Skip to main content

My Road to Home: Dari Dataran Tinggi Danau Toba, Sumatra Utara hingga Noktah Kecil di Pegunungan Kendeng, Malang Selatan


Kemarin siang ketika berdiri di salah satu titik di Pegunungan Kendeng dalam rangka mencari sinyal 3g untuk mengirimkan tugas via email ke kantor di Jakarta, kampung saya menempati sepetak ‘badan’ pegunungan kuno ini, saya mendapatkan kabar bahwa Bandara Abdurrahman Saleh, Malang ditutup dari tanggal 5 kemarin hingga esok tanggal 7 Januari. Kepulangan saya ke Jakarta tentunya akan menjadi tidak sesimpel itu lagi karena pengalihan lokasi keberangkatan maskapai udara, berarti akan memaksa saya mau tidak mau esok pagi-pagi sekali berangkat ke Bandara Juanda, Surabaya. Menuju kota Surabaya jika dari kampung saya perlu waktu sekitar 6-7 jam penuh berkendara dengan kecepatan stabil 60an km per jam. Kalau kota Malang, saya hanya perlu waktu 2 – 2,5 jam saja itupun sudah waktu maksimal dengan perjalanan santai (40-60 km per jam). Sejak awal ketika masih di Jakarta, tanggal 26 Desember 2015, ketika melihat jadwal yang tertera di beberapa lembaran tiket yang saya pegang, yang akan mengantarkan saya ke beberapa tempat di negeri ini dalam pergantian tahun ini, saya sudah merasakan bahwa semuanya tidak akan sesederhana itu. Jangan salah duga, bukan berat ya maksud saya, karena tidak ada perjalanan yang berat dan saya juga tidak berniat mengeluh (meski seberat apapun itu perjalanan tersebut, saya pernah melalui perjalanan-perjalanan paling berat di negeri ini), hanya memang berbeda-beda saja karakter setiap perjalanan itu. Kali ini karakter perjalanan saya yang akan melintasi pergantian tahun ini menurut saya tidak akan sesederhana itu. Oleh karena sudah ada firasat kuat tentang “tidak sederhana” tersebut, saya iseng kemudian membuat photo project sederhana supaya perjalanan saya terasa sedikit lebih bermakna, tidak sekedar perpindahan tempat dan melintasi pergantian waktu.

Mengisahkan kembali perjalanan ini, berarti saya harus menengok kembali ke belakang, ke tanggal 30 Desember 2015 ketika saya masih berada di Laguboti, sebuah kota kecil di Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara. Hari itu adalah hari ketiga kami berada di daerah Toba, tetapi hari keempat saya bersama rekan-rekan Jejak Petualang Trans7 bekerja di daerah itu. Tanggal 30 Desember di daerah Toba udara cukup dingin dengan mendung mengintip dimana-mana membuat hati sedikit was-was ketika saya dan rekan-rekan lainnya menginjakkan kaki di sebuah kebun andaliman di Desa Aek Natelu. Posisi kebun lumayan tersembunyi di batas hutan di pegunungan, perlu waktu 1,5 jam untuk sampai di kebun ini dengan berjalan kaki dari lokasi mobil diparkir. Kebun ini menurut sang empunya sudah berusia sepuluh tahun lebih, digarap di atas lahan oleh pemangku kawasan sebenarnya tidak boleh dikelola untuk dijadikan kebun. Tetapi lagi-lagi, siapa yang bisa melarang orang untuk mencari penghidupan, apalagi itu sepetak kebun yang mampu menyokong kehidupan sebuah keluarga petani di Aek Natelu? Hari itu kami ingin mendokumentasikan kegiatan panen andaliman, rempah khas Sumatra Utara, rempahnya orang batak yang kesohor itu. Panen berjalan lancar dengan sesekali ditemani gerimis. Pemilik kebun adalah seorang janda berusia lebih 50an tahun, adalah seorang pekerja keras yang begitu ramah dan terbuka, dan kalau menurut saya ibu tua tersebut malah sangat lucu dan riang. Mungkin ini adalah pengalaman tak terduga seumur hidupnya, seorang petani di negeri antah barantah, tiba-tiba didatangi orang-orang penting? Atau orang-orang pening? Hehe! Demikian seterusnya hingga sore hari kami mengikuti proses panen andaliman tersebut dan kembali pulang ke desa dengan berjalan kaki membelah hutan. Pukul 21.00 wib ketika raga sudah berada kembali di sebuah hotel di Laguboti, rasanya sendi-sendi hendak terlepas satu demi satu saking lelahnya.

Tetapi raga yang kemeretek didera dingin dan juga lelah hanyalah awal yang akan menemani saya, ketika pukul 23.00 wib dengan mencarter mobil travel kemudian melaju menembus kegelapan malam antara Laguboti – Parapat – Pematangsiantar – Tebing Tinggi –  Medan. Perjalanan yang sedikit aneh bukan karena jauhnya yang lebih dari 300 kilometer lebih, tetapi karena ada beberapa hal yang tidak saya mengerti. Sejak awal saya sudah bilang ke sopir travel bahwa saya akan tidur sepanjang jalan karena jujur saya lelah, kalau sopir juga mengantuk, jangan sungkan untuk istirahat barang 1 jam di jalan, hal yang dia tolak karena tahu saya mengejar pesawat tanggal 31 Januari pukul 11.00 wib. Sepanjang jalan yang cukup sepi tersebut saya merasa saya terus melotot, alias tidak bisa tidur saking penatnya raga, tetapi sesampai di Medan, sang sopir bilang bahwa saya mendengkur setidaknya 4 jam dari total perjalanan selama 7 jam. Yang saya ingat dari momen yang menurut sopir bahwa saya tidur tersebut, saya seperti berbicara dengan dia selama perjalanan. Beberapa kesempatan memang saya merasakan ada kejanggalan dengan adanya teriakan-teriakan mengganggu di dalam mobil yang entah dari mana datangnya. Mungkin malam itu ada yang juga buru-buru harus segera sampai Medan, sehingga merasa perlu menumpang mobil kami secara diam-diam.

Pagi hari pukul 06.00 wib, kota Medan sudah berdebu, bising dan banyak momen yang membuat kita emosi. Bentor yang berbelok sesukanya tanpa memperhatikan rambu-rambu, mobil parkir sembarangan, dan lain sebagainya. Ada ungkapan tentang bentor ini, jika dia berbelok yang tahu hanya Tuhan dan pengemudinya sendiri. Kita yang berada di belakangnya, mau itu mobil pribadi, bus atau truk tronton sekalipun tidak akan pernah tahu sehingga kita yang di belakangnya sering kaget dan was-was akan menabraknya karena manuver bentor yang tiba-tiba dan seenak perutnya sendiri.  Dari sejak di Laguboti saya sudah tahu tidak mungkin untuk sekedar meluruskan punggung di sebuah kamar hotel di Medan, karenanya dengan sedikit segan saya menumpang mandi dan tidur 1 jam di rumah sang sopir. Saya tidak tahu apa nama daerah tempat tinggal sang sopir tersebut, saya tidak sempat bertanya lebih jauh, yang pasti di sebuah pemukiman padat dengan jalanan sempit. Yang saya ingat dengan jelas ketika usai mandi, segelas teh panas telah tersaji. Teh panas yang tidak sempat saya habiskan semuanya karena diburu waktu. Pukul 07.00 wib mobil kembali melaju menuju Bandara Kualanamu. Jarak Medan ke Kualanamu saya kurang tahu pastinya, tetapi jika lalu-lintas normal tidak ada macet, bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Sepanjang perjalanan saya sempat berkirim kabar ke beberapa sahabat dekat di Medan bahwa saya tidak bisa mampir, mohon maaf. Tetapi saya masih sempat mencarikan titipan oleh-oleh bika ambon dan bolu gulung merk Ati, dan tentunya Durian Ucok Medan. Pasar oleh-oleh khas Medan memang sedang bergairah, ada yang buka 24 jam, dan sebagian lagi sudah buka sebelum pukul tujuh pagi. Beberapa kawan sempat membalas sms saya dengan tertawa,”dikejar setoran?!”. Saya tertawa kecut sambil mengamati lalu-lintas Medan yang semrawut dengan mata panas akibat kurang tidur!

Usai keruwetan proses chek in, bayangkan jumlah penumpang di sebuah bandara utama di Sumatra Utara pada tanggal 31 Januari, saya memiliki sedikit waktu untuk meredakan gejolak jiwa sebuah cafe kecil di pojokan bandara. Banyak penumpang lain yang melakukan hal serupa, tetapi semuanya sepertinya berwajah cerah, mungkin karena akan bepergian ke suatu tempat untuk merayakan pergantian tahun. Saya mengisi perut dengan sepiring lontong medan, dan secangkir kopi susu dalam diam sambil sesekali melirik ke pojokan tempat saya numpang ngecas handphone. Untungnya jadwal terbang maskapai berwarna putih hijau yang saya tumpangi on time. Saya tidak perlu membuang energi lagi dengan amarah. Sebelah saya seorang renta yang akan menengok cucunya di Jakarta. Perbincangan yang terjadi antara kami hanyalah “Apakah kau orang Batak?” Bukan jawab saya, saya orang Jawa. Ada urusan apa sampai jauh-jauh ke Laguboti, sebelumnya saya bilang baru dari Laguboti, saya jawab saya ada undangan pernikahan. Setelah itu mata saya seperti sebuah lampu yang kehilangan daya, meredup dan kemudian hilang, hanyut entah kemana.

Tanggal 31 Januari, lalu lintas di kawasan Jakarta Timur cukup sepi, dari Bandara Halim ke kantor saya di daerah Mampang Prapatan cukup seperempat jam saja. Di hari kerja biasanya, bukan penghujung tahun seperti waktu itu, setidaknya perlu waktu 1-2 jam karena hampir pasti akan macet. Dimana di Jakarta tidak ada macet bukan? Driver kantor yang menjemput saya berseloroh, bahwa separo lebih penghuni Jakarta sudah minggat keluar kota hendak merayakan tahun baru. Baguslah kata saya. Hehehe. Tugas penghujung tahun sudah selesai ketika sepaket materi suting sudah saya simpan di kantor, tugas tidak resmi lainnya berupa mengantarkan oleh-oleh juga sudah usai, terakhir adalah tugas pribadi saya, menghantarkan badan yang lunglai menuju sebuah kontrakan sepi di pojokan Jakarta Selatan. Malam hari saya terbangun ketika kembang api meledak dan menyala dimana-mana menandai perayaan pergantian tahun baru. Seorang warga yang cukup dekat dengan saya bertandang ke kosan, mengundang saya untuk ikut makan malam bersama merayakan tahun baru di RT-nya.  Bagaimana bang, besok mau ikut kita jalan-jalan tahun baruan? Ajak mereka dalam logat Betawi yang kental. Saya tidak bisa, subuh saya harus ke bandara lagi untuk pulang kampung ke Jawa. E buseeeeet dah! Ucapnya lagi dengan mata melotot?! Saya tertawa ingat Benyamin di film-film jadul. Mereka begadang sampai pagi, saya kembali pamit dan titip minta dibangunin pukul 04.00 dini hari, karena saya harus ke bandara pukul 05.00 pagi. Mereka menyanggupi dan juga menepati janjinya. Pukul 07.30 wib tepat tanggal 1 Januari 2016, saya sudah melayang di atas Jawa sambil memikirkan seperti apa kampung halaman saya di awal tahun seperti ini.

Penerbangan yang singkat dan lancar. Di sebelah saya seorang ibu tua dengan cucunya yang baru saja merayakan tahun baru di Jakarta, hendak kembali ke Malang. Cucunya baru sekolah tingkat SD. Sang nenek menceritakan bagaimana pintarnya sang cucu di sekolah. Saya ikut bergembira sembari kadang ingat diri sendiri, belum bisa memberi cucu ke ibu saya. Mendarat di Malang dengan lancar, adik saya sudah menanti di parkiran dan berikutnya kami melaju menuju kampung halaman. Sebuah desa kecil yang sunyi, sekitar 2 jam dari kota Malang, agak susah sinyal selular, tetapi kini sudah memiliki jalanan yang mulus dan juga penerangan listrik yang baik. Raga yang lelah akhirnya memiliki waktu dan menemukan tempat terbaiknya untuk sekedar menyegarkan diri, begitu ucap saya dalam hati. Meski hari-hari berikutnya suasana liburan tidak seideal harapan, saya bersyukur bisa masih bisa membasuh hati dalam kesederhanaan dan kebersahajaan kampung halaman. Saya paham tidak banyak yang bisa menghargai sebuah proses, karena semua orang selalu hanya ’memuja’ hasil, dan saya juga tidak keberatan (lebih tepatnya ‘whatever’-lah). Tulisan ini seperti telah saya sebutkan di awal, hanyalah cara saya memaknai perjalanan saya yang membentang dalam waktu yang begitu sempit, membelah daratan Sumatra Utara, membelah angkasa antara Sumatra hingga Jakarta, membelah angkasa antara Jakarta hingga Malang, hanya sekedar untuk bertemu ibu dan adik-adik saya, yang juga tidak setahun sekali saya datangi di kampung halaman. Salam dari desa!










* Pictures by Me at December 2015 - January 2016: North Sumatra & East Java. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments