Skip to main content

Mencoba Terus Mengingat Pulau Makian, Salah Satu Bintang Terang di Moluku Kie Raha yang Terkadang Terlupakan


Moluku Kie Raha adalah kisah megah untaian pulau-pulau gunung api penuh cerita. Lembaran sejarah mencacat dinamika Moluku Kie Raha ini dalam berbagai warna, sebagian berwarna cerah membanggakan, sebagian kelabu dan sulit dimengerti, sebagian lagi ada yang berwarna merah darah. Istilah Moluku Kie Raha sendiri muncul sejak jaman kuno, sangat mungkin ini mulai dipakai oleh orang-orang Maluku di Pulau Seram dan Ambon, untuk merujuk ‘Maluku’ mereka yang berada di bagian utara. Secara geografis, istilah Moluku Kie Raha merangkum empat pulau gunung api yakni Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Moti dan Pulau Makian. Karena “kie raha” konon memiliki arti “wilayah yang terdiri dari empat pulau gunung api”. Tetapi secara tata pemerintahan yang berlaku pada jaman itu, yakni kesultanan, “kie raha” merujuk pada empat kerajaan besar yakni Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo (kesultaan ini berada di Tanjung Jailolo, Pulau Halmahera), dan Kesultanan Bacan (pusat pemerintahan Kesultanan Bacan konon awalnya berada di Pulau Makian sebelum dipindahkan ke Pulau Bacan akibat aktifitas vulkanik gunung Kie Besi). Maluku Utara, pada masa lalu adalah gugus ‘bintang’ benderang yang saking terangnya sampai menarik kedatangan para saudagar-saudagar Arab, Spanyol, Portugus dan Belanda yang ingin mencari sumber penghasil lada, cengkeh, pala, dan juga kacang kenari. Semua komoditas tersebut pada masa itu, kita anggap saja antara tahun 1500-1700an, merupakan komoditas mahal yang sangat laku di pasaran Eropa. Saking mahalnya, bahkan jika dibandingkan dengan emas, lebih mahal rempah-rempah dari Maluku & Maluku Utara ini dibandingkan dengan emas. Kita harus mengingat, pada era itu Benua Eropa masih kedinginan dan juga sebagian masih gelap, jadi apapun sesuatu yang hangat, sangat diperlukan oleh masyarakat di sana. Maluku Utara, demikian kini kita menyebut wilayah kepulauan Kie Raha ini yang kini juga sudah menjadi propinsi tersendiri dengan ibukota di Sofifi, Pulau Halmahera.

Membicarakan Pulau Makian maka kita akan selalu membahas ‘peran’ Gunung Kie besi (1357 mdpl) pada dinamika kehidupan di pulau ini. Kie Besi, sama seperti gunung-gunung lain bagian Ring of Fire Indonesia lainnya di Maluku Utara adalah gunung api aktif, dan malah menurut saya sangat aktif dibandingkan dengan gunung-gunung “kie raha” lainnya seperti Kie Matubu (Pulau Tidore) dan Gunung Gamalama (Pulau Ternate). Erupsi terakhir Kie Besi terjadi pada tahun 1988, dan ‘irisan’ besar bekas jalur lahar masih terlihat hingga hari ini, membelah Makian menjadi dua hampir sama lebar dengan mulut aliran menghadap ke utara. Aktifitas vulkanik ikut menentukan dinamika kehidupan masyarakat di Pulau Makian. Kesuburan tanah yang menjadi keniscayaan sebuah aktifitas vulkanik jelas mengikat masyarakat untuk menetap dan kembali menetap meski terkadang ada ‘amarah’ dari sang pemilik pulau. Karakter merantau yang kental di kalangan orang Makian konon sedikit banyak terpengaruh oleh ‘sehatnya’ Kie Besi pada masa lampau (yang bahkan pernah memaksa Kesulutanan Bacan memindahkan pusat pemerintahannya dari Pulau Makian ke Pulau Bacan). Karakter merantau orang-orang Makian ini konon paling kuat dibandingkan masyarakat lain di Maluku Utara. Sebagai contoh, menurut kawan saya seorang mahasiswa S2 jurusan Hukum di Ternate, hampir separo penduduk Ternate saat ini katanya berasal dari Pulau Makian?! Saya tidak tahu apakah info ini valid atau tidak, tetapi beberapa orang yang saya tanya tentang hal ini membenarkan bahwa banyak sekali orang Makian yang merantau keluar dari Pulau Makian. Jadi, jangan heran jika kita berkunjung ke Makian, pulau indah ini akan terasa cukup sepi. Jalanan pulau yang seperti ‘ikat pinggang’ mengkigat pulau ini di bagian pesisirnya sangat sepi dari lalu lalang kendaraan dan orang yang melintas. Mobil yang ada di pulau ini memang bisa dihitung dengan jari, tetapi motor harusnya sangat banyak. Tetapi jika kita nongkrong di depan rumah seseorang yang rata-rata menghadap langsung jalan raya, jalanan sangat sepi meski kita sudah setengah hingga satu jam disitu. Yang ramai menurut saya malah bagian ‘belakang’ rumah yang menghadap ke laut, meski juga tidak seramai itu karena pemandangan yang sering melintas hanyalah kapal-kapal feri kayu yang dikelola masyarakat, sampan-sampan kecil nelayan mencari ikan, dan sesekali ada feri besar yang singgah sebentar kemudian melaju menuju ke Pulau Bacan. Intinya kesuburan Pulau Makian dengan adanya Kie Besi, selalu membuat orang-orang Makian untuk berusaha tidak pernah meninggalkan dan melupakan pulau ini, apapun resikonya. Bagi saya yang tidak tahu apa-apa ini, yang pasti ketika menikmati keindahan Kie Besi dari lautan ketika pagi hari, membuat saya tiba-tiba jatuh hati kepada sang gunung. Rekan saya host Chintya Tengens memiliki pendapat nyeleneh, melihat Kie Besi mengingatkan dia pada gunung-gunung yang menjadi latar film Dinosaurus! Hahaha!

Sudah sejak jaman kuno Pulau Makian dikenal sebagai Pulau Kenari, saking banyaknya tanaman kenari. Hampir separo lebih pohon kenarinya bahkan telah berusia lebih dari seratus tahun, kemarin secara serampangan kami sempat mengukur diameter beberapa pohon yang kami temui. Kami tidak menggunakan meteran, tetapi dengan cara dipeluk oleh orang, paling besar kemarin perlu lima orang untuk memeluknya bergandengan, pemilik pohon mengatakan bahwa dia adalah generasi ketiga yang mewarisi pohon ini, anggap tiap generasi hidup sehat dengan usia 70an tahun, setidaknya pohon tersebut telah berusia 210an tahun lebih! Dan hebatnya sampai hari ini pohon kenari tersebut masih sangat sehat dan terus berbuah! Kacang kenari merupakan komoditas paling penting dari Makian, berbeda dengan Pulau Ternate dan Tidore yang mengandalkan cengkeh dan pala. Harga kacang kenari di Makian kering per kilogram kemarin sekitar 100an ribu rupiah. Di luar Makian tentunya akan lebih dari angka itu, entah berapa ketika sudah sampai di Jawa. Pada jaman kuno (1500-1700an), konon kacang kenari Makian ini banyak dicari oleh saudagar-saudagar Eropa karena laku di Eropa, kabarnya banyak dijadikan cemilan ‘mahal’ oleh selebritis-selebritis Eropa dan bahkan ratu-ratu Eropa pada masa itu. Hingga hari ini memang kacang kenari ini tetap menjadi tambahan makanan yang mahal di kue-kue dan makanan berkelas lainnya. Tidak percaya silahkan mampir ke sebuah cafe atau bakery shop bergengsi di kota Anda, pasti ada kue dengan tambahan topping dari kacang kenari. Jadi tidak mengherankan jika sejak jaman dahulu kala, Makian banyak dikenal orang, menjadi kosmopolit. Bukti ‘gaulnya’ Pulau Makian di peta perdagangan internasional pada masa lalu dapat kita lihat dari logat bahasa yang dipakai orang-orang Makian yang sangat kental dengan logat Arab-nya. Konon ini akibat banyaknya interaksi orang Makian dengan saudagar-saudagar Arab sebelum era kedatangan bangsa-bangsa Eropa (harus diingat bangsa Eropa sampai di nusantara setelah tahun 1500). Jadi intinya pohon kenari merupakan sandaran hidup orang-orang Makian, jadi apapun yang terjadi dengan pulau ini, misalnya saja ketika Kie Besi meletus, orang-orang Makian akan selalu kembali lagi saking sayangnya mereka dengan pohon-pohon kenari yang mereka miliki. Saya pernah membaca semacam ‘peraturan’ pemerintah keluaran tahun 1975, sebenarnya pulau gunung api berdiameter 10an kilometer ini dilarang untuk dihuni akibat aktifnya aktifitas vulkanik Kie Besi, dan hingga hari ini peraturan ini tidak pernah dicabut. Tetapi siapa yang bisa melarang sebuah masyarakat untuk menjalani haknya meneruskan hidup?!

Kesan saya selama beberapa hari di Pulau Makian, bahwa kehidupan masyarakatnya lebih bercorak agraris dibandingkan bahari. Sehari-hari sebagian besar masyarakat beraktifitas di kebun dan atau hutan dibandingkan di laut. Hanya ketika sore hari saja say amelihat beberapa sampan nelayan (ukurannya kecil sekali) sedang memancing ikan untuk lauk pauk. Hasil ngobrol dengan beberapa warga kenapa tidak banyak yang melaut mencari ikan padahal saat itu sedang musim teduh, arus laut juga bersahabat, tanya saya. Alasan pertama adalah mahalnya harga bbm di Pulau Makian, satu liter bensin dan juga minyak tanah Rp. 15.000,-. Dengan harga bbm yang mahal seperti ini, sementara hasil melaut tidak ada yang bisa memastikan, terlalu riskan jika sehari-hari kerja laut. Di sisi lain, perairan sekitar pulau adalah laut dalam. Beberapa meter saja dari garis pantai, kedalaman air langsung drop ke ratusan meter hingga ribuan meter. Anggap nelayan akan memancing dasar (bottom fishing) juga tidak akan mudah dengan kedalaman air seperti itu. Jika tidak bottom fishing, teknik berikutnya yang sangat mungkin adalah batonda (trolling), umpan diseret perahu. Melakukan trolling sembari melakukan perpindahan, antar desa misalnya, atau sedang dalam perjalanan ke suatu tempat misalnya, tidak akan kerasa efek bbm nya. Tetapi jika sengaja terus mencari ikan dengan trolling, secara hitungan akan sangat mahal, dan sekali lagi belum tentu kita akan mendapatkan ikan. Tetapi bisa jadi lautan sekitar Makian cukup sepi dari aktifitas nelayan karena mereka masing-masing sudah memiliki pohon kenari. Saya sedikit banyak kemudian bisa memahami kenapa corak kehidupan di Makian lebih bersifat agraris dibandingkan bahari, meleset dari dugaan saya yang berharap akan bertemu nelayan-nelayan ‘karatan’ yang bisa memuaskan dahaga saya pada informasi spot mancing dan juga ikan-ikan besar.

Oleh karenanya mari kita teruskan saja membahas tentang kenari-nya Makian. Pohon kenari termasuk dalam suku tanaman Bursasea, di dunia suku tanaman ini memiliki ratusan jenis dan tersebar di seluruh penjuru bumi. Yang tumbuh di Pulau Makian tergolong jenis kenari ‘monster’ karena mampu tumbuh hingga setinggi lima puluhan meter dengan lingkar pohon yang sangat besar (kemarin paling besar yang kami temui harus dipeluk lima orang bergandengan tangan). Yang menarik sekaligus sangat menantang, panen kenari hanya bisa dilakukan secara manual, dipanjat lalu disodok-sodok dengan galah bambu. Bayangkan berapa ribu biji kenari harus diturunkan dalams atu pohon ketika musim panen? Melihat para pemanjat ini saya merasakan ngiluuu, karena mereka memanjat tanpa pengaman apapun (profesi pemanjat pohon kenari ini juga tidak dilakoni semua orang saking besarnya resiko). Pegangan mereka hanyalah tonjolan-tonjolan pohon yang berusia ratusan tahun tersebut. Kami tidak berani mengajak ngobrol para pemanjat ini ketika mereka sedang berada di atas, takut konsentrasi mereka terganggu yang dapat memicu insiden. Musim panen raya kenari Makian normalnya terjadi pada bulan Maret hingga Agustus, tetapi sejatinya sepanjang tahun penduduk Makian dapat memanen kacang kenari tersebut, volumenya dan sebaran bijinya saja yang berbeda-beda. Tentang buah kenari ini ada yang unik dan berlaku di seluruh Makian, buah tua yang jatuh ketika panen sedang tidak dilakukan, adalah hak siapapun yang melintas di bawahnya. Jadi siapapun boleh mengambil dan memiliki buah kenari tua yang jatuh karena angin, ketika mereka berjalan-jalan di kebun/hutan. Sengaja berjalan-jalan di kebun/hutan untuk memunguti buah kenari tua yang jatuh berserak di luar panen dilakukan sang pemilik pohon juga boleh. Jadi kalau hanya sekedar ingin makan kacang kenari di Pulau Makian, bagi kita yang tidak memiliki pohon misalnya, jika tidak mau membeli, cukup jalan-jalan ke kebun/hutan dan kemudian makan di tempat di bawah pohon. Hehehe!

Yang tidak saya dapatkan kemarin ketika main ke Makian adalah berapa sebenarnya kapasitas produksi kacang kenarinya saban tahun. Saya mencoba googling berharap mendapatkan informasi tahun-tahun sebelumnya tentang kapasitas produksi kenari Makian tetapi nihil, mendatangi beberapa Kepala Desa di Makian pun hasilnya juga nihil, tidak ada catatan tentang hal penting ini. Beberapa pemilik pohon mengukur hasil panennya bukan dalam berat, tetapi dalam “juta”.  Satu pemilik pohon ukuran ‘monster’ mengatakan tahun lalu berhasil mendapatkan sekian “juta” satu pohon. Namun jika saya melihat populasi pohon dan tingkat sebarannya di seluruh penjuru pulau, ribuan ton harusnya cukup masuk akal. Maksud saya ribuan ton mentah/kasar, dalam arti belum dikupas. Jalur distribusi kacang-kacang kenari Makian ini kebanyakan menuju ke Ternate, baru kemudian ke lokasi-lokasi lainnya seperti ke Bacan dan lain sebagainya. Ternate menjadi simpul paling penting perdagangan kenari dari pulau ini. Dari Ternate inilah kacang-kacang kenari kemudian dikirimkan ke seluruh Indonesia dan dunia. Seperti telah saya sebutkan di awal, kacang kenari ini kemudian akan dipakai dalam industri makanan ‘berkelas’. Sebenarnya apa yang dikandung kacang kenari sehingga menjadi mahal dan dicari banyak orang? Padahal mengupasnya saja kita perlu usaha sangat sangat keras karena cangkangnya keras sekali. Kacang kenari (i means biji daging yang ada di bagian dalam cangkangnya) memiliki kandungan lemak dan protein tinggi. Kenari ini juga bisa menjadi solusi pengganti kacang almond karena memiliki kemiripan bentuk dan rasa. Ekstrak kacang kenari mampu menghasilkan minyak berkualitas sangat tinggi dan sangat bagus menjaga kesuburan rambut. Kacang kenari juga mengandung beragam manfaat lainnya (selain super renyah dan enak ketika dimakan) antara lain mengandung omega tiga yang mampu menangkal radikal bebas dan melindungi sel kulit dari kerusakan. Kandungan melatonin-nya juga bisa mengobati dan mereduksi gejala insomnia. Kini, ragam manfaat kacang kenari ini sudah bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat dengan latar belakang dan status sosial berbeda dalam bentuk berbagai makanan ringan seperi bagea, halua, dan lain sebagainya. Berbeda dengan kenyataan berabad lalu ketika kacang kenari konon hanya dinikmati kaum bangsawan saja.

Seperti kemarin ketika berada di basecamp kami di rumah salah satu warga Pulau Makian, setiap detik semua orang ngemil kacang kenari karena selalu disajikan di meja makan (saya kurang suka ngemil jadi untuk saya yang selalu tersaji adalah kopi hitam) sembari berkisah tentang apapun. Kacang kenari memang telah menjadi identitas dan kebanggan seluruh masyarakat Makian. Bahkan ada sebuah tulisan di internet yang saya lupa judul dan di website mana, dengan jenaka penulis menyebut bahwa kacang kenari ini telah menjadi kesayangannya orang-orang Makian. Rasanya semua itu memang benar adanya. Ada yang hampir saya lupakan, orang-orang Makian ini kabarnya juga memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, kalau perlu setinggi mungkin (baca: sekolah). Saya tidak begitu yakin tentang hal ini sampai suatu saat ngobrol dengan seseorang dari Makian di ternate yang awalnya mengenalkan diri sebagai “sopir tukang antar barang antar pulau di Maluku Utara”, dalam pikiran saya adalah sopir ekspedisi barang. Usut punya usut setelah ngobrol ngalor ngidul, rupanya dia juga sedang menuntut ilmu S2, tidak tanggung-tanggung, dia mengambil Jurusan Hukum! Kalau saya tidak salah juga, tampuk kekuasaan tertinggi pemerintahan Propinsi Maluku Utara saat ini juga dipegang oleh orang keturunan Pulau Makian. Ada beberapa tulisan di internet yang menyebut bahwa Pulau Makian ini agak terlupakan dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Maluku Utara, maksudnya dari segi pembangunan fisiknya. Contoh sederhana yang cukup urgent menurut saya, pulau dengan populasi penduduk yang lebih dari cukup ini misalnya tidak ada bangunan tower seluler. Sinyal selular yang masuk ke Makian adalah ‘bocoran’ sinyal sebuah tower yang berdiri di Desa Gita (di Pulau Halmahera) yang berada persis di seberang Makian (sekitar 1,5 jam dengan speed boat yang melaju 23 knot). Apakah ini karena faktor “Kie Besi” yang bisa meletus kapan saja sehingga orang enggan berinvestasi dan juga pihak-pihak terkait enggan membangun pulau indah ini? Saya tidak memiliki jawaban pasti. Yang bisa saya pastikan, melalui tulisan iseng ini saya ingin menjadi bagian orang-orang yang terus mengingat Makian, syukur-syukur bisa kembali lagi suatu saat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat lainnya, sembari mewujudkan hasrat terpendam saya naik ke atas Gunung Kie Besi (kemarin tidak ada waktu dan rencana naik gunung legendaris ini). Salam hormat wahai kalian semua orang-orang Makian dan salam petualang untuk semuanya!





























* Pictures by Me at Pulau Makian, October 2015. Some pictures captured by Eko Priambodo. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments

Unknown said…
mas bisa tolong kasih info bagaimana transportasi dan akomodasi di Pulau Makian?
saya ada rencana lesana tanggal 26 Agustus 2016.
minta tolong kirim balasannya ke amandangiw08@yahoo.com
terima kasih