Mengingat kembali Pulau Bangkurung, di Kabupaten Banggai
laut, Sulawesi Tengah, ada sedikit yang ingin saya sampaikan. Semacam pendapat
pribadi, menyampaikan opini saya dalam konteks kebebasan berpendapat, yang
siapa tahu, bisa menjadi perenungan bersama siapapun yang berkepentingan dengan
kehidupan di Pulau Bangkurung. Inspirasinya sederhana. Setiap sore hari di
dekat basecamp kami di Desa Kalupapi bocah-bocah Bangkurung begitu ramai
bermain sampan bersama-sama. Entah mereka sedang mencari perhatian kami, atau
memang begitulah keseharian mereka. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan
Bajo, yang berarti memang setiap hari mereka pasti akrab dengan laut. Kabarnya
orang Bajo itu, sejak lahir ceprot
pun sudah berenang di laut bukan? Bukan waktunya mereka memikirkan kerumitan
dunia, saya mengerti kenapa mereka begitu riang.
Melihat Bangkurung dengan pemikiran yang lebih mendalam. Ada
pertanyaan sederhana yang menggelisahkan dengan masa depan bocah-bocah ini.
Dari beragam informasi di internet saya mendapati bahwa perairan sekitar pulau
konon sudah begitu menurun ‘kesehatannya’ akibat overfishing dan juga cara tangkap tidak ramah lingkungan. Memang
ini kabarnya juga terjadi dahulu, sekarang tidak lagi seperti itu. Dapat saya
mengerti jika sekarang tidak lagi dilakukan, karena memang ikannya sudah sangat
jauh berkurang. Saya buktikan dengan dua kali memancing di reef-reef dangkal
sekitar Bangkurung. Untuk reef denganjumlah lusinan dan luasnya mungkin ratusan
hektar terhampar di segala penjuru perairan, sangat sulit mendapatkan sambaran
dari ikan target saya. Hal yang sama dikeluhkan tukang kapal yang mengantarkan
saya. Jika ingin ikan yang banyak, setidaknya kita harus memancing di areal
laut dengan jarak tempuh 5 hingga 7 jam dari pulau. Berarti? Perairan sekitar
pulau ini sudah begitu rusak bukan? Tidak dijawab oleh tukang kapal saya hanya
meringis sambil menyuruh saya melemparkan umpan lagi. Mungkin rejeki kita tidak
baik hari ini. Rejeki ada dua hal jika kita sudah berusaha. Memang tidak ada
rejekinya, karena memang tidak mungkin rejeki itu datang. Dan atau memang kita
tidak dikasih meski sudah berusaha di tempat yang tepat.
Di kawasan reef yang
saya datangi waktu itu, yang saya lihat memang rejekinya (baca: ikannya) memang
tidak ada. Sebab dasar reef berupa terumbu karang sudah ‘halus’ yang
kemungkinan tersapu oleh ledakan bom ikan. Lalu bagaimana memberi makan dan
penghasilan ke generasi penerus jika lautnya sudah hancur? Bukankah seluruh
Pulau Bangkurung sangat tergantung dengan perairan ini? Ada usaha dari berbagai
pihak untuk menghentikan cara tangkap ikan yang merusak, dan saya jelas
mendukung dan mendoakan mereka supaya programnya lancar jaya dan berhasil.
Namun tidak dapat dipungkiri, apa yang telah terjadi di perairan Bangkurung perlu
waktu lama untuk kembali pulih. Pak Haji Rahman, juragan ikan dan sekaligus tuan
rumah kami selama di Desa Kalupapi menegaskan kondisi perairan Bangkurung ini
secara implisit. Kalau mau hasil bagus, sekarang kami ya harus memancing di
perairan Taliabo dekat Halmahera. Taliabo berjarak hampir lima puluh mil laut
dari Kalupapi!!
Secara tidak sengaja, saya merasa bahwa masa depan Pulau
Bangkurung ada di pegunungannya. Gara-garanya suatu hari kami (tim Jejak
Petualang Trans|7) begitu rindu sayuran segar, yang ternyata juga tidak
dimiliki oleh warga. Rupanya, sayuran yang dijual di Desa Kalupapi adalah
sayuran yang dikirimkan dari Luwuk yang notabene berada di darata utama
Sulawesi! Pertanian ternyata bukan bidang yang populer di Bangkurung. Padahal pegunungan
di pulau ini begitu luas dan hingga hari ini tidak dimanfaatkan secara
maksimal. Semua orang fokus ke laut! Pegunungan di Bangkurung hanya ditanami
kelapa untuk dibuat kopra, dan juga tanaman menahun lainnya yang kebanyakan
buah-buahan hutan yang memang aslinya sudha tumbuh disitu. Budidaya pertanian
belum ada yang menggarap, padahal say amelihat tanahnya sangat subur. Memang
pegunungan di pulau ini memiliki tanah yang tidak kuat karena berpasir. Tetapi
melihat lebatnya hutan di pegunungan Bangkurung, bukankah itu subur dan bisa
dimanfaatkan? Bayangkan misalnya 25 % saja warga Bangkurung mengolah lahan di
pegunungan, hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan non ikan warga
Bangkurung. Jika misalnya 50 % warga juga mengolah lahan yang ada, bisa jadi
hasilnya sebagian dapat dijual ke luar daerah. Sehingga ada sandaran baru
selain laut yang sudah mulai ‘pingsan’.
Menurut saya, pertanian setidaknya
dapat membantu menguatkan kehidupan masyarakat Bangkurung. Karena menurut saya
tidak masuk akal, seikat sayur kangkung segar, harus didatangkan dari Luwuk
dengan waktu tempuh sembilan jam. Padahal di belakang rumah di Bangkurung ada
pegunungan yang hanya dipenuhi tumbuhan
hutan! Jangan hanya menggantungkan kehidupan pada laut saja. Karena isi lautan
belum tentu abadi. Jika cara kita salah, meski lautan berisi miliaran ton ikan
sekalipun bisa tandas dan hanya menyisakan kisah hidup yang hanya indah ketika
dikenang, namun begitu pahit ketika dijalani sekarang. Salam!
* Pictures taken on April 2015. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments