Tambula dan Serampang: Kearifan Lokal Perburuan Nyingke ala Masyarakat Suku Banggai, Sulawesi Tengah
Ketika melakukan
dokumentasi perburuan khas ala Suku Banggai ini, secara tidak sengaja salah
satu pemburu yang terlibat dalam kegiatan ini adalah seseorang (saya lupa
namanya) yang cacat, tangan kanannya diamputasi karena mengalami kecelakaan di
laut ketika menjadi nelayan. Namun apa yang dia lakukan selama proses
dokumentasi yang kami lakukan seharian, dia layaknya orang normal biasa saja.
Semua dilakukan seperti dia tidak memiliki kekurangan fisik apapun! Ditambah
lagi kebripadiannya juga sangat baik dengan emangat kerja yang luar biasa. Banyak
orang norml secara fisik saya lihat memiliki mental ataupun semangat kerja yang
‘melempem’. Dia bagi saya pribadi dengan caranya sendiri dalam kesederhanaan mengajarkan
kepada saya tentang arti semangat hidup yang sebenarnya. Terimakasih!
Setelah berlalu sekian lama, apa yang mengendap di kepala
akhirnya menemukan alasan untuk dituliskan. Kesunyian rupanya masih menjadi
obat yang mujarab untuk menulis, bisa jadi ini pelarian dari sepi yang mendera,
bisa jadi ini sebuah usaha untuk mengisahkan sesuatu yang mungkin berguna bagi
siapapun. Aiiih! Entahlah! Kembali lagi ke Sulawesi Tengah, tepatnya di
Kabupaten Morowali Utara, dimana banyak berdiam beragam suku bangsa. Ada
komunitas masyarakat transmigran dari Jawa dan Bali (misalnya saja yang
mendiami kawasan sekitar Toili), dan tentunya ada kelompok masyarakat asli
mulai dari Suku Wana, Banggai dan lain sebagainya. Sebenarnya banyak sekali
suku bangsa di Sulawesi Tengah ini tetapi yang pernah saya kenal secara
langsung hanya beberapa, paling sering adalah suku Banggai, Sea-sea, Wana,
Balantak, dan Bajo. Yang saya lihat, suku Banggai adalah kelompok suku yang
paling banyak ‘beredar’ di Sulawesi Tengah. Sehingga tak heran misalnya, ketika
saya berada di Morowali Utara, saya dengan mudahnya menemukan kelompok
masyarakat yang merupakan Suku Banggai, padahal aslinya mereka berasal dari
‘seberang’ lautan yaitu di daerah Pulau Peleng, Bangkurung dan sekitarnya.
Setiap masyarakat ‘pedalaman’ (baik itu masyarakat pesisir
ataupun masyarakat gunung/hutan) selalu memiliki cara perburuan yang unik
sesuai dengan wilayahnya. Beberapa bulan lalu ketika berkeliling Pulau
Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, sembilan jam dengan kapal kayu dari kota
Luwuk, saya secara tidak sengaja melihat kegiatan unik yang dilakukan oleh
masyarakat disana. Mereka mencari ikan dengan cara yang menurut saya masih primitif
dengan mendirikan tiang-tiang di atas reef dangkal ataupun di pantai. Kemudian
mereka akan naik ke tiang tersebut dan berdiam diri beberapa lama untuk
menombak ikan ataupun cumi-cumi yang melintas di bawahnya. Cara kuno ini cukup
mengaggetkan saya mengingat kini banyak nelayan kita lebih banyak memikirkan
volume tangkap. Cara menombak ikan ini (yang kemudian saya tahu namanya adalah nyingke) sama sekali jauh dari laku
nelayan kebanyakan saat ini di Indonesia. Sudah caranya cukup sulit, hasilnya
paling-paling hanya cukup untuk makan sendiri saja. Pertanyaan besarnya setelah
melihat hal ini adalah bagaimana cara ini sebenarnya dilakukan, dan apa yang
membuatnya terus bertahan di jaman yang ‘memuja’ banyaknya tangkapan ikan ini.
Saat itu dokumentasi urung dilakukan karena perairan sekitar Banggai Laut
diambang ‘badai’ dan kami harus segera keluar dari wilayah ini kalau tidak mau
tertahan beberapa bulan.
Waktu kemudian membawa saya kembali ke Morowali Utara, dan
satu hari diantaranya saya habiskan dengan kelompok masyarakat Banggai
perantauan yang ada di wilayah ini. Apalagi kalau bukan untuk mendokumentasikan
dan mencari tahu semua hal tentang cara nyingke
yang pernah saya lihat di Banggai Laut beberapa bulan lalu. Kami berhasil
mengakses kelompok masyarakat Banggai perantuan di wilayah ini berkat bantuan
beberapa kawan di Luwuk dan juga di Morowali utara yang sukarela melakukan
survay terlebih dahulu sebelum kami datang, terimakasih kawan! Salah satu kawan di Luwuk rupanya asli dari sebuah
desa kecil di Morowali Utara, dan kebetulan sekali memiliki banyak kerabat dari
Banggai Laut. Singkat kata setelah jadilah kemudian suatu hari, kami sudah
berkumpul di sebuah pantai yang berjarak sekitar satu jam dari desa terdekat
untuk merekonstruksi cara nyingke ini.
Ada tiga orang ahli nyingke, mereka
aslinya dari Pulau Peleng tetapi merantau di Morowali Utara, dan ada lagi
sekitar lima belasan warga yang menjadi tim support untuk melancarkan kegiatan
yang akan kami lakukan (ada porter, tukang perahu, tukang ikan keramba untuk
back up, tukang makan dan tukang tidur). Hahaha!
Kapan cara nyingke muncul
di komunitas masyarakt Banggai dan sekitarnya agak sulit untuk dipastikan,
sejak jaman dulu sudah ada kata mereka. Tetapi yang mereka tahu dari penuturan
nenek moyang, cara unik ini konon muncul sebagai solusi ketika laut sedang
tidak bersahabat (musim angin/ombak besar). Jadi ketika mencari ikan ke tengah
laut dengan perahu kecil ataupun kapal besar sedang berbahaya dilakukan, dan
juga hasilnya sedang sulit diprediksi, atau juga secara hitungan ongkos sangat
sulit dicari kemungkinan dapat balik modal, maka cara nyingke ini kemudian dilakukan. Cara ini adalah kegiatan perburuan
yang menurut saya sifatnya personal, dalam artian lebih untuk dilakukan
perseorangan bukan dalam kelompok besar. Tombak yang digunakan disebut serampang, ujung tombaknya bermata tiga,
saya pernah melihat pemakaian masif
jenis tombak ini di komunitas masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, mereka
menyebutnya serapang. Gagang
tombaknya terbuat dari bambu kecil yang sangat kuat dengan panjang rata-rata
lima meteran (sebenarnya ini fleksibel dengan tinggi tiang yang akan dibangun
nantinya).
Jika kita rekonstruksi dari awal, kegiatan nyingke ini urutannya sebagai berikut;
mencari tiang penyangga yang biasanya adalah pohon-pohon bakau atau batang
tanaman keras lainnya yang lurus tetapi berdiameter kecil (akan dipilih jenis
kayu yang kuat terendam air laut), kemudian membangun tambula (semacam penyangga berkaki tiga) dari tiang-tiang tersebut
di titik tertentu yang potensial, dan berikutnya kemudian melakukan perburuan
dari atas tiang tambula. Yang dimaksud titik potensial untuk membangun tambula adalah titik yang dirasa
memiliki ‘lalu-lintas’ ikan dan cumi yang paling baik. Ini bisa berupa tubiran
atau batas kedalaman (jika kita membangun tambula-nya
di reef atau karang dangkal). Atau jika tambula
dibangun di dekat muara sungai akan dipilih tanjungan yang paling dekat
dengan ‘pintu’ yang menjadi pertemuan sungai dan laut. Atau jika dibangun di
kawasan pantai yang dangkal tetapi tidak berbatu, akan dipilih yang
kedalamannya cukup dibandingkan titik lainnya, sehingga ketika air surut, maka
ikan ataupun cumi cenderung bermain di areal ini. Jadi sebelum membangun tambula, dimanapun itu, para pemburu
harus melakukan mapping areal dahulu.
Dan masih banyak lagi pertimbangan lainnya, tetapi intinya yang paling besar
kemungkinannya mendapatkan ikan. Tambula akan
dibangun setinggi sekitar dua meter dari permukaan air, mengukurnya dengan
mempertimbangkan air pasang, tetapi dalam tiang yang terendam air kira-kira
maksimal dua meteran. Pada bagian atas semua tiang tambula saling silang dan diikat menjadi satu dengan tali rotan. Di
ikatan inilah kemudian semua pemburu akan nangkring
selama berjam-jam demi mendapatkan target buruannya. Jadi bayangkan seekor
burung yang bertengger di batang kayu mengamati permukaan air untuk mencari
ikan kemudian menyergapnya, kira-kira penampakan perburuan cara nyingke ini seperti itu.
Nyingke konon
hanya dilakukan pada siang hari saja atau ketika ada matahari saja, sangat
jarang nyingke dilakukan malam hari.
Saya setuju, siapa yang bisa tahan duduk berjam-jam seperti itu jika malam hari?
Mau bergerak pecicilan kita takut
jatuh ke air dan basah (kemudian kedinginan), padahal kita tidak boleh gaduh
jika ingin mendapatkan ikan. Siang hari duduk di tambula juga tidak mudah, jika panas kita akan kepanasan, hujan pun
akan kehujanan, sudah begitu pantat kita juga akan panas karena dudukan kita cuma
ikatan tali rotan yang mengikat tiang saja. Sudah begitu, mata kita harus terus
mengamati permukaan air melihat jika ada pergerakan ikan atau cumi yang
melintas, sementara kedua tangan kita harus terus konsentrasi memegang tombak. Saya
bukan orang Banggai, tetapi jika terpaksa suatu hari harus melakukan kegiatan
ini demi mendapatkan ikan untuk makan demi melanjutkan hidup, sepertinya saya
baru akan bisa nyingke jika saya
membawa bekal yang banyak. Jadi sembari nangkring
menunggu ikan saya bisa ngemil misalnya. Tak heran jika sejak awal melihat cara
nyingke ini dulu pertama kali di
Banggai Laut beberapa bulan lalu, saya sudah terkesan dengan cara ini dan juga
para pelakunya. Keren!
Satu hal yang pasti cara nyingke
ini menurut saya sangat ramah lingkungan. Memang berat dan banyak
mengandalkan kemampuan fisik, tetapi sangat bersahabat dengan lingkungan
pesisir serta sebenarnya dari segi biaya sangat murah! OK pemburu tetap
memerlukan perahu untuk mencapai titik tertentu dalam membangun tambula, tetapi sekali dibangun, tambula ini bisa berumur hingga setengah
tahun, jadi bisa terus digunakan lagi. Tiang tambula juga gratis mengambil di
rawa-rawa, bambu untuk gagang tombaknya pun gratis, mata tombak juga belum
tentu sepuluh tahun sekali beli (asalkan tidak hilang hehehe...). Yang mahal
adalah tenaga yang harus dikeluarkan banyak oleh para pemburu. Keteguhan
hatinya juga yang mahal karena kita harus bersabar berjam-jam menunggu target
buruan berenang di bawah tambula untuk
kemudian kita tombak. Nelayan juga tidak perlu bahan bakar minyak dalam jumlah
besar, tidak perlu berkeliling tidak jelas dengan hasil yang juga belum pasti?
Tetapi, itu tadi, cara nyingke bukanlah
cara tangkap yang diproyeksikan untuk hasil tangkapan yang banyak. Hanya untuk
pemenuhan kebutuhan protein atau nutrisi keluarga secukupnya saja, sembari
menunggu musim angin berlalu. Tetapi menurut penuturan orang-orang Banggai yang
ada di Morowali Utara kemarin itu, cara ini sekarang juga dipakai sebagai
bentuk respon terhadap musim ikan/cumi ketika banyak bermain di tepian/pesisir.
Cara nyingke ini menurut mereka
sekarang juga menyebar kemana-mana di Sulawesi Tengah. Baguslah batin saya,
semoga cara ramah lingkungan yang unik ini kalau bisa menyebar ke seluruh
masyarakat nelayan di Indonesia! Sehingga masih ada harapan adanya ikan-ikan
yang cukup dan beragam untuk anak cucu kita nanti. Hampir lupa, sepengetahuan saya dokumentasi kegiatan nyingke yang kami lakukan ini adalah pertama kalinya televisi nasional melakukannya, ini sungguh "sesuanu" buat saya dan tim. Salam wild fishing!
* Foto-foto merupakan kumpulan behind the scenes dokumentasi
Jejak Petualang Wild Fishing Trans7. Kru: me (reporter and angler), Muhammad
Iqbal (cameraman), Chintya Tengens (host). Pictures taken on Oktober 2015
mostly by me. Another pictures are screen captures of Sony PMW 200. No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures
without respect!!!
Comments