Kabam Ikan Seluang, Mengambil Secukupnya Tanpa Mengganggu ‘Kesehatan’ Rantai Makanan Perairan Tawar ala Dayak Ngaju
Lagi, sebelum saya menuliskan tentang proses perburuan perairan tawar khas Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ini, ada baiknya saya tuliskan sedikit beberapa istilah yang bisa jadi terkit erat dengan proses perburuan ini. Pertama adalah petua. Petua adalah istilah untuk menyebut petuah, nasehat, pantangan, ataupun laku khas lainnya dan semacamnya yang mana dalam masyarakat Dayak Ngaju bisa berarti semacam ‘rambu-rambu’ agar sebelum kita melakukan sesuatu kita menempuh ‘persyaratan’ yang diperlukan sehingga tujuan yang dimaksud dapat tercapai tanpa halangan berarti. Contoh misalnya kita hendak berangkat pergi ke suatu tempat, tiba-tiba ada kawan yang tidak jadi, setidaknya bawalah pakaian yang tidak jadi berangkat bareng kita tersebut agar kita tidak ketiban sial (kepohonan/kepuhunan). Bentuk-bentuk kepohonan/kepuhunan ini bisa bermacam-macam dan tidak terduga. Mulai dari perahu/sampan terbalik di perjalanan, serangan binatang buas (buaya atau ular), dan lain sebagainya. Istilah kedua adalah kata kabam, adalah perangkap yang terbuat semacam sangkar burung berukuran kecil, dari rautan bambu yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa sehingga mudah diikatkan pada tonggak, dan juga memiliki semacam ‘moncong’ yang dipasangi bambu yang telah diisi dengan dedak, sisa gilingan gabah padi. Konstruksi kabam ini telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga ikan seluang secara tidak sadar bisa tiba-tiba berada di dalam kabam ini. Karena saking asyiknya menyantap dedak yang dihidangkan mereka berenang tanpa memperhitungkan kemungkinan terjebak di dalam kabam.
Ikan seluang
adalah spesies jenis Rasbora spp yang
banyak terdapat di perairan tawar di Asia Tenggara utamanya di Indonesia
terutama di Kalimantan dan Sumatra. Jika diamati sekilas secara warna sisik
ikan mungil ini memiliki sisik seperti ikan jelawat dan juga lampam, tetapi
‘sialnya’ seluang, hanya berukuran mini saja (antara 2-4 inchi). Dalam
ekosistem perairan tawar, terutama di sungai-sungai, ikan ini lebih senang
hidup di tepi arus sungai kecil dibandingkan di danau berair tenang ataupun
danau ‘mati’ yang terkurung daratan, ikan seluang memiliki peranan penting
dalam rantai makanan. Secara umum ikan mungil ini merupakan mangsa dari
ikan-ikan pemangsa berukuran besar lainnya seperti ikan pipih/belida, ikan
tomman/tahuman, ikan tapah/tempahas, ikan sapan/pelian, dan lain sebagainya.
Tak heran Tuhan sudah mengaturnya, sebagai mangsa dari ikan-ikan lain yang
ukurannya bisa tumbuh monster, populasi ikan seluang sang mangsa sangat
buanyak, bukan banyak lagi, tetapi buaaaanyak!
Dalam satu sungai kecil yang masih sehat saja populasi ikan
seluang ini bisa ribuan dan mungkin ratusan ribu, apalagi di sungai-sungai yang
lebih besar lainnya. Jadi memang ikan ini sudah ditakdirkan sebagai ‘penyuplai’
makanan bagi ikan air tawar predator lainnya. Kelebihan ikan seluang yang
disematkan oleh manusia adalah, ikan ini memiliki rasa daging yang sangaaat
gurih, sangat enak. Apalagi jika digoreng kering atau dibuat peyek, cocol
sambal, lalapan, gunung meletus di kapung sebelah pun bisa jadi kita tidak akan
mendengarnya saking nikmatnya cita rasa dari daging seluang ini. Jadi kalau
orang tersebut fair, disuruh milih
antara ikan seluang atau ikan tomman misalnya, akan milih ikan seluang. Milih
ikan tapah atau ikan seluang, pasti milih ikan seluang. Tetapi karena sizenya
yang mini, tidak cukup satu orang memakan satu ekor saja, bisa jadi seperempat
kilogram baru terasa ‘tendangan’ daging seluang ini di perut kita. Berbeda
dengan kita saat mengkonsumsi ikan-ikan air tawar yang bisa tumbuh besar, tapah
satu ekor 1 kilogram juga sudah terasa di mulut dan perut kita. Seluang satu
ekor? Mungkin hanya keselip di sela-sela gigi kita. Saking gurihnya daging ikan
seluang ini, spesies mini ini banyak ditangkap dengan berbagai cara baik yang
ramah lingkungan ataupun yang merusak seperti potas, setrum, racun. Di berbagai
daerah di negeri ini ikan seluang juga banyak dijajakan dalam bentuk snack dan
ataupun lauk-pauk kering misalnya saja di seputar Palangkaraya, dan Pulang
Pisau, Kalimantan Tengah, di Riau, Sumatra dan lain-lain.
Yang ingin saya tuliskan sedikit di catatan iseng ini adalah
tentang proses perburuan ikan seluang ala masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah, caranya menurut saya masih sangat ramah lingkungan serta tidak memberi
‘celah’ nafsu kita menguasai diri dengan menangkap sebanyak-banyaknya dengan
membabi buta. Di Dayak Ngaju cara tangkap seluang yang saya lihat memiliki
konsep “secukupnya” dan terserah yang punya kehidupan memberikannya kepada
kita. Kenapa saya tuliskan demikian? Begini. Karakter perburuan dengan alat
bernama kabam ini menurut saya sangat
statis, tidak dinamis. Dari sini saja kita melihat bahwa apapun hasil yang
didapatkan, bukan hasil kita mengacak-acak seluruh habitat ikan. Karena setelah
dimasukkan dedak ke dalam moncong bambunya
kabam, kita cukup menimpan kabam ini
di sebatang ranting yang kita tancapkan di tepi arus sungai-sungai kecil. Jadi
terserah berapapun hasil ikan yang masuk perangkap ya itulah sudah rejeki yang
diberikan kepada kita pada hari itu. Bisanya sekali menancapkan kabam, maka akan diambil lagi satu atau
dua hari kemudian. Tetapi jika secara pengamatan kita ternyata sudah dapat
cukup banyak, maka kabam akan diambil
secepatnya. Pun kalaupun kemudian dengan waktu yang ada hanya didapatkan
puluhan ekor ikan seluang saja, hasil tetap dibawa pulang, atau bisa juga malah
dilepaskan kembali ke air semuanya. Yang menarik dari kabam ini, ikan yang
terperangkap kondisinya akan tetap sehat karena arus tetap mengalir dengan baik,
serta tidak ada bilah-bilah bambu yang runcing/tajam sehingga ikan tidak akan
terluka ketika berontak.
Ada semacam petua dalam
proses menangkap ikan seluang ini. Yakni jika kita sudah menancapkan sekali
tiang kayunya ke dalam air dan kemudian memasang dan juga menenggelamkan kabam-nya,
kita tidak boleh mengangkatnya kembali kecuali nanti memang hendak dipindahkan
ataupun kabam dibawa pulang. Jika sekali ditancap kemudian kita angkat ulang,
ikan konon tidak akan mau makan dedak yang dipasang dan juga tidak mau masuk ke
dalam kabam, biar pun seminggu kita tinggalkan disitu. Kenapa bisa demikian
tanya saya kepada warga sekitar Sungai Rungan, Kalimantan tengah itu. Penjelasannya
cukup rumit dalam bahasa setempat pula, tetapi intinya jika saya rangkum sekali
kita sudah berniat, janganlah ragu. Jalani saja niat kita dengan sepenuh hati,
berikut dengan segala resikonya, apapun itu hasilnya nanti biarlah Dia yang
mengaturnya. Demikian penjelasan mengenai petua dalam perburuan ikan seluang
ini. Pada judul tulisan ini saya tuliskan mengambil secukupnya, karena menurut
saya karakter perburuan yang statis dan banyak dipenuhi kearifan lokal ini
tidak memfokuskan pada hasil yang melimpah serta tidak dinamis (baca: agresif).
Tetapi apapun hasilnya terserah Tuhan. Berbeda dengan alat tangkap yang lebih
massal dengan jaring halus misalnya, ini benar-benar hanya mengambil sembari
memberi makan ikan-ikan seluang yang tertarik dengan dedak yang kita suguhkan di tepi arus tersebut. Terimakasih untuk
seluruh ‘keluarga’ Dayak Ngaju di Sungai Rungan untuk pencerahan ini. Salam
wild fishing!
* Pictures mostly by Me at Sungai Rungan, Kalimantan Tengah.
Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for
commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures
without respect!!!
Comments