Pertama kali melihat proses perburuan jenis ini adalah
ketika pada akhir tahun lalu saya berkeliling sebuah desa kecil di ‘tepian’
Taman Nasional Sebangau, namanya Desa Paduran, sekitar 7-8 jam jauhnya dari
kota Palangkaraya dengan menggunakan kendaraan roda empat standar. Namun yang
saya lihat di Desa Paduran, proses ini dilakukan di kawasan rawa sekitar Sungai
Sebangau yang mulai mengering ketika kemarau. Jadi hajak akan dihadangkan pada arah surutnya air, dan di bagian tengah
bentangan hajak ini akan ditaruh
semacam perangkap sehingga ikan-ikan yang berniat keluar supaya tidak terjebak
surutnya air, kemudian akan bergerak mengikuti ‘benteng’ hajak dan secara tidak sadar kemudian akan masuk perangkap (bubu).
Panjang hajak di Paduran ini bisa
puluhan meter karena memang rawa-rawa di daerah Sebangau sangatlah luas. Tetapi
biasanya masyarakat akan memasang hajak di
susut-sudut rawa yang tidak terlalu luas sehingga hajak cukup dibentangkan sepanjang 50-an meter saja. Pada awalnya
sebenarnya saya ingin kembali ke Desa Paduran untuk mendokumentasikan proses
perburuan unik ini, tetapi mengingat ‘keluarga’ lain juga mengatakan rindunya,
akhirnya kaki saya melangkah menuju ke tepian Sungai Rungan, sekitar 3-4 jam
dari Palangkaraya dengan menggunakan mobil kemudian dilanjutkan dengan kelotok, perahu kayu berukuran besar.
Kontur wilayah di Sungai Rungan jauh berbeda dengan daerah
Sebangau utamanya di Desa Paduran (masuk dalam Kecamatan Sebangau Kuala,
Kabupaten Pulang Pisau). Daerah sekitar aliran Sungai Rungan tidak seperti
daerah sekitar Sungai Sebangau yang memiliki rawa gambut maha luas tersebut.
Sekitar Sungai Rungan adalah hutan tropis dataran rendah seperti biasanya
dengan batas sungai yang cukup jelas, yang banyak adalah danau dan juga
anak-anak sungai baik kecil ataupun besar. Di dalam anak-anak sungai masih terdapat
banyak lagi sungai-sungai kecil lainnya dan terkadang hanya selebar 5-10 meter
saja. Melenceng sedikit tentang Sungai Rungan, sepanjang aliran sungai ini
banyak terdapat penambangan emas dengan cara disedot sehingga aliran Sungai
Rungan relatif keruh sepanjang tahun! Hanya di anak-anak sungai saja kita
memiliki harapan menemukan air yang masih berwarna hitam (baca: jernih). Di
salah satu anak sungai inilah kemudian kami memutuskan untuk melakukan proses tukung dengan pertimbangan populasi ikan
yang menurut warga konon masih cukup baik juga cukup aman untuk pergerakan
seluruh rombongan karena dasar sungai berupa pasir putih (white sand).
Sebenarnya bisa saja proses tukung ini
kami lakukan di sungai yang agak besar dengan kedalaman yang lebih baik tetai
pertimbangan keamanan dan sulitnya pergerakan (terutama pergerakan kru kamera),
akhirnya kami putuskan dilakukan di sungai kecil yang dangkal dan cukup tenang.
Sebelum proses tukung dilakukan
ketua rombongan ataupun orang yang dituakan memimpin akan melakukan proses
menjalankan petua. Anggota rombongan
biasanya akan berkumpul bersama dalam satu kerumunan dan kemudian pemimpin
kelompok tukung ini akan berkeliling
membacakan doa sambil memercikkan air dari sungai yang menjadi lokasi tukung ke seluruh anggota rombongan.
Proses petua ini menurut saya sangat
sangat lokal, kita seperti terlempar ke masa lalu, proses seperti ini
sepertinya hanya dapat kita temukan di gambar-gambar kuno, melihat proses
sederhana tetapi ‘sunyi’ dan bertabur kata harapan ini (petua dalam proses tukung ini biasanya berisi doa-doa agar hasil
tangkapannya bagus, bukan banyak dan berlimpah ya). Saya tidak mengerti bahasa
Dayak Ngaju, tetapi ada dua kata yang sangat saya ingat dari proses petua ini adalah “are tapah” “are
tomman” dan nama ikan-ikan lainnya. Memang arti kata “are” adalah “banyak”,
tetapi dalam proses perburuan penuh kearifan lokal seperti ini, hal tersebut
sebenarnya adalah harapan. Bukan ‘nafsu’ untuk mengeruk hasil sebanyak-banyaknya
(hari itu kami hanya mendapatkan tiga ekor ikan tapah dan semuanya tetap
bergembira dan penuh syukur). Setelah proses petua ini hajak kemudian
ditancapkan di ‘mulut’ sungai yang menjadi pintu keluarnya/mengalirnya sungai.
Barulah kemudian seluruh kelompok akan bergeser ke arah hulu, sekitar 100-an
meter, dan kemudian membuat kekacauan dengan segala cara antara lain membuat
keruh air, memukul air dengan tongkat, berteriak, membongkar tepian yang
kira-kira menjadi sarang ikan, dan lain sebagainya. Harapannya semua ikan akan
lari keluar ke arah hajak dalam kondisi lemas karena tipisnya oksigen dalam air
karena keruhnya air dalam keadaan panik. Memang kalau saya lihat di Dayak Ngaju
kemarin proses tukung ini targetnya
adalah ikan-ikan besar saja karena kerapatan hajak nya cukup renggang/lebar yang praktis ikan-ikan kecil akan
lolos dari perangkap hajak.
Di
sinilah justru saya melihat kuatnya kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat, yaitu mengambil potensi perairan tetapi sambil tetap menjaga
populasi ikan-ikan kecil yang berada di daftar teratas rantai makanan perairan
tawar. Ini penting, sehatnya rantai makanan yang ada di habitat tersebut
otomatis akan tetap menjaga populasi pemangsanya tetap ‘sehat’. Singkat cerita
perburuan yang kami lakukan hari itu cukup berhasil dan mereka juga membuktikan
bahwa proses tukung ini efektif
diterapkan sekaligus ramah lingkungan. Demikian dan salam wild fishing!
* Pictures mostly by Me at Sungai Rungan, Kalimantan Tengah.
Some pictures captured by Eko Priambodo (screen captured Sony PMW 200). No
watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial
purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without
respect!!!
Comments