Skip to main content

Budaya Maiwak Urang Banua Part 2: Desa Pembuat Lukah di Nagara, Kandangan, Kalimantan Selatan


Perjalanan saya mendokumentasikan budaya maiwak Urang Banua, membawa saya ke daerah Nagara di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Saat itu daerah Nagara kami akses dari kota Kandangan, lokasi sebelumnya dimana kami mendokumentasikan kegiatan bumbun, menangkap ikan dengan gubuk unik dan alat tangkap berupa serapang, tombak bermata tiga. Jalanan yang cukup sempit mewarnai perjalanan kami menuju Nagara ini, dalam beberapa kesempatan cukup merepotkan ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Bahu jalan juga terlalu tinggi, jadi kalau kita menepi terlalu jauh sedikit merepotkan, apalagi kanan-kiri jalan kebanyakan adalah rawa-rawa. Begitu juga ketika kami tiba di desa (say alupa namanya) para pembuat lukah, alat tangkap ikan kecil berbentuk memanjang dari anyaman bambu. Di Jawa secara umum alat ini disebut dengan nama bubu. Tetapi sebenarnya alat tangkap ikan kecil jenis ini bentuk dan ukurannya bisa sangat beragam, kalau yang berukuran kecil, macam torpedo ini disebut lukah. Lukah ini khusus untuk menangkap ikan-ikan kecil, size up 1 kilograman.

Saat itu sedang musim kemarau, rawa-rawa sebenarnya banyak yang mulai mengering. Kondisinya jauh berbeda dengan ketika musim air atau musim penghujan, dimana rawa-rawa sangat luas dan dalam. Nah ketika musim kering, aktifitas penangkapan ikan jarang dilakukan oleh masyarakat karena debit air yang menyusut menyulitkan mobilitas menjelajahi rawa-rawa. Ikan kebanyakan terkonsentrasi di genangan-genangan yang dalam, tetapi lokasinya banyak yang terisolasi. Masyarakat nelayan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan memanfaatkan momen ini untuk membuat alat tangkap sebanyak-banyaknya, yang akan digunakan untuk musim air yang akan datang. Jika hasil produksinya sangat banyak, sebagian alat tangkap yang dibuat bisa dijual ke daerah lain. Untuk daerah Kalimantan Selatan, lukah buatan dari Nagara ini sangat terkenal. Pengiriman dalam jumlah besar sering dilakukan ke berbagai daerah.

Bambu untuk membuat lukah adalah jenis bambu “pair”, atau yang di Jawa disebut bambu apus. Jenis bambu tipis tetapi bisa berukuran besar. Bambu ini cukup lunak ‘daging’-nya, tetapi ketika sudah tua sangat kuat dan apalagi jika terendam air, akan semakin kuat. Di Jawa seringnya kalau di desa-desa sering dibuat untuk membuat reng, penyangga genteng rumah-rumah di kampung-kampung. Untuk membuat lukah, bambu biasanya telah melalui beberapa tahapan yang cukup standar; dipotongin, dibelah dalam panjang dan ukuran tertentu, dan lain sebagainya. Ketika telah dijemur beberapa hari potongan bambu kemudian dibakar tetapi dengan api yang sangat kecil, lebih tepatnya diasapi. Pengasapan ini untuk mematikan binatang kecil yang menempel, yang mungkin saja akan ‘memakan’ bambu di masa mendatang, juga untuk menghaluskan, menghilangkan sisi tajam dan juga serabut halus yang tajam serat bambunya. Paling sulit dan menarik bagi saya adalah proses mengasapi bambu ini. Proses ini tidak bersahabat dengan mata dan tenggorokan kita, tetapi menjadi salah satu penentu kekuatan dan kualitas bambu yang akan dipakai untuk membuat lukah. Baru setelah itu dianyam dengan kerapatan tertentu hingga menjadi lukah. Satu buah lukah jika dikerjakan tenaga yang telah terlatih, bisa diselesaikan dalam dua atau tiga hari.

Yang menarik dari Desa Lukah ini, ketika musim kemarau tiba, semua warga mengerjakan hal yang kurang lebih sama. Pria, wanita, bocah, dewasa akan saling bahu membahu dengan segala kemampuan yang bisa dikerjakan dalam ‘budaya maiwak’ ini. Produksi massal ini ditopang denga suplai bambu bahan yang didatangkan dari Desa Loksado, di lereng Pegunungan Meratus (pengiriman bambu dilakukan melalu Sungai Amandit). Sungai dimana saya dan tim pernah mendokumentasikan kegiatan masyarakat yang disebut bumbun. Produksi lukah yang dilakukan masyarakat berlangsung massal dengan jumlah produksi berskala besar, dan hebatnya, mampu menjadi sandaran ekonomi warga di saat kemarau tiba. Saat dimana ikan-ikan sulit didapatkan dan musim yang berubah menuntut masyarakat menyikapinya dengan kearifan lokal. Salam wild fishing!










* Pictures taken on June 2014 by me. Otherwised mention. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments