Perburuan Pangan dan Kesetaraan Gender: Kemarau dan Musim Rempa di Danau Batu Desa Sigi, Kalimantan Tengah
Telah beberapa kali saya melihat proses rempa (jaring ikan) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di
berbagai daerah di Kalimantan. Uniknya selalu ada detail dan sesuatu yang baru
sesuai dengan kondisi geografis ataupun karakter perairan tawar yang menjadi ‘playground’
nga-rempa ini. Desa Sigi adalah desa kecil yang berada di jalur trans
Kalimantan yang menghubungkan Palangkaraya dan Kuala Kurun, ibukota Gunung Mas.
Jika menggunakan mobil perlu waktu sekitar 1 jam 15 menit, satu tahun lalu agak
lebih lama sebab ada ruas jalan sepanjang dua kilometeran yang rusak. Tetapi
bulan Juli lalu saya lihat jalanan sudah mulus semua, ruas jalan yang rusak
tersebut telah diperbaiki oleh dinas terkait dan semoga mulus selamanya.
Maksudnya semoga bukan proyek perbaikan jalan dengan perhitungan tertentu yang
akan rusak tidak lama lagi (dan kemudian diperbaiki lagi, begitu berulang terus).
Kawan mancing saya Guruh Dwi Saputra menjadi ‘pintu’ yang menghubungkan
saya dengan masyarakat Desa Sigi. Pemancing kelahiran Palangkaraya ini sering blusukan kesana mencari spot mancing
tomman. Jadilah dia kemudian dekat dengan masyarakat Desa Sigi, terutama
keluarga besar Bapak Balinga. Melalui tokoh desa ini pula lah kemudian saya
beserta tim mampu membuat banyak dokumentasi kegiatan masyarakat di Danau Sigi,
terutama terkait dengan musim kemarau yang juga ‘meledak’ di seluruh penjuru
negeri. Debit air di danau menyusut dengan drastis ketika musim kemarau,
membuat wilayah sebaran ikan menjadi lebih sempit. Ini yang membuat banyak warga
beraktifitas di danau ketika musim kering seperti sekarang ini.
Danau Batu, demikian masyarakat menyebut genangan air seluas
kurang lebih 6x lapangan bola tersebut. Tetapi tidak terlihat ada batunya sama
sekali. Yang terlihat hanya rimbunnya pepohonan berbatang unik di tepiannya,
terlihat sekali ini hutan kuno, dan warna air yang tidak pernah jernih. Air
danau ini selalu coklat keputihan, serupa dengan warna air di Sungai Kahayan.
Danau ini pada musim banjir memang menjadi salah satu luapan air dari Kahayan,
berikut juga lumpurnya. Hehehe. Mungkin kerana hal inilah, air di danau relatif
keruh sepanjang tahun, dan lumpur di dasarnya juga luar biasa. Hebatnya, populasi
ikannya tetap banyak! Nama Danau Batu ini diambil dari penemu pertama danau,
yang merupakan nenek moyang perintis Desa Sigi pada jaman dahulu. Konon hingga
hari ini sebenarnya, di tengah danau ini ada pintu gerbang besar terbuat dari
batu, tetapi hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu. Itulah kenapa nenek
moyang orang Desa Sigi menyebutnya ini dengan nama Danau Batu. Saya sendiri juga
tidak mampu melihat gerbang batu ini, malah tamu-tamu aneh yang cukup ‘mengganggu’
yang terlihat sepanjang dua hari suting di danau ini. Tetapi sudahlah, alam
kita dan mereka berbeda, toh niatan kami baik, membawa kegiatan masyarakat Desa
Sigi ke panggung televisi nasional.
Rempa, atau nga-rempa, setahu saya seringnya hanya dilakukan
kaum laki-laki saja. Dan saya tidak menyangka sama sekali bahwa request iseng
saya, bisa nggak kalau yang nga-rempa ibu-ibu, ternyata disanggupi oleh warga
dengan penuh semangat. Kami terbiasa melakukannya juga kata ibu-ibu Dayak Ngaju
ini. Wah cocok! Saya sering memikirkan, bahwa pekerjaan berat nga-rempa itu
hanyalah tanggung jawab laki-laki saja, rupanya tidak demikian dengan
masyarakat Sigi. Ada kesetaraan dalam kegiatan perburuan pangan yang dilakukan
mereka, pria dan wanita bisa saling berbagi bergantian melakukannya. Ini
menarik, mengingat di daerah lain banyak kaum perempuan yang leha-leha saja, dan cenderung enggan
melakukan pekerjaan berat, dan menimpakan semuanya ke kaum pria-nya saja. Saya
yakin ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, semoga. Bukan
maksud saya menyuruh kaum perempuan untuk selalu bekerja berat ya, tetapi
masalah saling berbagi dan bergantian dalam mencari bahan pangan (baca:
kehidupan) inilah.
Secara umum rempa yang diterapkan oleh masyarakat Desa Sigi
saat itu sebagai berikut. Karena danau ini cukup dalam, rempa hanya dilakukan
di sekitar tepiannya saja yang dangkal, paling dalam saat itu sedada orang
dewasa. Pertama jaring sepanjang tiga puluhan meter dipasang di ‘pintu’ sebuah
ceruk/teluk kecil di salah satu sudut danau, kedu aujungnya lalu diikatkan pada
tiang yang ditancapkan kuat. Kemudian rombongan rempa (waktu itu terdiri dari
empat ibu-ibu dan host kami Madhina Suryadi) mengambil kayu sepanjang satu
meteran, yang akan dipakai untuk memukul-mukul air. Kekacauan ini dimulai dari
tepian, mengarah menuju jaring yang dipasang di bagian danau yang lebih dalam.
Kekacauan ini dilakukan selama kurang lebih satu jam lamanya. Jika ada tepian
danau yang rimbun dengan ranting pepohonan, ataupun batang kayu yang terendam,
maka akan dikeroyok beramai-ramai supaya ikan yang bersembunyi ketakutan. Tujuan
kekacauan ini adalah menciptakan suasana panik terhadap ikan-ikan yang ada,
sehingga mereka akan berenang menghindar, dan kemudian menabrak jaring yang
telah dipasang sebelumnya.
Saya melihat beberapa detail yang menarik dalam kearifan
lokal yang dilakukan masyarakat Sigi ini. Pertama adalah ketika menutup tepian
terbuka, di dekat kedua ujung jaring. Cukup dibuat semacam pagar dari
ranting-ranting kayu, kemudian diperkuat dengan lumpur dari dasar danau. Kedua
adalah penggunaan kayu pemukul untuk mengacaukan air danau, ini juga diambil
dari sekitar tepian danau saja, itupun bukan batang yang masih tumbuh,
melainkan batang yang telah kering atau mati. Detail lainnya ya itu tadi,
struktur tepian yang rimbun ataupun struktur perlindungan ikan yang ada, akan
dikacau beramai-ramai oleh seluruh rombongan untuk memaksimalkan efek kekacauan
yang dilakukan. Semangat dan kerja keras jelas terpancar dari wajah-wajah
perempuan Sigi ini, dan bagi saya ini luar biasa, karena sejatinya pekerjaan
ini cukup berat. Belum kaki kita terjebak lumpur di dasar danau, belum jika
kaki kita terantuk batang tajam yang terendam, dan juga belum resiko lainnya
yang lebih besar. Pekerjaan ini dilakukan dalam rombongan, juga untuk
meminimalkan adanya insiden yang mungkin saja terjadi. Jika dilakukan
sendirian, selain berat juga hasilnya menjadi lebih sedikit. Dan kalau ada
sesuatu menimpa kita di danau, tidak ada yang menolong dengan cepat. Contoh
kejadian insiden di alam liar seperti ini misalnya; serangan binatang buas di
air, terjebak lumpur, tenggelam, dan juga akibat gangguan ‘aneh’ yang kadang
sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Tidak ada hasil yang pasti dalam setiap perburuan di alam
liar. Namun hari itu kami harus bersyukur karena mendapatkan beberapa ekor
jenis snakehead fish (tomman dan ikan
gabus) dengan ukuran yang cukup besar, berikut ikan-ikan jenis catfish seperti baung. Hasil selalu
disyukuri oleh masyarakat, tidak ada keluhan, semuanya gembira. Jika sedikit
hasilnya maka cukup akan dimasak sendiri untuk pemenuhan protein keluarga, jika
banyak sebagian dapat dijual di pasar lokal untuk ditukar dengan beberapa lembar
puluhan ribu. Dari nga-rempa beberapa jam di Danau Sigi ini saya melihat
potensi ikan air tawar yang dimiliki masih beragam dan danaunya juga cukup
sehat. Mungkin ini karena masyarakat menerapkan aturan ketat berkaitan
pemanfaatan yang boleh dilakukan. Hal-hal yang merusak di perairan tawar
mereka, seperti meracun dan menyetrum ikan, akan dikenai sanksi adat yang cukup
berat. Begitu juga aktifitas penangkapan berlebih yang berpotensi overfishing, akan diperingatkan karena
sejatinya danau ini adalah warisan abadi yang harus diteruskan manfaatnya kepada
generasi berikutnya. Kerennnn!
* Pictures taken on Juli 2015 by me & Eko Priambodo. No watermark on
the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial
purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without
respect!!!
Comments