Skip to main content

Sero Ikan Pulau Bangkurung: Kearifan Lokal Perburuan Mengikuti Pasang Surut Laut


Catatan kecil dari trip ke Pulau Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, bulan April lalu. Pulau Bangkurung lumayan terisolasi, kami harus mengaksesnya selama sembilan jam dengan kapal kayu dari kota Luwuk (rata-rata kecepatan kapal antara 7-9 knot). Itupun setelah nego alot selama dua hari, karena kapal kayu belum ada penumpang, kami terpaksa merogoh kocek lebih dalam agar kapal kayu mau berlayar meski tidak ada penumpang. Istilahnya asal kapal tidak tekor bbm-nya. Tetapi kami kemudian minta syarat, kapal kayu tidak boleh singgah di setiap desa di jalur konvensional dia selama ini untuk mengambil penumpang. Daaan saya pikir bisa lebih cepat dua jam misalnya, tetapi tetap saja, kapal ternyata dibuat berjalan lambat untuk menghemat bbm (jadi kapal tetap bisa untung dari bbm) dan kami tiba di Pulau Bangkurung sembilan jam kemudian. Untungnya cuaca sedang bersahabat. Perjalanan yang membosankan dan bising kami isi dengan tidur, dan ngobrol ngalor-ngidul dengan 7 warga Bangkurung yang ikut menumpang dari Luwuk, sudah dua hari mereka ‘terjebak’ di Luwuk dan harus pulang karena kehabisan bekal. Kami tidak tega untuk tidak mengangkutnya bersama kami. Ada ibu-ibu yang usai menjual hasil bumi, ada yang dari berobat, ada yang dari berkunjung ke saudara di Luwuk. Orang-orang yang ramah meski bahasanya tidak sepenuhnya kami pahami.

Kami menumpang menginap di rumah keluarga Haji Rahman, di Desa Kalupapi. Salah satu desa tersibuk dari tujuh desa di Bangkurung. Kegiatan masyarakat yang kami dokumentasikan banyak sekali di tujuh desa tersebut; muara larangan desa Boniton, ndaeng Desa Kanari, serbuk baru Desa Boniton, mancing ikan nanas (escolar) dengan nelayan Kalupapi, dan lain sebagainya. Salah satunya yang mengerahkan massa dalam jumlah besar dari dua desa adalah kegiatan membangun sero ikan yang dihandle oleh dua desa yakni Boniton dan Dungkean. Desa Dungkean dengan ‘komandannya’ bernama Pak Harsono, mungkin adalah desa paling penuh semangat dalam kegiatan ini. Dengan sukarela puluhan warga membantu kami dua hari membangun dan memanen sero ikan sehingga kami mendapatkan dokumentasi menyeluruh tentang cara tangkap ikan secara tradisional ini. Padahal, panas matahari seperti membakar kepala, padahal seharusnya perlu waktu seminggu membangun sero ikan itu. Tetapi semua bisa kami push hingga akhirnya selesai selama dua hari saja. Mereka tidak akan membaca catatan kecil ini, tidak ada sinyal seluler di Bangkurung, apalagi sinyal 3g untuk internetan. Tetapi semangat yang mereka tunjukkan saat itu begitu membekas dan saya ingin mengenangnya secara khusus di blog iseng ini.

Sero ikan pada dasarnya adalah cara tangkap ikan di pantai secara tradisional yang memanfaatkan pergerakan pasang surut air laut. Bentuk sero ini berupa puluhan tiang yang ditancapkan di titik tertentu yang potensial, kemudian diberi ‘dinding’ berupa jaring yang kuat atau jaring khusus untuk sero ikan. Pola atau skema sero biasanya terdiri dari riga bagian; bagian muka yang lebar untuk mengarahkan ikan menuju bagian kedua serupa kolam di tepian, dan terakhir adalah bagian paling ujung yang sempit seperti rumah ikan yang terendam. Saya lupa istilah bagian-bagian ini dalam bahasa Banggai-nya. Setiap ikan masuk ke bagian ujung ini sudah tidak akan bisa keluar lagi. Saat air pasang, ikan-ikan banyak yang bermain di tepian, tetapi saat sedang surut ikan akan mengiuti arus kembali ke tengah, saat momen seperti inilah ikan-ikan bisa terjebak ke sero karena skema sero yang ‘menjebak’ tersebut. Cara tangkap ini cukup lazim dilakukan oleh masyarakat nelayan lain di seluruh Indonesia. Hanya saj abentuk skema dan targetnya saja yang berbeda-beda. Kelebihan sero ikan, sekali membangun, dapat dipakai selama satu hingga dua tahun kemudian. Itulah sebabnya dipilih kayu yang tahan air laut dan jaring yang sangat kuat. Pemilik sero cukup memeriksa isi sero dalam waktu tertentu saja, ini juga hemat tenaga dan bbm. Berbeda dengan nelayan laut lepas yang harus bolak-balik laut dan daratan tetapi belum tentu dengan hasil yang sepadan. Hasil sero ikan juga tidak selalu bisa diharapkan, karen abanyak faktor yang mempengaruhi. Tetapi yang pasti ini hematnya daripada borosnya. Bonus terkadang juga didapatkan berupa tangkapan dalam jumlah ton saat musim ikan sedang meledak dan gerombolan ikan banyak yang bermain ke tepian laut.

Ada beberapa kearifan lokal yang saya tandai dalam sero ikan Desa Dungkean ini. Pertama, gotong royong yang luar biasa dari seluruh warga desa. Kaum lelakinya bekerja, ibu-ibunya menyiapkan sarapan dan makan siang. Ada semacam ‘mistik’ dalam pemilihan kayu untuk membangun sero ikan. Setidaknya terdapat dua kayu dari hutan yang dililit oleh tanaman merambat. Penjelasan mereka, tanaman merambat saja menyukai kayu ini, harapannya ikan-ikan juga akan menyukai sero ini sehingga hasilnya bisa diharapkan. Kemudian ikatan yang diterapkan untuk membangun sero ikan adalah ikatan ‘hidup’ dengan menggunakan tali dari tanaman merambat yang diambil dari hutan. Penjelasannya lumayan filosofis, sero ikan ini ibarat perjalanan manusia, tidak boleh diikat terlalu kuat supaya bisa hidup dan berkembang. Begitu juga sero ikan, kalau mau mendapatkan hasil bagus dan dapat ‘berinteraksi’ dengan lautan, tidak boleh juga diikat mati. Yang terakhir yang juga menarik untuk saya sebutkan disini, skema sero yang dibangun saat itu bentuknya adalah ‘love’, skema yang tidak pernah dibuat oleh orang Bangkurung manapun. Persembahan warga desa untuk kami tim ‘berani mati’ dari Jakarta yang tanpa diundang mengetuk pintu rumah mereka dan ngomporing mereka untuk membangun sero ikan dengan waktu yang terbatas. Usut punya usut skema sero yang ‘love’ ini request dari bapak kepala desa, kata beberapa warga karena presenter kami saat itu Vika Fitriyana begitu berkilau. Sepertinya Pak Kades sudah siap untuk tidak menjabat lagi. Hehehehe!




















 * Pictures taken on April 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments

Kami Kanari said…
.. Terimakasih telah mengabaikan momen ini,
salam dari kami, warga Desa Kanari