Skip to main content

APG: Kisah Tentang Sebuah Topi Pemberian Seorang Kawan

MUNGKIN INILAH AWAL MULA HAL TOPI INI: Pemberhentian pertama saya di Bandung adalah CCF di Jl. Purnawarman. Untuk menemui kawan lama saya yang telah sukses menjadi designer grafis CCF dan juga sebuah distro besar di Bandung, FRBLT (Firebolt). Ageng Purna Galih (APG) namanya. Darinya semenjak kuliah dulu saya belajar banyak. APG, menurut saya, adalah seniman yang lengkap. Menjelajah berbagai wilayah seni dengan pemahaman dan semangat yang tinggi. Dari fotografi hingga musik. Dari mengulik program design grafis hingga menggambar dengan pensil. Saya salut padanya. Tak dinyana ketika sedang asyik melepas rindu di CCF melintas kawan Parasastra, Anes, pertemuan semakin meriah. Bergelas capuccino semakin cepat tandas. Selengkapnya baca Salam Bandung.

----

Saya merasa bahwa blog ini mulai jarang saya ‘sentuh’ dengan baik. Padahal, meski pembuatan pertunjukan ikan itu memang menyita sangat banyak waktu, sebenarnya selalu ada untuk sekedar mencoreti blog ini agar tidak dikira ditinggalkan pergi oleh pemiliknya. Tetapi waktu yang ada itu selalu luput dipakai ‘menyentuh’ blog ini. Bukan maksud saya begitu, dengan perhatian dari banyak orang yang sayangnya jarang menuliskan komen-komennya di sini, hehehe, seharusnya semangat saya selalu bergejolak untuk ‘mencolek’ blog ini agar selalu tampak ‘menggeliat’. Ternyata, merangkai kata itu tak selalu mudah apalagi jika raga sering didera lelah.

Kembali ke ibukota seperti kembali pada sebuah wujud keangkuhan yang sulit untuk diajak bicara. Panas kini tidak terlalu meraja di kota ini, karena hampir setiap hari mendung dan hujan, Anda pasti menontonnya di layar televisi bagaimana kota yang angkuh ini hampir setiap hari didera hujan? Namun bising dan ketiadaan tegur sapa tetap bertahta. Juga kebiadaban-kebiadaban itu. Kepulangan yang tak nyaman sebenarnya saat raga ini penat usai berkarya di tempat yang jauh, sementara di jalanan kota ini banyak orang barbar berkelahi dengan parang dan pentungan. Sepantas inikah ibukota ini harus selalu saya datangi untuk memenuhi kata “kembali”?

Sebuah ruang kecil panas di pojokan entah adalah titik akhir perjuangan saya menjumpai kembali Jakarta. Masih, seperti biasanya, meski saya berbangga bahwa tempat ini selalu sangat bersih, tak bisa saya pungkiri ini adalah “bunker” yang sempit dan penuh barang disana sini. Meski begitu, saya bersyukur karena ini juga cukup pantas untuk seorang rantau dari kampung seperti saya. Tempat yang saya sarankan tidak Anda singgahi karena saya akan kebingungan mendudukkan Anda di sudut nyaman yang mana lagi.

Sebuah topi bermotif army, namun bukan motif army negeri kita, teronggok di sebuah tumpukkan. Saya lupa kapan saya melemparkannya kesana. Topi itu agak lusuh namun bersih. Namun andai ditelisik oleh seorang penyelidik akan ditemukan fakta lain, agak bau akibat didera hujan dan panas selama hampir seminggu penuh di pedesaan Jawa Barat kemarin. Topi yang tidak bisa saya ajak bicara membahas kebiadaban perkelahian antar kelompok preman Jakarta tadi siang, ataupun membahas kenapa Chelsea FC hanya menang 2-0 melawan tim lemah Ol. Marseille di ajang Liga Champion. Topi yang kadang saya sembunyikan di dalam tas saat ngantor karena sangat mencolok saat disandingkan dengan uniform hitam-hitam saya. Barang kucel namun sangat penting saat panas atau hujan mendera di lapangan, namun sering saya ingkari keberadaannya saat saya telah berada di Jakarta. Tak saya sadari, ternyata saya sering ikut-ikutan dengan kota ini, pongah.

Dia dalah pemberiaan seorang kawan, lebih setahun lalu, saat kaki tiba-tiba mengajak saya singgah di Bandung, kota yang pernah mendidik saya bertahun lamanya dulu. Kota yang pernah menjadi tempat persembunyian saya dari kenyataan hidup dalam kenyamanan ruang-ruang kuliah. Kawan ini adalah seorang seniman, dia lebih suka disebut sniboy, seniman memang selalu unik, eh sniboy maksud saya, yang bekerja di seputar dunia design graphic, clothing, art, culture, dan music di kota ini. Betapa saya iri dengannya karena ternyata dialah yang mampu menjadikan mimpi-mimpi masa kuliah itu terwujud. Dulu kami pernah bermimpi bersama, tanpa kesepakatan pastinya, tentang sebuah kondisi ideal menjalani hidup. Namun ternyata ikan membawa saya ke ‘perairan’ yang baru sama sekali yang dulu tidak pernah terbayangkan. Dan sialnya lagi, saya betah!

Topi ini telah menemani saya ke berbagai penjuru negeri, ikut-ikutan nongol di foto yang dimuat di majalah, dan kadang tak sengaja tersorot kamera tv. Menemani saya dalam diam, namun selalu memberi rasa nyaman, meski terkadang kehadirannya sering tak saya anggap penting. Telah banyak topi yang mencoba menggesernya dari kepala saya, namun tampaknya topi yang satu ini memiliki ‘kesaktian’ tertentu, bukan dia yang tergeser tetapi selalu topi lain yang musnah lebih dahulu. Ajaib sekali. Jika ada waktu saya ingin bertanya kepada kawan saya itu, ada apa dibalik topi ini. Hehe.

Jika dia bernyawa, pasti dia bisa ikut merasa beragam kejadian itu. Merasa lelah dan frustasi saat memburu ikan-ikan besar di samudera, atau merasa ketakutaan saat jeram-jeram sebuah sungai di pedalaman Kalimantan siap melumat perahu. Merasa gembira saat sebuah penduduk pulau terpencil menawarkan tempat beristirahat usai melayari samudera tak berujung, ataupun merasa ikut terpuaskan saat hasrat mendapatkan monster penghuni laut atau sungai dapat diwujudkan. Jika dia bernyawa, pasti akan ikut kedinginan saat suhu mendekati nol derajat di sebuah gunung tertinggi di Pulau Jawa saya daki beberapa bulan lalu. Atau jika dia bernyawa, dia pasti akan ikut geram seperti saya saat janji-jani ternyata begitu mudah diingkari. Sayangnya dia hanyalah topi yang hanya mampu bicara saat terjatuh dari ketinggian. Itupun bunyi yang pelan dan tak mencuri perhatian sama sekali. Namun meski tak mampu bicara, dia sesungguhnya tak pernah benar-benar kehilangan perhatian saya.

Pernah dalam sebuah perjalanan, saat itu kami singgah di sebuah rumah makan di sebuah kota di Pantai Timur Sumatera, seorang bapak-bapak yang juga makan di rumah makan yang sibuk itu tiba-tiba mendatangi saya saat saya sedang membasuh tangan di wastafel restoran. Dimana beli topi ini? Apakah dia bisa membeli topi saya ini saat itu juga? Saya tak begitu memperhatikan kesungguhannya, apakah dia benar-benar membeli ataukah karena dandanan saya itu provokatif (ataupun sentimental) baginya. Mungkin sekali kostum saya saat itu mencuri perhatiannya karena saya serba loreng, meski sekali lagi bukan loreng army kita. Celana panjang saya adalah loreng dan topi juga loreng. Hanya t-shirt saja yang netral. Tidak bisa jika karena loreng ini saya menerima konsekuensi-konsekuensi aneh seperti jika sebagai sipil memakai lorengnya army kita. Tentunya keinginannya untuk membeli ‘seragam’ saya tidak saya penuhi, ada-ada saja. Dan lapar pun mengakhiri pembicaraan antara kami berdua.

Dan hari ini, saya tak menduganya sama sekali, di samping saya kembali teronggok topi baru lagi kiriman dari kawan saya itu. Berkah tulus sebuah persahabatan yang tak mengharapkan pamrih. Namun entah kenapa kini topi-topi ini menjelma menjadi semacam ‘kutukan’ indah tentang perjalanan-perjalanan berikutnya yang masih harus saya lakukan. Andai saya bisa menyulap satu mimpi saja, saya berharap kawan saya itu, sniboy yang bernama APG, berada di salah satu perjalanan yang akan saya lakoni itu. Entah ke laut, entah ke sungai yang mana. Semoga!

* All pictures by my friends. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto #0: Saya, Dewi dan APG. Pacaran sejak kuliah, keduanya kini telah menjadi suami istri. Foto #1: Kalau tidak salah ini saat trip ke Pulau Berhala, Sumatera Utara. Foto #2-#3: Trip ke Sungai X di pegunungan Kaltim yang berbatasan dengan Malaysia. Foto #4: Fakfak, Papua Barat. Foto #5: Ranu Kumbolo, Gn. Semeru, Jatim. Foto #6: Takabonerate, Sulawesi Selatan. Foto #7: Ujung Kulon, Banten. Foto #8: Tasikmalaya, Jawa Barat. Foto #9: Pulau Rote, NTT. Foto #10: Topi lama dan topi baru itu. Thanks Geng!

Comments

Darmadi said…
mike, ini darmadi brsan dibikinin g mail ac sama temen sy (maklum Gaptek). Lg ngetest nih Mike bikin comment ke km. emang dasar mike termasuk penulis jempolan, topi saja bisa bercerita banyak di tgn km. 2 thumbs up !!! tenang mike mulai skrg rajin2 lah nulis di blog akan sy comment trus,kalo gak kacian km, gak ada yg comment.
Unknown said…
Thanks Pak dah komment di blog ini... Iya nih Pak, kasihan sekali saya tidak ada yg komment... Tp pastinya mau ada yg komment dan tidak saya akan tetep nulis, sblm nulis dilarang..... :))