Ketika akhir sebuah mimpi buruk menghampiri tidur saya, hawa
dingin bulan Desember mencoba mendobrak pintu kontrakan saya yang sunyi di
sebuah sudut entah Jakarta. Di teras masih terlihat tanah basah sisa hujan
semalam, rerumputan di gang akses menuju kosan tampak sangat hijau, gembira
dengan melimpahnya air yang datang sejak awal November lalu. Ada sedikit gundah
dengan kisah-kisah dalam mimpi yang seperti berulang, namun sekejap ingatan
saya tetiba terlempar ke sebuah desa kecil di ‘pojokan’ Sulawesi Tengah, Desa
Taronggo. Entah kenapa tiba-tiba saya mengingat desa kecil yang menjadi akses
terdekat ke Suku Wana ini. Padahal tiada yang istimewa sebenarnya di desa ini
selain warganya yang meski pasif tetapi menerima kita apa adanya, bukan karena
ada apanya. Mungkin dua yang sangat terasa berbeda ketika berada di desa ini
adalah pemandangan Pegunungan Tokala yang tersaji indah di depan teras rumah
kepala desa, dan riuh-rendah keramahan seluruh anggota keluarga kepala desa
dalam menerima saya (dan rekan-rekan satu tim lainnya).
Sepertinya saya teringat Taronggo karena ketika Oktober lalu
kesana, Sungai Salato yang indah dengan latar Pegunungan Tokala itu hampir mengering
seluruhnya. Sungai besar yang menjadi saksi hidup kisah nomaden Suku Wana
berabad-abad (sebagian besar masyarakat Suku Wana masih hidup berpindah di
kawasan Pegunungan Tokala hingga hari ini), hampir kering kerontang. Beberapa
genangan air besar memang masih tersisa di beberapa titik, tetapi tidak ada
aliran lagi. Sungai lebar tersebut menjelma menjadi ‘neraka’ berkerikil dan
berpasir yang sangat panas! Kabur asap yang ‘memeluk’ Pegunungan Tokala membuat
hati siapa saja yang melihatnya menjadi semakin gundah dan terkadang terucap
serapah. Melihat kenyataan ini saat itu saya sempat memberi kabar ke seorang
rekan yang ada di Jakarta, bahwa apa yang saya lihat bulan Oktober tersebut
dengan bulan April ketika kami berdua pertama kali ke daerah ini jauh berbeda.
Kami berdua sulit mempercayainya. Apapun namanya itu, perubahan iklim,
pemanasan global dan entah apa istilah lainnya itu nyata terjadi, dan tampaknya
di seluruh penjuru bumi.
Tetapi siapa yang peduli? Semoga saya adalah bagian dari
banyak orang di berbagai penjuru bumi ini yang khawatir. Dan semoga
kekhawatiran saya menular ke banyak orang melalui catatan entah ini karena apa
yang terjadi di Sungai Salato sebenarnya juga terjadi di berbagai penjuru
negeri ini, dari desa hingga kota. Masalah hilangnya air tawar Sungai Salato
hanya setitik dari banyak masalah lingkungan yang ada di seluruh negeri ini.
Beberapa kawasan di Jakarta saja, ketika pada kemarau kemarin (saya melihatnya
sendiri di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan), ada penduduknya yang
tidak bisa lagi mengambil air bersih dari sumur-sumur pompa mereka, sehingga
terpaksa membeli air mineral untuk mencukupi kebutuhan air bersih mereka, bukan
hanya untuk minum, tetapi juga untuk memasak dan lain sebagainya. Kita perlu
melakukan sesuatu, sekecil apapun itu sesuai dengan yang terjadi di sekitar
kita, sehingga setidaknya perubahan buruk yang mendera lingkungan sekitar kita dimanapun
kita berada dapat kita hambat. Namun pertanyaannya kemudian seperti kembali ke
kalimat yang sama, siapa yang peduli? Saya menjadi sinis!
Kembali ke Sungai Salato di Sulawesi Tengah. Ketika debit
airnya melimpah seperti pada April lalu, sungai ini sangat indah dengan aliran
deras. Airnya pun terasa dingin sebab berasal dari pegunungan. Kita seperti
berada di sebuah ‘kepingan’ surga yang terjatuh ke bumi. Bulan Desember seperti
ini ketika curah hujan turun dengan derasnya, sungai ini akan dilanda banjir
besar dan berbahaya. Semuanya masalah. Ketika kemarau, kering. Ketika hujan
datang, banjir. Tidak ada lagi debit air yang naik perlahan ketika musim hujan,
dan menyusut perlahan ketika musim kemarau menjelang. Semuanya berlangsung
drastis sebab ekosistem sekitar sungai telah berubah. Hutan yang mungkin mulai
gundul di hulu? Mata air di hulu yang mengering sebab gunung tak mampu lagi
menahan limpahan air dan menyimpannya di dalam tanah? Yang terlihat jelas di
mata saya, sekitar sungai ini terutama di dataran rendahnya, semua areal telah
berubah menjadi kebun kelapa sawit!
Manusia mau tak mau harus beradaptasi dengan perubahan
lingkungan yang terjadi. Ada yang gelisah dengan ambil bagian melakukan
berbagai usaha untuk mencoba mengentikan ‘kehancuran bumi’ ini. Ada yang
beradaptasi dengan lebih praktis untuk mengamankan diri saja. Pola adaptasi ini
bermacam-macam sesuai dengan yang terjadi di sekitarnya. Saya ambil contoh
dengan kekeringan di sebuah titik di Mampang Prapatan yang saya lihat sendiri,
tetangga yang biasanya tidak pernah tegur sapa berpuluh tahun, terpaksa menyapa
yang masih memiliki air di sumurnya agar mendapatkan air bersih (karena kalau
beli air mineral terus bisa tekor). Di sekitar Sungai Salato saya tidak melihat
usaha apapun untuk mengembalikan kemegahannya seperti dahulu. Malah ketika
musim kemarau menggila, banyak orang ikutan ‘latah’ membuka lahan mereka dengan
membakar rerumputan dan semak yang memenuhi lahan mereka. Memang ini cara yang
murah dan mudah, tetapi benarkah tidak ada cara lain selain hal yang menyumbang
pemanasan global seperti ini?
Saya sebenarnya tidak ingin menyalahkan siapapun tentang
mengeringnya Sungai Salato, namun rasa sayang saya ke sungai indah ini
sepertinya telah berubah menjadi ‘luka’. Saya hanya ikut terluka bersama
sebagian masyarakat Suku Wana yang kini terpaksa mencari ikan dan udang di
anak-anak sungai kecil yang juga mulai mengering dalam kegiatan yang disebut disebut
manongko (tangkap ikan dengan tangan
kosong). Ikan dan udang yang juga sudah sangat sangat sulit didapatkan, padahal
kita berada di sungai ‘pedalaman’ yang harusnya populasi ikan dan udangnya
masih melimpah. Kemana perginya ikan dan udang di Morowali Utara? Kena racun
jawab seorang ibu-ibu yang ikut dalam kegiatan manongko saat itu. Apakah seluruh perairan tawar di negeri ini
memang sudah habis oleh keserakahan tukang racun dan tukang setrum ikan?!
Daaaaaaamn!!!!
* Foto-foto adalah behind the scenes trip Jejak Petualang Wild Fishing ke Morowali Utara, Oktober 2015. Kru: me (reporter), Muhammad Iqbal (cameraman), Chintya Tengens (host). Pictures taken on Oktober 2015 mostly by me. Another
pictures are screen captures of Sony PMW 200. No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially
for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my
pictures
without respect!!!
Comments