Kesetiaan di Danau Ayamaru: Raba-raba Ikan Air Tawar di Danau Karts Tertinggi di Papua & Hilangnya Rainbow Fish
Dahulu sekali kabarnya Bung Karno pernah berkunjung dan
tinggal ke Ayamaru, rumah yang pernah ditinggali ini dijadikan cagar budaya.
Danau Ayamaru juga tercatat sebagai sakah satu lokasi pendaratan kendaraan
amfibi jenis beavier pada masa PD 2. Danau Ayamaru tergolong dalam danau
yang termasuk dalam aliran kaskade tipe paternoster atau berada di elevasi yang
mengalami penurunan secara bertahap. Ini terjadi akibat tumpukan lempeng
Pasifik dan lempeng Australia yang bertabrakan. Sebagai danau karts, Ayamaru
tidak mampu menampung limpahan air pada waktu musim hujan, jadi saat kemarau
airnya tersisa sedikit. Danau termuda di kompleks Ayamaru disinyalir berusia
10,000 tahun. Mata air pramu memiliki
warna air yang sangat jernih seperti air di laut yang bersih. Total luas
Ayamaru adalah 890 hektare dengan kedalaman air saat ini menurut warga tidak
sampai dua puluhan meter.
Danau Ayamaru merupakan habitat ikan endemik Melanotaebia boosemani, M. Ajamaruensis, dan M. Fasinensis. Ikan-ikan yang dikenal
sebagai Rainbow fish of Papua ini pada tahun 1990-an banyak dieksploitasi
besar-besaran karena banyaknya permintaan dari luar negeri akan ikan hias dari
Papua. Kini populasi spesies cantik tersebut sudah menurun sangat drastis dan
kondisi habitatnya juga cukup memprihatinkan. Tokoh Masyarakat Ayamaru, Johnson
Salossa, seperti dikutip Antara
pernah mengatakan bahwa biota air tawar dari Danau Ayamaru dulu pernah menjadi
bahan yang sangat penting untuk kontak atau transaksi antara masyarakat Ayamaru
dengan masyarakat luar dengan sistem barter tradisional atau sistem kona. Pada masa lalu, Danau
Ayamaru juga menjadi persinggahan burung flamingo
yang bermigrasi dari Australia. Namun kini sang flamingo juga sudah jarang
singgah dalam jumlah besar seperti dahulu. Ikan rainbow fish apalagi, sudah
cukup lama menghilang dari pandangan mata, kemanapun kita menjelajahi perairan
tawar di danau ini. Mungkin masih ada sebenarnya, tetapi sangat sulit
menemukannya karena populasinya sudah tidak sebanding lagi dengan luasnya
danau.
Pada tahun tersebut (2014 maksud saya) debit air di Danau
Ayamaru menurun secara drastis, saya berpikir mungkin karena kemarau, tetapi
ternyata bukan karena itu. Dari pengamatan saya mungkin hampir 50% lebih air
danaunya menghilang. Menurut penuturan beberapa warga Kampung Woman, hal ini
diakibatkan oleh gempa besar yang pernah terjadi sekitar tahun 1990an. Gempa
ini menciptakan retakan besar di tengah danau, sehingga air danau menghilang
entah kemana. Saat momen ini terjadi, warga menuturkan, air danau seperti
berputar dengan sangat kencang membentuk pusaran air raksasa, menandai
menghilangnya sebagian air danau. Kini retakan atau crack di tengah danau
tersebut sudah mulai tertutup lumpur sehingga tidak ada lagi pusaran air yang
berbahaya tersebut. Tepian danau yang mulai mengering menciptakan rawa karts
maha luas di seluruh penjuru danau. Rawa-rawa ini sangat spesifik, berpasir
putih dan berair sangat jernih. Jika kita berjalan di atasnya, air yang
sebening air mineral tersebut bisa tiba-tiba bisa berubah seperti baru saja
ditumpahi tepung terigu. Tetapi beberapa detik kemudian bisa jernih kembali
dengan cepat. Kami pernah menjelajahi mungkin 10% di luas rawa-rawa ini dengan
berjalan kaki (dengan back up sampan warga), menurut saya, yang berbahaya di
rawa-rawa ini adalah adanya kemungkinan areal lumpur hisap ataupun hole dalam yang mematikan. Saat kami
menjelajahi rawa-rawa di bawah Kampung Woman tersebut tak heran waraga mem-back
up kami dengan tujuh sampan yang mengiringi pergerakan kami.
Kegiatan yang kami dokumentasikan di sekitar Danau
Ayamaru saat itu adalah; menombak ikan, meraba-raba ikan, dan kemudian memasak
ikan dengan campuran buah merah, buah khas Papua. Yang akan saya sertakan di
catatan ini adalah tentang meraba-raba ikan air tawar yang uniknya, hanya
dilakukan oleh kaum perempuan sekitar Danau Ayamaru. Kami memilih ibu-ibu penuh
semangat dan juga berisik dari Kampung Woman yang memang biasa melakukan raba-raba. Raba-raba adalah aktifitas
handfishing (menangkap ikan dengan tangan kosong) ala masyarakat sekitar Danau
Ayamaru. Dokumentasi kegiatan masyarakat di sekitar danau sebenarnya hampir
dibatalkan, karena kejadian paling aneh yang pernah saya alami sepanjang
bekerja di media. Saat mobil kami sampai di sebuah desa, menepi dan kami turun
untuk melihat danau serta mencari tahu informasi dari warga sekitar, sembari
mengusir penat usai long ride dari Sorong, tiba-tiba kami didatangi oleh
serombongan orang yang kemudian memaki-maki dan memarahi kami dan memberi
kuliah tentang sopan santun dan tata krama. Yang intinya meminta kami meminta
ijin dan lain sebagainya yang entah apalagi saya lupa. Kabarnya danau ini milik
keturunan bla bla bla dan seterusnya. Tetapi setelah kami bilang dengan santai,
kami mau suting keunikan danau ini beserta masyarakatnya, dan justru ini kami
sedang mencari informasi kepada siapa kami harus meminta bantuan, dan yang
terlibat mendapatkan imbalan wajar uang lelah, semua gembira dan tertawa. Saya
mulai dengan bertanya sewa kano per hari, mereka menyebut angka ‘gila’ 1 juta
perhari. Saya tawar Rp 150rb, dan deal!
Jika tidak ada deal ini dan makian dan sumpah serapah itu terus berlangsung,
mungkin kami jadinya akan suting program kontroversi, dan bukannya suting
potensi dan kegiatan unik masyarakat pedalaman.
Kembali ke raba-raba.
Teknik primitif fishing ini kurang lebih sama sebenarnya dengan di daerah lain.
Warga mengambil posisi agak jauh ke arah ‘hilir’ aliran salah satu sungai kecil
(yang juga sudah mulai dangkal), tetapi airnya memang luar biasa jernih dan
dingin, kemudian bergerak menuju ke arah hulu atau ke arah mata air. Sambil
bergerak dalam rombongan tersebut, mereka mengacau dan membuat kegaduhan di sepanjang
jalur yang mereka lalui, sembari meraba-raba (yang kemudian dijadikan nama
teknik/kegiatan ini) dasar sungai dan tepian sungai yang berumput ataupun
memiliki struktur perlindungan. Ikan yang panik biasanya akan bergerak liar dan
cepat, dan kemudian berdiam diri di salah satu titik perlindungan baik di
tengah maupun di tepian. Disitulah kemudian dilakukan pengepungan beramai-ramai
oleh ibu-ibu Kampung Woman tersebut. Jika beruntung ibu-ibu bisa mendapatkan
ikan mas, mujaer, nila dan juga ikan gabus. Ikan-ikan yang diintroduksi oleh
pemerintah, sebagai solusi atas menghilangnya populasi ikan di Danau Ayamaru
bertahun-tahun belakangan ini. Agak aneh sebenarnya, jauh-jauh ke Papua, naik
gunung dan lain sebagainya, ketika menangkap ikan yang kita dapatkan ikan mas
dan juga ikan gabus. Tetapi inilah kenyataannya. Warna sisik ikan-ikan tersebut
memang menjadi lebih terang dan bersinar, akibat warna air danau yang sangat
bening. Yang menghibur saya selama kegiatan ini adalah semangat luar biasa,
candaan, dan kegilaan dari mama-mama Kampung Woman yang begitu gempita dan
meriah ‘mengacau’ seluruh penjuru areal yang kami dokumentasikan. Yang pasti,
kami juga tidak melihat satu ekor ikan pun rainbow fish. Padahal saya ngebet sekali ingin mendokumentasikan
ikan cantik ini di habitat aslinya di Danau Ayamaru.
Ikan-ikan air tawar seperti ikan mas dan nila yang
diintroduksi ke Ayamaru, dan terutama ikan predator jenis gabus (keluarga snakehead
fish) juga memiliki peran siginifikan menghambat pulihnya kembali populasi
rainbow fish di Ayamaru. Pertama adalah tingginya kompetisi mencari makanan
yang sekarang tercipta di danau tersebut. Padahal secara debit air, dan luas
permukaan air di danau jelas sudah berkurang secara drastis. Khusus untuk ikan
gabus, kehadirannya menjadi marabahaya terbesar sebab ikan ini merupakan ikan
predator (hidup dengan memangsa ikan lain). Rainbow fish yang imut tentu bukan
tandingan ikan gabus yang di perairan tawar merupakan saudaranya top predator
freshwater fish, ikan tomman (Giant snakehead). Saya sedikit heran dengan
program introduksi ikan gabus ke perairan Ayamaru ini. Apakah mereka entah
siapapun itu tidak memperhitungkan kemungkinan pulihnya rainbow fish yang
termahsyur itu? Tetapi sudahlah, yang pasti kegiatan raba-raba ini sukses besar dan meriah, serta mendapatkan hasil yang
cukup menghibur. Sebagai penutup, semua ikan yang kami dapatkan kemudiana kami
masak dengan buah merah. Meski kami tidak kebagian rasanya seperti apa, karena
semuanya tiba-tiba habis oleh puluhan warga yang datang entah darimana ketika
masakan baru saja diangkat dari atas kompor. Hehehehe!
* Pictures taken on August 2014 by me. Otherwised
mention. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce
(especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money
with my pictures without respect!!!
Comments