Skip to main content

November 2013: Dari Ujung ke Ujung Pulau Lombok dan Pulau Bungin (Pulau Terpadat di Dunia)


Pantai Pink, Desa Sekaroh, Lombok Timur. Sore hari saat matahari cukup cerah, warna pinknya terlihat lebih kuat
Namun sebenarnya agak sulit mendapatkan warna yang benar-benar pink di Pantai Pink, Lombok Timur
Pantai Tanjung Alang, Lombok Timur 'disulap' oleh warga menjadi kawasan budidaya rumput laut
Terasi Udang Lombok ini mengguncang saya, kemasannya luar biasa bagus dan higienis!
Ini foto tidak penting, saya sedang menikmati opak pelecing di sebuah bukit di kawasan Pantai Seger
Well, ini adalah posting yang memang terlambat. Entah kenapa saya merasa sangat sibuk sekali sampai-sampai tidak ada waktu untuk sekedar memposting catatan singkat ataupun foto di blog iseng ini dengan cepat. Pada tanggal 11 November saya mendarat di Bandara Praya, Lombok Tengah, untuk mengawali 22 hari perjalanan (11-31 November 2013) bersama dengan tim Jejak Si Gundul Trans|7 saya berkesempatan mengunjungi Pulau Lombok dan sisi barat Pulau Sumbawa, NTB untuk membuat dokumentasi tentang olahan-olahan tradisional disana. Boleh dikatakan perjalanan kami menjelajah Lombok adalah dari ujung ke ujung. Dari ujung Barat dari pasir pantai di kawasan Senggigi, hingga pantai ujung paling Timur di Tanjung Luar dan Labuhan Haji. Untuk Pulau Sumbawa, yang kami datangi adalah Pulau Bungin, pulau terpadat di dunia (luas tiga hektare, dihuni oleh tiga ribu jiwa). Banyak hal bisa diceritakan tentang kuliner Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, tetapi tidak akan dibahas disini secara detail karena semuanya sudah secara gamblang ditampilkan di program Jejak Si Gundul Trans|7 selama bulan November dan Desember tahun lalu. Catatan di blog ini adalah tentang hal-hal lain dari sudut pandang pribadi saya selama berada di kedua pulau tersebut.

Terlepas dari segala tantangan berkaitan dengan cuaca yang sering hujan, dinamika liputan, kondisi lokasi, karakter masyarakat dan lain sebagainya, saya sangat menikmati perjalanan di Lombok dan Sumbawa. Saya juga sangat menikmati kuliner di Lombok yang begitu ‘mengguncang’ lidah saking rata-rata pedas semuanya. Selain itu banyak hal baru dapat diamati, dirasakan, dialami. Saya menikmati perjalanan yang tanpa macet dengan alam yang sangat indah, saya menikmati pantai-pantai indah yang sebagian besar belum digarap dengan baik. Meski dalam hati ada sedikit gelisah juga ketika mendengar bahwa banyak sekali pantai-pantai di Lombok secara perlahan telah berpindah tangan kepemilikiannya ke bule-bule Australia. Bukan pantainya memang, tetapi tanah yang menghadap dan menyatu dengan pantai-pantai tersebut. Saya tidak membicarakan Senggigi yang telah demikian mapan dan juga telah menjadi ikon pariwisata di Lombok. Saya membicarakan pantai-pantai ‘perawan’ lainnya yang tersebar di seantero Lombok, terutama di Lombok Timur dan Tengah. Banyak sekali pantai yang lebih bagus puluhan kali dibandingkan dengan Senggigi, tetapi sarana jalan dan lain sebagainya menuju ke pantai-pantai tersebut sangat sulit. Terutama jalan raya-nya. Pantai Pink saja misalnya, pantai indah ini harus diakses dengan ‘goyang dombret’ sejak kita memasuki daerah Sekaroh, sekitar 40 menit sebelum Pantai Pink. Padahal Sekaroh ini saja, dua jam jika diakses dari Mataram atau Senggigi (daerah dimana terdapat banyak penginapan layak). Artinya banyak pantai indah di daerah Lombok Timur baru dapat dinikmati setelah kita melakukan usaha yang lebih, ini mungkin catatan bagi siapapun yang berwenang. Jangan hanya Senggigi yang ibaratnya dimanjakan, banyak lokasi lain yang perlu diperhatikan. Sehingga pada akhirnya, ‘kue’ dari arus wisatawan bukan hanya numpuk di Barat saja, tetapi dapat menyebar ke seantero Lombok. Betul???

Namun meski 'kue' pariwisata Lombok saat ini (menurut saya lho ini) kurang merata dirasakan oleh seluruh masyarakat di seluruh penjuru Lombok, saya melihat semangat yang menggembirakan di beberapa daerah. Daerah Tanjung Alang misalnya meski memiliki pantai yang sangat indah, namun karena lokasinya jauh dari mana-mana, daerah ini bukanlah tujuan favorit para wisatawan. Mereka menyikapi dengan cerdas, seluruh pantai Tanjung Alang kemudian disulap menjadi areal budidaya rumput laut. Hasilnya dapat menjadi sandaran ekonomi yang cukup menjanjikan. Apalagi di Lombok saat ini banyak sekali UKM yang membuat olahan khas berbahan dasar tepung pathi dari rumput laut ini. Masyarakat Tanjung Alang membudidayakan rumput laut, mengingat jika mengandalkan hasil melaut mencari ikan juga tidak selalu dapat diandalkan. Saya malah mendengar informasi miris ketika mancing di Tanjung Alang, bahwa reef-reef bagus yang merupakan terumbu karang yang notabene adalah sarang ikan sering di bom oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Jalan pintas yang menghancurkan banyak hal dalam jangka waktu yang sangat lama. Untungnya kata masyarakat, para pelakunya sudah ditangkap. Masalahnya, berapa puluh tahun diperlukan untuk memulihkan reef-reef yang notabene terumbu karang sarang ikan itu seperti semula lagi?

Satu lagi ada 'semangat' yang juga ditunjukkan oleh masyarakat Tanjung Luar di Lombok Timur. Namun untuk yang ini saya sangat mires. Di TPI Tanjung Luar saya melihat suatu pagi puluhan ton ikan hiu berbagai jenis didaratkan (sebenarnya ini lebih tepat dikatakan sebuah pembantaian). Kata orang-orang yang ada disana saat itu, ikan hiu ditangkap untuk diambil dagingnya. Katanya dapat diolah menjadi kerupuk dan lain sebagainya. Saya ngeri ketika melihat loading ikan hiu ini dari kapal ke TPI Tanjung Luar hari ini. Saya melihat di Indonesia banyak gerakan pelestarian ikan hiu, jika mereka melihat ini, tentu akan marah sekaligus menangis. Tetapi bagaimana jika kegiatan ini terpaksa dilakukan? Misalnya karena ikan-ikan jenis lain yang populer dikonsumsi sudah susah ditangkap lagi. Apalagi dengan kuota minimal yang harus didapatkan demi mengembalikan modal melaut, sedikit untung untuk dibawa pulang ke rumah, dan lain sebagainya? Saya mengambil gambar secara leluasa proses loading ini, saya melihat ada seorang bule juga sedang memotret di sudut lain TPI. Apa kata dunia jika melihat ini semua? Saya sedih. Namun masyarakat tidak bisa disalahkan begitu saja. Banyak hal bisa diperdebatkan untuk urusan yang sebenarnya bermula dari 'urusan perut' dan 'asap dapur' ini.

Masyarakat Lombok dan Sumbawa menurut saya begitu terbuka dan bersemangat. Meski saya tidak memahami bahasa di sana, kru lokal kami membantu kami untuk urusan ini, saya merasakan kehangatan dan semangat dalam setiap pembicaraan dengan masyarakat Lombok dan Sumbawa. Tidak ada hal yang rumit (selain masalah saya tidak paham bahasa mereka) berkaitan dengan komunikasi. Karena mereka begitu jelas dan terbuka dalam mengkomunikasikan sesuatu. Jadi banyak hal bisa dikerjakan dengan lebih efektif sebab semuanya jelas. Kalau mereka berkata mau, ya mau. Kalau tidak mau, ya tidak mau. Dan lain sebagainya. Jika ada yang menurut saya, saya menjadi kewalahan adalah, berhadapan dengan begitu banyak orang selama 22 hari, saya kewalahan karena dimanapun saya bertemu dengan orang yang begitu bersemangat bercerita. Di sisi lain, saya tidak bisa menimpali secara spontan secara cepat, sebab saya hanya bisa dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, saya merasa gembira bahwa meski kami ‘blusukan’ kemanapun dengan segala apa adanya, kami diterima dengan hangat dan pada akhirnya mendapatkan kepercayaan untuk menyelesaikan pekerjaan kami berkaitan dengan kuliner tradisional disana. Banyak bantuan dari masyarakat kami terima; waktu, tenaga dan lain sebagainya. Mereka tidak akan membaca ini, karena kebanyakan memang tinggal di desa-desa kecil dan tidak mengakses internet. Namun saya mengucapkan terimakasih tak terhingga atas segala penerimaan mereka selama kami berada di Lombok dan Pulau Bungin, Sumbawa. Semoga Allah membalas kebaikan Anda semuanya.

Kuliner tradisional yang kami dokumentasikan adalah olahan khas daerah Lombok dan Sumbawa. Di Lombok kami mendokumentasikan krake kelapa, batun bedil, kembang kopang/temerungkung, merodok, keciprut, budidaya rumput laut, beragam olahan rumput laut, kue keong, terasi lengkare, kopi kedelai, pak opak plecing, dan lain sebagainya. Sementara di Pulau Bungin, Sumbawa kami hanya mendokumetasikan satu item saja yakni tentang teripang pasir dan olahannya (kerupuk teripang pasir dan sop tahi bantalaha khas Pulau Bungin). Semuanya adalah olahan khas yang menarik dan bisa diceritakan dari berbagai hal. Namun secara personal Di Lombok saya begitu ‘terpesona’ dengan krake, kue keong, kembang kopang/temerungkung, dan olahan-olahan teripang di Pulau Sumbawa. Semua foto olahan yang saya sebutkan saya posting di blog iseng ini. Jika Anda mencarinya di Google, Anda dapat melihat lebih detail lagi tentang olahan-olahan yang saya sebutkan di atas.

Hampir terlupakan, tentang Pulau Bungin di Pulau Sumbawa. Desa Bungin adalah sebuah pulau kecil. Konon awalnya lautan, sejak berpuluh tahun silam oleh komunitas Suku Bajo kemudian ditimbun dengan batu karang sedikit demi sedikit. Kini Pulau Bungin adalah daratan terpadat di dunia. Saya agak lupa, luasnya hanya sekitar delapan hektar saja, namun jumlah penghuninya (semua umur) adalah tiga ribu jiwa. Saya mendapatkan keterangan ini dari ketua karang taruna di desa tersebut. bayangkan padatnya! Namun kini mereka telah memiliki jalan yang tersambung dengan daratan utama (Pulau Sumbawa). Listrik dari kota Alas juga sudah masuk ke Pulau Bungin. Kehidupan di Pulau Bungin menurut saya begitu meriah, ramai, dan sibuk. Banyak sekali pedagang dari desa tersebut dan dari luar lalu lalang menjajakan aneka penganan dan jualan lainnya. Satu hal tidak pernah berubah di Pulau Bungin adalah, jika pemuda hendak melamar gadis (atau bukan gadis sekalipun), maka harus sudah bisa menimbun laut dengan batu karang yang akan menjadi cikal bakal pondasi rumahnya. Jika belum, maka tidak boleh melamar gadis manapun di Pulau Bungin. Kini ada semacam larangan untuk tidak mengambil batu karang dari laut untuk membangun rumah, dikeluarkan oleh pemerintah setempat, ada sanksi bagi yang masih melakukannya. Disambut oleh warga dengan lelucon. "Niat kami mulia, mau menikah saja, tetapi masak kita harus masuk penjara?"

Jika ada yang masih membuat saya penasaran dengan Pulau Lombok adalah, saya tidak mendapatkan satu ekor ikan pun selama mancing disana. Padahal Lombok adalah salah satu ‘surga’ mancing di Indonesia. Guru sekaligus sahabat saya Pak Adhek Amerta (Bali) misalnya, beliau adalah operator mancing kelas dunia, menjadikan Lombok sebagai salah satu daerah operasi mancingnya. Mungkin waktu itu tangan saya sedang ‘bau’, kebanyakan dosa, pikiran tidak fokus ataupun terlau banyak ngelamun ‘jorok’? Hehehehe. Atau memang saya yang ditantang untuk kembali lagi ke Pulau Lombok. Only God knows. Selanjutnya enjoy the pictures! Salam!

Jalanan desa saat saya dan kru mencari jalan menuju Pantai Surga, Lombok Timur
Kondisi jalan saat saya hendak mengakses Desa Sekaroh dikala baru saja turun hujan. Terpaksa balik kanan karena tidak mungkin tembus dengan kendaraan biasa. Ini baru permulaan, ada puluhan kilometer lagi di depan yang lebih parah
Sekelompok anak Desa Pulau Bungin berjalan-jalan di pantai (sebenarnya laut yang sedang surut)
Saya teringat masa kecil saya ketika menjepret foto ini di Pulau Bungin. Hehehehe
Kue batun bedil khas Pemenang, Lombok Utara. Batun bedil jika di-Indonesiakan artinya "pelor senapan"
Desa Pulau Bungin, dijepret dari laut yang sedang surut. Konon Pulau Bungin awalnya laut. Suku Bajo menimbunnya dengan batu karang selama berpuluh tahun. Desa terpadat di dunia, dengan luas delapan hektar, dihuni oleh hampir tiga ribu jiwa
Himbauan ini dibuat oleh pemilik lahan kebun kelapa, di sebuah pantai di kawasan Senggigi, Lombok Barat. Tarif jika kita ingin menikmati Senggigi melewati kebun-kebun penduduk? Seikhlasnya!
I want to scream "save shark!", but how about their live? Foto ini saya ambil di TPI Tanjung Luar, Lombok Timur. Terlihat ada beragam jenis hiu yang didaratkan; goblin shark, black tip, dan hammerhead.
Hiu jenis goblin shark. Beratnya kira-kira hampir seratus lima puluh kilogram. Hari itu ada ratusan hiu di-loading di TPI Tanjung Luar, Lombok Timur. Menyedihkan tetapi ini harus dipandang secara bijak dan dari berbagai sisi































* Pictures by me. No watermark in the pictures, but please don’t use or reproduce, (especially for commercial purposes) without my permission. Please don’t only make money from my pics without respect!!!


Comments

Anonymous said…
ijin comot gambar opak opaknya bang saya lagi di bali jadi gak bisa dpt photo opak opaknya