Skip to main content

Tentang Rumput Hitam: Cerita Pendek Warga Bulukerto Wonogiri Yang Menyandarkan Sebagian Harapan Pada Tanaman Janggelan



Sebenarnya saya sedang mencoba menyelamatkan malam minggu saya dari bahaya merokok berkepanjangan, akibat tekanan pikiran memikirkan banyak hal, dan kadang hanya satu hal. Terkadang saya ingin menjadi orang yang tidak terlalu peduli dengan keadaan dan menekan empati, mudah lupa dan atau acuh dengan apa yang terjadi, tetapi entah kenapa tidak bisa. Saya bukan orang seperti itu meski sesekali kemudian sikap terlalu peduli dan memperhatikan tersebut menyiksa diri. Setidaknya kita sudah berusaha menjadi pribadi yang memiliki banyak empati, meski terkadang sering terlupakan. Whatever then!

Sebagian penduduk Indonesia saya yakin pernah mengkonsumsi makanan/minuman yang disebut cincau, baik itu cincau hitam ataupun cincau hijau. Baik itu yang sudah dijual di toko-toko ataupun supermarket dalam bentuk minuman kaleng (biasanya bertuliskan grass jelly drink) dan atau dalam bentuk minuman tradisional lainnya seperti es cincau, dawet cincau, syrup cincau, dan lain sebagainya. Kita dapat menemukan minuman ini di hotel dan supermarket elite di perkotaan juga di warung-warung pinggir jalan. Tetapi saya juga yakin dari semua yang suka mengkonsumsi minuman menyehatkan tersebut, dan sangat segar memang kalau diminum dalam keadaan dingin dengan tambahan es batu, tidak banyak yang mengetahui dari seperti apa sebenarnya bahan minuman grass jelly drink tersebut. Tetapi bagi mereka yang berasal dari desa seperti saya, atau setidaknya sering blusukan keliling seperti saya, memiliki sedikit pengetahuan tentang bahan minuman-minuman nikmat tersebut.

Apa yang oleh bule disebut dengan grass jelly drink tersebut merupakan ekstrak dari daun tanaman cincau hitam (dan juga cincau hijau). Yaitu jenis tanaman yang dsiebut Platostoma palustre, atau yang populer disebut dengan nama  Chinese mesona, karena memang budidaya dan persebaran paling masif terdapat di daratan China sana. Chinese mesona adalah tanaman yang merupakan anggota genus Platostoma yaitu tanaman dalam keluarga “mint”. Seperti telah saya sebutkan tadi, tanaman ini tumbuh luas di Asia Timur seperti China, Hongkong, Mavau dan Taiwan dan juga terdapat di Asia Tenggara. Tanaman ini mudah tumbuh di lahan dengan ketinggian 75-2300 meter dari permukaan laut, memiliki daun runcing khas tanaman mint dengan bulu-bulu halus di permukaannya (tear-drop shaped). Kata cincau sendiri merupakan turunan dari kata xiancao dalam bahasa China, atau sian-chhau dalam bahasa Taiwan. Cincau sendiri sebenarnya adalah istilah yang merujuk pada  gel serupa agar-agar yang diperoleh dari perendaman daun (atau organ lain dari tanaman) tumbuhan tertentu di dalam air. Gel tersebut terbentuk karena daun tumbuhan tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Selain mengandung karbohidrat, gel cincau juga diyakini memiliki efek penyejuk dan peluruh bagi peminumnya. Mengkonsumsi cincau juga sangat bagus untuk kesehatan pencernaan kita.

Saya sedang berkeliling Kabupaten Wonogiri tiga tahun lalu ketika menemukan keberadaan sebuah desa yang menjadi sentra budidaya dan ekspor daun cincau hitam, nama daerahnya Bulukerto. Waktu itu saya berkeliling dengan tim Jejak Si Gundul. Lokasi ini kemudian saya datangi lagi pada tahun lalu bersama tim Jejak Petualang yang juga merupakan program in house-nya Trans7. Budidaya dan pengolahan daun cincau di daerah ini luar biasa besarnya, bukan hanya kebun yang terhampar sangat luas tetapi juga kapasitas ‘pabrik’ pengeringan dan pengepakan yang ada di daerah ini menurut saya luar biasa besar. Sebagai gambaran, daerah Bulukerto per bulan konon bisa mengirimkan 200 ton (dari 25.000 ton permintaan) daun cincau kering ke China dan Taiwan. Data ini saya peroleh setelah saya ngobrol dengan salah satu juragan cincau di Bulukerto, Bapak Haji Kxxxxxx, data ini juga didukung oleh keterangan dari beberapa staff Kantor Ketahanan Pangan Wonogiri. Yang dibudidayakan di Bulukerto adalah cincau hitam (Mesona palutris).

Konsumsi masyarakat kita terhadap cincau hitam ini sudah terjadi sejak kuno. Karena diyakini bahwa cincau hitam memiliki kandungan yang mampu untuk mengobati batuk, tekanan darah tinggi, diare, sembelit, menurunkan demam, mengobati panas dalam, menjaga kesehatan sistem pencernaan, mengatasi perut kembung, dan bahkan konon bisa membantu proses pengobatan malaria. Cincau hitam juga sangat membantu bagi kita yang sedang menjalankan program diet. Dikarenakan cincau memiliki kandungan karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin (A,B1, dan C), sejumlah banyak air, namun dengan kandungan kalori yang rendah. Kandungan mineral juga seratnya yang tinggi merupakan alasan utama mengapa cincau hitam aman dijadikan menu selingan saat menjalani diet. Manfaat lainnya, kandungan serat larut air yang dimiliki oleh cincau hitam mampu mengikat gula, lemak, dan kolesterol sehingga bermanfaat dalam menurunkan risiko diabetes melitus, penyakit jantung, stroke, juga penyakit kardiovaskular lainnya. Serat cincau hitam juga sangat berguna untuk membersihkan organ-organ pencernaan sehingga cocok untuk menyembuhkan masalah pencernaan seperti mules, sembelit, kembung, dan diare. Selain itu janggelan juga merupakan bahan baku pembuatan obat dan kosmetik.

Rumput janggelan yang dibudidayakan di Bulukerto, Wonogiri adalah jenis Mesona palutris. Jika kita lihat sekilas tanaman janggelan Bulukerto ini seperti rerumputan, seperti tanaman liar yang tidak dibudidayakan karena menyebar di seluruh penjuru pegunungan. Saya pernah berkunjung ke perkebunan janggelan yang sangat terjal tetapi juga luas namun entah kenapa saya kehilangan file-file fotonya. Di Bulukerto, posisi kebun janggelan ini biasanya terdapat di kebun-kebun dengan kontur curam karena kebun masyarakat di Bulukerto terdapat di wilayah pegunungan yang merupakan ‘sambungan’ dari lereng selatan Gunung Lawu. View dari atas kebun janggelan yang ada di Bulukerto ini menurut saya sangat keren tetapi memang untuk sampai kesana kita harus banyak bersabar. Salah satu alternatif hiking yang menarik kalau menurut saya karena sambil berjalan-jalan menikmati pemandangan kita juga bisa mengenal potensi perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat Bulukerto. Menurut Pak Haji Kxxxxxx (sengaja saya samarkan namanya) negara China dan Taiwan berkeinginan setiap tahun bisa mendapatkan kiriman sedikitnya 25 ribu ton janggelan dari Bulukerto dan Karangtengah, Wonogiri. Sayangnya, permintaan itu tidak bisa dipenuhi, karena kemampuan petani Wonogiri hanya mampu menyediakan 200 ton tiap bulan. Sebenarnya bukan petani tidak mampu memenuhi permintaan pasar ekspor tersebut, menurut Pak Haji percuma juga kapasitas produksi petani digenjot tetapi harga turun saat musim panen raya. Jadi sekarang menurut Pak Haji yang penting harga janggelan di pasar ekspor masih masuk akal saja sehingga harga beli ke petani juga masih make sense. Kasihan kalau produksi digenjot tetapi kemudian China dan Taiwan kemudian membelinya dengan murah, ya sami mawon yang untung cuma mereka mendapatkan bahakan baku olahan minuman yang sangat melimpah, tetapi petani dan eksportir mendapatkan pemasukan yang sama saja.

Maksud saya dengan menulis catatan iseng tentang janggelan ini adalah, bahwa hidup dari hasil pertanian, sebenarnya kita dapat mendapatkan segenggam bekal hidup bukan melulu dari menanam tanaman pangan yang umum. Seperti misalnya ubi, singkong, padi, dan lain sebagainya. Kenapa saya bilang begini, ya itu tadi buktinya ribuan warga Kecamatan Bulukerto di Wonogiri ini mereka mampu menggantungkan harapan mereka dari “rumput hitam” janggelan ini. Pemilik lahan mendapatkan hasil dari menjual “rumput” mereka ke juragan-juragan yang banyak terdapat di Bulukerto (perawatannya juga tidak sulit), pemilik kendaraan pick up mendapatkan uang sewa, pemanen dan pengangkut dari kebun terjal mendapatkan upah dari mengangkut janggelan ke mobil di bawah bukit, bahkan ratusan ibu-ibu juga kecipratan rejeki dengan melakukan sortir, penjemuran, dll di ‘pabrik’ janggelan. Saya melihat sendiri di pabrik Pak Haji Kxxxx di Bulukerto, jumlah pekerjanya ratusan orang! Belum lagi armada besar truk-truk yang akan mengangkut ke pelabuhan, bahkan tukang cincau di pinggir jalan juga dapat mendapatkan manfaat dari keberadaan janggelan di Wonogiri ini. Kalau menurut istilah seorang kenalan yang berkecimpung di dunia ekspor impor, ekonomi bergairah! Salam cincau hitam!













* All pictures by me. Taken at Wonogiri, Februari 2014. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments