Skip to main content

Wild Chef: Dawen Taya, Antara Sayuran, Obat, Racun dan Kemahiran Mengolah Pangan ala Dayak Ngaju





Ini adalah hal baru dalam ranah kuliner tradisional yang saya ketahui, padahal saya sudah merasa menjelajah kemana-mana ke seluruh penjuru negeri, padahal seingat saya saya juga bisa dan pernah makan apa saja. Tetapi ternyata keilmuan kuliner tradisional saya masih sangat dangkal. Yakni tentang pemanfaatan daun tanaman taya, atau dalam bahasa Dayak Ngaju disebut “dawen taya”. Tanaman taya, adalah tanaman berkayu keras yang relatif masih mudah dijumpai di Pulau Kalimantan. Kabarnya di Pulau Kalimantan, populasi paling banyak dari tanaman ini ya di Kalimantan Tengah ini. Di daerah lain, tanaman bernama Latin Nauclea orientalis ini juga banyak terdapat di Pulau Bali (disebut bengkel), di Boven Digul Papua dan juga di Pulau Timor. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan nama gempol. Di dunia dikenal dengan nama canary wood, cheese wood atau burr tree. Secara wilayah sebaran dapat dijumpai di beberapa negara Asia Tenggara hingga Papua Nugini dan Australia bagian utara. Berbatang kecil dan biasanya tumbuh di hutan dataran rendah terutama di sekitar daerah aliran sungai besar dan di tepian rawa-rawa. Tanaman ini tergolong tanaman meluruhkan daun dengan rotasi tetap berdaun tunggal. Lebih dahulu dikenal dalam dunia pengobatan tradisional untuk menyembuhkan mual akibat gangguan pencernaan.Selama beberapa tahun menjelajahi beberapa sudut Kalimantan, baru di Desa Sigi (satu setengah jam menggunakan mobil dari Palangkaraya) saya menemukan pemanfaatan secara masif terhadap daun taya ini untuk dijadikan bahan sayuran khas. Saya yakin masyarakat Dayak di daerah lain di Kalimantan juga dimanfaatkan seperti halnya dilakukan masyarakat Desa Sigi, hanya saja saya tidak mengetahuinya.

Baiklah lupakan definisi detail tentang tanaman taya ini, biarlah itu menjadi hak para ahli tanaman yang lebih mumpuni menjelaskannya sesuai dengan bidang keilmuannya. Yang pasti dari hasil pengamatan saya terhadap tanaman ini di Desa Sigi, tumbuhnya (ini kalau tumbuh alami di hutan ya...) bergerombol, jadi dalam satu titik bisa terdapat beberapa batang. Batangnya juga tidak besar, paling besar hanya seukuran lengan orang dewasa. Tumbuh bergerombol ini mungkin akibat proses penyebaran bijinya yang lebih banyak dilakukan oleh pergerakan air rawa ketika musim bergenti. Bentuk daunnya tunggal dengan permukaan daun agak kasar. Kalau diremas daun taya ini akan mengeluarkan bau pahit atau seperti anyir, layaknya daun yang rasanya pahit lainnya. Karena batangnya tidak besar, dan juga tumbuh di tanah lunak khas rawa (yang artinya akarnya tidak seberapa kuat), memetiknya cukup mudah, cukup raih pucuk batangnya dan kemudian lengkungkan batang ini, dan kita bisa leluasa memilih daun yang dapat diolah (biasanya yang berwarna hijau murni, bukan hijau kekuningan).

Di Desa Sigi tanaman ini banyak tumbuh di rawa-rawa sekitar Danau Batu, danau kuno yang menjadi hak ulayat masyarakat Sigi dari generasi ke generasi. Oleh karenanya waktu itu kami membuat dokumentasi di kawasan rawa ini (saat itu mengering karena kebetulan sedang puncaknya kemarau, hanya beberapa bagian  rawa saja yang tergenang air seperti comberan dan banyak sekali nyamuknya). Hutan di kawasan rawa sekitar Danau Sigi ini ditumbuhi dengan pohon-pohon kuno dengan kondisi batang yang cukup aneh karena terendam air secara konstan saat musim penghujan. Sekilas seperti sebuah tempat menyeramkan yang sering dijadikan setting lokasi film-film horror. Ditambah dengan jelasnya tanda surut yang menempel di setiap batang-batang berbentuk aneh tersebut, suasana yang tercipta di hutan rawa sekitar Danau Sigi ini memang menjadi singlu atau mistis. Entah kebetulan atau tidak, ini melenceng sedikit dari tema kuliner, selama suting di lokasi ini saya diikuti terus oleh seorang perempuan berambut panjang entah siapa (bisa jadi kuntilanak), dan juga malamnya dia masih mencoba mendatangi saya ke tempat menginap saya dengan penampakan yang cukup menyeramkan tetapi menggoda dengan menawarkan sesuatu yang menggiurkan jika saya mau menuruti kemauannya. Untungnya saya memiliki keteguhan yang cukup, dan dia pun pergi menghilang ditelan kegelapan malam. Padahal lokasi danau ini hanya setengah kilometer saja dari pusat desa, dan bahkan hanya beberapa ratus meter saja dari jalan raya Trans Kalimantan Tengah yang menghubungkan kota Palangkaraya dan Kuala Kurun (ibukota Kabupaten Gunung Mas).

Lokasi tanaman taya yang kami pilih kemudian adalah yang berada di tepian terluar garis batas air ketika penghujan tiba, jadi pohon-pohon besarnya yang aneh itu sudah tidak ada. Ini juga untuk memaksimalkan warna tanaman sebab sinar mataharinya melimpah, dan pengambilan gambar juga mudah karena relatif terbuka. Daun taya yang diambil ternyata tidak perlu banyak-banyak, secukupnya saja disesuaikan dengan banyaknya bahan campuran yang ada. Ibu-ibu yang menyertai kami rupanya sudah menyiapkan sekitar 3 kilogram daging ikan baung dan haruan, jadi daun taya yang diperlukan kurang lebih hanya dua genggam orang dewasa saja. Prinsip mengambil secukupnya ini juga dilandasi oleh kenyataan, daun ini juga tidak bisa disimpan lama layaknya daun pepaya atau daun singkong misalnya. Daun taya yang baik untuk dimasak hanyalah daun taya segar. Taya adalah tanaman berdaun pahit, layaknya kita memakan daun pepaya dan atau pare/paria. Namun pahitnya daun taya ini bisa berlipat-lipat jika terlalu lama disimpan dan kemudian dimasak lagi setelah lama berselang dari pemetikan. Memetik secukupnya ini juga dilandasi oleh semangat sustainable masyarakat desa yang ingin semua bahan pangan yang diperlukan terus ada di hutan, dan bisa terus diambil kapan saja oleh siapa saja.

Tulisan saya makin ngawur kemana-mana, tampaknya saya lelah. Intinya begini, daun tanaman taya ini sangat populer di masyarakat Dayak seperti umbut ilatung/juhu singkah. Baik itu masyarakat jelata di pedesaan hingga para pejabat, asalkan mereka memang asli Dayak saya yakin menyukai sayuran ini. Untuk cara memasaknya kalau orang Kristen akan mengkombinasikannya dengan daging babi atau ikan, kalau Dayak yang muslim akan mencampurnya dengan ikan atau daging sapi. Intinya harus ada campurannya berupa daging. Sangat jarang dimasak layaknya urap atau kulup di tanah Jawa yang hanya direbus kosong begitu saja. Cara memasaknya pun cukup unik (secara bumbu-bumbu biasanya selalu dimasak dengan di-kuah asam, kuah asam ala Dayak ini agak kental dan penuh cita rasa, berbeda dengan sayur asam ala Jawa), sesaat sebelum ikan/daging yang dijadikan sayuran matang (biasanya satu menit terakhir), maka akan dicampurkan daun taya ini ke dalam kuah asam tersebut. Jadi daun taya matang sekedarnya dan bukan matang seperti sayur lodeh di Jawa. Tekstur daunnya masih cukup tegas, tetapi warna hijau dan klorofil daunnya telah mati akibat terendam panas tinggi dengan cepat. Kalau kelamaan merebus daunnya ini, ujar ibu-ibu Desa Sigi, kuah asamnya akan menjadi sangat pahit, begitu juga daun tayanya akan menjadi lebih pahit. Bisa menjadi racun kalau terlalu pahit, kata mereka. Nah kalau rasa kuah asam ikan dengan daun taya ini, asalkan benar cara memasaknya, rasanya lagi-lagi memang luar biasa! Nikmat, segar meski ada rasa sedikit pahit! Silahkan Anda mencobanya suatu saat. Pahit yang ada tidak seberapa dibandingkan segudang manfaat yang konon dimiliki oleh daun taya ini. Salam petualang!



















* Pictures taken on Juli 2015 by me & Eko Priambodo. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments