Catatan Tentang Tujuh Sungai di Morowali Utara: Ikan Menghilang, Sial, Musrik, Pengakuan Awal Para Pengebom Ikan
Satu-satunya yang menghibur saya selama trip ini adalah, bahwa sang tuan rumah yang rumahnya kami jadikan sebagai camp selama liputan, selalu siap membekali kami dengan konsumsi yang selalu mengundang selera jam berapapun kami berangkat ke lokasi. Kehidupan sebuah keluarga kecil tersebut tiba-tiba seperti sedang ada hajatan selama 8 hari penuh akibat kedatangan kami. Ketujuh sungai yang saya maksudkan adalah sungai-sungai
payau (sungai yang terpengaruh pasang-surut air laut) di Morowali Utara yakni Sungai
Tokala, Salato, Tiforo, Peo, Ula, Tente dan Tirongan. Bulan Oktober lalu saya
pernah menjelajah dua dari tujuh tersebut yakni Sungai Salato dan Tokala bersama
lady angler Chintya Tengens. Waktu
itu Salato sedang dalam kondisi keruh dan tepiannya kurang mengundang hasrat
mancing saya karena banyak lumpur, padahal saat itu sedang musim kemarau. Sepertinya
setiap kali terjadi pertukaran air yakni saat air bergerak turun (surut) dan
saat terjadi pergerakan masuknya air laut ke sungai (pasang), Sungai Salato
menjadi keruh karena tepian yang ‘diaduk’ oleh pergerakan air masuk dan keluar
sungai tersebut. Karena setiap hari terjadi pertukaran air yang mempengaruhi
sungai setidaknya dua kali, Salato saat itu sangat tidak kondusif untuk
dieksplorasi. Akan tetapi Sungai Tokala saat itu sepertinya sedang dalam
kondisi yang mendukung aplikasi teknik casting dengan umpan buatan (lure). By the way sungai ini saya
‘temukan’ pada bulan April 2015, ketika secara tidak sengaja saya dan Vika
Fitriyana sedang ‘silaturahmi’ dengan masyarakat Suku Wana, salah satu suku
nomaden yang masih tersisa di Indonesia. Di Tokala saat itu (baik bulan April
juga Oktober), setiap kali saya memainkan umpan di titik-titik tertentu (yang
memiliki kriteria sebagai rumah ikan seperti rebahan batang pohon yang mati dan
juga batu-batu besar yang tersembunyi di bawah permukaan), sudah hampir pasti lure kita akan disambar oleh beragam
jenis ikan dan sebagian besar adalah spesies ikan prestisius yang disebut kakap
hitam (Sulawesi)/somasi hitam (Maluku), nain
(di Morowali Utara), tembaring
(Kalimantan). Dunia internasional menyebut ikan ini black bass dan dalam bahasa
Latin disebut Lutjanus goldei. Catatan
perjalanan ke Sungai Tokala bersama lady
angler Chintya Tengens yang terjadi pada tahun 2015 lalu dapat anda lihat
di Demi
Indonesian Black Bass. Ada rasa bangga yang membuncah saat itu karena trip
ini berhasil menguak untuk pertama kalinya di layar kaca TV nasional bahwa
spesies Lutjanus goldei terbukti
eksis di Pulau Sulawesi. Ini cukup penting untuk menyambung rantai persebaran
ikan black bass di Indonesia yang seperti terputus di Pulau Sulawesi, padahal
di Papua banyak sekali, juga Halmahera, di ‘kampung halaman’ saya di Kalimantan
dan bahkan hingga Pulau Sumatra. Saat itu, muncul kekhawatiran akan terjadi ‘serbuan’
besar-besaran jika saya update dengan jelas nama sungai dan posisi sungainya
sehingga saya memilih untuk menutupinya sebisa mungkin.
Yang terjadi dalam tujuh hari terakhir ini (meski yang full
mancing baru tiga hari, karena empat hari lainnya adalah sisa waktu usai kami
menggarap dokumentasi kearifan lokal perburuan masyarakat), yang artinya saat
ini saya sedang berada di daerah Morowali Utara ini, semua sungai yang saya
sebutkan di atas dan termasuk ‘cinta’ pertama saya di Morowali Utara yakni
Sungai Tokala, sangat jauh dari harapan saya. Bahkan sangat-sangat jauh. Tujuh
serangkai sungai payau Morowali Utara seperti bersepakat, menyuguhkan
kekecewaan dari hari ke hari, padahal segala daya upaya telah kami kerahkan
dengan semaksimal mungkin. Seperti misalnya memancing dari pagi hingga sore
hari (dengan perhitungan waktu pasang surut tentunya), menyisir poin-poin
potensial secara maksimal (belokan, struktur tepian yang bagus, memperhatikan
arus masuk dan keluar), menjaga suasana sungai tetap sunyi agar ikan-ikan tidak
menyadari kehadiran kami, rajin mengganti umpan (lure), dan lain sebagainya. Hasilnya berbanding terbalik dengan
trip Oktober lalu yang jujur saja selain saya yang memang sangat doyan
memancing, Chintya Tengens tergolong newbie
dan memancing sekedarnya saja. Kali ini saya bersama salah satu ikon dunia
mancing di Indonesia Joe Michael, pro angler dan wild fisher kesohor di negeri
ini, yang artinya semangat eksplorasi dan juga kemampuan teknis sportfishingnya
cukup mumpuni dan semangatnya nge-wild
juga telah teruji di segala medan dari Aceh hingga Merauke. Jika diukur dalam
kilometer, hasil kami menyusuri ketujuh sungai tersebut bisa jadi telah puluhan
kilometer jauhnya, dan bayangkan sebagian besar penyusuran ini dilakukan sambil
drifting (berhanyut) mengikuti arus
masuk atau keluar (pasang surut), jadi bayangkan berapa banyak waktu yang telah
kami alokasikan untuk kekecewaan ini? Bagi saya pribadi trip ini seperti
memunculkan rasa malu yang sangat karena trip ini di-blow up terus di media
sosial day by day oleh artis kita
bang Joe Michael yang memang kesohor
dengan segunung fans tersebut. Meskipun saya sangat tahu semuanya
dilakukan dengan maksud melucu dan mengolok kami sendiri, jujur saya menjadi
malu karena belum pernah dalam sejarah mancing saya selama ini, boncoz (tidak mendapatkan ikan target)
itu sampai segini parahnya!
Kenapa semua ini bisa terjadi di tujuh sungai yang kami
datangi? Mari kita urai satu demi satu. Dugaan awal adalah kami datang terlalu
awal alias belum tiba pada musimya. Maksudnya adalah begini. Jika kami melihat
curah hujan yang masih tinggi di kawasan ini, bisa jadi air sungai terlalu
tawar untuk spesies yang menjadi target kami, sehingga ikan-ikan tersebut bisa
jadi lebih suka berada di laut dibandingkan masuk ke sungai yang payau. Padahal
sungai-sungai ini sangat unik, meski hujan besar sekalipun, ketujuh sungai
tersebut sangat sulit untuk keruh. Jauh berbeda dengan sungai besar kebanyakan
yang di hulunya telah terjadi degradasi lingkungan yang parah, biasanya hujan
sedikit, keruhnya seminggu lebih. Pengamatan saya, dalam kondisi curah hujan
yang masih tinggi ini, kondisi dasar sungai memang berbeda dengan yang saya lihat
Oktober lalu, yakni tidak berpasir putih melainkan banyak terdapat semacam
pasir dan atau tanah hitam. Sekali lagi anehnya, kondisi sungai juga tidak
keruh. Dugaan berikutnya adalah dugaan paling sederhana dan lebih tepat sebagai
‘buah’ kekesalan, yakni bahwa memang ketujuh sungai ini sudah tidak ada
ikannya. Bisa jadi pernah diracun besar-besaran, di bom ikan mungkin (secara
kawasan pesisir di daerah ini dihuni oleh masyarakat dari Suku B***) yang
terkenal dengan kegiatan mencari ikan dengan cara-cara yang tidak ramah
lingkungan? Saya sebenarnya tidak mau mendeskreditkan sebuah masyarakat suku
tertentu, karena sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh oknum, tetapi dugaan ke
arah sana sulit saya hindari karena sepertinya kemanapun saya berkeliling
Indonesia, mereka terkenal sekali dengan cara-cara negatif tersebut.
Penyebabnya akan saya sebutkan di bagian belakang catatan saya ini. Saya
mencoba melihat ke diri sendiri karena bisa jadi penyebab ini semua diri kami
sendiri. Bisa jadi kami selalu missed
dengan waktu pasang surut yang terjadi di kawasan estuaria tersebut? Saya bisa
katakan tidak karena selalu datang tepat waktu betapapun jauhnya sungai
tersebut. Kami selalu tiba ketika terjadi pergerakan arus baik itu turun maupun
air naik. Memang untuk air turun kami tidak bisa datang ketika air mulai turun
karena selama seminggu ini air surut ketika masih dini hari, praktis kami tiba
ketika air sudah bergerak turun sejak dua atau tiga jam sebelumnya. Tetapi untuk
air naik (pasang), kami selalu tepat waktu dan kemudian langsung berhanyut
ketika air dari laut mulai masuk menyerbu ke dalam sistem perairan payau.
Karena semua teori dan dugaan belum juga memberi jawaban
yang kami butuhkan, kemudian berkembang dugaan-dugaan yang ngaco lainnya. Dugaan ngaco
ini ada yang bernada humor tetapi ada juga yang kemudian berkembang ke arah musrik. Dugaan yang bermaksud melucu dan
mencairkan suasana antara lain adalah mungkin ikannya lagi bete jadi memang sedang malas menyambar umpan kami, atau bisa jadi
ikan-ikan keren tersebut sedang puasa, sedang main ke sungai lain yang sangat
jauh, sibuk pacaran, asyik tidur terus di dasar sungai, dan lain sebagainya.
Hhhhhhhhhh! Sebenarnya penyebabnya bisa apapun dan kami tidak tahu dengan
pasti. Namun godaan setan juga sesekali menghinggapi kami dan juga kru lokal
kami sehingga kami terkadang lupa dan mulai berpikir musrik. Bisa jadi semua ini terjadi karena ada yang membawa sial
dari salah satu kru kami. Hal seperti ini memang sulit dihindari sebab bahkan
sejak jaman manusia pertama, ada semacam konsep sial yang selalu dipercaya oleh
umat manusia (kalau saya tidak salah bahkan di Kitab Suci ada disebut tentang
Nabi Yunus yang pernah dianggap penyebab sial oleh seluruh penumpang kapal
ketika diterjang badai besar). Tudingan pembawa sial ini diam-diam kemudian
terarah ke salah satu ‘kapten’ perahu kami, dalam trip ini kami selalu
menggerakan tiga perahu setiap harinya. Penyebabnya adalah dia terus-menerus
mengeluh dengan apapun rencana yang dirancang oleh kami. Keluhannya diucapkan
dalam bahasa Suku B***. Awalnya kami tidak tahu bahwa dia terus mengeluh
sepanjang trip (padahal perahu dia kami sewa dengan harga yang juga dia
tentukan, dan bahkan masih ada konsumsi dan rokok dari kami). Tetapi kemudian
seorang kawan yang mengerti bahasa Suku B*** kemudian berkisah dan bahkan
menegurnya, bagaimana mau dapat ikan kamu terus mengeluuuuuh! Mulai dari pulang
kapan (padahal hari masih siang), kapan berteduh (jika panas), kapan makan
siang (padahal juga masih pagi), dan capek ngedayung perahu (padahal juga kami
drifting mengikuti arus) dan lain sebagainya! Saya sedikit banyak sempat
mempercayai bahwa bisa jadi memang dia pembawa sial dalam trip ini. Saya dan
Bang Joe Michael pun sempat ikut-ikutan musrik.
Mancing dengan baju dibalik, dan lain sebagainya. Hahahaha! Gila ini semua,
gara-gara mancing kami jadi berdosa dan bukannya happy malah stress!
Meskipun demikian tekad dan semangat kami berdua (saya dan
bang Joe Michael) tidak pernah surut sedikitpun, kami terus nge-push diri kami sendiri dengan pergerakan
yang secerdas mungkin, seefektif mungkin, memancing segiat mungkin dan lain
sebagainya. Apa yang kami lakukan mungkin lebih semangat dari nelayan yang
hidup matinya terkait dengan hasil pancingan. Karena kami memang memiliki
passion yang sama tingginya dengan kegiatan mamancing ini, dan untuk kasus
Morowali Utara ini, rasa penasaran kami memang memuncak. Seperti tidak ingin
menyerah dikalahkan oleh musrik, dan
dugaan-dugaan lainnya yang juga tidak kami tahu dengan pasti. Yang kami tahu
dengan pasti bahwa kami tidak boleh menyerah dan kalau perlu mengorbankan diri
kami sendiri (dengan kurang istirahat, dibakar panas matahari, telat makan demi
mengejar waktu bergeraknya air, dan lain sebagainya). Satu hal yang pasti, dalam
trip ini kami nyata memang tidak mendapat rejeki (baca: ikan-ikan target) dari-Nya.
Atau memang ikan-ikan black bass itu sudah musnah? Dalam waktu secepat ini?
Entah bermula dari mana pembicaraan saat itu terjadi, sepertinya ketika sedang
makan siang di sebuah gubuk kebun di Sungai Peo, dua orang warga yang menjadi
kru kami terucap tidak sengaja, bahwa dia pernah nge-bom ikan di salah satu
sungai dengan hasil ratusan kilogram ikan nain
(black bass). Warga ini saat itu ‘terjebak’ dalam debat tentang keberadaan
ikan-ikan nain di wilayah ini dan
inilah yang ingin saya singgung di awal, bahwa kegiatan seperti yang dia
lakukan seperti menjadi identitas dari Suku B*** dimanapun mereka tinggal.
Adaaaaa, wong saya pernah ngebom dan dapat banyak kog?! Lhaaaaa?! Tetapi
setelah berucap demikian dia kemudian menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi 10
tahun lalu. Saya bilang oooh bapak pelakunya, kalau gitu siap-siap dijemput
polisi ya pak, ini bukan masalah 10 tahun atau sehari lalu, mau dipenjara di
Luwuk karena itu melanggar undang-undang dan bahkan kategori hukumnya pidana.
Waaah, dijemput polisi bagaimana bos, wong mereka saja tidak punya perahu kog,
tinggal saya dayung ke laut sedikit dan lambaikan tangan deh. Ucapnya sambil
tertawa. Begitulah kira-kira obrolan, debat dan gundah kami. Memang upaya penegakan
hukum di wilayah ini begitu rendah, dan apalagi letaknya yang sangat jauh dari ‘peradaban’
sehingga sangat mungkin fungsi kontrol yang ada tidak berjalan (toh tidak ada
yang tahu, pelanggar melenggang santai, penegak di daerah ini juga enggan
melakukannya, begitu kira-kira). Secara letak geografis daerah ini juga cukup
terisolasi, dari kota Luwuk daerah ini harus ditempuh selama 7-8 jam dengan
kondisi jalan yang “aduhai” bikin sakit pinggang. Ngapain ngurusin penegakan
hukum terkait dengan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan, lebih baik
nempel-nempel ke kebun sawit yang maha luas yang menjamur di wilayah ini?! Hhhhhh!
Sudahlah, mari kita terima kekecewaan ini dengan lapang dada, hari ini adalah
hari kedelapan kami berada di Morowali Utara, dan ini adalah hari terakhir kami
akan mencoba lagi menggaet ikan paling prestisius bernama black bass sebelum
lusa kembali ke Jakarta. Jika hari ini juga kosong, usai semua usaha dan doa
selama delapan hari ini, maka biarlah kawanan agas dan nyamuk liar mencatat
bahwa kami tidak pernah menyerah! Semua usaha, doa, dan dana ini sudah tidak
lagi make sense untuk ditumpahkan lebih
lama lagi di Morowali Utara ini. Salam wild fishing!
* Image by drone. Recorded and captured by Faisal Umar.
Comments