Skip to main content

Makanan Yang Selalu Bisa Menyatukan Masyarakat: Kulit Kayu dan Tradisi Kuliner Tanpa Bumbu ala Suku Wana, Sulawesi Tengah



Sepertinya saya ‘ditakdirkan’ untuk kembali ke wilayah Suku Wana di Pegunungan Tokala, Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Kedatangan pertama saya ke daerah ini terjadi pada bulan April lalu bersama rekan-rekan Jejak Petualang Trans7 (kala itu dengan host Vika Fitriyana dan kameraman Eko Priambodho), kami banyak membuat dokumentasi audio visual tentang mereka, dokumentasi audio visual pertama yang pernah dibuat oleh televisi nasional negeri kita. Kami mendokumentasikan mulai dari panen padi dan budaya di sekitar panen lainnya, cara membuka ladang baru, cara pengiriman hasil panen secara tradisional melalui aliran Sungai Salato, puskesmas keliling, dan lain sebagainya. Liputan yang begitu membekas hingga hari ini karena kami merasa menjadi pihak yang pertama kali membawa ‘suara terpendam’ Suku Wana ke pentas televisi nasional. Ada beragam ‘reward’ yang kami terima usai liputan pada April lalu tersebut, ‘reward’ yang menghibur dan boleh dikatakan adalah ‘berkah’ lain sebagai pekerja media, dan yang pasti ini bukan tentang uang ataupun materi dalam bentuk lainnya. Kala itu (April) Pegunungan Tokala tampak begitu megah! Setiap pagi hari dipeluk kabut, dan siang hari dipayungi langit biru yang mengingatkan kita pada kebesaran Yang Maha Agung. Beberapa kawan di Jakarta yang saya kirimi foto dari lapangan kala itu banyak yang menduga bahwa foto tersebut berasal dari Selandia Baru, saya sengaja tidak memberi tahu dari mana asal foto itu sekedar menguji imajinasi orang-orang. Ketika saya beri tahu bahwa itu dari Sulawesi Tengah mereka tidak percaya, adakah pegunungan seperti itu di Indonesia?! Kata saya, lha memang yang indah-indah harus melulu berada di luar negeri?!

Ok, terlalu panjang saya ngelantur. Oktober lalu saya kembali dengan tim yang berbeda (host Chintya Tengens dan kameraman Muhammad Iqbal), masih sama-sama Jejak Petualang tetapi kali ini konsep liputannya berbeda. Lebih ke keterkaitan masyarakat dengan perairan tawar mereka, ini adalah konsep liputan untuk program Jejak Petualang Wild Fishing, program petualangan terbaru dari Jejak Petualang. Kami kembali lagi menumpang menginap di rumah Kepala Desa Taronggo, desa terakhir paling dekat dengan Suku Wana. Kami tiba di Taronggo setelah sembilan jam menempuh perjalanan darat dari kota Luwuk. Kota terdekat yang memiliki bandara di Sulawesi Tengah jika kita ingin mengakses Suku Wana. Rupanya kedatangan kami kali ini tepat pada waktunya. Maksud saya niatan untuk merekam kondisi perubahan perairan tawar di musim kemarau dan masyarakatnya di wilayah ini benar-benar seperti diharapkan dari awal sejak di Jakarta.

Saya sebenarnya berharap Pegunungan Tokala dan Sungai Salato tetap seindah dan semegah pada April lalu, tetapi inilah nyatanya. Kabut asap rupanya juga terjadi di wilayah ini akibat pembakaran lahan yang dilakukan oleh masyarakat, dari informasi yang saya dapatkan dari kepala desa, pembakaran lahan dilakukan para transmigran yang memiliki lahan-lahan luas di dataran rendah sekitar Pegunungan Tokala, bukan dilakukan oleh orang-orang suku. Praktis Pegunungan Tokala seperti ‘menghilang’ ditelan asap, samar di kejauhan seperti sedang menderita menghirup asap setiap hari selama berbulan-bulan. Langit biru praktis ikut menghilang digantikan langit kelabu keputihan. Sedangkan Sungai Salato yang indah dengan aliran beningnya juga berubah menjadi hamparan kerikil sepanjang mata memandang. Debit air seperti hilang seluruhnya hanya tersisa di titik-titik tertentu saja, cukup untuk memenuhi kebutuhan mandi dan air minum masyarakat, tetapi tidak mampu lagi mengalir. Perubahan ekosistem yang luar biasa mengerikan dan nyata terjadi di sebuah tempat yang pernah saya anggap ‘pecahan’ surga yang tercecer jatuh di Morowali Utara!

Perihal Sungai Salato di musim kering ini akan saya lanjutkan nanti saja di catatan iseng lainnya. Kita kembali ke niatan awal membahas cara memasak Suku Wana yang masih sangat tradisional. Lipu Mala adalah kampung kecil yang berada di seberang Sungai Salato, pada musim penghujan tidak mungkin mengaksesnya karena aliran Salato sangat deras dan berbahaya. Namun di musim kemarau seperti kemarin kami seperti berjalan di jalan raya yang baru dibangun karena tidak ada air sama sekali. Tidak banyak anggota lipu Mala ini, hanya beberapa rumah saja. Satu lipu Suku Wana biasanya terdiri dari keluarga semuanya. Lipu sendiri adalah unit sosial terkecil Suku Wana, kita di Jawa mungkin akan menyebutnya dengan kampung. Tetapi jangan bayangkan dengan kampung Jawa atau Sumatra yang bisa terdiri dari ratusan kepala keluarga dan ratusan rumah, lipu Suku Wana kadang hanya terdiri dari lima hingga sepuluh rumah saja. Biasanya terletak di dataran yang rata dekat dengan ladang-ladang dan sumber air tawar mereka, ladang yang diwariskan turun temurun dari generasi sebelumnya, tetapi meski demikian hingga hari ini ladang-ladang ini tetap diolah dengan sederhana, hasilnya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota lipu saja. Joni, kepala lipu adalah pria paruh baya berperawakan tinggi kecil tetapi memiliki semangat dan cukup pandai berbahasa Indonesia, pertanda dia banyak berhubungan dengan masyarakat dari luar Suku Wana, para transmigran Jawa atau dari Bali misalnya. Keberadaan Joni banyak membantu kami selama berada di lipu Mala, karena jika tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia, tentu semuanya akan menjadi lebih sulit.

Saya selalu terpesona dengan cara hidup sederhana, secara saya juga berasal dari keluarga petani di Malang Selatan, yang meski kini hidup di belantara Jakarta, rasanya tidak ada yang luntur sama sekali pada diri saya. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang mampu hidup bersahaja dengan segala hal yang sederhana, saya berharap mampu seperti mereka. Tetapi tampaknya sangat sulit bagi kita yang hidup di kota besar seperti Jakarta ini, untuk hidup dengan cara desa ataupun cara tradisional lainnya. Keluarga Joni kemudian membawa kami ke tepian hutan dekat lipu mereka untuk mencari pohon andolia, jenis pohon yang kulitnya sering dipakai untuk media memasak tradisional ala Suku Wana. Konon, pohon ini dapat tumbuh seperti semula meski kulitnya akan dipotong sebagian. Hal lainnya adalah kenyataan bahwa kulit pohon andolia tidak mengandung getah beracun dan getah yang dimiliki juga sangat sedikit, itupun tawar sehingga aman untuk memasak bahan makanan. Kabarnya hanya kulit pohon andolia ini yang mampu membuat masakan apapun yang dimasak didalamnya menjadi lebih nikmat. Saya sudah membuktikannya April lalu bersama masyarakat lipu Osan dekat Rio Tinto. Tetapi tetap saja saya selalu penasaran dengan hasil masakan kulit pohon ini karena menurut saya cenderung tricky, karena cara masak ini sebenarnya tidak dapat dipastikan rasanya akan seperti apa, berbeda dengan kalau kita masak suatu makanan yang bumbunya sudah pakem.Suku Wana juga hampir tidak mengenal bumbu seperti kita di Jawa. Paling-paling kalaupun ada bahan tambahan lain saat mengolah makanan itu adalah cabe rawit dan atau garam (garam biasanya akan disajikan saat ketika makanan sudah matang tetapi itupun sangaaaat jarang). Saat itu karena sulit ikan air tawar, kami sengaja membawa ikan hasil kami membeli di desa lain jauh dari lipu Wana. Ikan yang tidak lagi segar ini kemudian digabung dengan beragam dedaunan sayur lainnya yang ada di ladang lipu Mala, ada daun ubi jalar, daun pepaya dan daun singkong. Semuanya kemudian disatukan dan dibungkus dengan kulit kayu andolia yang tadi kami ambil dari hutan di dekat lipu.

Ini yang menarik, saat kami pertama tiba dan mencari kulit kayu andolia, hanya segelintir orang saja yang membantu kami, tetapi ketika kemudian kami mengeluarkan beragam ikan dan mulai akan memasak makanan (untungnya jumlah bahannya lumayan banyak) anggota lipu lainnya pun ikut bergabung membantu kami. Makanan sekali lagi terbukti mampu menggerakan orang-orang untuk bersatu. Saya tidak menyalahkan anggota lipu Mala lainnya yang enggan untuk nimbrung dengan kami sejak awal, mungkin karena panas matahari yang luar biasa saat itu, jadi tenaga harus dihemat dengan berteduh di gubuk-gubuk mereka. Prinsip masak dengan media kulit kayu ini sebenarnya seperti kalau kita mengukus sesuatu dengan alat masak modern lainnya. Uap panas akan tercipta di dalam gulungan kulit kayu dan mematangkan makanan yang ada di dalamnya. Hanya saja memang tricky karena rasa makanannya tidak dapat dipastikan akan seperti apa. Tidak sampai satu jam makanan yang kami bakar pun matang. Yang nimbrung makan pun semakin banyak dan suasana semakin ramai. Tidak sampai seperempat jam seluruh makanan ala kadarnya itu pun ludes! Hahaha!

Lalu rasanya seperti apa? Jujur saya katakan, entah karena saya ini orang desa juga, lidah saya sama dengan lidah orang Suku Wana ini mungkin, tetapi rasa makanan saat itu luar biasa nikmat. Dan satu hal yang pasti makana tersebut menurut saya sangat sehat! Bagaimana tidak, tidak ada bumbu yang aneh-aneh dan apalagi bumbu pabrikan yang kadang terbuat dari entah apa tersebut?! Semua makanan yang dimasak pun segar semuanya dan bebas pestisida! Saya melihat wajah-wajah bahagia dari anggota lipu Mala yang makan makanan saat itu, betapa sederhananya sebuah kebahagian itu. Tidak perlu kemewahan apapun yang mahal dan kadang tidak berguna itu. Cukup dengan makan ikan dan sayuran tanpa garam! Terkadang saya iri melihat mereka dan sedih melihat diri saya sendiri yang masih sering menyia-yiakan makanan, kurang bersyukur dengan makanan yang saya nikmati sehari-hari di Jakarta ataupun di seluruh penjuru Indonesia lainnya yang saya datangi dalam rangka tugas?! Saya teringat sebuah kata-kata bijak di National Geographic, tetapi saya lupa siapa nama yang memiliki kata-kata mutiara tersebut, orang bule yang pasti. Kira-kira begini bunyinya, “Di alam liar kita menjadi memahami, bukan betapa banyaknya kebutuhan manusia, tetapi ternyata betapa sedikitnya kebutuhan hidup manusia?!” Ternyata benar adanya! Salam petualang!




















* Kru: me (reporter), Muhammad Iqbal (cameraman), Chyntia Tengens (host). Pictures taken on Oktober 2015 mostly by me. Another pictures are screen captures of Sony PMW 200. Drone shot by crew CNN Indonesia. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments