Mengenang Saleh Sembari Ikut 'Panen' Ubur-ubur: Teluk Terbesar di Kepulauan Nusa Tenggara dalam Arus Perubahan
Teluk Saleh yang maha luas pada akhirnya yang menjadi
pemenang paling menyita mata dan hati. Nama “Saleh” yang disematkan pada teluk
terbesar di Kepulauan Nusa Tenggara ini (luas 1459 km persegi dengan panjang
pantai 282 kilometer) bisa ditelusuri ke lembaran sejarah sebagai berikut (di
peta-peta kuno awalnya dituliskan dengan “Salee”). Menurut saya yang paling
kuat dan kemudian menjadi semacam kesepakatan umum dan berlaku hingga hari ini
adalah “paradigma religi” dengan latar tahun 1815. Dalam Syair Kerajaan Bima yang diceritakan oleh Khatib Lukman disebutkan
bahwa meletusnya Gunung Tambora (erupsi terjadi tanggal 10-17 April 1815) pada
tahun tersebut terjadi karena Allah murka atas dosa-dosa yang dilakukan oleh
orang-orang di Kerajaan Tambora (saat itu dipimpin oleh Raja Abdul Gafur).
Tersebut kisah waktu itu seorang saudagar Arab bernama Said Idrus yang datang
dari Benguku dianggap menghina raja karena marah setelah tahu bahwa makanan
yang dihidangkan kepadanya saat itu ternyata adalah olahan dari daging anjing.
Raja yang tersinggung kemudian memerintahkan untuk kemudian membakar Said Idrus
(sejarawan Helius Sjamsudin menulis bahwa nama saudagar arab yang juga penyebar
agara Islam ini bernama Syekh Muhammad Saleh), sedangkan versinya Roorda van
Esynga (pejabat Belanda yang meninjau dan mengirimkan bantuan ‘sembako’ ke Pulau
Sumbawa usai erupsi mengerikan Tambora) menyebutkan bahwa nama saudagar Arab
tersebut adalah Haji Mustafa. Erupsi Gunung Tambora sendiri kala itu ‘menelan’
tiga kerajaan besar di Pulau Sumbawa yakni Tambora, Pekat, dan Sanggar. Letusan
Gunung Tambora dianggap sebagai salah satu letusan terbesar yang pernah terjadi
di dunia saking besarnya skala erupsi dan akibat setelahnya (bunyi letusan
terdengar hingga radius 2600 km jauhnya di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan,
menimbulkan tsunami setinggi 4 meter hingga Kepulauan Maluku, dan membinasakan
sekitar 117 ribu penduduk Sumbawa). Iklim global kala itu juga ikut berubah
karena debu vulkanik Tambora memenuhi atmosfer dan menutup sinar matahari
berbulan-bulan lamanya. Bumi bagian utara dan selatan tetap dingin dalam
pelukan salju, dan bahkan Eropa dan Amerika Utara yang kala itu seharusnya
musim panas tetap berada dalam pelukan musim dingin berkepanjangan, jutaan
orang kelaparan akibat dingin dan bahan pangan yang menipis. Masa itu dikenal
di dunia dengan istilah “A year without summer”. Bahkan menurut ahli botani
Belanda, Junghuhn, dalam The Eruption of
G Tambora in 1815, empat tahun setelah erupsi, seluruh penjuru lautan di
sekitar Nusa Tenggara dipenuhi dengan batu apung yang menghambat pelayaran dan
secara otomatis perdagangan dan lain sebagainya di Nusantara.
Dua hari berikutnya setelah kedatangan saya di Kecamatan
Empang, setelah pengkondisian seluruh rencana kerja dan ‘menghidupkan’ seluruh
jaringan yang saya miliki di wilayah ini usai, bersama beberapa nelayan
keturunan Bugis dari Desa Aipaya saya dan tim sudah ‘membelah’ teduhnya
perairan Teluk Saleh menuju ke arah timur laut dengan kecepatan yang konstan.
Angin bertiup tenang, kemanapun mata memandang bentang alam begitu indah, dan
sunset di belakang kami seperti berteriak-teriak meminta untuk terus dipotret
dan diperhatikan. Teluk Saleh saat itu begitu mendamaikan, tiada lagi batu
apung yang pernah disebutkan oleh Junghuhn,
hehehe. Padahal hari itu kami sebenarnya sedang menuju ke ‘medan perang’ yang
setiap setahun sekali selalu ‘pecah’ di Teluk Saleh, dimana ratusan perahu
dengan beratus nelayan di dalamnya yang lintas suku dari sekitar Teluk Saleh
akan bergabung bersama untuk ‘bertarung’
bersama melawan ‘pasukan’ besar lainnya yang akan muncul dari kegelapan Teluk
Saleh, yakni ‘pasukan’ ubur-ubur. Hehehe. Maafkan deskripsi saya yang lebay ini tetapi memang saya sangat
sulit untuk menemukan kata yang bisa mewakili fenomena alam yang ‘megah’
sekaligus aneh tersebut. Bulan Januari saat itu sebenarnya posisinya sudah di
penghujung musim ubur-ubur yang berlangsung di Teluk Saleh, karena musim ini
sudah mulai sejak bulan November tahun sebelumnya. Di awal musim saya gagal
melakukan perjalanan ke Teluk Saleh karena sebagian anggota tim sedang ada
kesibukan penting lain yang tidak bisa ditinggalkan. Jadilah kami kemudian baru
berhasil ikut ‘berperang’ bersama para nelayan Teluk Saleh di akhir musim. Saya
sempat khawatir bahwa kedatangan kami tidak mendapatkan respon yang pantas dari
‘pasukan’ ubur-ubur yang menguasai Teluk Saleh selama tiga bulan terakhir
tersebut, tetapi para nelayan menjamin bahwa kehawatiran saya tersebut tidak
perlu sama sekali. Tiga jam berlayar akhirnya kami tiba di kawasan yang menjadi
‘markas besar’-nya ubur-ubur, waktu menunjukkan pukul 18.30 malam tetapi cahaya
matahari masih temaram, sesekali say amelihat ke arah Gunung Tambora dan
teringat kembali Said Idrus atau siapapun namanya. Hanya dua kapal kami yang
sudah mengambil posisi di kawasan tersebut dan belum ada tanda-tanda kapal lain
yang tiba di ‘medan perang’ yang sebentar lagi akan tercipta ini. Pak Gading
yang menjadi ‘pemimpin’ kami hari itu menghibur saya dengan “Ngopi dulu bang
Mek mumpung sempat” sambil tersenyum.
Waktu terus berlalu, satu dua tiga empat dan entah berapa
ratus kapal lainnya satu persatu akhirnya tiba di kawasan tersebut, tepat ketika
gelap total berkuasa di Teluk Saleh. Saya agak merinding sebenarnya ketika
menuliskan hal ini. Awalnya permukaan air laut seperti biasanya ketika gelap,
hanyalah lapisan cair monoton yang gelap mengkilat meski telah ditimpa cahaya
lampu. Tetapi belum juga habis satu gelas kopi yang tadi dihidangkan oleh Pak
gading tadi, tiba-tiba seluruh permukaan air laut kemudian telah penuh oleh
jutaan atau mungkin bahkan milyar-an ubur-ubur yang naik ke permukaan air laut
dan berenang kesana-kemari ‘menyerbu’ seluruh perahu nelayan yang ada di
kawasan itu. Seluruh kapten perahu tanpa dikomando kemudian menghidupkan mesin
mereka dan kemudian bergerak ke segala arah, empat atau lima orang lainnya di
setiap perahu kemudian mengambil posisi di bagian kiri kanan perahu dengan
serokan kecil bertangkai panjang, mengambil ubur-ubur berukuran besar sebanyak
mungkin mereka bisa dapatkan, kalau perlu sampai perahu penuh dalam waktu
secepat mungkin! Saya tidak pernah melihat momen seperti ini seumur hidup saya,
saya merinding dan bahkan ketika menuliskan ini sekarang. Ratusan perahu terus
meraung bergerak, dan ratusan manusia terus menyerok ke dalam air ‘memanen’
ubur-ubur yang terus naik ke permukaan memenuhi seluruh penjuru kawasan
perairan. Teriakan, tawa, bunyi mesin perahu, dan musik musik dangdut membahana
memecah kesunyian Teluk Saleh. Bahkan kota Empang sekalipun, yang notabene
sebuah kota kecamatan pusat kehidupan masyarakat di kawasan ini, kalah
benderang dan kalah meriah dengan ‘medan perang’ yang tercipta saat itu oleh karena
perburuan fenomenal yang dilakukan oleh para pemburu ubur-ubur. Teluk Saleh
membara!!! Itu yang bisa saya teriakkan ke Pak Gading, yang tertawa-tawa sambil
terus memegang kemudi kapal, nelayan keturunan Bugis ini telah memenuhi
janjinya, membawa saya ke ‘medan perang’ paling aneh yang terjadi tahun ini di
Teluk Saleh, yang mempertemukan antara manusia dan ubur-ubur. Tiga jam
berikutnya saya dan tim Jejak Petualang lainnya kemudian larut dalam kerja
dokumentasi seperti biasanya kami lakukan, mencoba merekam sebaik mungkin momen
klasik kehidupan bahari istimewa ini. Kami mungkin bukan tim pertama yang
pernah mengabadikan ‘pertempuran’ antara manusia dan ubur-ubur ini Teluk Saleh,
tetapi para nelayan mengatakan bahwa baru kami yang benar-benar ikut terjun ke
‘medan perang’ seperti yang kami lakukan malam itu, lainnya kata mereka hanya
‘bermain’ di pinggiran saja dan itupun dalam konsep dokumentasi yang jauh
berbeda. Tidak ada kemegahan “Teluk Saleh membara” yang mereka rekam dalam
konsep dokumentasi tersebut, sekedar mendapatkan gambar secukupnya saja, tidak
mewakili momen aslinya seperti ‘kekacauan’ massal yang terjadi malam itu di
tengah Teluk Saleh.
Ubur-ubur yang ‘dipanen’ oleh masyarakat nelayan di Teluk
Saleh setiap musimnya, sama seperti yang dilakukan nelayan lain di Indonesia
pada musimnya, adalah jenis ubur-ubur merah (red jellyfish), salah satu dari jenis hampir dua ratus jenis
ubur-ubur yang ada di dunia. Itupun ada semacam seleksi langsung di alam
terhadap ukuran yang boleh diambil dalam perburuan ini yaitu yang akan diambil
oleh nelayan hanyalah ubur-ubur yang berukuran besar saja. Biasanya yang
beratnya setidaknya lima kilogram, semakin besar semakin baik. Hal ini
sebenarnya karena faktor karakter fisik dari ubur-ubur ini sendiri yang mana
95% dari ‘tubuh’ ubur-ubur terdiri dari air, itulah sebabnya binatang ini dalam
dunia ilmu pengetahuan dimasukkan dalam kelas Hydrozoa (binatang yang diliputi hydra/air). Penyusutan yang
dialami binatang ini ketika sudah mati memang luar biasa. Taruhlah jika yang
ditangkap nelayan beratnya adalah 7 kilogram, setelah melalui proses pengolahan
di pabrik, paling-paling akan didapatkan tidak lebih 2 kilogram ubur-ubur
‘kering’. Secara skala eksploitasi ini menurut saya ‘baik’, karena begini.
Seperti waktu itu say alihat sendiri di Teluk Saleh, meskipun seluruh permukaan
air laut penuh dengan ubur-ubur merah yang jumlahnya tak terhitung tersebut,
nelayan meski bekerja seperti orang kesetanan, hanya akan menyerok ubur-ubur
besar saja. Hebatnya lagi memang populasi ubur-ubur di Teluk Saleh pada
musimnya memang luar biasa, dalam waktu tiga jam bekerja saja, perahu-perahu
dengan berat 7 ton itu sudah akan penuh semua dengan ubur-ubur. Dan hampir
semuanya juga akan dipenuhi hingga batas air kapal dengan air laut kira-kira
hanya tersisa satu dua jengkal saja! Setelah semuanya penuh barulah ratusan
perahu nelayan tersebut akan berlomba-lomba menuju darat untuk menyetorkan
hasil tangkapannya ke pabrik-pabrik yang setiap musim ubur-ubur akan dibuka
oleh para pemodal (setahu saya 50 % persen dari penampung ubur-ubur di Teluk
Saleh adalah keturunan Cina, sisanya dari Jawa dan Makassar). Harganya menarik
meski tidak stabil, berkisar antara 35-120rb per basket/keranjang. Satu
keranjang ini kira-kira jika ditimbang beratnya hampir 100 kilogram. Ukuran
keranjang ini diberlakukan mengingat penyusutan yang sulit ditebak dari
ubur-ubur itu sendiri, jadi di Teluk Saleh diterapkan satuan keranjang agar
cukup fair antara penampung dan nelayan. Volume produksi ubur-ubur di Teluk
Saleh sendiri selama tiga bulan kemarin jujur saya tidak memiliki catatan yang
valid, beberapa bos pabrik yang saya tanya sulit untuk membuka cacatannya dan
malah ‘curcol’ tentang banyaknya
pejabat daerah yang ‘malakin’ mereka
setiap kali musim ubur-ubur berlangsung dengan berbagai dalih. Saya bisa
memahami kondisi ini, tetapi angka ribuan ton ubur-ubur kering setiap musimnya
adalah jumlah yang sangat mungkin mengingat setiap malam volume tangkapnya saja
bisa mencapai angka ratusan ton (basah). Anggap penyusutan yang terjadi dalam
semalam tangkap adalah 90 %, maka jika dalam semalam total tangkapan di seluruh
nelayan di Teluk Saleh adalah seribu ton basah, maka masih akan didapatkan 100
ton ubur-ubur kering setiap harinya. Kalikan saja misalnya dengan operasi efektif
seluruh pabrik di daerah ini adalah enam puluh hari?!
Di Indonesia perburuan ubur-ubur ini sebenarnya juga terjadi
di banyak perairan lainnya, misalnya saja di Maluku, Sulawesi, kalau di Jawa di
perairan selatan Cilacap dan beberapa daerah lainnya. Tetapi memang yang paling
masif terjadi di Teluk Saleh karena jika
sedang musimnya, hampir 50 % masyarakat di Teluk Saleh akan banting setir
menjadi nelayan ubur-ubur ( 99 % nelayan ikan sudah pasti akan berubah haluan
menjadi nelayan ubur-ubur) dan atau menjadi pekerja pengolahan ubur-ubur. Secara
fenomena alam yang terjadi di Teluk Saleh memang ajaib, karena perairan seluas
ini akan dipenuhi dengan ubur-ubur! Efek ekonominya sangat luar biasa karena
ubur-ubur akan menggerakkan banyak roda kehidupan masyarakat. Nelayan pemilik
perahu, warga yang menjadi penangkap ubur-ubur, pekerja pengolahan, petani
garam di Sumbawa (untuk pengawetan menggunakan garam), pemilik lahan (untuk
membangun pabrik pengolahan ubur-ubur), pemilik truk-truk pengangkut untuk
pengiriman ke luar Sumbawa dan pelabuhan, kapal-kapal kargo tradisional, warung
makanan, dan lain sebagainya. Ini adalah salah satu contoh nyata yang positif
dari sebuah fenomena alam yang kemudian dikonversi manusia menjadi bergeraknya penghidupan
masyarakat dan termasuk masuknya devisa ke kas negara. Sebagai gambaran untuk
tahun 2015 saja misalnya, menurut Badan Pusat Statistik nilai ekspor ubur-ubur
dari Indonesia tercacat sebesar USD 14,7 juta. Pertanyaannya bagaimana ini bisa
terjadi? Sebenarnya jawaban atas hal ini, atau tentang ubur-ubur sebagai
komoditas dan juga kaitan manfaatnya untuk kehidupan dan kesehatan manusia ini
yang tersebar di internet, saya hanya akan mengulasnya saja sekilas. Konon awal
mulanya terjadi di masyarakat China yang banyak memakai ubur-ubur sebagai
makanan pelengkap, misalnya saja dijadikan campuran sop dan lain sebagainya.
Perburuan ubur-ubur kemudian masif terjadi di perairan Laut China Selatan demi
memenuhi keinginan konsumsi masyarakat China yang semakin tinggi. Trend ini
kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga hari ini, apalagi setelah
melalui berbagai penelitian ternyata ubur-ubur ini juga memiliki manfaat dan
kegunaan lainnya mulai dari untuk makanan, bahan campuran kosmetik hingga bahan
campuran membuat kondom! Di Desa Aipaya saya juga mendapati olahan ubur-ubur
dalam bentuk makanan tradisional yang dibuat oleh masyarakat. Dari semua hal ini intinya jadilah ubur-ubur
kemudian menjelma menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
secara otomatis meningkatkan skala eksploitasinya di berbagai perairan di dunia
termasuk di Indonesia hingga ke Teluk Saleh. Saya belum berhasil menemukan efek
negatif dari masifnya perburuan ubur-ubur terhadap ekosistem perairan, jika ada
pembaca blog ini yang berhasil menemukannya dari sumber yang cukup qualified boleh memberi tahu saya.
Memang ada sentimen negatif terhadap ubur-ubur di masyarakat
manapun di dunia ini, karena hasil interaksi yang tidak harmonis antara
ubur-ubur dan manusia berujung pada menderitanya manusia, jika terkena racun
dari sengatan ubur-ubur jenis tertentu. Pemberitaan media yang kadang tidak
berimbang membuat citra ubur-ubur ini kurang baik dimanapun di muka bumi. Saya
mengajak pembaca blog ini agar menakar semuanya secara lebih dewasa, sama
seperti ketika kita ingin memahami tentang masuknya binatang buas seperti
harimau atau gajah ke pemukiman warga. Binatang yang menyerang manusia, ataukah
manusia yang sudah terlalu parah mencampuri dan merangsek masuk ke urusan binatang?
Penjabaran tentang hal ini akan sangat panjang tetapi saya yakin kita semua
bisa menelusurinya sendiri-sendiri sesuai keperluan masing-masing karena
informasinya melimpah di jagat maya. Seorang peneliti Spanyol bernama Maria Luz
Fernandes des Puelles mengatakan bahwa spesies ubur-ubur saat ini siap
mengambil alih dominasi dua per tiga perairan laut di muka bumi ini. Penyebab
meledaknya populasi ubur-ubur ini konon antara lain overfishing ikan-ikan
predator, pemanasan global, semakin banyaknya polutan di laut, dan naiknya
temperatur air laut. Ini memang sangat mungkin terjadi mengingat semua faktor
yang disebutkan oleh Maria Luz tersebut sangat sulit untuk disangkal. Akan
tetapi jika memang kekhawatiran ini kemudian menjadi nyata, saya berharap masih
memiliki kesempatan untuk memberitahu seluruh masyarakat nelayan di Teluk Saleh
agar bersiap-siap untuk ‘panen’ abadi dan atau kalau perlu saya akan pergi ke Bikini Bottom memberitahu Spongebob Squarepants (tokoh kartun
fenomenal ini memiliki passion tinggi terhadap ubur-ubur)! Meski dalam hati
saya tidak rela karena seluruh alat pancing yang saya miliki otomatis akan nganggur dan saya bisa jadi terpaksa
harus ganti hobi karena lautan tidak akan ada lagi game fish yang pantas untuk saya buru! Salam ubur-ubur!!!
* Pictures mostly by Me at Teluk Saleh, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments