Skip to main content

Catatan Seorang Pemancing: Masik Nyaran dan Konsep Konservasi Tradisional Tanaaq Peraaq Orang-orang Long Glaat


Untuk orang-orang Mahakam Ulu, terutama orang-orang Dayak Long Glaat. Sebagian dari kalian menemani kami setiap hari menantang jeram, sebagian lagi menyalakan api unggun ketika hujan dan dingin memeluk pedalaman. Segala usaha dan doa kita rajut bersama, demi mewujudnya harapan terbaik di masa depan, hingga tanpa terasa ternyata kita berpetualang bersama sebagai sebuah keluarga. TERIMAKASIH!

Masik, adalah bahasa dayak Long Glaat (salah satu sub Suku Dayak Bahau) yang artinya ikan. Sedangkan nyaran atau sapan berarti ikan dari jenis mahseer (Tor spp), yaitu spesies ikan yang hidup di sungai-sungai berarus deras. Spesies yang sangat unik sekaligus sangat prestisius di kalangan pemancing sport (sportfisher) karena fighting ability yang mumpuni, ekosistem yang spesifik, akses ke habitat spesies ini yang selalu tidak mudah, dan juga karakter ikan yang sangat unik. Bahkan di masyarakat pedalaman Asia Tenggara pada umumnya, spesies ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Sejak jaman kuno ikan jenis ini dianggap ikan para raja karena hanya kaum bangsawan yang boleh mamakannya (rasa daging ikan ini luar biasa nikmat). Di beberapa daerah di Indonesia ikan ini bahkan disakralkan dan konon memiliki tuah tersendiri bagi siapapun yang berani mengganggunya. Di dunia modern seperti sekarang seperti masih terjadi di Singapura dan juga Malaysia, spesies ini adalah ikan yang juga dikonsumsi dan menyatakan strata sosial kelas atas saking sangat mahalnya harga ikan ini di pasaran. Di sisi lain di Indonesia, habitat ikan jenis Tor spp ini semakin terganggu dengan menipisnya luasan hutan tropis kita di pegunungan, tekanan pada habitat yang semakin berat (over fishing), cara tangkap tidak ramah lingkungan, dan pola serta tingkat konsumsi yang berubah semakin kuat. Bahkan ikan ini sepengetahuan saya juga pernah (dan mungkin masih terjadi hingga hari ini) menjadi komoditas yang sangat sensitif di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan, karena banyak pedagang gelap dari negeri tetangga tersebut yang merangsek ke wilayah Indonesia demi mendapatkan ikan-ikan ini untuk kemudian dijual dan dikembangbiakkan di sana. Padahal negara mereka secara kondisi geografis juga memiliki potensi spesies unik ini, tetapi memang tidak sehebat negeri kita secara populasi dan luasan wilayah sebarannya. Kabar paling heboh tentang perdagangan gelap ikan nyaran ini adalah bahwa para pemilik uang dari negeri tetangga tersebut sampai ada yang membawa helikopter untuk ‘mencuri’ ikan-ikan kita ini di sungai-sungai pegunungan di Indonesia di Kalimantan. Di beberapa daerah di negeri kita ikan ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di Jawa sering disebut dengan nama kancra, di Sumatra sering disebut semah dan atau gariang, di Dayak Punan disebut atuk ong, dan secara umum di Kalimantan juga disebut dengan nama ikan pelian dan sapan. Luas sebaran dan tingkat populasi yang paling hebat spesies Tor spp di Indonesia saat ini terdapat di Kalimantan. Pulau Bali, Sulawesi hingga pulau-pulau lain di Indonesia Bagian Timur tidak memiliki spesies ikan ini di sungai-sungai pegunungannya (upper river).

Masyarakat Dayak Long Glaat menempati sebuah wilayah di daerah Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Seperti pernah saya tuliskan di catatan sebelumnya (sayangnya dalam dua catatan pertama saya di blog ini saya salah menuliskannya dengan kata Gelat dan bukannya Glaat), kampung orang-orang Long Glaat ini cukup terpencil alias jauh sekali dari dunia ramai. Dari kota Melak di Kalimantan Timur misalnya,setidaknya diperlukan waktu sehari penuh ‘mendaki’ aliran Sungai Mahakam dengan menggunakan speed boat dan atau long boat kayu. Jaraknya saya tidak tahu pasti, yang sudah pasti adalah dijamin pantat dan seluruh badan kita akan sangat pegal duduk seharian di moda transportasi utama di daerah ini selam a’mendaki’ dan merasakan ‘terjalnya’ jeram-jeram di Sungai Mahakam. Orang-orang Long Glaat tinggal di Kampung Lung Tuyoq yang bersebelahan dengan Liuq Mulang, kampung yang merupakan sub-nya orang-orang Long Glaat. Menurut rekan saya seorang ‘ahli’ Suku Bahau, secara garis keturunan orang-orang Liuq Mulang ini konon bukan murni Long Glaat, namun karena sejak jaman kuno selalu bergandengan tangan, kemanapun orang Long Glaat pindah atau bermigrasi, maka orang-orang Liuq Mulang akan mengiringinya ibarat dua karib yang tidak terpisahkan. Sesuai dengan kontur tanah di pegunungan, maka wilayah ini pun memiliki kondisi alam yang sangat khas. Barisan pegunungan tersebar kemanapun mata memandang, dan sungai-sungai berarus deras mengular laksana urat nadi yang mengalirkan ‘darah’ kehidupan ke semua makhluk yang tinggal di wilayah ini. Sungai-sungai dengan karakter khas upper river ini menyediakan ikan-ikan sebagai sumber makanan hewani, menyediakan air tawar yang tidak akan habis diminum ratusan generasi, menjadi jalan raya mobilitas seluruh masyarakat, dan lain sebagainya. Bahkan dalam konteks tertentu, sungai-sungai upper river ini juga menjadi ‘tempat ibadah’ bagi kepercayaan orang-orang Long Glaat terhadap salah satu leluhur mereka. Seperti dalam legenda ikan kuyur misalnya, dipercaya salah satu “boq” atau leluhur Long Glaat menjelma (reinkarnasi?) menjadi ikan kuyur (Bagarius yarelli) dan kemudian hidup di Sungai Mahakam berikut anak-anak sungainya. Hal ini masih dipegang teguh, yang mana kalangan hipui atau bangsawan Long Glaat hingga hari ini tidak pernah memakan daging dari ikan kuyur ini demi menghormati leluhur-leluhur mereka. Berdasarkan pengamatan saya di Long Glaat awal Maret lalu hal ini masih dipegang teguh oleh kalangan hipui dan juga masyarakat biasa lainnya (meski saya yakin jika diprosentasekan tidak bisa sepenuhnya 100 % karena satu dua masyarakat biasa kadang kala akan terpaksa memakan daging ikan kuyur ini jika ada yang mati akibat terkena jaring atau pukat yang mereka pasang di sungai).

Ada lima jenis ikan nyaran yang dikenal oleh masyarakat Long Glaat yang jika posisinya diurutkan dalam tingkatan atau strata. Pertama adalah ikan tebelaq, jenis ikan nyaran yang mampu tumbuh hingga ukuran monster (up 20 kg) dengan warna sisik kuning emas kemerahan. Ini adalah rajanya sungai arus deras dan tinggal di bagian sungai dengan arus paling ‘kejam’. Kedua adalah ikan nyaran atau sapan, mampu tumbuh besar juga seperti ikan tegelaq tetapi sisiknya berwarna putih keemasan. Ketiga adalah yang disebut ikan nyaran hitam, tidak mampu tumbuh sebesar dua jenis sebelumnya dengan warna putih kehitaman. Ketiga adalah ikan nyaran mid, ikan jenis mahseer yang tumbuh berukuran sedang dengan warna yang menyerupai nyaran hitam. Terakhir adalah ikan nyaran buring, jenis mahseer mini yang hanya tumbuh seukuran jari dan hidup di badan sungai yang berarus tenang. Di antara semua jenis ikan lainnya yang mampu hidup di sungai berarus deras (karena masih ada juga jenis-jenis ikan lainnya seperti seluang yang ukurannya super mini itu, ikan-ikan jenis catfish, dan jenis forest snakehead atau keehung), maka ikan jenis mahseer adalah ikan favorit untuk dikonsumsi. Penyebabnya sederhana, rasa dagingnya sangat sangat lezat! Oleh karena hal ini jugalah kemudian muncul semacam pandangan bahwa nelayan atau pemancing yang hebat adalah mereka yang mampu memancing atau menjaring ikan ini. Orang boleh mendapatkan ikan jenis lainnya sebanyak apapun, tetapi satu ikan nyaran dengan ukuran sedang akan mendapatkan semacam salut atau juga pujian yang lebih. Gambarannya begini, jika seseorang di Long Glaat membawa pulang ikan adungan misalnya (ikan hampala) sebagai hasil menjadi nelayan di sungai, reaksi orang di rumah akan biasa saja. Oh, adungan? Tetapi jika yang dibawa pulang adalah jenis mahseer, reaksi orang di rumah akan sangat lain. Senyum pun pasti akan terkembang dari siapapun yang diberi atau juga mendapatkan ikan jenis ini. Menurut seorang warga Lung Tuyoq, ketika pergi memancing ke sungai, jika dirasa yang menyambar umpan adalah jenis non mahseer, sebisa mungkin akan dibuat mocel atau dilepaskan supaya kita tidak menjadi olok-olok orang karena tidak bisa mendapatkan ikan nyaran.

Memancing ikan di Long Glaat adalah hal biasa dan bisa dilakukan semua orang baik kecil, remaja, dan apalagi orang dewasa. Tetapi tidak semuanya mampu mendapatkan ikan jenis mahseer apalagi yang berukuran besar (ingat masalah karakter unik dari ikan ini di paragraf awal), dari hal inilah muncul prestise tertentu terhadap ikan jenis mahseer ini. Praktis eksploitasi paling tinggi terhadap spesies perairan tawar di Long Glaat terjadi pada spesies ikan mahseer, dan paling rendah adalah ikan Bagarius yarelli karena terkait dengan kepercayaan masyarakat. Tetapi jangan salah, sepengetahuan saya cara eksploitasi mereka terhadap populasi ikan mahseer oleh masyarakat Long Glaat ini sangat sustainable (berkelanjutan), meskipun di satu sisi ikan ini adalah ikan konsumsi paling diminati. Konsep konservasi tradisional yang dianut oleh masyarakat Long Glaat adalah konsep tanaaq peraaq, yaitu semacam sistem zonasi dan buka tutup (rotasi) perairan tawar, sehingga pemanfaatan yang dilakukan masyarakat dapat diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kemampuan perkembangan dan pola migrasi ikan. Tekanan terhadap spesies unik ini memang tetap terjadi, dan memang sewajarnya jika manusia memanfaatkan semua potensi yang ada di sekitarnya, tetapi dengan konsep tanaaq peraaq ini tingkat tekanan yang terjadi cukup rendah. Karena ya itu tadi, spesies akan selalu memiliki sanctuary yang bebas dari aktifitas tangkap ikan di areal tertentu sepanjang aliran sungai. Ini sekaligus menjadi areal yang sangat aman untuk memijah pada masa tertentu, sehingga regenerasi ikan jenis mahseer dapat terus berlangsung dengan sangat alami (baca: sehat) karena minim gangguan dari manusia. Konsep tanaaq peraaq juga memberi kesempatan areal yang mengalami tekanan eksploitasi cukup tinggi untuk istirahat dengan cara ‘ditutup’ dari segala aktifitas tangkap ikan dalam waktu tertentu (bisa satu hingga dua tahun). Bahkan dalam konsep tanaaq peraaq ini, ada sungai-sungai tertentu yang ditetapkan sebagai sungai ‘suci’ yang mana aktifitas perburuan ikan yang boleh dilakukan hanyalah dalam konteks keperluan adat. Misalnya saat masyarakat Long Glaat sedang ada acara besar seperti upacara nemlai dan hudoq. Semacam inisiasi kaum laki-laki Long Glaat dan upacara ‘pesta’ panen ala masyarakat Dayak di Mahakam Ulu. Denda adat yang berat diberlakukan bagi siapapun yang melanggar sumpah dalam penetapan zonasi kawasan ini. Orang-orang luar suku juga akan dikenakan denda adat jika berani melakukan perburuan di sungai-sungai adat tanpa seijin orang-orang Long Glaat. Fungsi kontrol ini sangat penting untuk memantau cara tangkap yang dilakukan dan tingkat eksploitasi yang terjadi. Cara tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti setrum dan racun, tidak dapat ditolelir sama sekali oleh orang-orang Long Glaat! Hukumannya sangat berat dan jika pelakunya adalah orang Long Glaat sendiri misalnya, hukuman terbesar setelah denda adat yang berat adalah pengusiran dari Lung Tuyoq (baca: pemutusan ikatan sosial dan bahkan juga kekeluargaan).

Sekali lagi saya ulangi bahwa saya dan tim Jejak Petualang Wild Fishing (JPWF) Trans7, dengan host Bang Joe Michael, dapat bersilaturahmi ke masyarakat Long Glaat atas usaha dari berbagai pihak. Pertama adalah karena usaha rekan-rekan dari PKPEML FEB Universitas Mulawarman, ada Bang Jusuf Kuleh dan tim di lembaga ini yang begitu semangat membuka akses kami ke Mahakam Ulu. Dan juga ada rekan-rekan dari Borneo Nature Photography yang antara lain terdiri dari bang Gafuri Ahmad dan Edi Sopiyan. Selain itu ada juga perwakilan dari Pemkab Mahakam Ulu yang bahkan rela datang ke Jakarta lebih dahulu pada awal tahun 2016 demi menyatakan maksud bahwa Mahakam Ulu siap menerima dan bersinergi dalam kondisi tertentu yang wajar atas kedatangan tim JPWF Trans7. Jadilah pada awal bulan Maret lalu saya dan tim berhasil tiba di Lung Tuyoq dan Liuq Mulang dengan setumpuk agenda dokumentasi audio visual yang sangat padat. Kenapa saya bilang sangat padat karena jika dihitung dari total waktu yang kami miliki untuk menyelesaikan semuanya, sebenarnya separo waktu kami telah dan akan habis di perjalanan (total waktu perjalanan pp ke Lung Tuyoq sejak dari Jakarta adalah 5 hari!). Jadi kami hanya memiliki waktu selama tujuh hari saja untuk menyelesaikan semuanya. Untungnya, Puji Tuhan, kami mendapatkan sambutan serta bantuan luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat juga lembaga adat yang ada di Long Glaat. Sehingga beratnya medan dan faktor cuaca serta berbagai hal lainnya yang menjadi tantangan di pedalaman dapat kami lalui dengan begitu ‘mudah’. Termasuk di dalamnya adalah melakukan dokumentasi sportfishing dalam rangka pembuatan rekaman audio visual wild fishing di sungai-sungai ulayat yang mereka miliki. Hasilnya dapat saya definisikan dalam dua kata, keren banget! Sungai-sungai ulayat tersebut, saya tidak akan menyebutkan nama sungainya karena menjadi prinsip pribadi saya untuk menghormati setiap destinasi mancing yang potensial agar tidak diakses lokasinya dari kalangan pemancing dari kota yang berkategori pakusu atau “pasukan kuras sungai”, sangat-sangat sehat. Populasi ikan melimpah baik itu jenis barb seperti ikan hampala atau adungan, dan tentunya adalah ikan-ikan prestisius jenis mahseer seperti nyaran atau sapan. Yang paling menarik dan ini yang sangat saya suka, ukuran ikan-ikan tersebut rata-rata sangat besar. Ikan jenis adungan atau hampala yang kami dapatkan rata-rata berukuran up 5 kilogram. Dan untuk ikan jenis mahseer malah lebih hebat lagi, rata-rata berukuran up 7 kilogram! Saat itu Bang Joe Michael juaranya mancing ikan mahseer ini. Ini merupakan bukti nyata bahwa konsep konservasi tradisional tanaaq peraaq yang diterapkan orang-orang Long Glaat sangat efektif diberlakukan di sungai-sungai ulayat milik mereka. Inspirasi ini menurut saya penting untuk diteladani oleh masyarakat lain yang memiliki sungai upper river yang serupa. Apa yang berhasil kami rekam di sungai-sungai ulayat tersebut sekaligus menjadi semacam ‘rekomendasi’ audio visual bagi khalayak luas di Indonesia dan bahkan dunia tentang potensi ikan mahseer dan juga cara kelola yang diberlakukan di wilayah ini. Secara pribadi dan tim, hasil kami mengeksplorasi perairan tawar yang ada di Mahakam Ulu sangat memuaskan. Tetapi menurut masyarakat, andai saja kami tiba ketika kemarau nanti, maka hasilnya akan lebih hebat lagi! Karena menurut mereka kami bisa mendapatkan ikan-ikan yang ukurannya kategori monster, seperti ikan mahseer up 20 kg dan lain sebagainya. Penting juga untuk dicatat terkait dengan sungai-sungai ulayat ini, bahwa tingkat erosi yang ada sangaaaat rendah, buktinya meski di musim penghujan sekalipun, air di sungai-sungai ulayat tersebut tetap bening! Hanya Sungai Mahakam saja yang banjir dan sangat keruh. Di sungai-sungai ulayat hanya debit airnya saja yang meningkat tetapi kejernihannya tetap tinggi. Ini membuktikan bahwa ekosistem hutan tropis di wilayah ulayat orang-orang Long Glaat sangat terjaga kelestariannya. Karena jika ekosistem hutan tropisnya sudah terganggu oleh pembukaan hutan skala besar, jika terjadi hujan sebentar saja maka tingkat kejernihan air di sungai bisa rusak selama berhari-hari lamanya dan terkadang bisa terjadi banjir besar yang berbahaya. Kiranya demikian sekilas catatan saya tentang masik nyaran-nya orang-orang Long Glaat ini, harap maklum jadi ngalor ngidul nggak karuan kemana-mana. Salam petualang!








 








* Pictures mostly by Me. Another shot by Minggang Lejau, Dalung Lejau, and Eko Hamzah. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments

Unknown said…
terima kasih kak atas informasinya sangat membantu, jangan lupa kunjungi website resmi kami http://bit.ly/2MiUpB1
Unknown said…
So interesting to do a conservation together..