Tantangan Laman Peruya Part 1: Air Mengalir Membawa Emas dan Tanggung Jawab Pemanfaatan Yang Berkelanjutan
Kehadiran saya dan tim Jejak Petualang Trans|7 di sebuah desa pedalaman Kalimantan Barat beberapa waktu lalu sebenarnya adalah untuk ‘melihat’ dengan lebih dalam tentang bagaimana sebuah unit sosial yang berada jauh di pedalaman menjalani kehidupannya, berikut dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini. Masyarakat Dayak Beginci, ada juga yang menyebutnya Dayak Laman Peruya, adalah sebuah sub suku yang konon merupakan anak suku Ot-Danum di Kalimantan Tengah. Perjalanan sejarah juga politik pada masa lampau (pada jaman kerajaan-kerajaan) kemudian membuat sub suku ini terpaksa masuk dalam wilayah Kalimantan Barat. Baiknya saya tidak perlu membahas migrasi sekaligus ‘perpindahan’ unit sosial ini pada masa lampau karena kisahnya terlalu panjang dan juga pada beberapa bagian cukup sensitif. Kini (setelah migrasi panjang dan terus berpindah selama beberapa generasi) masyarakat ini mendiami sebuah noktah kecil di daerah aliran Sungai B***** K***, sekitar 10 jam dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Desa kecil mereka berada di ‘tengah’ hutan dan satu-satunya akses yang make sense ke wilayah mereka saat ini adalah melalui jalan logging milik sebuah perusahaan HPH dengan menggunakan kendaraan gardan ganda. Ada satu akses lagi sebenarnya melalui sungai, tetapi bisa jadi kita akan stuck di kedalaman hutan karena sungai di wilayah ini banyak 'wall' jeram monster! Jika dilihat di peta, desa mereka berada tidak jauh dari garis imajiner yang merupakan batas antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang awalnya memang dari sanalah mereka berasal.
Ketika pertama kali mendengar bahwa di sungai-sungai ulayat milik masyarakat Dayak Beginci di Kalimantan Barat terdapat potensi emas, dari kawan mancing lama saya yang sering blusukan di Kalbar, pertanyaan pertama yang saya ajukan ke kawan dari Kalimantan Barat adalah bagaimana cara eksploitasinya? Dengan menggunakan mesin-mesin penyedot yang memiliki kemampuan mengubah ‘wajah’ sungai menjadi keruh dan berubah ekosistemnya itu? Ataukah cara pemanfaatannya masih ramah lingkungan, yakni dengan cara mendulang tradisional? Kawan saya menjawab masih dengan cara mendulang dan itupun ramai dilakukan ketika debit air sungai sedang kecil saja (artinya masif dilakukan ketika musim kemarau saja). Menarik batin saya, karena masih ada yang mampu bertahan dengan menggunakan cara-cara tradisional yang terbukti mampu tidak membuat ekosistem sungai menjadi rusak. Di berbagai daerah lain, juga di Kalimantan, saya pernah melihat sendiri betapa usaha-usaha mendapatkan kemilau emas tersebut dilakukan dengan membabi buta yang membuat ekosistem perairan tawar di sungai dan danau-danau sekitarnya berubah drastis (baca: rusak!). Sungai Rungan di Kalimantan Tengah misalnya, tidak ada lagi ceritanya airnya menjadi hitam, hijau apalagi biru (yang dapat kita terjemahkan dengan jernih), melainkan terus keruh seperti adukan kopi susu tetapi kebanyakan susunya, dan ini terjadi sepanjang tahun. Jika musim penghujan wajar air sungai keruh, karena banyak erosi dari hutan di sekitarnya (ini sebenarnya juga tidak wajar karena menjadi pertanda rusaknya ekosistem tepian sungai). Tetapi pada musim kemarau juga demikian, tetap keruh meskipun tiada lagi hujan akibat banyaknya para penambang emas yang beroperasi di sepanjang aliran sungai ini. Masih banyak lagi daerah yang bisa disebutkan sebenarnya.
Kembali ke Kalimantan Barat, potensi eksplorasi emas di
propinsi ini konon, menurut media lokal yang terbit di wilayah ini, besarnya
sekitar 541,6 juta ton! Potensi eksplorasi ya, bukan potensi emas apalagi potensi
emas murni. Jadi maksudnya ini masih tercampur dengan beragam material lainnya
dan sebenarnya kita juga tidak tahu persis akan mendapatkan seberapa banyak
jika melakukan eksploitasi kandungannya. Puji Tuhan sih sebenarnya jika
potensinya sebanyak ini, tetapi bagaimana potensi sebesar ini dimanfaatkan?
Baik itu terkait bagaimana cara eksploitasinya, untuk siapa eksploitasinya, dan
lain sebagainya. Sebagai pejalan, saya berharap semua dieksploitasi dengan
cara-cara yang ramah lingkungan, sehingga alam di sekitarnya masih dapat
terjaga dengan baik. Sungainya tidak hancur, ikan-ikannya masih tetap banyak
(ingat, kita memiliki banyak spsesies ikan endemik di sungai-sungai kita), dan
lain sebagainya. Belum lagi manfaat lain perairan yang mulai terganggu akibat tata
kelola perairan kita terkait potensi emas ini. Jalur transportasi yang mulai
terganggu karena pendangkalan, dan lain sebagainya. Saya malah sempat mendengar
kisah lain, sebuah aliran sungai di Kalimantan Timur, dari masyarakat yang
pernah membantu kami melintasi jalur ini pada 2009 lalu, bahwa aliran sungai
tersebut menjadi tidak aman lagi karena banyaknya perampokan akibat ‘friksi’
antar kelompok penambang emas, dan sangat mungkin karen abanyaknya orang tidak
dikenal yang juga datang untuk sekedar mengintip hasil emas dari para
penambang, dan kemudian mengambilnya dengan paksa. Orang-orang malas tetapi
beringas memang ada dimana-mana, dan semuanya cenderung banyak berkumpul dimana
‘gula-gula’ kira-kira akan mudah didapatkan.
Kita kembali lagi ke emasnya masyarakat Dayak Beginci. Semua
potensi ini, diketahui umum, terdapat di aliran sungai B***** K***. Sungai ini
merupakan sungai ulayat utama milik masyarakat yang juga disebut Laman Peruya
ini. Saya yakin potensi kandungan emas di wilayah ini sebenarnya tersebar
dimana-mana, baik itu di gunung, perbukitan, di dalam hutan dan lain
sebagainya. Tetapi urusan eksploitasi emas itu khan bukan perkara yang mudah,
ringan, dan murah. Jadi tak heran jika yang banyak dieksploitasi oleh
masyarakat Dayak Beginci adalah yang hanyut di aliran sungai saja karena mudah,
relatif ringan, dan murah. Kita cukup berusaha keras terus mencari material
untuk didulang sembari berdoa agar di antara butiran pasir tersebut kita
menemukan emas. Tetapi Puji Tuhan untungnya eksploitasi yang dilakukan oleh
masyarakat di wilayah ini masih teguh memegang cara-cara yang ramah lingkungan,
hanya dengan mendulang saja! Ekosistem sungai tidak rusak, spesies air tawar
tetap banyak yang artinya bisa terus ada di sungai ini dan diwariskan ke
generasi penerus, emas juga masih akan terus ada karena yang didapatkan oleh
masyarakat sebenarnya juga tidak menentu. Kehidupan masyarakat yang ada juga
terus tenang tenteram karena tidak ada ‘panas-panasan’ yang tidak perlu
gara-gara emas! Banyak kejadian luar biasa terkait eksploitasi emas di suatu
wilayah dan efeknya terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya.
Mei lalu saya tiba ketika debit air B***** K****masih sangat
tinggi, bahkan boleh dikatakan sedang banjir. Aliran sungai menjadi sangat
deras (padahal sungai ini sudah tipikal upper river sebenarnya yang memang
sehari-hari deras). Warna air sangat-sangat keruh dan ‘sialnya’ lagi sebenarnya
hotspot emas mereka saat itu sedang tidak good
looking (banyak batang kayu yang nyangkut akibat banjir besar sebelumnya). Para
pendulang emas di musim seperti ini sebenarnya lebih memilih libur dibandingkan
mengais emas di sungai, karena relatif berat dan juga sulit mencari titik-titik
keberadaan material di kondisi sungai yang sedang tidak bersahabat tersebut.
Tetapi satu keluarga yang penuh semangat rupanya tetap bersedia menunjukkan
kepada kami potensi emas yang mereka miliki. Yakni keluarga Dirman, warga Lubuk
Kakap. Saya merasa harus menyebutkan nama Dirman di konteks ini karena ketika
banyak masyarakat kampung lainnya enggan untuk berjibaku di sungai, Dirman dan
istrinya (serta anaknya yang masih bayi), menunjukkan kepada kami cara dan
hasil mendulang. Ajaib memang, cukup ambil pasir dengan sekop (mencari poin
material pasir ini yang cukup sulit kala itu karena debit air tinggi dan
keruh), lalu didulang terus menerus. Begitu berulang kali sepanjang hari.
Hasilnya? Ya memang ada emas yang kami dapatkan. Kami tidak pada konteks
mencari emas banyak-banyak, cukup bahwa memang terbukti aliran sungai mereka
memiliki kandungan tersebut, sehingga apa yang kami sampaikan ke publik adalah
berita yang valid. Jumlah pendulang emas akan ‘meledak’ ketika musim kemarau
tiba. Untungnya mereka semua hanya terdiri dari orang-orang Beginci saja dan
tidak ada orang dari daerah lain. Saya bersyukur karenanya. Banyak daerah
terjadi gejolak sosial ketika potensi emas mereka juga dilirik dan
dieksploitasi orang dari daerah lain, saya bisa menyebutkan nama daerah seperti
ini di Kalimantan karena pernah tinggal beberapa waktu di kampung yang kondisinya
seperti itu.
Ada kehawatiran bahwa apa yang sekarang berlangsung di
B***** K**** tidak akan bertahan lama, diterjang oleh arus besar perubahan,
seperti telah terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia yang memiliki
potensi emas. Yakni eksploitasi emas besar-besaran di sepanjang aliran sungai
yang memang menghasilkan sesuatu yang berguna untuk menopang kehidupan, maksud
saya emas, tetapi konsekuensinya sangat jelas. Sungai rusak, dan bahkan hancur!
Ikan-ikan hilang, dan tatanan kehidupan masyarakat yang berubah drastis akibat
‘panas’-nya emas. Saya bukan orang Beginci yang bisa menjawab kegelisahan ini,
tetapi semoga masyarakat Laman Peruya tersebut bisa bertahan dari godaan
eksploitasi yang tidak ramah lingkungan tersebut. Meski saya sempat melihat ada
dua mesin penyedot lumpur yang mangkrak rusak di beberapa titik di bagian hulu
sungai B***** K****. Memang itu dahulu adalah mesin penyedot emas milik
masyarakat, tetapi kemudian kegiatan seperti itu ditinggalkan setelah terjadi
banjir bandang yang merusak mesin-mesin mereka. Ini bukti nyata, pada saat-saat
tertentu, hutan pun sudah mulai tidak mampu lagi menahan laju air hujan yang
turun, lalu sungai juga ingin dihancurkan?
Harapan besar saya titipkan pada
sebuah perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah ini agar dapat menjadi mitra
dan referensi baik masyarakat terkait tata kelola potensi emas ini. Setahu saya
perusahaan ini memegang prinsip sustainable
yang ketat, karena meski telah beroperasi sejak tahun 1975-an, hutan di kawasan
ini masih begitu hijau dan menurut saya karakternya masih sangat rain forest hasil dari eksploitasi dan
tata kelola yang tepat. Masyarakat Dayak Beginci kini sebenarnya tinggal di
dalam kawasan HPH tersebut di areal seluas sekitar 62,200 hektar (kawasan milik
masyarakat ini terdiri dari beberapa sungai, hutan, gunung, bukit dan lain
sebagainya termasuk emas tadi). Semoga saja
prinsip sustainable yang
dipegang teguh oleh perusahaan HPH tersebut (memang perusahaan HPH ini hanya
mengurusi kayu), dapat ditransfer ke masyarakat yang ada di sekitarnya. Amin!
Comments