Jaring Ringgih, Sekadar Menakar Perburuan Kolektif di Kawasan Pesisir Masyarakat Baturube, Morowali Utara
Masih tentang Morowali Utara. Entahlah kenapa saya begitu memikirkan Kabupaten Morowali Utara, padahal hubungan dan kini keterkaitan saya dengan wilayah ini sejak semula adalah semata dalam rangka perjalanan melakukan pendokumentasian kehidupan masyarakatnya, baik itu yang ada di pegunungan (Pegunungan Tokala) maupun di pesisirnya. Mungkin karena di wilayah ini ada seorang bocah cantik bernama Loli, bocah 4 tahun anak seorang kepala desa yang rumahnya pernah menjadi basecamp kami sepuluh hari lamanya. Atau mungkin karena di wilayah ini ada sebuah keluarga yang sedang menyambut kelahiran seorang buah hati, yang meski saat itu juga sangat sibuk juga nervous dengan persiapan kelahiran, masih menerima saya dan tim berteduh di rumah mereka yang tenang itu, juga sepuluh hari lamanya. Atau mungkin karena di wilayah ini pertama kali dalam hidup saya bisa menjadi orang yang pertama dengan tegas menyatakan bahwa di Sulawesi ada juga ikan Indonesian black bass (Lutjanus goldei)? Yang meski kini ‘emas’ perairan payau ini sudah mulai menghilang diterjang bom ikan (berdasarkan informasi yang saya dapatkan langsung dari pelakunya sendiri ketika saya kembali lagi ke wilayah ini). Atau karena lanskap wilayah ini yang begitu menggetarkan dengan Pegunungan Tokala-nya yang megah juga membius itu? Ataukan mungkin karena saya sudah pernah mandi dan minum air Kuala Salato yang saat itu begitu bening dan dingin itu? Sehingga saya menjadi terikat dengan wilayah dan masyarakat di wilayah ini? Semacam ‘bius’ supranatural yang begitu kuat? Atau saking karena di wilayah ini sebenarnya tidak ada apa-apa sehingga saya kemudian gelisah mencari jawabannya
Saking seringnya menjelajahi wilayah ini, sampai-sampai ada
rekan kerja yang bertanya, kecantol
siapa kog saya begitu rajin ke Morowali Utara, sedikit banyak saya telah
berinteraksi dengan banyak orang beragam latar belakang, profesi, interest, dan
tentunya karakter. Baik itu yang ada di Pegunungan Tokala yang masih hijau, di
bawah Pegunungan Tokala yang telah banyak berubah menjadi kawasan perkebunan
sawit, dan juga di wilayah pesisirnya yang begitu panas dengan masyarakatnya
yang heterogen. Masyarakat pesisir di wilayah ini, setidaknya yang berada di
Kecamatan Bungku Utara terdiri dari beberapa suku bangsa. Yang cukup signifikan
jumlahnya adalah Bajo, Banggai, Jawa dan Bali. Sedikit di belakang kawasan
pesisir ini, dekat dengan Pegunungan Tokala, adalah Suku Wana (atau sering juga
disebut dengan Orang Ta’), salah satu suku nomaden yang masih ada di Pulau
Sulawesi. Ada yang menyebut suku ini salah satu suku pejuang hutan Indonesia,
saking kuatnya prinsip mereka dalam menjaga hutan ulayat milik mereka. Ini
terlalu ngelantur kemana-mana, kita
kembali lagi ke masyarakat pesisir seperti saya niatkan pada judul catatan
iseng ini. Sebagaimana lazimnya daerah lain di negeri ini, masyarakat pesisir
kehidupannya sangat kental bernuansa perairan, bukan bahari ya. Maksud saya
begini, jika hanya kita sebut kental dengan kehidupan bahari, terus mau
dikemanakan urusan hidup mereka dengan sungai, rawa, juga danau di wilayah
mereka? Dan memang tidak mungkin juga jika mereka setiap waktu urusannya hanya
di laut saja bukan? Buktinya ketika laut tidak ada ikan, atau laut sedang
diterjang badai, mereka akan masuk ke sungai rawa dan danau untuk mencari
penghidupan. Atau jika di laut sedang musim susah ikan, misalnya saat bulan
purnama, perairan tawar dan payau menjadi sandaran mereka dalam mencari
sumber-sumber pangan baik itu untuk dijual ataupun dikonsumsi sendiri. Jadi
masyarakat pesisir di wilayah ini sangat kental budaya perairannya. Apakagi
sistem koro (sungai besar) di wilayah
ini sangat luas dan kompleks. Ada sekitar delapan sungai besar dengan puluhan
anak sungai yang tersebar di segala penjuru wilayah. Pembahsan tentang
keterkaitan masyarakat dengan sungai, berikut kondisi terkini sungai-sungai di
wilayah ini, telah lebih dahulu saya tuliskan di blog iseng ini.
Jaring ringgih, atau
juga disebut juga jaring dampar, adalah
salah satu teknik perburuan di kawasan pesisir yang dilakukan oleh masyarakat.
Cara tangkap ala nelayan ini sebenarnya dikenal luas oleh seluruh masyarakat
nelayan di Indonesia, yang mana kawasan pesisirnya masih cukup sehat.
Kebanyakan teknik ringgih banyak
diaplikasikan oleh masyarakat di luar Pulau Jawa dan Sumatra, walaupun tidak
sepenuhnya begitu, karena di Banyuwangi, Jawa Timur misalnya, saya masih
melihat kelompok nelayan menerapkan teknik ini. Untuk konteks Pulau Jawa dan
Pulau Sumatra memang teknik ini kurang cocok diterapkan. Pesisir Utara Jawa dan
Sumatra misalnya telah sesak oleh pemukiman, pun misalnya masih ada kawasan
pantai yang masih alami kebanyakan telah begitu kotor dan atau merupakan tempat
wisata. Pesisir Selatan baik di Jawa dan Sumatra sama saja, terlalu terjal dan
berbahaya untuk aplikasi teknik yang disebut juga dengan nama jaring tarik ini. Bukankah semua kegiatan
menjaring pasti ditarik? Betul, tetapi demikianlah adanya nama dari teknik ini.
Yang pasti juga, cara menarik ringgih berbeda dengan teknik jaring yang
dilakukan dari atas kapal karena ringgih ditarik
dengan berdiri di daratan (baca: pantai). Jadi maksud saya begini, teknik ringgih bukan hanya ada di Morowali
Utara saja tetapi juga terdapat di berbagai daerah lainnya di negeri kita.
Maksudnya? Sabaar saya lanjutkan dahulu!
Kita kupas satu demi satu tentang proses kegiatan menjaring
dengan teknik ringgih ini. Supaya
saya juga belajar menuliskan proses, dan Anda semua juga mendapatkan gambaran
menyeluruh, juga memiliki pandangan yang lebih luas tentang salah satu cara
tangkap ala nelayan Indonesia ini. Saya tidak tahu di masyarakat nelayan di
negara lain, mungkin saja juga mengenal teknik ini. Perburuan di kawasan
pesisir, juga di perairan payau, kental dengan pasang surut air yang terjadi.
Pergerakan air ini menjadi acuan banyak kegiatan masyarakat yang tinggal di wilayah
seperti ini. Berangkat melaut ketika air pantai belum terlalu surut, sehingga
tidak repot mendorong perahu, pulang dari laut ketika air masih tinggi
(sehingga mudah masuk ke areal tambat perahu) hanyalah gambaran kecil saja.
Pembangunan dermaga misalnya, mengikuti karakter pasang dan surut serta kondisi
dasar wilayah pesisir yang ada di daerah tersebut. Mislanya saja, dermaga
selalu dibangun di titik yang meskipun ketika sedang puncak surut sekalipun,
masih cukup aman sehingga kapal-kapal bisa keluar masuk dermaga dan juga
bersandar. Ini juga terjadi dalam kegiatan masyarakat ketika akan melakukan ringgih. Teknik ini mostly tidak dilakukan ketika air sedang bergerak pasang (atau
puncak pasang/konda), tetapi ketika air sedang surut (bisa ketika bergerak
turun dan atau ketika sedang puncak surut). Kenapa demikian? Karena lebih mudah
saja dalam mencari ikan dan proses penebaran jaring juga tidak terlalu sulit,
karena debit air yang menyusut. Di Morowali Utara kondisi puncak surut ini
membuat banyak ‘areal’ pesisir yang seperti terisolasi dari perairan utama
(laut).
Di lokasi seperti itulah kegiatan ringgih akan dilakukan karena ada ‘teori’ yang menyatakan bahwa
banyak ikan yang terjebak di areal yang terisolasi tersebut akibat tidak sempat
pindah ke perairan utama (baca: laut lepas) ketika proses surut sedang
berlangsung (air sedang bergerak turun). Teori yang sepengetahuan saya memang
banyak teruji di berbagai daerah pesisir. Jaring ringgih panjangnya bisa 50-100 meter, bagian jaring ini secara
garis besar terdiri dari dua bagian utama. Pertama adalah jaring panjang
persegi dengan ‘mata’ besar, bagian ini lebih untuk menghalau ikan saja
sebenarnya. Nah di bagian tengah-tengah jaring ini, terdapat semacam kantong
besar dengan ‘mata’ yang sangat kecil sehingga ikan-ikan yang masuk ke dalamnya
sangat sulit untuk melarikan diri. Jadi ketika jaring ini ditarik prinsip
kerjanya seperti ini. Ikan-ikan baik kecil atau besar akan mengira bahwa jaring
utama ini yang akan menangkap mereka, kemudian lari ke arah cekungan di bagian
tengah jaring, tetapi manusia memang cerdik karena memiliki akal budi, di
bagian tengah jarin gitulah kemudian terpasang alat tangkap sesungguhnya!
Proses menarik ringgih ini cukup
berat dan menyita waktu dan tenaga. Dalam sekali proses tebar dan tarik,
setidaknya akan diperlukan waktu 30-40 menit, itupun dengan jaringnya masih
tergolong berukuran kecil (panjang 50-an meter). Kalau jaringnya lebih besar
tentunya akan lebih lama dan memerlukan banyak orang yang ikut serta. Kegiatan
ini memang tidak mungkin dilakukan sendirian. Ada yang bertugas menarik dari
tepian, biasanya 4 orang atau lebih, ada satu orang yang turun dan mobile di air menjaga jalannya jaring
agar tidak tersangkut kayu ataupun batu karang, dan ada yang tugasnya
menebarkan jaring agak ke tengah dengan menggunakan perahu kecil atau bisa juga
sampan. Kadang-kadang ada juga yang bertugas diam saja di pantai sambil
foto-foto dan cerewet mengarahkan pergerakan kamera dan kegiatan yang
dilakukan. Hehehehe!
Kapan sebenarnya kegiatan jaring ringgih akan dilakukan oleh nelayan Morowali Utara. Tidak ada
patokan yang pasti, bisa kapan saja dan bisa tidak kapan saja. Suka-suka. Kalau
cuaca di laut sedang tidak bersahabat, kalau bbm melaut sedang mahal, kalau
banyak ikan bermain di tepian pantai, kalau kapal besar sedang tidak melaut
akibat juragannya belum memberi perintah layar, kalau istri para nelayan sedang
ngambek karena ditinggal melaut
terus, kalau ada yang tiba-tiba meminta untuk disuting, hehehehe dan lain
sebagainya. Sekali lagi yang pasti ini adalah perburuan yang hany abisa
dilakukan kolektif. Kelancaran dan mungkin juga hasil yang didapatkan
tergantung dari kolaborasi apik dari semua yang terlibat. Tetapi masalah hasil
ini sebenarnya tidak ada satu setan pun yang tahu, kecuali Tuhan. Mungkin saja
jaring ditebar di lokasi yang masih ‘sehat’ dan juga pada waktu yang tepat,
tetapi karena yang melakukannya banyak dosa atau mungkin sedang apes, dan atau
kerjasamanya kurang apik, hasilnya menjadi tidak memuaskan. Tetapi di lain
waktu, jaring ditebar di waktu yang salah dan juga di lokasi yang kurang bagus,
kerjasama pun asal-asalan, tetapi karena alam dan Tuhan sedang bermurah hati,
hasilnya bisa jadi sangat bagus. Kita tidak bisa merumuskan hasil perburuan di
alam liar sebenarnya, kecuali mungkin jika kita bisa mewawancari ikan-ikan yang
terkena jaring tersebut. Kita bisa mendapatkan informasi yang lebih valid kenapa sebuah kelompok ringgih bisa berhasil dan atau tidak.
Hehehehe!
Puji Tuhan saat itu ketika kami mendokumentasikan kegiatan ringgih ini, hasilnya cukup memuaskan.
Tak kurang dari 10-an kilogram ikan berbagai jenis dan ukuran kami dapatkan.
Ini jujur saja paradoks dengan hasil kami berkeliling selama delapan hari
menyusuri setiap sungai di wilayah ini ketika mencari ikan-ikan Indonesia black
bass. Memang cara, kondisi dan konteksnya berbeda. Black bass sendiri memang
ikan yang mulai langka. Tetapi apakah hasil ringgih
ini menjadi indikasi bahwa ekosistem kawasan pesisir di Morowali Utara
(maksud saya pantainya) masih cukup sehat? Seorang nelayan menjawabnya dengan
lugas. Ya kalau ngebom di pantai atau
di karang dekat wilayah ini memang tidak mau orang-orang itu bang, karena
bagaimanapun lokasi-lokasi tersebut menjadi sandaran hampir 70 % dari
masyarakat disini. Apa mereka siap dihakimi oleh begitu banyak orang yang bisa
jadi itu adalah saudara atau keluarga mereka sendiri juga? Lha terus kog saya
dan tim tidak mendapatkan ikan naing (Indonesian black bass) di delapan sungai
yang kami datangi, padahal Oktober tahun lalu masih mudah sekali
mendapatkannya? Jawabnya, kalau itu karena ikan-ikan itu bersarang di sungai
dan titiknya mudah dideteksi kalau air sedang bening dan tenang, lagian kalau
di sungai khan sedikit saja orang yang ibaratnya mencari penghidupan di sungai,
berbeda dengan di pesisir pantai di sekitar daerah ini. Berarti kalau sedikit
yang mencari penghidupan di kawasan tersebut, boleh dirusak begitu? Abang ini
kenapa marah-marah ke saya lah, yang ngebom sungai-sungai itu bukan saya bang,
tetapi si ****** dan teman-temannya (dia menyebut nama seorang warga Baturube
yang saya juga tahu orangnya). Pada waktu yang lain, saya mendatangi
orang-orang yang disebutkan ini dan bertanya, kenapa abang dan bapak semuanya
’melempar’ sarang-sarang ikan naing
itu? ‘Melempar’ adalah istilah di Baturube untuk menyebut ngebom ikan. Jawabnya membuat saya ingin menangis, karena tali
pancing kami putus terus kalau mancing ikan-ikan itu! Padahal ikan naing juga tidak laku di pasaran karena
sangat asin akibat sifat predatory-nya
yang keterlaluan (ikan lain apa saja asal lebih kecil akan disambarnya).
Begitulah. Kita kembali lagi ke masalah jaring ringgih. Apa korelasi antara ringgih dan kegiatan ‘melempar’ di
sungai yang dilakukan beberapa oknum di wilayah ini? Terlalu kompleks kalau
dituliskan semuanya. Terkait jaring ringgih,
tidak adil rasanya jika saya juga tidak membuat penilaian. Saya begitu
lantang jika berkaitan dengan apapun yang berhubungan dengan sportfishing, tetapi ke hal lainnya
diam? Tidak kawan, saya akan melihat semuanya sebaik mungkin. Alat tangkap
apapun yang memiliki kemampuan massal, tentunya akan mampu menekan lingkungan
ataupun habitat yang ada. Dari alat tangkap massal ini ada yang kategorinya
keterlaluan (misalnya pukat harimau yang mampu menangkap banyak sekali jenis
dan ukuran ikan) dan ada juga yang masih make
sense. Jaring ringgih ini menurut
saya masih cukup make sense. Memang
hasilnya cukup banyak dalam sekali tebar, tetapi kalau dilihat berapa orang
yang terlibat (yakni saat itu enam orang), hasil yang didapatkan sebenarnya
masih seimbang. Hitung atas saja misalnya, saat itu yang didapatkan kira-kira
ternyata 15 kilogram, berarti per orang membawa pulang 2 kilograman ikan.
Kenapa bisa kemana yang 3 kilogram? Kami bakar di pantai untuk makan sekitar 15
an orang pendukung kegiatan. Saya mencoba menggoda kelompok ringgih ini untuk menebarkan jaring
lagi, tetapi jawabnya cukup menyejukkan. Sudah cukup lah ya bang, toh hasilnya
juga sudah banyak ini, lagian ini juga cuma untuk makan saja kog di rumah. Khan
bisa dijual? Goda saya lagi? Ikan ini memang bisa dijual bang, tetapi kurang
bagus harganya dan susah mendapatkan pembeli. Ini yang kami bawa hanya untuk
makan di rumah saja. Dan saya juga melihatnya sendiri, ikan-ikan non konsumsi
yang terkena jaring ringgih dilepaskan
kembali ke lautan. Ini menurut saya menarik. Ketika orang-orang lain berpikiran
sempit ‘melempar’ sarang-sarang ikan naing,
yang artinya menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya, mereka
melakukannya karena ego manusia dan kebodohan manusia padahal ikan itu juga
tidak enak dan tidak bisa dijual dengan harga yang bagus. Di kelompok jaring ringgih, saya masih melihat kepedulian
dan niat untuk mendudukan semuanya dalam keseimbangan dan keberlanjutan
tertentu, meski sebenarnya tidak ada yang pasti sangat sempurna di dunia ini.
Salam!
* Pictures mostly by Eko Hamzah
& Faisal Umar. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes)
without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments