Bertahan Hidup di Puncak Danau: Ikrar Setia Para Penjaga Talaga di Pulau Tidore dengan Apapun Perubahan Wajah Alam di Sekitarnya
Mengenang Nuku Muhammad Amiruddin/Sultan Nuku
(1738-1805), dan orang-orang Tidore.
Unit sosial di Talaga, Pulau Tidore adalah kelompok
masyrakat yang tidak banyak disebut di berbagai berita dan apapun itu dalam
hiruk-pikuknya kehidupan pulau rempah Tidore, Maluku Utara. Jumlah warga Talaga
totalnya tidak sampai seratus orang saat ini sehingga kemudian disebut sebagai
RW saja dan (kalau saya tidak salah ingat) masuk dalam struktur Kelurahan Rum,
Tidore Selatan. Letak Talaga ada di atas pegunungan yang merupakan bagian dari
sisi barat daya Kie Matubu, dengan ketinggian kampung hanya sekitar 500-an
meter saja di atas permukaan laut. Tidak tinggi-tinggi amat ketinggian desa ini
tetapi jalan setapak menuju desa ini sangat terjal, kalau kita bukan pendaki
tangguh diperlukan waktu tiga hingga empat jam untuk sampai ke desa ini dari
jalan batas mobil di Rum. Saya mendengar telah dibangun jalan besar menuju desa
ini dari sisi utara Pulau Tidore, tetapi belum rampung (baca: mungkin kata yang
paling tepat entah kapan diteruskan atau terbengkalai) dan juga belum bisa
dilalui kendaraan roda empat kebanyakan, mobil 4wd pun juga akan setengah mati
kalau melintasi jalur yang belum rampung ini. Kabar lain yang saya dengar dari
warga Talaga, jalur yang dibangun pemerintah ini tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang seringnya berhubungan dengan komunitas di sisi Selatan Pulau
Tidore. Praktis saat ini masyarakat desa lebih memilih untuk menggunakan jalur
tradisional mereka menembus hutan naik turun gunung setiap harinya, yang mana
jalur setapak ini berujung di pesisir selatan Tidore tepatnya di ujung timur
Kelurahan Rum. Jalur kuno ini sudah ada sejak jaman kerajaan berkuasa di
Tidore, sudah berabad lalu ada, dan hingga hari ini masih digunakan oleh
masyarakat. Inilah yang menjadi pertimbangan saya untuk kemudian memilih RW
Talaga ini menjadi lokasi pengambilan gambar tentang perjuangan masyarakat ‘pedalaman’
dalam berhubungan dengan dunia luar dan memenuhi laku penghidupan mereka.
Konon Talaga pada jaman kuno adalah sebuah danau pada
umumnya, berair dalam, banyak ikan cukup luas, menurut saya kalau melihat
barisan bukit yang mengelilinginya tidak kurang dari lima kilometer
diameternya. Kini karena perubahan alam yang terjadi Talaga hanya berupa
cerukan super besar semacam lembah yang sangat dalam. Di tengah Talaga ada
sebuah pulau besar, kini menjadi sebuah bukit yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Talaga untuk bercocok tanam, begitu juga barisan bukit yang mengelilingi Talaga
saat ini adalah kebun-kebun masyarakat yang berada di ladang dengan kontur
super terjal! Asal usul komunitas Talaga konon pada jaman kesultanan Tidore
adalah para prajurit yang ditugaskan sultan untuk menjada Danau Talaga. Menjaga
apapun itu isinya terutama hasil dari Danau Talaga baik itu ikan dan lain
sebagainya. Saking sering dan lamanya berdiam di Talaga ada ikatan kuat antara
para prajurit dengan wilayah tugasnya, mereka kemudian memutuskan menetap dan
diteruskan oleh keturunannya hingga hari ini. Saya tidak tahu apakah cerita ini
valid atau tidak, tetapi menurut saya
ada kemungkinan memang seperti itu. Saya sempat bertanya iseng ke seorang warga
Talaga yang cukup tua tentang hal ini, dan dalam bahasa yang kurang saya
mengerti dia menjawab “betul nenek moyang kami dulu yang menjaga danau ini agar
hasilnya tidak jatuh ke tangan orang lain”. Siapa orang lain itu bukannya
hampir semua orang Tidore sama saja, maksud saya bersaudara. Maksudnya orang
dari seberang pulau, yakni Ternate. Tampaknya ada semacam sensi berkepanjangan di hati sebagian
orang-orang Tidore karena dahulu jaman VOC menguasai Maluku Utara, orang-orang
Ternate sangat hangat (sekaligus tertipu) dengan membantu VOC (sebenarnya ini
gara-gara kontrak monopoli perdagangan rempah antara Sultan Ternate dan VOC
pada 26 Juni 1607, Ternate kemudian jatuh sepenuhnya ke tangan VOC pada 7 Juli
1683). Di sisi lain semua penguasa Kesultanan Tidore sejak awal mula tidak pernah
menerima VOC. Namun kemudian VOC terus berusaha menguasai Tidore dan memang
berhasil kemudian berkat bantuan Ternate. Namun pada masa hidup seorang bernama
Nuku Muhammad Amiruddin (1738-1805), keturunan sultan Tidore yang diasingkan
VOC, VOC kemudian mengalami mimpi buruk setelah Nuku membangun pasukan kora-kora, armada perang besar
jagoan di laut yang terdiri dari orang-orang Halmahera, Seram dan bahkan orang
dari Papua. Pada tahun 1797 Nuku berhasil menaklukan VOC dan mengusir
boneka-boneka VOC dari Ternate untuk meninggalkan Tidore, ini juga menandai
mulai runtuhnya dominasi VOC di Moluku Kie Raha (Maluku Kie Raha/Maluku Utara).
Nuku wafat pada tahun 1805. Coba tengok buku sejarah untuk anak-anak SD atau
SMP yang ada sekarang, ada nama pahlawan nasional bernama Nuku Muhammad
Amiruddin (Sultan Nuku) disana, dan tidak pernah ada pahlawan nasional dari
Ternate hingga hari ini yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Maafkan tulisan ngelantur
saya pada paragraf di atas, tetapi itulah sekilas ulasan lembaran sejarah yang
pernah terjadi di wilayah ini. Kembali ke komunitas Talaga, kini mereka telah
menjadi komunitas agraris yang cukup mapan, meskipun ya itu tadi hidup cukup
terisolasi di pelukan pegunungan Kie Matubu. Ladang-ladang memang terletak di
perbukitan terjal yang mengelilingi desa tetapi tanah di pegunungan ini sangat
subur. Yang ditanam oleh masyarakat juga beragam mulai dari sayur-sayuran dan
juga buah-buahan. Cengkeh dan pala juga ada tetapi tidak seberapa banyak,
khusus dua tanaman penting ini letaknya di dataran yang cukup rata yang artinya
berada di atas bekas dasar danau yang kini mengering. Hidup agraris artinya
sangat terpengaruh dengan musim, tanam dan panen. Kehidupan desa menjadi sangat
‘meriah’ ketika terjadi dua momen penting agraris ini. Ketika musim tanam
mulai, seperti sekarang-sekarang ini, maka banyak warga Talaga ada di kampung
mereka untuk mengolah tanah mempersiapkan bibit dan kemudian bercocok tanam.
Ketika musim panen tiba begitu juga. Panen akan menghidupkan suasana kampung
begitu juga proses kirimnya ke daerah pesisir Tidore di bawah mereka. Yang agak
sepi adalah ketika musim menanti panenan usai musim cocok tanam usai. Kabarnya
banyak warga Talaga memilih berusaha di daerah pesisir dengan membantu
saudara-saudara mereka menjadi nelayan dan atau menjadi pedagang. Saya tida
ketika musim tanam di ambang pintu, sehingga suasana cukup sepi. Kata warga
akan sangat tepat jika saya tiba ketika musim panen tiba. Tetapi masyarakat
‘pedalaman’ memang selalu memiliki cara bertahan hidup dengan memanfaatkan alam
sekitarnya. Pada musim tiada panenan seperti ini, mereka banyak memetik hasil
hutan untuk diperdagangkan di kota pesisir Tidore. Ada yang mengumpulkan pakis
hutan, buah pinang, sayu rlilin (terubuk), buah-buahan hutan dan lain sebagainya.
Dengan hasil hutan yag tersedia gratis sepanjang tahun ini, mereka mendapatkan
penghasilan yang cukup untuk meneruskan langkah ‘menjaga’ Talaga.
Awalnya agak sulit berkomunikasi untuk mengumpulkan masyarakat Talaga ini karena faktor bahasa dan asingnya kosa kata "suting" yang kami sampaikan, tetapi niat baik selalu mendapatkan jalannya sendiri. Sebenarnya aparat-aparat desa di Rum yang pernah berjanji menghubungi orang-orang Talaga beberapa hari sebelum kami datang ternyata cuma janji kosong belaka, karena ketika saya tiba di Talaga (setelah menempuh tiga jam jalan kaki dair kaki gunung), terbukti tidak ada satupun aparat desa Rum yang mendahului menyampaikan niat kami. Setelah melakukan sosialisasi niat dan berkeliling kampung yang tidak seberapa luas tersebut, pada pukul tiga sore, di ujung kampung Talaga, telah terkumpul sepuluhan warga yang memang hari itu akan turun ke kota membawa hasil-hasil hutan yang mereka dapatkan. Hari itu adalah Minggu sore, yang artinya esok akan ada hari pasar di Rum. Pasar di Rum adalah salah satu pasar tradisional penting di Pulau Tidore (satunya lagi ada di Soasiu) yang merupakan tempat pertemuan penting antara masyarakat pegunungan dan masyarakat pesisir di Pulau Tidore. Di pasar ini akan terjadi pertukaran barang, hasil laut dan hasil kebun dan hutan secara masif dan cepat. Kenapa saya bilang terjadi dengan cepat, karena untuk hasil kebun dan hutan Tidore biasanya kemudian akan langsung dilarikan para tengkulak ke Ternate menggunakan speed boat. Kota terbesar di Maluku Utara ini memang perlu banyak sekali komoditas kebun dan hutan sebab secara jumlah penduduk sangat banyak dan kehidupan kotanya juga sangat maju. Intinya banyak orang yang perlu makan di Ternate dan itu harus dipenuhi dengan hasil pertanian dan perkebunan yang tidak mungkin hanya dengan mengandalkan hasil-hasil dari Pulau Ternate sendiri. Apalagi orang-orang Ternate sejak jaman kuno lebih senang menanam cengkeh dan pala saja dibandingkan tanaman pangan.
Rombongan kecil kami kemudian menyusuri jalan setapak di
pegunungan yang mengepung Talaga selama tiga jam lebih. Setelah beberapa jam
lalu kami (tim Jejak Petualang Trans7 berikut tim support lokal kami dari
Soasiu) sudah terengah-engah jalan kaki dari bawah ke atas, tak heran ketika
kami kemudian kembali dari arah sebaliknya, dengkul kami pun mulai protes.
Padahal kami membawa barang yang tidak banyak dan tergolong ringan, paling
berat hanya alat-alat suting saja. Sebaliknya, orang-orang Talaga baik itu
perempuan dan apalagi laki-lakinya yang ikut turun ke bawah membawa barang
dagangan mereka, seberat apapun itu, begitu sehat cepat dan sigap. Trengginas kalau istilah Jawa-nya. Saya
sendiri melihat seorang ibu-ibu paruh baya menggendong barang dagangan (isinya
sayuran, buah, cengkeh, dll) seberat hampir 50 kg di punggungnya! Dengan beban
seberat itu dia masih tertawa sepanjang perjalanan dan juga melangkah lebih
cepat daripada kami para ‘petualang’ ini! Memaaaang
e! Singkat kata perjalanan kami lancar tiada satu halangan berarti dan
menjelang magrib seluruh rombongan sudah tiba di kaki gunung di bawah di batas
jalan desa Rum. Dari titik ini warga Talaga kemudian berpencar menuju rumah
sanak saudara mereka yang ada di bawah gunung, tetapi kami sudah sepakat untuk
kembali bertemu kembali esok subuh di Pasar Rum melanjutkan dokumentasi yang
kami lakukan. Agak tricky meneruskan sequence dokumentasi hanya dengan
berpegangan pada janji, oleh karenanya saya ‘mengikat’ mereka dengan sebagian
barang yang mereka bawa turun ini, besok akan saya beli semuanya. Dan mereka
setuju. Selama perjalanan bolak-balik Telaga ini saya belajar tentang keteguhan
sebuah masyarakat yang tinggal di ‘pedalaman’. Kesetiaan dan keihklasan mereka
menjalani hidup di Talaga sungguh luar biasa. Karena begini, kalau hanya saja
sebenarnya di kawasan pesisir lebih dinamis dinamika hidupnya. Sarana dan
prasarana penunjang kehidupan ada semuanya dan banyak lapangan kerja yang bisa
dilakukan oleh siapapun yang mau bekerja. Tetapi mereka tetap memilih Talaga
sebagai rumah mereka meskipun itu berada jauh di kesunyian pegunungan Kie
Matubu.
Senin pagi kami sudah bertemu kembali di Pasar Rum untuk
melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Orang-orang Talaga saya lihat sudah
menyebar di lapak mereka masing-masing, sebenarnya mereka memilih tempat
sedapatnya dimanapun di sudut-sudut pasar tradisional ini. Karena kalau lapak
yang memiliki peneduh sudah pasti milik orang-orang Ru. Dagangan mereka laku
dengan cepat, tetapi apa yang telah kami sepakati kemarin tidak ada yang
berubah. Kami tetap berhasil mendapatkan gambar-gambar transaksi mereka dengan
barang yang di belakang layar telah kami beli tersebut, karena kalau tidak
begini semua akan langsung habis begitu saja. Lapak-lapak orang Rum lebih
mapan, dan barang-barang mereka juga ditata dengan sentuhan estetika. Misalnya
saja pedagang bumbu-bumbu dapur, akan menata dagangan mereka sedemikian rupa
sehingga jenis-jenis bumbu tertata dalam gundukan kecil yang berbeda namun
rapi. Sudut paling ramai di Pasar Rum adalah bagian yang berada di tepi pantai,
dimana banyak terdapat para penjual ikan. Suara mereka lantang berteriak
mengalahkan bunyi debur ombak yang menghantam pembatas pantai. Sepertinya
sedang musim ikan karena banyak sekali jenis ikan yang diperdagangkan; ada
kerapu, baronang, ikan gosau, cakalang, tuna ekor kuning, pisang-pisang, dan
lain sebagainya. Pasar ikan inilah yang selalu menjadi tujuan akhir orang-orang
Talaga sebelum kembali ke atas gunung. Pertemuan orang pantai dan orang gunung
di Pasar Rum menurut saya sangat meriah meskipun itu tadi, berlangsung cukup
cepat. Tetapi ikut merasakan hidupnya suasana di pasar tradisional ini saya
kemudian menjadi ikut berbahagia. Karena ikatan kedua masyarakat berbeda
karakter geografis di Pulau Tidore ini berlangsung sangat hangat dalam semangat
persaudaraan yang juga kental, mungkin inilah salah satu yang diperjuangkan
Sultan Nuku dahulu, bersatunya sebuah masyarakat merdeka yang dapat mencari
hidup dengan tenang. Semoga suasana gembira dalam mencari penghidupan yang
dilakukan masyarakat Tidore ini terus abadi. Sehingga apa yang telah
diperjuangkan oleh para pendahulu di Pulau Tidore tidak sia-sia. Salam
petualang!
* Foto-foto merupakan kumpulan behind the scenes dokumentasi
Jejak Petualang Trans7. Kru: me (reporter and angler), Eko Priambodo (cameraman), Chintya Tengens (host). No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures
without respect!!!
Comments