Skip to main content

Menikmati Keramahan Pedesaan dan Pemangsa Licin Cianjur

Catatan trip freshwater ke Cianjur pada bulan Februari yang karena kesibukan menjadi ‘abk’ baru bisa dikisahkan dan diposting sekarang…

Saya merasa terberkati bahwa saya selalu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tidak terlalu jauh dari alam dan alam pedesaan. Menghirup udara segar bebas polusi, membasuh muka di segarnya air pancuran, dan menyegarkan mata dengan hamparan hijau persawahan dan barisan pegunungan. Syukur tak henti-henti terucap dari dalam batin saat berada di tempat seperti ini. Kota Jakarta yang begitu bising dan penuh dengan tekanan sejenak terlupakan berganti dengan sebuah ketenangan sederhana namun sangat berharga.

Cianjur, kota kecil di Jawa Barat yang kini tidak lagi terlalu ramai sejak jalur transportasi antara Jakarta-Bandung ‘dipindahkan’ ke Tol Cipularang menjadi tujuan kami untuk kesekian kalinya. Kota kecil yang membuat rindu siapa saja yang ingin menghilangkan penat dengan sebuah pengalaman memancing dalam kesederhanaan. Telah beberapa kali kami datang ke kota ini untuk menguak bagaimana komunitas pemancing di kota kecil ini dalam menyalurkan hobinya. Dulu sekali Mancing Mania Trans 7 (MMT7) pernah membuat tayangan tentang teknik mancing ikan beunteur (wader), lalu tentang mancing ikan-ikan air tawar seperti mujaer di Waduk Cirata. Kini MMT7 (saya, Cepy, Arfane, Bang Lay) datang untuk pemangsa yang licin yang disebut belut. Meski sebenarnya tak mudah hanya mengkhususkan target pada satu spesies saja karena kita tahu bahwa kondisi habitat spesies target pancingan di Pulau Jawa ini sudah tidak terlalu bagus.

Dan berbicara tentang mancing di Cianjur, kami selalu berharap pada keriangan dan ketulusan seorang pemancing bernama Asep (Kang Asep) untuk memandu kami berkeliling pinggiran kota Cianjur mencari target kami. Sudah beberapa kali Kang Asep berhasil ‘memuaskan’ kami dengan kesederhanaan dan ketulusannya membantu kami mendapatkan yang kami cari-cari di Cianjur. Seorang kepala keluarga muda yang begitu bersemangat, apalagi jika urusannya adalah mancing. Salut dengan keluarga Kang Asep ini, semuanya pemancing! Tak sulit baginya ‘kabur’ dengan kami karena istri tercintanya juga suka mancing. Jadi tak pernah urusan SIM mancing sulit dia dapatkan. Malah kalau tidak mancing sering ditanya,”Kog nggak mancing Kang?”

Memancing belut atau istilah Sunda-nya ngurek adalah kegiatan sehari-hari yang masih banyak dilakukan oleh para penduduk pedesaan yang di daerahnya banyak terdapat persawahan. Dan Cianjur memiliki semua yang diperlukan untuk dijadikan habitat belut sebanyak apapun populasinya! Biasanya dilakukan oleh anak-anak dan orang-orang dewasa baik pemuda dan orang-orang tua saat senja hari. Tetapi hal ini seringnya dilakukan di sela-sela waktu bekerja di sawah atau usai bekerja di sawah. Hanya sebagian kecil saja yang memancing belut karena hobi. Belut dipancing oleh warga desa untuk dijadikan lauk-pauk karena rasanya yang memang sangat gurih! Jadi apakah Anda sudah pernah makan belut goreng atau belut bakar? Bersyukurlah pada Tuhan karena menciptakan pemangsa licin ini untuk kita.

Tentang Pemangsa Yang Licin

Belut atau di beberapa daerah disebut lindung atau adalah ikan spesies predator. Tepatnya ikan dari keluarga ikan mirip ular tanpa sisik (Synbranchidae). Konon ada 20-an jenis belut yang pernah teridentifikasi. Bersifat pantropis atau hidup di semua daerah tropis. Tak banyak yang mengetahui ini jika belut adalah ikan pemangsa. Hidup di lubang di tanah yang gembur dekat air (selokan, sungai, parit, sawah, kolam, dan lain-lain) belut mudah kita jumpai saat musim penghujan. Dan konon puncak populasi belut adalah saat areal persawahan yang telah ditanami padi setidaknya telah mencapai tinggi sekitar 30-50 cm an. Jadi saat dimana air dan tanah yang gembur terdapat dimana-mana di pedesaan. Di luar saat seperti ini, belut harus kita cari ke dekat-dekat aliran air (sungai, klam, selokan, dan parit). Lubang belut ini biasanya berbeda dengan lubang kepiting ataupun lubang sarang ular. Lubang belut biasanya apik dan bersih. Sarang yang apik dan bersih ini tercipta karena belut selalu harus menongolkan kepalanya untuk mengambil oksigen dan atau menunggu mangsanya melintas di dekat lubangnya untuk disambar. Makanan belut beragam. Ada cacing tanah, ikan kecil, serangga, udang sungai, dan juga kepiting kecil.

Meski tak mudah menjumpai belut sepanjang tahun, namun jika saya ingat, populasi belut ini sebenarnya dimana-mana termasuk stabil alias selalu bisa didapatkan saat musim penghujan tiba. Ini dikarenakan belut tak seperti ikan-ikan di sungai misalnya yang mudah ditangkap dengan pancing ataupun jaring dan atau ditangkap dengan setrum dan racun. Belut, meski ada juga yang menangkap dengan setrum, tak banyak dilakukan orang karena jujur saja mencari lubang belut juga perlu kesabaran ekstra. Jadi belut tidak termasuk target yang populer di kalangan pemancing dan atau perusak ekosistem perairan kita. Hehe. Cara mancingnya sebenarnya cukup mudah. Kita hanya perlu senar nylon yang agak kaku dengan panjang antara 50 cm - 1 meter, biasanya dipilin dan terdiri dari dua senar agar mudah digerak-gerakkan. Lalu di ujungnya adalah mata pancing kecil dengan tangkai panjang (long shank). Umpan seperti telah disebut di atas bisa kepiting kecil, cacing tanah, ikan kecil, dan lain-lain. Umpan lalu kita masukkan ke lubang belut dengan memutar-mutar senar agar masuk semakin dalam di tiap putarannya. Dan jika ada ‘barang’ di dalamnya, biasanya akan disambar yang ditandai dengan sentakan di tali kita. Jika sudah begini kita tinggal menarik pelan-pelan senar kita ke atas. Perlu keahlian tersendiri karena belut punya cara menahan diri di dalam sarangnya yang biasanya berkelok dengan menggeliatkan badannya. Jika kita tidak sabar biasanya pancing kita yang kecil akan bengkok dan atau mulut belut akan sobek. Tapi tenang, untuk teknik mancing unik yang perlu kesabaran ini kita akan diganjar dengan kenikmatan jika berhasil mendapatkan belut-belut tersebut. Bukan, bukan karena licinnya tubuh belut ini, tetapi pada kelezatan dagingnya saat nanti kita goreng atau kita masak. Saya belum pernah melakukan catch and release untuk spesies belut ini. Harap maklum. Hehe.

Tak kurang tiga hari penuh kami berkeliling persawahan dan kolam-kolam di pinggiran kota Cianjur demi mendapatkan belut-belut dalam jumlah banyak dengan size yang bagus. Kami cukup terhibur di setiap desa yang kami datangi begitu banyak warga dan anak-anak kecil menyambut kamid engan antusias. Bantuan mencari lokasi dan menemani mancing datang tanpa diminta. Pemilik kolam merelakkan kolamnya kami obok-obok tanpa marah. Dan para petani pemilik kelapa selalu menawarkan kelapa muda-nya dengan ramah. Sayangnya saya tak bisa lagi menikmatinya (kelapa muda) karena ada yang bilang konon air kelapa muda bisa membangunkan penyakit malaria yang tidur di liver saya. Puas ‘bermain’ dengan pemangsa yang licin ini, kami pun mengalihkan target kami pada ikan-ikan sungai.

Memaksimalkan Waktu Dengan Sensasi Mancing Yang Lain

Sungai Cisokan menjadi tujuan kami pada hari ke empat. Di sungai ini kami pernah berhasil memancing ikan patin jumbo dalam jumlah lumayan beberapa bulan sebelumnya. Anda bisa membaca di………. Namun waktu itu adalah puncak musim hujan saat debit air sungai sedang tinggi-tingginya. Februari air sungai turun drastis karena curah hujan yang berkurang. Jadi kami tidak terlalu berharap pada ikan patin jumbo tetapi lebih ralistis dengan mengalihkan target pada ikan-ikan lain yang masih mungkin. Meski sulit, di sungai ini masih dihuni spesies asli Indonesia seperti ikan hampala, ikan Gerang (semacam ikan keting), ikan lalawak dan ikan gengehek. Mudah juga dijumpai ikan mujaer dan ikan-ikan non Indonesia yang bocor dari keramba petani ikan di Waduk Cirata. Buktinya saya sempat strike ikan sapu-sapu disini. Juga ikan mujaer dan nila. Dan kami lagi-lagi terberkati. Beberapa spesies menarik berhasil kami dapatkan utamanya ikan hampala dan ikan lalawak (keluarga ikan tawes).

Dan secara pribadi, memancing di Sungai Cisokan (letaknya di daerah Ciranjang) saat debit air turun ternyata lebih asyik dibandingkan saat air sedang tinggi-tingginya. Karena kita bisa dengan mudah menandai areal dimana ikan bermain dengan melihat arus sungai. Ikan-ikan seperti hampala dan lalawak tidak akan berada di arus. Hampala cenderung di pinggir atau di dekat struktur seperti tonggak kayu atau bebatuan di pinggiran. Sedangkan lalawak berada persis di tepian arus karena dia memiliki sifat menunggu makanan yang hanyut. Jadi dengan yakin kami tak perlu membuang umpan ke lokasi yang jelas-jelas kecil kemungkinannya terdapat ikannya. Banyak lagi sebenarnya kisah tentang freshwater fishing di Cianjur ini. Namun karena ini dituliskan hampir tiga bulan setelah trip usai dilakukan karena berbagai kesibukan yang mendera, kiranya dicukupkan disini saja, biarlah foto-foto yang berbicara. Any question? Feel free to drop me an email. Warm regards!

* Most pictures by me. Don’t use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Especially if you are tackle shop, please don’t only make money from our pics without respect!!!
* Foto #1: Ikan lalawak dari Nusa Dua, Cianjur. Foto #2-#3: Lokasi kami ngurek belut. Foto #4: Arfane sibuk mendokumentasikan gambar. Foto #5: Belut perolehan seorang warga. Foto #6: Liwet Cianjur tiada lawan. Sungguh! Foto #7: Pete!!!! Mantaaaab!!! Foto #8: Kami berfoto dengan anak-anak Cianjur yang selalu mengerubungi kami. Kang Asep adalah ‘kakak’-nya anak-anak ini. Foto #9: Di tepi Sungai Cisokan. Foto #10: Menyeberang dengan sampan di Cisokan. Foto #11: Nila masbro! Foto #12: Di Nusa Dua sesaat sebelum mancing. Foto #13: Ikan hampala perolehan Cepy di Sungai Cisokan.

Comments

Unknown said…
terima kasih kak atas informasinya sangat membantu, jangan lupa kunjungi website resmi kami http://bit.ly/2MiUpB1