Tarian Ombak Tepi Selatan Samawa: Jaring Ombak dan Perburuan Ekstrim Masyarakat Brang Bako, Pulau Sumbawa (Bagian 3)
Ketersedian atau kecukupan pangan, nutrisi atau apapun itu
sebutan lainnya yang kurang lebih sama artinya, adalah bagian sangat penting
atau mendasar setiap kehidupan manusia yang hidup di bumi ini. Bagaimana, kapan
dan cara memenuhinya dan dari mana mereka mendapatkannya saja yang berbeda-beda.
Ada yang cukup menekan layar ponsel dan tak lama kemudian makanan bisa tersaji
di depan mata (delivery service) kita
hanya perlu memilki uang saja dan apapun bisa dibeli, ada yang harus ‘membelah’
pegunungan maha tinggi dahulu demi mencari atau mendapatkan bahan pangan di
daerah yang lain, ada yang menyusuri ratusan kilometer sungai-sungai besar di
Kalimantan untuk mencari dan membeli bahan-bahan pangan, ada yang bertaruh
nyawa di tengah samudera untuk mendapatkan ikan konsumsi dan atau dijual, dan
lain sebagainya. Dalam konteks kecukupan pangan ini, menurut saya ada dua tipe
manusia dalam berjuang dalam memenuhi kecupukan pangan untuk dirinya dan
keluarganya. Pertama melalui cara-cara yang direstui Tuhan dan ada juga yang
melakukan cara-cara yang tidak tepat dan lebih jauh lagi ada yang kemudian
melupakan hal dosa. Manusia memiliki keistemawaan karena selalu memiliki
pilihan, ada yang selalu bisa memilih cara yang barokah dan ada juga yang
tergoda dengan cara yang tidak semestinya. Hal ini kata orang bijak adalah
ujian kehidupan di dunia yang fana ini.
Apa yang saya lihat di Kampung Brang Bako di Pulau Sumbawa
di penghujung Januari lalu, adalah cara yang pertama, cara yang tidak hanya
terpuji tetapi juga bersahabat dengan alam meskipun mengandung tingkat resiko
atau bahaya yang sangat besar. Menjaring ikan di tepian terjal pantai dalam gempuran ombak besar (jaring ombak istilahnya) demi mendapatkan ikan-ikan konsumsi harus
dilakoni masyarakat dikarenakan kondisi geografis pesisir selatan yang sangat
ekstrim ini adalah salah satu pernyataan perjuangan pencarian pangan paling
‘gagah’ yang pernah saya lihat di negeri ini. Mereka melakukannya hampir setiap
hari usai bekerja di ladang, kadang sore hari sebelum pulang ke rumah, dan
kadang dilakukan malam hari ketika bulan cukup terang. Terlepas dari banyak hal
yang menjadi tantangan ketika proes dokumentasi dilaksanakan kemarin, misalnya
saja karena faktor kendala bahasa dalam melakukan komunikasi dua arah, kurang
rapinya koordinasi di antara semua yang terlibat karena kurangnya pemahaman
konsep dokumentasi petualangan, mungkin cara penyampaian kami dna terutama saya
dan lain sebagainya, sungguh saya ingin menyampaikan rasa hormat kepada beberapa
pemuda asal Desa Jotang Beru, masyarakat Kampung Brang Bako dan Kampung Tero,
termasuk juga seluruh kru lokal dan beberapa sahabat dari kota Sumbawa Besar
yang ikut nimbrung dalam proses
dokumentasi saat itu. Mungkin wajah saya kurang bersahabat apalagi kalau ada sesuatu
yang missed, mungkin kata-kata saya
dalam berbicara kurang halus apalagi ketika ada yang tidak berjalan normal,
tetapi jujur saya tidak ada niatan secara sengaja apalagi mengarah ke personal
tertentu saat itu. Semua saya lakukan dalam konteks ‘profesional”, demi hasil
dokumentasi terbaik yang layak ditampilkan ke seluruh dunia, sehingga
perjuangan kalian semua mencari sumber penghidupan dalam kondisi geografis yang
sangat unik tersebut dapat menginspirasi khalayak yang lebih luas siapapun itu.
Misalnya untuk pemerintah daerah siapa tahu kemudian menjadi tergerak untuk
‘menyapa’ Brang Bako dengan lebih intensif, misalnya LSM kemudian merancang
program-program untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat disana, yang
selama ini lupa Brang Bako menjadi ingat lagi misalnya, dan lain sebagainya. Semoga
kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan dalam suasana yang lebih hangat
karena tidak perlu lagi kita tambah panasnya matahari Sumbawa yang luar biasa
itu dengan ketegangan urat-urat saraf kita.
Masyarakat Brang Bako, dan juga Kampung Tero, adalah
masyarakat agraris, meskipun telah berulang kali saya sebutkan di dua catatan
sebelumnya, mereka memiliki halaman belakang maha luas bernama Samudera Hindia.
Praktis mayoritas profesi masyarakat di daerah ini adalah petani. Kampung Brang
Bako oleh pemerintah daerah digolongkan dalam Komunitas Adat Terpencil (KAT),
terdiri dari sekitar 20 KK yang mana kampungnya berada sekitar 100 meter dari
bibir pantai selatan. Rumah di kampung ini seragam semua baik model bangunan
dan juga warna catnya, ini terjadi sejak tahun 2011 ketika dilakukan relokasi
dari lokasi kampung pertama di dekat pantai, usai terkena tsunami. Tetapi kita
tidak perlu khawatir nyasar karena kampung ini sangat kecil dan isi halaman
rumahnya pasti beda-beda. Jadi ingat saja halaman rumahnya jangan rumah dan warna
catnya karena kita bisa bingung. Untuk mencapai Brang Bako kita harus menempuh
jarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kecamatan Empang di sisi utara Sumbawa.
Secara jarak dengan roda dua atau roda empat harusnya bisa ditembus 30 menit
saja, tetapi karena kondisi badan jalan menuju kampung ini macam-macam (ada
yang berbatu rata, turunan tebing terjal, jalan tanah, dan lain sebagainya)
kemarin kami tiba setelah berjuang selama hampir 3 jam lamanya. Untungnya kami
melintas ketika cuaca sedang panas-panasnya, jadi jalanan tidak terlalu licin
meski di beberapa titik masih licin karena adanya rembesan air dari kebun
sekitar jalan. Andai saja kemarin tiba-tiba hujan, bisa jadi kami bermalam di
tengah jalan karena sangat beresiko melintas jalur ini ketika hujan. Kendaraan
paling tepat untuk digunakan mengakses Brang Bako adalah kendaraan double gardan, dan kendaraan roda dua.
Motor standar pun bisa asalkan yang mengendarainya jago, lebih baik lagi adalah
motor trail dengan ban ‘tahu’ akan lebih aman lagi perjalanan kita. Hal kondisi
jalan dan juga guna lahan di sekitar Brang Bako dan Kampung Tero sedikit banyak
sudah saya jelaskan di dua catatan sebelumnya. Iya saya memang terganggu dengan
pembukaan lahan yang di beberapa titik seperti membabi buta, karena banyak yang
langsung bersentuhan dengan pantai. Tetapi karena ini bukan kapasitas saya
untuk membahas lebih dalam tentang hal ini, saya berharap bahwa semoga ke
depannya tidak ada ancaman abrasi yang membahayakan kehidupan disana. Di
beberapa titik jalan saya sih sudah beberapa efek nyatanya, karena sudah ada
jalanan yang berada persis di bibir pantai karena tidak ada lagi yang menahan
gempuran ombak ketika musim angin besar dan pasang tinggi.
Kita kembali lagi ke masalah perburuan pesisir yang oleh
masyarakat disebut dengan nama jaring
ombak. Karena semua masyarakat daerah ini adalah petani, pencarian nutrisi
di pesisir ini dilakukan dalam waktu sela saja. Mungkin sore hari ketika usai
bekerja di ladang atau sawah (sungguh saya melihat satu areal persawahan di tepi
pantai di daerah ini), dan atau kalau malam misalkan masyarakat sedang susah
tidur misalnya. Intinya sih ketika sedang perlu lauk-pauk ikan saja. Jadi
memang tidak ada yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan. Saya sempat
melihat dua buah kapal kayu cukup besar yang sedang jangkar di daerah ini dan
rupanya perahu-perahu dari daerah lain yang jauh. Mereka tergoda dengan potensi
ikan di pantai-pantai sekitar Brang Bako dan Kampung Tero yang jarang disentuh
oleh masyarakat sekitarnya hingga hari ini. Saya membatin semoga mereka
bukanlah kapal-kapal pengebom ikan yang biasa beroperasi di laut-laut ataupun
kawasan pesisir yang sepi dari kegiatan kapal lain. Masalah kapal ini ada yang
menarik untuk saya bahas, betapa sebenarnya jauh dalam hati masyarakat ada
keinginan untuk memilikinya sehingga dapat dipakai untuk mencari sumber
penghidupan lain di laut selatan. Suatu hari ketika masih belum beranjak
berangkat suting (baru bangun pagi tepatnya) tiba-tiba saya didatangi oleh tiga
orang bapak-bapak entah dari mana (yang pasti bukan warga Brang Bako) yang
karakternya khas sekali; ramai, semangat, dan sedikit banyak juga ngeyel. Mereka memohon dengan sangat
agar diterima dalam tim karena ingin ikut kapal ke tengah laut supaya bisa
mancing ikan-ikan besar. Saya jelaskan bahwa tidak ada rencana seperti itu
dalam kedatangan saya kali ini, bahkan sampai nanti pun juga tidak ada rencana
seperti itu. Mereka ngotot tetap ingin ikut karena kata seseorang saya
berencana ke tengah laut dengan kapal besar untuk mencari ikan. Berkali-kali
saya jawab tetapi tidak mempan juga, akhirnya tiga orang ini saya kasih tahu
sampan-sampan yang kami bawa. Ini Pak “kapal” kami, dan akan kami gunakan di
sungai, kalau mau ikut silahkan. Mereka tanpa pamit kemudian ngeloyor pergi
sambil berbicara dalam bahasa yang tidak saya pahami, dan saya pun speechless, termangu. Buset dah pak?!
Masyarakat yang melakukan perburuan jaring ombak ini juga tidak banyak, kemarin misalnya dari sepuluhan
orang yang terlibat dokumentasi, saya lihat hanya dua orang saja yang memang
biasa melakukan hal ini. Lainnya bukan tukang jaring ombak. Perburuan ini memang sangat ekstrim, dua orang ini
saya lihat seperti bermain-main dengan maut. Jaring yang dipakai adalah jaring
biasa untuk ikan-ikan berukuran konsumsi (ikan kecil). Satu atau dua orang
biasanya akan masuk ke air ke titik dekat ombal pecah untuk menebarkan
jaringnya, kemudian akan membentangkannya di areal sekitar pecahnya ombak
tersebut, jika jaring selesai dibentang kemudian ditarik beramai-ramai kembali
ke pinggir. Yang paling berani bermain-main dengan maut ini selama proses
suting kemarin ya hanya dua orang ini saja, satunya adalah Kepala Dusun Brang
Bako, dan satunya lagi warga Kampung Tero bernama Pak Man. Jika tidak ada dua
orang ini, saya yakin dokumentasi kegiatan ini bisa gagal total! Saya memahami
banyak warga yang sehari-hari enggan melakukan kegiatan ini, karena potensi
bahayanya yangs angat besar. Hasilnya adalah ikan-ikan kecil seperti ikan serinci (jenis ikan Damsel fish) dan ikan trevally kecil. Ada satu jenis ikan yang
sepertinya endemik daerah sini namanya ikan elle’,
ikan ini belum pernah saya lihat di pesisir manapun di negeri ini. Tetapi
khusus untuk ikan elle’ ini katanya
paling mudah didapatkan ketika malam hari. Hasil perburuan dengan cara jaring ombak ini sebenarnya cukup
menjanjikan, karena ekosistem pesisir di kawasan ini masih sangat sehat. Tetapi
masyarakat tidak pernah menjaring ikan banyak-banyak, karena toh tidak bisa
dijual, mau dijual kemana, kepada siapa? Mau dijual ke utara ke Kecamatan
Empang jaraknya juga terlalu jauh, ikan keburu rusak sampai di pasar. Mau
disimpan di rumah juga tidak bisa, tidak ada es batu ataupun lemari pendingin. Jangankan
lemari pendingin, listrik saja tidak ada! Jadi perburuan benar-benar dilakukan secukupnya
saja untuk memenuhi kebutuhan makan dengan perhitungan waktu yang cermat, jadi jaring ombak akan diselesaikan ketika
proses masak memasak akan dilakukan di rumah setelahnya. Foto-foto yang saya pasang
di catatan ini lebih bisa menjelaskan definisi “bermain dengan maut” dan juga
“perburuan ekstrim” ini. Kiranya cukup sekian saudara-saudara catatan kecil
saya tentang Kampung Brang Bako, semoga dapat menjadi renungan kita bersama.
Salam petualang!
* Pictures mostly by Me at Brang Bako, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments