Daging Ayam dari Rawa: Sekilas Tentang Tanaman Paku Rawa, Paku Cai, Warakas, Pappa dan apapun itu Namanya
Desa Labuhan Haji masuk dalam wilayah Kecamatan Empang,
Kabupaten Sumbawa. Komposisi demografis di desa ini fifty-fifty antara masyarakat asli dengan masyarakat perantau yang
berasal dari Bugis, dan sebagian kecil lagi dari dari Jawa. Sebagian besar
wilayah desa berada di dataran rendah dan sebagian lainnya masih merupakan kawasan
rawa-rawa karena berada persis di tepian Teluk Saleh. Kawasan rawa-rawa ini
cukup luas, di beberapa titik telah mulai diupayakan dengan sangat giat untuk
merubah kawasan rawa ini menjadi lahan yang lebih produktif misalnya saja menjadi
kebun dan lain sebagainya. Sedangkan kawasan rawa yang masih ‘liar’ selama ini
seringnya hanya dijadikan sebagai lahan penggembalaan kerbau dan pencarian
pangan pada saat tertentu saja. Yang menarik kondisi tanah rawa di Labuhan Haji
ini bukanlah rawa dengan air dan lumpur yang sangat lunak, tetapi agak-agak
keras seperti sebuah adonan kue, jadi kita masih relatif leluasa untuk berjalan-jalan
di atasnya. Meski demikian masyarakat seperti telah memiliki jalur khusus yang
sangat aman di atas tanah yang sangat tidak stabil tersebut sehingga kami tidak
perlu terlalu khawatir. Tetapi memang meski kemarin bulan Januari kawasan rawa
ini sebenarnya berada di puncak musim keringnya (iklim di Sumbawa berbeda
dengan kita di Jawa atau di Sumatra), beberapa genangan yang tersisa malah
kemudian menjadi pusatnya lintah yang beberapa di antaranya berhasil ‘mencuri’
darah berharga kami.
Tanaman kumar atau paku laut merupakan bagian dari
ekosistem mangrove (ekosistem bakau yang tentunya payau). Nama ilmiahnya adalah
Ascrotichum aureum. Masyarakat Sunda
menyebutnya paku cai, orang Jawa dan Betawi menyebutnya warakas. Masyarakat Bugis di sekitar
Teluk Saleh menyebutnya dengan nama “pappa”. Kumar mampu tumbuh baik di
ekosistem mangrove yang tidak lebat di dekat pantai juga sekitar muara. Tanaman
ini memiliki peranan penting dalam ekologi mangrove salah satunya sebagai
penyokong stabilitas tanah rawa yang cenderung labil. Maksudnya begini,
akar-akar kumar ini sangat kuat mencengkeram tanah mangrove, sehingga mampu
membuat kawasan rawa mangrove lebih stabil dan tidak ‘bergerak’ kesana-kemari.
Masyarakat sekitar Teluk Saleh selama ini seringnya memanfaatkan untuk
obat-obatan tradisional dan juga untuk asupan nutrisi, tetapi bukan asupan
nutrisi utama. Saya kesulitan menemukan manfaat yang real dan valid dari sumber
di internet tentang manfaat mengkonsumsi pakis rawa ini, tetapi kalau menurut
seorang warga Labuhan Haji yang memandu saya, intinya membuat kita kembari
bugar. Kata mereka, loyo-loyo hilang kalau kita mengkonsumsi pucuk pakis rawa
ini. Pakis rawa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat adalah bagian pucuknya
yang masih berwarna merah kehijauan.
Saya tiba-tiba teringat tanaman kelakai, paku rawa gambut yang banyak terdapat di daerah Kalimantan, ini adalah ‘saudara’nya pakis rawa kumar. Masyarakat Dayak yang tinggal di daerah lowlands juga suka mengkonsumsi pucuk pakis rawa kelakai ini untuk dijadikan sayuran. Bahkan saya pernah mendokumentasikan pemanfaatan masif dari kelakai di Kalimantan Tengah tepatnya di Kuala Kapuas dekat Pulang Pisau. Bukan hanya untuk dijadikan sayuran khas, seorang ibu rumah tangga di daerah ini juga berhasil mendirikan UKM besar dari mengolah kelakai menjadi beragam penganan unik. Potensi kelakai di Kalimantan ini memang luar biasa besar, tepatnya sangat besar, dan bukan hanya untuk asupan nutrisi tetapi telah berhasil dikonversi menjadi manfaat ekonomi yang signifikan. Paku rawa yang disebut kumar dan ada di sekitar Teluk Saleh, belum sampai pada kondisi seperti kelakai di Kalimantan tersebut karena ya seperti sudah saya gambarkan di awal bahwa pemanfaatannya masih sangat rendah dan hanya sesekali untuk pemenuhan nutrisi saja. Padahal dari pengamatan sekilas saya, populasi dan sebaran tanaman ini sangat luas yang sangat mungkin untuk dieksploitasi secara berkelanjutan dan konstan. Singkat cerita begini, ketika sudah dimasak menjadi sayuran bersantan, rasa pucuk kumar ini luar biasa lezat, seperti kita memakan daging ayam tetapi lebih tawar dan segar dan tentunya rendah lemak! Anda harus mencobanya!
Saya tiba-tiba teringat tanaman kelakai, paku rawa gambut yang banyak terdapat di daerah Kalimantan, ini adalah ‘saudara’nya pakis rawa kumar. Masyarakat Dayak yang tinggal di daerah lowlands juga suka mengkonsumsi pucuk pakis rawa kelakai ini untuk dijadikan sayuran. Bahkan saya pernah mendokumentasikan pemanfaatan masif dari kelakai di Kalimantan Tengah tepatnya di Kuala Kapuas dekat Pulang Pisau. Bukan hanya untuk dijadikan sayuran khas, seorang ibu rumah tangga di daerah ini juga berhasil mendirikan UKM besar dari mengolah kelakai menjadi beragam penganan unik. Potensi kelakai di Kalimantan ini memang luar biasa besar, tepatnya sangat besar, dan bukan hanya untuk asupan nutrisi tetapi telah berhasil dikonversi menjadi manfaat ekonomi yang signifikan. Paku rawa yang disebut kumar dan ada di sekitar Teluk Saleh, belum sampai pada kondisi seperti kelakai di Kalimantan tersebut karena ya seperti sudah saya gambarkan di awal bahwa pemanfaatannya masih sangat rendah dan hanya sesekali untuk pemenuhan nutrisi saja. Padahal dari pengamatan sekilas saya, populasi dan sebaran tanaman ini sangat luas yang sangat mungkin untuk dieksploitasi secara berkelanjutan dan konstan. Singkat cerita begini, ketika sudah dimasak menjadi sayuran bersantan, rasa pucuk kumar ini luar biasa lezat, seperti kita memakan daging ayam tetapi lebih tawar dan segar dan tentunya rendah lemak! Anda harus mencobanya!
* Pictures mostly by Me at Teluk Saleh, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Some pictures captured by Eko
Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially
for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my
pictures
without respect!!!
Comments