Skip to main content

Menyatukan Api, Air dan Tanah: Strategi Mengolah Bahan Pangan di Alam Liar dengan Peralatan Seadanya ala Masyarakat Dayak Pedalaman


Untuk catatan iseng yang satu ini sepertinya saya akan to the point saja. Memasak atau mengolah bahan makanan, saya pikir semua orang memahaminya bahwa sangat mungkin ini adalah cara yang telah terjadi sejak manusia mengenal (menurut pemahaman saya adalah, api). Apapun itu bentuknya api tersebut; api itu sendiri, panas matahari langsung, panas dari bebatuan, panas bumi, dan lain sebagainya. Panas yang kemudian di jaman modern ini mewujud dalam berbagai bentuk yang semakin beragam dengan peralatan yang mutakhir. Sejarah hubungan api dan manusia ini adalah sejarah panjang kehidupan manusia dengan segala ‘jiwa’ dan ‘warna’ jamannya. Meski demikian, menurut pengamatan saya selalu ada ‘benang’ tipis yang sepertinya terhubung langsung dengan masa lalu. Telah sangat lama, kira-kira tahun 2012, saya mendengar tentang cara masak dengan cara ditimbun dalam tanah atau pasir, dan kemudian dimatangkan dengan api yang dinyalakan di atasnya. Saat itu saya sedang berkeliling Kalimantan Barat dan informasi unik ini saya dapatkan di daerah Sanggau. Menurut masyarakat Sanggau, teknik ini dinamakan suman. Bukan lagi teknik memasak yang banyak dipraktekkan lagi oleh masyarakat karena memang jaman yang berubah. Tetapi dahulu ini menurut mereka memang hal seperti ini biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka. Ketika peralatan hidup manusia masih sangat terbatas dan alam masih begitu megah dan kaya.

Informasi yang sama, yakni memasak makanan di dalam tanah, saya dapatkan dari masyarakat Dayak Punan di Malinau dan Dayak Berusu Kalimantan Utara. Mereka mengatakan bahwa teknik ini dahulu konon sering dilakukan ketika masyarakat sedang dalam perjalanan penting di pedalaman (misalnya saja bepergian ke tempat yang sangat jauh, dan atau sedang dalam misi khusus seperti berperang). Misi-misi penting mengharuskan orang bepergian dengan peralatan yang sangat diperlukan saja sehingga peralatan yang ‘ribet’ seperti peralatan masak tidak sepatutnya harus dibawa. Karena masyarakat tersebut memerlukan pergerakan yang sangat cepat sekaligus memaknai perjalanan dengan laku tirakat tertentu yang harus dijalani dengan lebih ‘murni’. Lebih menyatu dengan alam agar supaya apa yang diniatkan dapat lebih mudah terwujud. Penjelasan dua masyarakat di atas saya konfirmasi dari masyarakat Dayak yang berbeda dengan menggali informasi di sepanjang aliran Sungai Rungan di Kalimantan Tengah, yakni masyarakat Dayak Ngaju. Dari orang-orang Ngaju saya mendapatkan informasi yang kurang lebih sama dengan informasi dari orang-orang Punan dan Berusu. Artinya adalah bahwa teknik masak dalam tanah ini memang pernah ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak di masa lalu dan bisa jadi juga masih sesekali dilakukan pada masa kini. Informasi-informasi tersebut praktis semakin memperpanjang kegelisahan saya karena belum mampu mendapatkan jawaban pastinya.

Tetapi kesabaran sambil terus membuka ‘pintu’ hati memang seringkali diganjar dengan berkat. Dalam perjalanan ke Mahakam Ulu, Kalimantan Timur pada awal Maret lalu. Pertanyaan lama tentang masak dalam tanah ini pun mendapatkan jawaban yang pasti. Perwakilan masyarakat adat yang menemui saya di Ujoh Bilang mengatakan bahwa masyarakat Dayak Long Glaat, salah satu sub Dayak Bahau (atau Modang) terkadang masih melakukan itu ketika “kepepet”. Yakni misalnya sedang bekerja di hutan ataupun di hulu sungai, tetapi kemudian tidak sempat atau lupa membawa peralatan masak. Bisa karena lupa, atau karena misalnya kemalaman di jalan dan tidak mungkin kembali ke kampung, padahal awalnya tidak ada rencana sama sekali untuk menginap di hutan. Memasak dalam tanah akan diterapkan untuk bahan-bahan pangan tertentu. Ini pun kasusnya tergolong spesial misalnya karena tidak mampu menemukan batang bambu tali yang tipis untuk dijadikan media masak (bambu bisa dijadikan media masak apapun bahan pangan mulai dari beras, sayuran dan juga daging). Atau misalnya karena selain tidak ada bambu, tidak ada dedaunan lebar yang tebal dan bisa dipakai memasak bahan pangan dengan cara dibakar. Atau kalaupun ada daun lebar yang bisa dipakai membungkus bahan pangan, daun tersebut terlalu tipis sehingga kalau dibakar akan mudah hangus atau sobek.

Saat itu masyarakat Long Glaat membuktikan tenik ini dengan memasak beras yang kami bawa, tetapi tidak banyak, sekitar satu kilogram saja yang telah dibagi dalam dua bungkusan daun. Beras awalnya direndam sekitar selama satu jam di tepian aliran sungai (selain untuk melunakkan ini dimaksudkan agar butiran beras mengandung kadar air yang cukup), setelah dibungkus kemudian diletakkan dalam lubang pasir sedalam 20-an sentimeter. Baru kemudian lubang ini ditutup timbunan pasir (tetapi bagian atasnya tidak dipadatkan) dan baru kemudian ditaruh tumpukan kayu kering. Kayu-kayu kering tersebut diambil sembarang dari serakan ranting hanyut dan banyak terdapat di tepi sungai. Perihal kayu ini menurut saya juga sesuatu yang menarik, terkesan remeh tetapi memiliki konsep go green yang kuat. Mereka pantang mengambil ranting yang masih menyatu dengan pohon dan apalagi menebang pohon kecil tertentu untuk melakukan proses ini. Melainkan mengambil kayu-kayu kering yang ada di sepanjang tepian sungai saja. Buat apa menebang ranting, meski tidak penting juga batang pohonnya (bukan kayu istimewa), jika alam sudah menyediakan yang siap untuk digunakan tanpa kita ‘merusak’ alam yang ada? Demikian penjelasan mereka. Ini menarik karena mereka memiliki konsep menyatu dengan alam yang sangat kuat. Kita kembali ke urusan masak dalam tanah ini, secara waktu memang sangat lama, saat itu bahkan diperlukan waktu hampir enam jam untuk satu kilogram beras yang dimasak di dalamnya. Padahal api yang dinyalakan di atasnya sudah dijaga agar terus dalam kondisi besar, yang artinya terus menerus panas. Satu hal yang pasti, prinsip masak beras dalam tanah ini adalah memanfaatkan uap panas yang mampu menembus ke dalam tanah, agar mematangkan bahan yang ada melalui hawa panas yang tercipta di dalam lobangnya. Hasil nasinya lumayan nikmat juga meskipun tidak seenak jika dimasak dengan media masak pada umumnya (kuali dan sejenisnya), namun saat itu nasi yang dihasilkan melalui proses ini sedikit agak keras. Tidak pulen seperti nasi yang dimasak dengan media yang ideal pada umumnya. Namun orang-orang Long Glaat ini menurut saya sangat kreatif, sembari menunggu nasi matang, di atasnya akan digunakan untuk memasak bahan lain (saat itu dengan merebus ikan-ikan kecil dalam bambu, dan juga membakar sayuran bunga nyaring, sejenis bunga kecombrang tetapi ini kecombrang versi Mahakam Ulu).

Memang untuk kehidupan manusia pada masa ini, cara kuno ini sepertinya tidak cocok untuk diterapkan karena terlalu banyak ‘memakan’ waktu. Tetapi saya percaya 100 %, ini adalah cara masak mendasar yang sangat sehat, sangat murni. Karena semua bahan saat itu tidak ada sedikitpun ditambahkan bumbu ataupun penyedap rasa lainnya (bahkan penyedap rasa versi dari hutan sekalipun, masyarakat Long Glaat memiliki daun garam yang banyak terdapat di hutan ulayat mereka). Minim bumbu ini mengingatkan saya pada masyarakat Suku Wana di Pegunungan Tokala di Sulawesi Tengah, yang sangat minim menggunakan bumbu apapun itu jenisnya. Kembali ke masalah waktu, bagi manusia dewasa ini adalah bagaimana menghasilkan uang, ataupun mendapatkan beragam hal lainnya yang berguna untuk bekal mengarungi kehidupan dengan aman. Meski terkadang hal tersebut terpaksa dilakukan dengan cara dan proses yang tidak sehat. Bagi saya pribadi, memasak dalam tanah ini adalah ilmu baru yang mungkin bisa saya terapkan ketika saya berada dalam kondisi ekstrim yang spesifik, misalnya ketika kita diharuskan survival saat berada di alam liar pedalaman. Demikian dan salam petualang!





















* Pictures by Me. Another shot by Eko Hamzah. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments