili di kampung! Siap pakai!

Gunung Salak (2211 m dpl) di masa lampau tampaknya pernah meletus dengan dahsyat. Entah pada letusan yang mana tetapi sejak tahun 1600 gunung ini telah beberapa kali meletus dengan hebat dan terakhir pada 1938. Di sungai-sungai kecil di kampung Gadog Sisi, batu-batu sebesar truk nongkrong di sepanjang badan sungai. Bukti bahwa sungai-sungai kecil itu merupakan salah satu aliran lava dari gunung saat meletus dulu. Batunya hitam legam, buah dari lava panas yang membeku. Air jernih dingin mengalir deras ke bawah sepanjang sungai. Banyak ‘shelter’ di bebatuaan itu dan terkadang pool dengan berbagai ukuran dan kedalaman air. Nah itulah spot yang niatnya akan kami obok-obok demi ikan mungil bernama beunteur/wader (Puntius binotatus). Lagian memang tidak mungkin khan di sungai pegunungan ini kami mencari ikan kakap putih (barramundi) khan? Saat datang ke Gadog Sisi, niat saya memang ingin mancing. Terlebih karena akhir-akhir ini jarang bisa mancing saking menikmati menjadi seorang ‘abk’. Untuk kali ini saya benar-benar tidak mementingkan ukuran dan spesies ikan. Sungguh saya benar-benar ‘banting harga’.

Melihat ukuran tackle yang tersedia maka kami hanya akan fokus dengan ikan beunteur (wader). Sebenarnya agak kurang pas jika piranti ikan beunteur ini disebut tackle, karena piranti yang akan kami gunakan sungguh sangat khas. Perpaduan kearifan lokal dengan dunia luar. Bagaimana tidak perpaduan dua dunia. Jorannya rautan bilah bambu yang diambil dari tumpukan material sebuah saung. Hanya pancing, tali dan timah lembar (daun) saja yang harus dibeli oleh famili kami itu di toko pancing. Umpan seharusnya juga tinggal menggali tanah saja namun karena kemalasan saya lah umpan yang dipakai kemudian adalah mie instant yang direndam dengan air hangat agar mengembang. Umpan beunteur sebenarnya bisa macam-macam. Jika jijik dengan cacing tanah dan merasa gengsi menggunakan mie instant, kita bisa menggunakan kroto dan atau umpan yang dibuat dari putih telur bebek-chiki (jajan anak-anak)-dan daging tuna yang dihaluskan. Bentuk adonan ini nantinya persis dodol yang sangat lembek. Setahu saya kawan-kawan di Cianjur yang pintar dan telaten membuat umpan jenis ini.

Setelah berhasil melarikan diri dari himpitan ‘fans’ yang tiba-tiba memenuhi saung, selama di kampung ini kami stay di sebuah saung kecil yang dihimpit lebat pepohonan dan saluran air bersama beberapa kawan, saya bersama dengan “yang tercinta” langsung ngacir ke sungai yang sebenarnya hanya berjarak 100an meter saja dari saung. Tetapi perlu waktu hampir 4 jam untuk melarikan diri dari serbuan ‘fans’ ini. Haha! Air sungai sangat jernih, sedikit dingin, dan penuh dengan bebatuan hitam bekas lava yang membeku di masa lampau. Sangat indah. Kondisi sungai yang masih alami ini sangat menyegarkan mata dan jiwa. Bersih, segar, bening, hijau, dan sedikit dingin.

Seperti telah saya sebutkan di atas, target mancing kami di sini adalah ikan mungil yang disebut beunteur. Bisa beunteur biasa (Jawa: wader) ataupun beunteur paray (paray), yang di Jawa disebut wader pari. Ikan mungil yang tidak terlalu diperhitungkan oleh mayoritas pemancing di negeri ini. Hanya mereka yang benar-benar militan saja yang mau memancing ikan mini seperti ini. Dunia mancing negeri ini penuh warna. Yang kaya suka bepergian ke tempat-tempat yang jauh di pelosok negeri dan mancanegara untuk berburu ikan-ikan berukuran monster. Namun mereka pemancing biasa saja juga tetap bias tersenyum karena sesungguhnya keasyikan mancing itu sungguh tidak bisa diukur dengan that F*** bucks!

Memancing akan sangat nikmat jika kita memang mencintainya. Tak peduli Anda siapa, tak peduli Anda punya uang berapa banyak. Hanya antara Anda, rekan, ikan serta alam. Dan sebagai seorang yang biasa itulah saya bergembira selama dua hari menikmati pengalaman indah bersama ikan-ikan beunteur (wader) dan alam yang masih indah di Kampung Gadog Sisi ini. Berjalan menyusuri sungai yang jernih. Terpeleset di antara bebatuan yang kadang licin. Mandi di sungai saat badan telah apak. Ngopi di tengah sungai sambil merendam kaki yang telanjang! Ditambah dengan kehadiran “yang tercinta”, momen ini pun menjelma menjadi berkah terindah yang selalu bisa dikenang saat perjalanan panjang berikutnya yang mungkin saja membuat kita tertatih. Salam!

* All pictures by Me and or my friends. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto #0: Catch and release untuk ikan konsumsi ini sebenarnya bisa dipandang mendesak dan juga tidak. Tetapi ini selalu adalah komitmen saya pada alam yang selalu saya usahakan untuk diterapkan dimanapun dan untuk spesies apapun. Foto #1: Yes I’m free! Saya duduk di sebuah bendungan kecil untuk irigasi, yang sayang sekali bendungan ini tidak pro migrasi ikan (lihat gambar berikutnya). Foto #2-#4: Sungai ini kecil tetapi sangat indah. Tampak bebatuan hitam bekas lava membeku di masa lampau. Foto #5 & #6: Waterproof bag is a must! Foto #7-#10: Sandi Taruni as Dora The Explorer. Foto #11: Ini yang saya sebut bahwa bendungan ini tidak pro migrasi ikan. Dengan kondisi seperti ini, migrasi naik ke dataran tinggi bagi ikan-ikan yang hendak memijah sangat sulit. Foto #12 & #13: Wader pari adalah ikan konsumsi. Namun karena ikan ini juga mulai sulit dijumpai, baiknya di release saja. Foto #14 & #15: Ngopi dulu booooos! Foto #16 & #17: Set up membuat kopi sengaja dilakukan di tengah sungai agar menambah nuansa menyatu dengan alam. Hujan lebat sempat mengguyur saung di sore hari pertama.

Comments

Unknown said…
Asyik bacanya Mike, dan susana seperti ini yang harus kita jaga..sebab biar bagaimananpun..kita pasti akan tetap merindukan susana seperti ini. Suasana asli khas sajian alam...
I like this, sungguh.. mancing di alam , selalu ingin , ketagihan ingin selalu ganti spot di alam. salut..terus gali terus kekayaan alam di indonesia..
Sandi Taruni said…
hahaha.. pengalaman jadi porter and logistik untuk sayangku yang lagi sakaw beunteur... precious momento...
Unknown said…
keren, tulisannya keren...besok ajarin mancing dong !!
mancing mania mantap mancing minia juga mantappp.... I like that tooo... salam Jogjangler