Semangat Memburu, Teknik Pencarian Pangan Perairan Tawar ‘Khusus’ Untuk Kaum Perempuan Perkasa Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah
Sebelum menuliskan tentang proses perburuan perairan tawar khas Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ini, ada baiknya saya tuliskan sedikit beberapa istilah yang bisa jadi terkit erat dengan proses perburuan ini. Pertama adalah petua. Petua adalah istilah untuk menyebut petuah, nasehat, pantangan, ataupun laku khas lainnya dan semacamnya yang mana dalam masyarakat Dayak Ngaju bisa berarti semacam ‘rambu-rambu’ agar sebelum kita melakukan sesuatu kita menempuh ‘persyaratan’ yang diperlukan sehingga tujuan yang dimaksud dapat tercapai tanpa halangan berarti. Contoh misalnya kita hendak berangkat pergi ke suatu tempat, tiba-tiba ada kawan yang tidak jadi, setidaknya bawalah pakaian yang tidak jadi berangkat bareng kita tersebut agar kita tidak ketiban sial (kepohonan/kepuhunan). Bentuk-bentuk kepohonan/kepuhunan ini bisa bermacam-macam dan tidak terduga. Mulai dari perahu/sampan terbalik di perjalanan, serangan binatang buas (buaya atau ular), dan lain sebagainya. Kedua adalah hajak. Hajak adalah alat bantu perburuan yang terbuat dari anyaman bambu ataupun bilah rotan yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk semacam tirai dengan panjang dan ketinggian tertentu. Alat ini biasanya akan dipasang menghadang ataupun menutup sungai ataupun sudut danau kecil yang dangkal dengan melawan arus atau menghadap ke arah daratan jika di danau tenang.
Istilah lainnya adalah tukung. Tukung adalah istilah untuk menyebut
kegiatan yang dilakukan kaum pria Ngaju dalam berburu ikan-ikan air tawar
tetapi proses perburuan dilakukan dengan tangan kosong (handfishing) tetapi
juga didukung dengan alat bantu yang disebut hajak untuk menutup ‘pintu’ keluar
pergerakan ikan yang menjadi target. Kenapa saya sebut ini kegiatan kaum pria,
karena kalau kaum perempuan Ngaju, proses handfishing yang dilakukan dinamakan
dengan ngeruhi ataupun dinun. Berikutnya, adalah istilah kata kabam,
adalah perangkap yang terbuat semacam sangkar burung berukuran kecil, dari
rautan bambu yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa sehingga mudah diikatkan
pada tonggak, dan juga memiliki semacam ‘moncong’ yang dipasangi bambu yang
telah diisi dengan dedak, sisa gilingan gabah padi. Konstruksi kabam ini telah
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga ikan seluang secara tidak sadar bisa
tiba-tiba berada di dalam kabam ini. Karena saking asyiknya menyantap dedak
yang ‘dihidangkan’ oleh nelayan, ikan-ikan seluang mini akan berenang tanpa
memperhitungkan kemungkinan terjebak di dalam kabam tersebut. Memburu, adalah istilah untuk menyebtu perburuan di
perairan tawar yang dilakukan khusus oleh para perempuan Dayak Ngaju. Bedanya
dengan ngeruhi dan dinun, dalam memburu ini dipakai alat bantu yakni jaring berukuran kecil untuk
ikan-ikan konsumsi ukuran kecil.
Saya pernah melihat proses yang disebut ngeruhi dan juga dinun, keduanya saya lihat juga di Kalimantan tengah tepatnya di
sekitar Petuk Barunai. Proses
perburuan yang juga dilakukan oleh kaum perempuan ini hampir tidak memerlukan
alat bantu sama sekali. Jadi begini, rombongan ibu-ibu biasanya akan memilih
lokasi yang cukup dangkal dan terisolasi (bisa sungai yang hampir kering,
ataupun sudut danau yang mulai terisolasi). Aktifitas ini seringnya dilakukan
selepas kaum ibu-ibu bekerja di ladang, dalam perjalanan pulang menuju ke
rumah. Di Dayak Ngaju, kegiatan ini identik dengan kaum perempuan karena hampir
semua pelakunya adalah kaum hawa. Kaum pria biasanya akan melakukan perburuan
lainnya yang secara teknik dan fisik lebih berat, misalnya saja berburu babi,
rusa, memancing malam hari, menjaring di sungai besar, dan lain sebagainya. Atau
yang sama-sama dilakukan di perairan tawar mereka bisa melakukan kegiatan tukung/hajak, dan lain sebagainya.
Kegiatan memburu kurang lebih sama dengan apa yang
dinamakan dengan dinun dan juga ngeruhi. Kelompok akan terjun ke
perairan dangkal yang dikira cukup terisolasi dan kemudian mengacaunya dengan
tangan, kaki, ataupun tongkat kayu. Ikan-ikan yang bersembunyi di dalam lubang,
di batang kayu, dan lain sebagainya diharapkan akan keluar, panik, melarikan
diri, dan sebagian terjebak di jaring yang telah dibentangkan sebelumnya.
Kegiatan ini jika saya lihat sangat menguras tenaga, apalagi misalnya yang
dipilih adalah rawa-rawa atau danau yang airnya dingin. Seperti hari itu kami
lakukan di rawa-rawa Desa Panjehang yang meskipun cukup teduh, tetapi kawasan
rawa ini memiliki banyak sekali ‘jebakan batman’ dan airnya juga sangat-sangat
dingin! Tetapi yang saya lihat di rombongan ibu-ibu dari Desa Panjehang waktu
itu, mereka melakukannya dengan semangat yang luar biasa mencengangkan jauh
dari perkiraan saya yang sempat khawatir bahwa dokumentasi akan juga ikut
‘dingin’. Ibu-ibu Dayak Ngaju tersebut terus bergerak kesana kemari meski medan
rawa saat itu sangat berat menjebak kaki, berteriak, dan tertawa, bahkan
beryanyi. Suasana rawa-rawa yang biasanya sunyi menjadi seperti ada keriuhan
yang luar biasa. Saya tidak melihat ibu-ibu yang rewel, manja dan banyak maunya
(seperti sering saya temui di perkotaan), tetapi saya seperti melihat
sekumpulan bocah yang sangat sangat gembira bermain air! Alam liar Kalimantan
memang akan membentuk siapapun menjadi tangguh dan penuh semangat. Hasil
kegiatan memburu waktu itu adalah
beberapa puluh ikan kapar dan ikan belida. Tetapi saya menjadi tidak lagi
memperhatikan hasil yang didapatkan saat itu, padahal ikan-ikan yang kami
dapatkan cukup menarik, yang begitu membekas di sanubari saya dan menurut saya paling
‘mahal’ kemudian adalah inspirasi semangat hidup dan kegembiraan yang begitu
apa adanya, begitu penuh syukur dalam menjalani kehidupan, seberat apapun itu
yang harus kita lewati. Salam wild fishing!
* Pictures mostly by Me at Sungai Rungan, Kalimantan Tengah. Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments