Skip to main content

Ketika Hutan Primer di Indonesia Sudah Lama Tidak 'Perawan' dan Terus Menyusut Dengan Cepat, Kita Masih Memiliki Harapan Pada Hutan Mangrove







Catatan iseng tentang hutan mangrove ini adalah satu hasil ‘jalan-jalan’ googling mencari data-data terkini sumber daya alam yang masih dimiliki oleh negeri kita untuk keperluan riset awal sebuah ekspedisi petualangan terbesar tahun ini yang akan digelar di Indonesia. Kawasan hutan di Indonesia pernah menempati urutan ketiga terluas di dunia (pertama Brasil, kedua Kongo) dengan luas 162 juta hektar. Kita bisa bayangkan manfaat dari “paru-paru dunia” ini dari keberagaman flora faunanya, fungsi tata air, untuk ilmu pengetahuan, farmasi, dan lain sebagainya. Sayangnya paru-paru dunia ini telah lama dan terus terkoyak oleh pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan (tahun 2007 Indonesia mendapat juara sebagai negara dengan deforestasi tertinggi dari Guiness World Records dengan tingkat kerusakan 300 kali lapangan bola setiap jamnya). Dari kebakaran hutan dan lahan pada kurun waktu 1997-1998 saja, terjadi deforestasi sekitar 9,75 juta hektare (ADB), namun menurut luasnya mencapai Walhi 13 juta hektare. Deforestasi lain yang menggerus hutan-hutan Sumatera, Kalimantan hingga Papua, hingga tahun 1997 diyakini tidak kurang telah merobek paru-paru dunia ini seluas 10 juta ha. Pertumbuhan ekonomi  Indonesia tahun 1980-1990an juga terjadi dengan mulai merosotnya kualitas lingkungan dan pelanggaran hak dan tradisi masyarakat setempat. Namun kita masih memiliki harapan dari hutan yang lain, misalnya saja luas hutan mangrove kita masih menempati urutan pertama di dunia dengan 19% dari luas negara atau sekitar 3,062 ribu ha, lebih luas dari Australia (10%) dan Brasil (7%). Beragam manfaat kawasan hutan mangrove Indonesia (pangan, perikanan, ekosistem, kemampuan menyimpan karbon) belum digarap secara maksimal, padahal dengan panjang total hampir 95,000 km di seluruh pesisir Indonesia, menyumbang 23 % ekosistem mangrove dunia. Di sebuah desa yang saya lupa namanya di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah misalnya, saya pernah mendokumentasikan kearifan lokal warga dalam memanfaatkan biji bakau tancang (Burguiera gymnorriza) menjadi sumber karbohidrat alternatif dengan menyulapnya sedemikian rupa sehingga dapat diambil tepungnya. Dari tepung yang dihasilkan masyarakat mampu membuat beragam penganan lain yang mendatangkan keuntungan ekonomis serta tentunya ketersediaan bahan pangan tanpa harus terikat dengan musim panen sumber pangan konvensional lainnya.

Berikut saya rangkum manfaat hutan mangrove dari artikel yang pernah dirilis oleh CIFOR (Center International Forestry Research) dalam artikel Mangrove Indonesia: Berkas Fakta Kekayaan Nasional Dalam Ancaman. Saya tidak meminta ijin terlebih dahulu untuk merilis data yang dirangkum oleh lembaga penelitian ini, tetapi saya yakin mereka dapat memahami maksud penyebarluasan informasi tentang mangrove yang saya lakukan melalui blog iseng ini. Hutan mangrove ditemukan di banyak wilayah Indonesia, dan ekosistem mangrove regional penting ada di Papua, Kalimantan dan Sumatera (FAO, 2007). Tinggi pohon mangrove di Indonesia dapat mencapai 50 meter. Kelompok pohonnya padat, dengan akar berkelindan keluar dari batang pohon. Ketika laut pasang, hutan mangrove dibanjiri oleh air. Dan saat laut surut, lumpur tebal melapisi permukaan mangrove, menyimpan material organik yang sangat kaya (FAO, 2007). Hutan mangrove merupakan hutan dengan kandungan karbon terpadat di wilayah tropis. Lahan ini menyimpan lebih dari tiga kali rata-rata karbon per hektar hutan tropis daratan  (Donato et al., 2011). Hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi (Murdiyarso et al., 2015). Mangroves berkontribusi terhadap 10-15% sedimen simpanan karbon pesisir sementara di wilayah pesisir global hanya menyumbang 0,5% (Alongi, 2014). Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon (PgC) (Murdiyarso et al., 2015). Jumlah ini mencakup sepertiga stok karbon pesisir global (Pendleton et al., 2012). Permukaan bawah ekosistem mangrove Indonesia menyimpan sejumlah besar karbon: 78% karbon disimpan di dalam tanah, 20% karbon disimpan di pohon hidup, akar atau biomassa, dan 2% disimpan di pohon mati atau tumbang (Murdiyarso et al., 2015).

Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% mangrove (FAO, 2007). Artinya, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia (Campbell & Brown, 2015). Deforestasi mangrove Indonesia terhitung sebesar 6% dari total kehilangan hutan tahunan, meskipun hanya menutupi kurang dari 2% total wilayah hutan negara. Jumlah ini setara 0,05 juta hektare (Mha) dari total 0,84 Mha deforestasi tahunan di Indonesia (Margono et  al., 2014; Ministry of Forestry Republic of Indonesia, 2014). Deforestasi mangrove di Indonesia mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setara tiap tahun (eqanually). Angka ini menyumbang 20% emisi penggunaan lahan di Indonesia (Murdiyarso et al., 2015) dengan estimasi emisi sebesar 700 juta metrik ton CO2 – eq (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2010).

Dengan mencegah deforestasi mangrove, Indonesia dapat memenuhi seperempat dari 26% target reduksi emisi pada 2020  (Murdiyarso et al., 2015). Hilangnya hutan mangrove di Indonesia menyumbang 42% emisi gas rumah kaca akibat rusaknya ekosistem pesisir, termasuk rawa, mangrove dan rumput laut (Murdiyarso et al., 2015; Pendleton et al., 2012). Penyebab utama hilangnya mangrove di Indonesia termasuk akibat konversi tambak udang yang dikenal sebagai “revolusi biru” (Sumatra, Sulawesi dan Jawa Timur), penebangan dan konversi lahan untuk pertanian atau tambak garam (Jawa dan Sulawesi) serta degradasi akibat tumpahan minyak dan polusi (Kalimantan Timur) (FAO, 2007). Pada 2013, pemasukan dari ekspor udang Indonesia mencapai 1,5 miliar dolar AS; hampir 40% total pemasukan sektor perikanan Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014)

Masyarakat lokal memanen udang, belut, kerang, kepiting, siput laut dan beragam spesies ikan dari ekosistem mangrove, memberikan penghasilan maupun pangan bagi keluarga  (Armitage, 2002). Masyarakat lokal memanfaatkan hutan mangrove untuk kayu bakar, material bangunan, termasuk pilar rumah dan furnitur (Armitage, 2002). Nelayan memanfaatkan produk hutan mangrove untuk membuat jangkar, sendi penyeimbang perahu, dan pewarna jaring ikan (Armitage, 2002). Kayu mangrove dijual untuk bisnis bubur kertas, selain produksi arang, keping kayu dan kayu bakar. Produk-produk tersebut dipanen pada skala kecil dan besar, berkontribusi bagi penghidupan lokal dan ekspor nasional (Evans, 2013). Manfaat nyata dari sistem mangrove termasuk juga fungsi sosial dan budaya. Hutan mangrove menyokong nilai religi dan spiritual, selain nilai estetis dan rekreasi untuk ekowisata (UNEP, 2014)
Mangrove menyangga spektrum luas ekosistem sekitar, termasuk gugus karang, padang lamun, hamparan lumpur dan pasir  (UNEP, 2014). Fungsi lingkungan ekosistem mangrove meliputi suplai dan regenerasi nutrisi, daur ulang polutan, siklus air dan menjaga kualitas air (Ruitenbeek, 1994). 

Mangrove menyediakan pertahanan penting melawan erosi pesisir. Akar mengingat lapisan tanah dan mengubah aliran air, mencegah hilangnya sedimen dari garis pesisir (UNEP, 2014). Hutan mangrove membantu mengurangi dampak terjangan badai, gelombang besar, dan tiupan angin dari siklon tropis. Pepohonan mangrove  mengurangi energi gelombang saat melalui hutan mangrove, dan menjadi penghalang antara gelombang dan lahan (UNEP, 2014). Di bawah air, hutan mangrove menjadi lahan bertelur dan berkembang biak ikan dan spesies laut. Akar dan lapisan lunak di bawah pohon memberi pangan, naungan dan perlindungan dari predasi (UNEP, 2014). Di atas permukaan air, pohon dan kanopi mangrove  merupakan habitat bagi burung, serangga, mamalia dan reptil. Mangrove adalah habitat utama Bekantan yang terancam punah, ditemukan di Indonesia dan binatang endemi Borneo (Mangrove Action Project, 2015).











* Sekali lagi, sumber utama tulisan ini adalah artikel Mangrove Indonesia: Berkas Fakta Kekayaan Nasional Dalam Ancaman. All pictures by me. Tiga foto pertama didokumentasikan di Distrik Segun, Papua Barat, Agustus 2014. Tiga foto kedua diabadikan di Morowali Utara, Sulwaesi Tengah, Oktober 2015. Foto-foto lainnya diabadikan di kawasan pesisir kota Kendal, Jawa Tengah, Februari 2015. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments