Mencoba mengais kembali ingatan, dari liputan pertama saya bersama program Jejak Petualang, salah satu program petualangan di Trans|7, usai bertahun-tahun mengurus kuliner tradisional bersama Jejak Si Gundul. Perjalanan ini terjadi pada bulan Juni 2014, ke daerah Kalimantan Selatan, tepatnya di daerah Kandangan. Yaitu di desa Padang Batung, yang berada di tepian aliran Sungai Amandit, sebuah sungai yang bersumber di Pegunungan Meratus, salah satu pegunungan kesohor di Kalsel karena menjadi salah satu kawasan tempat tinggal masyarakat Dayak Meratus. Mungkin Dayak Meratus adalah etnik Dayak paling besar di wilayah Kalsel.
Jauh sebelum perjalanan ke Sungai Amandit kami lakukan,
beberapa tahun sebelumnya, saya melihat dalam beberapa perjalanan yang sama ke
daerah Kalimantan Selatan, bahwa masyarakat Suku Banjar, memiliki sebuah
‘budaya’ yang kuat terkait sekitar perairan tawar mereka. Ada semacam budaya di
sekitar perairan tawar mereka yang ingin saya sebut dengan Budaya Maiwak Urang
Banua, orang Suku Banjar. Budaya Maiwak, maksud saya adalah cara tangkap atau
cara perburuan terhadap spesies ikan-ikan air tawar yang dilakukan oleh
masyrakat Banjar. Ini berbeda-beda dan menurut saya, mungkin karena say acinta
mati dengan dunia perburuan ikan, sangat menarik. Setiap kegiatan mereka selalu
memiliki keunikan tersendiri yang rasanya sulit dicarikan padanannya di daerah
lain.
Melalui bantuan beberapa rekan sportfisher dari Kota Baru, Banjarmasin, saya bisa mengakses
masyarakat desa Padang Batung di dekat kota Kandangan. Waktu itu bulan
ramadhan, tetapi berkat bantuan luar biasa tersebut niatan mendokumentasikan
budaya maiwak ini dapat kami lakukan. Salah satu rekan sportfisher yang
membantu kami adalah Haji Dia, seorang rekan yang saya kenal cukup lama dari
komunitas mancing di Kalimantan Selatan. Host yang ikut dalam trip ini adalah
Vika Fitriyana, gadis kelahiran Medan berdarah Batak. Musim kemarau sedang
ganas-ganasnya saat itu, namun saya melihat semangat yang luar biasa dari host
ini saat bertugas. Padahal dia sendiri saat itu menjalankan ibadah puasa, tidak
seperti saya yang meski panas masih bisa bertahan karena memang tidak puasa.
Thank you nona, mungkin engkau tidak akan membaca catatan iseng ini. Tetapi
salut itu masih ingin terucapkan.
Adalah kegiatan yang disebut dengan bumbun yang membawa kami terjun ke Sungai Amandit. Kegiatan
perburuan menombak ikan dengan tombak bertangkai bambu bermata tiga yang
disebut dengan nama serapang. Perburuan
ini unik karena kental sekali nuansa lokalnya, hal yang selalu menarik saya
dalam setiap perburuan yang dilakukan oleh masyarakat. Kearifan lokal! Proses bumbun dimulai dengan pencarian
bahan-bahan membuat bumbun; kayu dan dedaunan. Kayu terdiri kayu besar untuk
membangun konstruksi bumbun, dan juga tiang-tiang bumbun. Dedaunan bisa terbuat
dari dedaunan lebar semisal daun pisang atau dedaunan lainnya, intinya yang
bisa dibuat untuk menjadi ‘atap’ bumbun. Lokasi membangun bumbun adalah tepian
berarus kecil tetapi yang tidak terlalu dalam, tentunya setelah dilakukan mapping sederhana, bahwa titik tersebut
cukup potensial. Dalam artian menjadi jalur perlintasan ikan-ikan.
Ketika bangunan bumbun telah jadi, bentuknyasebenarnya
adalah gubuk yang didirikan di atas aliran air sungai. Menyerupai tenda darurat
orang Indian, tetapi ini didirikan di atas air. Biasanya muat untuk satu orang
saja. Konsep dasar perburuan ini adalah; saat hari panas, ikan-ikan yang lalu
lalang sepanjang suangi selalu mencari struktur perlindungan yang teduh untuk
berlindung. Bumbun ini istilahnya membuat perlindungan ikan dadakan, sehingga
ikan yang melintas tertarik untuk singgah berlindung. Saat singgah inilah
kemudian ditombak dengan serapang oleh
pemburu yang memang telah nongkrong
di dalam bumbun. Inilah kelebihan manusia, selalu ada cara untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh mereka. Caranya terkadang sangat unik dan
penuh kreatifitas. Perburuan ini memang tidak dilakukan oleh banyak orang,
karena perlu effort yang tidak ringan dan ketrampilan yang baik dalam menombak
ikan yang berenang. Hasilnya juga tidak selalu bisa diharapkan. Tergantung
rejeki, tergantung banyak hal yang terjadi dengan sungainya ketika perburuan
dilakukan. Saat itu ikan yang kami dapatkan ada beberapa jenis barb fish
seperti hampala dan lain sebagainya.
Yang membuat saya salut bukanlah hasil yang didapatkan.
Tetapi pada cara tangkap yang penuh kearifan lokal dengan kesadaran sustainable fishing (baca: memburu ikan
secara berkelanjutan) yang kuat ini. Dengan cara yang tidak mudah ini,
masyarakat mengamankan ekosistem untuk jangka waktu yang sangat lama, sehingga
potensi yang ada dapat diwariskan ke generasi penerusnya. Hasil yang tidak
selalu bisa diharapkan, menjadi contoh laku hidup yang tidak mudah menyerah dan
pantas diteladani. Puji Tuhan, masih ada di jaman seperti ini cara tangkap yang
penuh kearifan tradisional seperti ini. Menyejukkan hati saya karena di daerah
lain semakin banyak yang memilih jalan pintas; menyetrum ikan, meracun ikan,
dan lain sebagainya demi hasil besar tetapi sangat merusak ekosistem. Semoga bumbun ini bisa menginspirasi siapapun
yang kehidupannya terkait erat dengan perairan tawar yang ada di sekitar
mereka. Percayalah, sekecil apapun sumbangan kita pada kelestarian potensi
perairan di sekitar kita, tidak akan pernah sia-sia. Salam wild fishing!
* Pictures taken on June 2014 by me. Otherwised mention. No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures
without respect!!!
Comments