Catatan Seorang Pemancing: Masik Nyaran dan Konsep Konservasi Tradisional Tanaaq Peraaq Orang-orang Long Glaat
Untuk orang-orang Mahakam Ulu, terutama orang-orang Dayak Long Glaat. Sebagian dari kalian menemani kami setiap hari menantang jeram, sebagian lagi menyalakan api unggun ketika hujan dan dingin memeluk pedalaman. Segala usaha dan doa kita rajut bersama, demi mewujudnya harapan terbaik di masa depan, hingga tanpa terasa ternyata kita berpetualang bersama sebagai sebuah keluarga. TERIMAKASIH!
Masyarakat Dayak Long Glaat menempati sebuah wilayah di
daerah Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Seperti pernah saya tuliskan di catatan
sebelumnya (sayangnya dalam dua catatan pertama saya di blog ini saya salah
menuliskannya dengan kata Gelat dan bukannya Glaat), kampung orang-orang Long
Glaat ini cukup terpencil alias jauh sekali dari dunia ramai. Dari kota Melak
di Kalimantan Timur misalnya,setidaknya diperlukan waktu sehari penuh ‘mendaki’
aliran Sungai Mahakam dengan menggunakan speed boat dan atau long boat kayu.
Jaraknya saya tidak tahu pasti, yang sudah pasti adalah dijamin pantat dan
seluruh badan kita akan sangat pegal duduk seharian di moda transportasi utama
di daerah ini selam a’mendaki’ dan merasakan ‘terjalnya’ jeram-jeram di Sungai
Mahakam. Orang-orang Long Glaat tinggal di Kampung Lung Tuyoq yang bersebelahan
dengan Liuq Mulang, kampung yang merupakan sub-nya orang-orang Long Glaat.
Menurut rekan saya seorang ‘ahli’ Suku Bahau, secara garis keturunan
orang-orang Liuq Mulang ini konon bukan murni Long Glaat, namun karena sejak
jaman kuno selalu bergandengan tangan, kemanapun orang Long Glaat pindah atau
bermigrasi, maka orang-orang Liuq Mulang akan mengiringinya ibarat dua karib
yang tidak terpisahkan. Sesuai dengan kontur tanah di pegunungan, maka wilayah
ini pun memiliki kondisi alam yang sangat khas. Barisan pegunungan tersebar
kemanapun mata memandang, dan sungai-sungai berarus deras mengular laksana urat
nadi yang mengalirkan ‘darah’ kehidupan ke semua makhluk yang tinggal di
wilayah ini. Sungai-sungai dengan karakter khas upper river ini menyediakan
ikan-ikan sebagai sumber makanan hewani, menyediakan air tawar yang tidak akan
habis diminum ratusan generasi, menjadi jalan raya mobilitas seluruh
masyarakat, dan lain sebagainya. Bahkan dalam konteks tertentu, sungai-sungai
upper river ini juga menjadi ‘tempat ibadah’ bagi kepercayaan orang-orang Long
Glaat terhadap salah satu leluhur mereka. Seperti dalam legenda ikan kuyur misalnya, dipercaya salah satu
“boq” atau leluhur Long Glaat menjelma (reinkarnasi?) menjadi ikan kuyur (Bagarius yarelli) dan kemudian hidup di
Sungai Mahakam berikut anak-anak sungainya. Hal ini masih dipegang teguh, yang
mana kalangan hipui atau bangsawan
Long Glaat hingga hari ini tidak pernah memakan daging dari ikan kuyur ini demi
menghormati leluhur-leluhur mereka. Berdasarkan pengamatan saya di Long Glaat
awal Maret lalu hal ini masih dipegang teguh oleh kalangan hipui dan juga masyarakat biasa lainnya (meski saya yakin jika
diprosentasekan tidak bisa sepenuhnya 100 % karena satu dua masyarakat biasa
kadang kala akan terpaksa memakan daging ikan kuyur ini jika ada yang mati
akibat terkena jaring atau pukat yang mereka pasang di sungai).
Ada lima jenis ikan nyaran
yang dikenal oleh masyarakat Long Glaat yang jika posisinya diurutkan dalam
tingkatan atau strata. Pertama adalah ikan tebelaq,
jenis ikan nyaran yang mampu tumbuh hingga ukuran monster (up 20 kg) dengan
warna sisik kuning emas kemerahan. Ini adalah rajanya sungai arus deras dan
tinggal di bagian sungai dengan arus paling ‘kejam’. Kedua adalah ikan nyaran atau sapan, mampu tumbuh besar juga seperti ikan tegelaq tetapi sisiknya berwarna putih keemasan. Ketiga adalah yang
disebut ikan nyaran hitam, tidak mampu
tumbuh sebesar dua jenis sebelumnya dengan warna putih kehitaman. Ketiga adalah
ikan nyaran mid, ikan jenis mahseer
yang tumbuh berukuran sedang dengan warna yang menyerupai nyaran hitam. Terakhir adalah ikan nyaran buring, jenis mahseer mini yang hanya tumbuh seukuran jari
dan hidup di badan sungai yang berarus tenang. Di antara semua jenis ikan
lainnya yang mampu hidup di sungai berarus deras (karena masih ada juga
jenis-jenis ikan lainnya seperti seluang yang ukurannya super mini itu,
ikan-ikan jenis catfish, dan jenis forest
snakehead atau keehung), maka
ikan jenis mahseer adalah ikan favorit untuk dikonsumsi. Penyebabnya sederhana,
rasa dagingnya sangat sangat lezat! Oleh karena hal ini jugalah kemudian muncul
semacam pandangan bahwa nelayan atau pemancing yang hebat adalah mereka yang
mampu memancing atau menjaring ikan ini. Orang boleh mendapatkan ikan jenis
lainnya sebanyak apapun, tetapi satu ikan nyaran
dengan ukuran sedang akan mendapatkan semacam salut atau juga pujian yang
lebih. Gambarannya begini, jika seseorang di Long Glaat membawa pulang ikan adungan misalnya (ikan hampala) sebagai
hasil menjadi nelayan di sungai, reaksi orang di rumah akan biasa saja. Oh, adungan? Tetapi jika yang dibawa pulang
adalah jenis mahseer, reaksi orang di
rumah akan sangat lain. Senyum pun pasti akan terkembang dari siapapun yang
diberi atau juga mendapatkan ikan jenis ini. Menurut seorang warga Lung Tuyoq,
ketika pergi memancing ke sungai, jika dirasa yang menyambar umpan adalah jenis
non mahseer, sebisa mungkin akan dibuat mocel
atau dilepaskan supaya kita tidak menjadi olok-olok orang karena tidak bisa
mendapatkan ikan nyaran.
Memancing ikan di Long Glaat adalah hal biasa dan bisa
dilakukan semua orang baik kecil, remaja, dan apalagi orang dewasa. Tetapi
tidak semuanya mampu mendapatkan ikan jenis mahseer apalagi yang berukuran
besar (ingat masalah karakter unik dari ikan ini di paragraf awal), dari hal
inilah muncul prestise tertentu terhadap ikan jenis mahseer ini. Praktis
eksploitasi paling tinggi terhadap spesies perairan tawar di Long Glaat terjadi
pada spesies ikan mahseer, dan paling rendah adalah ikan Bagarius yarelli karena terkait dengan kepercayaan masyarakat.
Tetapi jangan salah, sepengetahuan saya cara eksploitasi mereka terhadap
populasi ikan mahseer oleh masyarakat Long Glaat ini sangat sustainable (berkelanjutan), meskipun di
satu sisi ikan ini adalah ikan konsumsi paling diminati. Konsep konservasi
tradisional yang dianut oleh masyarakat Long Glaat adalah konsep tanaaq peraaq, yaitu semacam sistem zonasi
dan buka tutup (rotasi) perairan tawar, sehingga pemanfaatan yang dilakukan
masyarakat dapat diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kemampuan
perkembangan dan pola migrasi ikan. Tekanan terhadap spesies unik ini memang
tetap terjadi, dan memang sewajarnya jika manusia memanfaatkan semua potensi
yang ada di sekitarnya, tetapi dengan konsep tanaaq peraaq ini tingkat tekanan yang terjadi cukup rendah. Karena ya
itu tadi, spesies akan selalu memiliki sanctuary
yang bebas dari aktifitas tangkap ikan di areal tertentu sepanjang aliran
sungai. Ini sekaligus menjadi areal yang sangat aman untuk memijah pada masa
tertentu, sehingga regenerasi ikan jenis mahseer dapat terus berlangsung dengan
sangat alami (baca: sehat) karena minim gangguan dari manusia. Konsep tanaaq peraaq juga memberi kesempatan areal
yang mengalami tekanan eksploitasi cukup tinggi untuk istirahat dengan cara
‘ditutup’ dari segala aktifitas tangkap ikan dalam waktu tertentu (bisa satu
hingga dua tahun). Bahkan dalam konsep tanaaq
peraaq ini, ada sungai-sungai tertentu yang ditetapkan sebagai sungai ‘suci’
yang mana aktifitas perburuan ikan yang boleh dilakukan hanyalah dalam konteks
keperluan adat. Misalnya saat masyarakat Long Glaat sedang ada acara besar
seperti upacara nemlai dan hudoq. Semacam inisiasi kaum laki-laki
Long Glaat dan upacara ‘pesta’ panen ala masyarakat Dayak di Mahakam Ulu. Denda
adat yang berat diberlakukan bagi siapapun yang melanggar sumpah dalam
penetapan zonasi kawasan ini. Orang-orang luar suku juga akan dikenakan denda
adat jika berani melakukan perburuan di sungai-sungai adat tanpa seijin
orang-orang Long Glaat. Fungsi kontrol ini sangat penting untuk memantau cara
tangkap yang dilakukan dan tingkat eksploitasi yang terjadi. Cara tangkap yang
tidak ramah lingkungan seperti setrum dan racun, tidak dapat ditolelir sama
sekali oleh orang-orang Long Glaat! Hukumannya sangat berat dan jika pelakunya
adalah orang Long Glaat sendiri misalnya, hukuman terbesar setelah denda adat
yang berat adalah pengusiran dari Lung Tuyoq (baca: pemutusan ikatan sosial dan
bahkan juga kekeluargaan).
Sekali lagi saya ulangi bahwa saya dan tim Jejak Petualang
Wild Fishing (JPWF) Trans7, dengan host Bang Joe Michael, dapat bersilaturahmi ke masyarakat Long Glaat atas
usaha dari berbagai pihak. Pertama adalah karena usaha rekan-rekan dari PKPEML
FEB Universitas Mulawarman, ada Bang Jusuf Kuleh dan tim di lembaga ini yang
begitu semangat membuka akses kami ke Mahakam Ulu. Dan juga ada rekan-rekan
dari Borneo Nature Photography yang antara lain terdiri dari bang Gafuri Ahmad dan
Edi Sopiyan. Selain itu ada juga perwakilan dari Pemkab Mahakam Ulu yang bahkan
rela datang ke Jakarta lebih dahulu pada awal tahun 2016 demi menyatakan maksud
bahwa Mahakam Ulu siap menerima dan bersinergi dalam kondisi tertentu yang
wajar atas kedatangan tim JPWF Trans7. Jadilah pada awal bulan Maret lalu saya
dan tim berhasil tiba di Lung Tuyoq dan Liuq Mulang dengan setumpuk agenda
dokumentasi audio visual yang sangat padat. Kenapa saya bilang sangat padat
karena jika dihitung dari total waktu yang kami miliki untuk menyelesaikan
semuanya, sebenarnya separo waktu kami telah dan akan habis di perjalanan
(total waktu perjalanan pp ke Lung Tuyoq sejak dari Jakarta adalah 5 hari!).
Jadi kami hanya memiliki waktu selama tujuh hari saja untuk menyelesaikan
semuanya. Untungnya, Puji Tuhan, kami mendapatkan sambutan serta bantuan luar
biasa dari seluruh lapisan masyarakat juga lembaga adat yang ada di Long Glaat.
Sehingga beratnya medan dan faktor cuaca serta berbagai hal lainnya yang
menjadi tantangan di pedalaman dapat kami lalui dengan begitu ‘mudah’. Termasuk
di dalamnya adalah melakukan dokumentasi sportfishing dalam rangka pembuatan
rekaman audio visual wild fishing di sungai-sungai ulayat yang mereka miliki.
Hasilnya dapat saya definisikan dalam dua kata, keren banget! Sungai-sungai
ulayat tersebut, saya tidak akan menyebutkan nama sungainya karena menjadi
prinsip pribadi saya untuk menghormati setiap destinasi mancing yang potensial
agar tidak diakses lokasinya dari kalangan pemancing dari kota yang berkategori
pakusu atau “pasukan kuras sungai”,
sangat-sangat sehat. Populasi ikan melimpah baik itu jenis barb seperti ikan hampala atau adungan, dan tentunya adalah ikan-ikan prestisius jenis mahseer
seperti nyaran atau sapan. Yang paling menarik dan ini yang
sangat saya suka, ukuran ikan-ikan tersebut rata-rata sangat besar. Ikan jenis adungan atau hampala yang kami dapatkan rata-rata berukuran up 5 kilogram. Dan untuk
ikan jenis mahseer malah lebih hebat lagi, rata-rata berukuran up 7 kilogram! Saat itu Bang Joe Michael juaranya mancing ikan mahseer ini. Ini
merupakan bukti nyata bahwa konsep konservasi tradisional tanaaq peraaq yang diterapkan orang-orang Long Glaat sangat efektif
diberlakukan di sungai-sungai ulayat milik mereka. Inspirasi ini menurut saya
penting untuk diteladani oleh masyarakat lain yang memiliki sungai upper river
yang serupa. Apa yang berhasil kami rekam di sungai-sungai ulayat tersebut
sekaligus menjadi semacam ‘rekomendasi’ audio visual bagi khalayak luas di
Indonesia dan bahkan dunia tentang potensi ikan mahseer dan juga cara kelola
yang diberlakukan di wilayah ini. Secara pribadi dan tim, hasil kami
mengeksplorasi perairan tawar yang ada di Mahakam Ulu sangat memuaskan. Tetapi
menurut masyarakat, andai saja kami tiba ketika kemarau nanti, maka hasilnya
akan lebih hebat lagi! Karena menurut mereka kami bisa mendapatkan ikan-ikan
yang ukurannya kategori monster, seperti ikan mahseer up 20 kg dan lain
sebagainya. Penting juga untuk dicatat terkait dengan sungai-sungai ulayat ini,
bahwa tingkat erosi yang ada sangaaaat rendah, buktinya meski di musim
penghujan sekalipun, air di sungai-sungai ulayat tersebut tetap bening! Hanya
Sungai Mahakam saja yang banjir dan sangat keruh. Di sungai-sungai ulayat hanya
debit airnya saja yang meningkat tetapi kejernihannya tetap tinggi. Ini
membuktikan bahwa ekosistem hutan tropis di wilayah ulayat orang-orang Long
Glaat sangat terjaga kelestariannya. Karena jika ekosistem hutan tropisnya
sudah terganggu oleh pembukaan hutan skala besar, jika terjadi hujan sebentar
saja maka tingkat kejernihan air di sungai bisa rusak selama berhari-hari
lamanya dan terkadang bisa terjadi banjir besar yang berbahaya. Kiranya demikian
sekilas catatan saya tentang masik
nyaran-nya orang-orang Long Glaat ini, harap maklum jadi ngalor ngidul nggak karuan kemana-mana.
Salam petualang!
* Pictures mostly by Me. Another shot by Minggang Lejau,
Dalung Lejau, and Eko Hamzah. No watermark on the pictures, but please don't
use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission.
Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments