Tantangan Laman Peruya Part 2: Kegembiraan Kearifan Lokal Dalam TeknikNangguk & Ngancar Masyarakat Dayak Beginci, Kalimantan Barat
Kehadiran saya dan tim Jejak Petualang Trans|7 di sebuah desa pedalaman Kalimantan Barat beberapa
waktu lalu sebenarnya adalah untuk ‘melihat’ dengan lebih dalam tentang
bagaimana sebuah unit sosial yang berada jauh di pedalaman menjalani
kehidupannya, berikut dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat
ini. Masyarakat Dayak Beginci, ada juga yang menyebutnya Dayak Laman Peruya,
adalah sebuah sub suku yang konon merupakan anak suku Ot-Danum di
Kalimantan Tengah. Perjalanan sejarah juga politik pada masa lampau (pada jaman
kerajaan-kerajaan) kemudian membuat sub suku ini terpaksa masuk dalam wilayah
Kalimantan Barat. Baiknya saya tidak perlu membahas migrasi sekaligus
‘perpindahan’ unit sosial ini pada masa lampau karena kisahnya terlalu panjang
dan juga pada beberapa bagian cukup sensitif. Kini (setelah migrasi panjang dan
terus berpindah selama beberapa generasi) masyarakat ini mendiami sebuah noktah
kecil di daerah aliran Sungai B***** K***, sekitar 10 jam dari kota Pontianak,
Kalimantan Barat. Desa kecil mereka berada di ‘tengah’ hutan dan satu-satunya
akses yang make sense ke wilayah mereka saat ini adalah melalui jalan logging
milik sebuah perusahaan HPH dengan menggunakan kendaraan
gardan ganda. Ada satu akses lagi sebenarnya melalui sungai, tetapi bisa
jadi kita akan stuck di kedalaman hutan karena sungai di wilayah ini
banyak 'wall' jeram monster! Jika dilihat di peta, desa mereka berada
tidak jauh dari garis imajiner
yang merupakan batas antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang
awalnya memang dari sanalah mereka berasal.
Tentang perburuan di perairan tawar, pernah saya singgung di blog iseng ini berulang kali, masyarakat Indonesia memiliki keberagaman cara, kadang berbeda sama sekali, kadang ada yang serupa. Teknik perburuan di perairan tawar dan dimanapun itu, biasanya dibentuk oleh kondisi alam (geografis), karakter masyarakat yang berbeda, dan lain sebagainya. Memang terkadang ada beberapa hal yang mirip dalam cara perburuan tersebut, misalnya bentuk alat bantunya, strategi perburuannya, dan lain sebagainya. Sehingga kalau kita tidak memperhatikan dengan detil kesannya seperti sama saja, tetapi padahal tidak demikian sebenarnya jika kita melihatnya lebih tenang dan lebih teliti lagi. Yang pasti, meski terkadang ada detil yang serupa, setiap masyarakat selalu memiliki keunikannya sendiri-sendiri dalam cara berburu di perairan tawar ini. Contoh kesamaan alat misalnya saya beri gambaran seperti berikut ini. Tombak mata tiga (serapang/serampang) di Indonesia pemakaiannya sangat luas. Yang pernah saya lihat sendiri, di Danau Ayamaru (Papua Barat) masyarakat sekitar danau menggnakan alat ini untuk berburu ikan-ikan air tawar di perairan karst sekitar mereka di Danau Ayamaru. Di Kalimantan Selatan, masyarakat Banjar juga akrab dengan tombak serampang ini dengan menggunakannya untuk berburu di sungai maupun di rawa-rawa, salah satu teknik perburuan yang sangat unik terkait tombak ini di Kalimantan Selatan disebut “bumbun”. Yaitu dengan membuat struktur perlindungan dan persembunyian di atas sungai, dan kemudian pemburu menunggu ikan yang melintas atau berteduh di sekitar struktur tersebut. Ikan yang melintas di bawah “bumbun” kemudian akan ditombak. Tombak serapang/serampang juga digunakan masyarakat Banggai dan Bajo di Sulawesi Tengah untuk tenik perburuan di pesisir pantai yang disebut dengan “nyinke”.
Tentang perburuan di perairan tawar, pernah saya singgung di blog iseng ini berulang kali, masyarakat Indonesia memiliki keberagaman cara, kadang berbeda sama sekali, kadang ada yang serupa. Teknik perburuan di perairan tawar dan dimanapun itu, biasanya dibentuk oleh kondisi alam (geografis), karakter masyarakat yang berbeda, dan lain sebagainya. Memang terkadang ada beberapa hal yang mirip dalam cara perburuan tersebut, misalnya bentuk alat bantunya, strategi perburuannya, dan lain sebagainya. Sehingga kalau kita tidak memperhatikan dengan detil kesannya seperti sama saja, tetapi padahal tidak demikian sebenarnya jika kita melihatnya lebih tenang dan lebih teliti lagi. Yang pasti, meski terkadang ada detil yang serupa, setiap masyarakat selalu memiliki keunikannya sendiri-sendiri dalam cara berburu di perairan tawar ini. Contoh kesamaan alat misalnya saya beri gambaran seperti berikut ini. Tombak mata tiga (serapang/serampang) di Indonesia pemakaiannya sangat luas. Yang pernah saya lihat sendiri, di Danau Ayamaru (Papua Barat) masyarakat sekitar danau menggnakan alat ini untuk berburu ikan-ikan air tawar di perairan karst sekitar mereka di Danau Ayamaru. Di Kalimantan Selatan, masyarakat Banjar juga akrab dengan tombak serampang ini dengan menggunakannya untuk berburu di sungai maupun di rawa-rawa, salah satu teknik perburuan yang sangat unik terkait tombak ini di Kalimantan Selatan disebut “bumbun”. Yaitu dengan membuat struktur perlindungan dan persembunyian di atas sungai, dan kemudian pemburu menunggu ikan yang melintas atau berteduh di sekitar struktur tersebut. Ikan yang melintas di bawah “bumbun” kemudian akan ditombak. Tombak serapang/serampang juga digunakan masyarakat Banggai dan Bajo di Sulawesi Tengah untuk tenik perburuan di pesisir pantai yang disebut dengan “nyinke”.
Teknik perburuan di perairan tawar yang dilakukan oleh Suku
Dayak Beginci (Dayak Laman Peruya) yang akan saya bahas kali ini kebetulan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan tombak mata tiga. Apa yang oleh
masyarakat Dayak Beginci dengan nangguk/nanggu,
adalah teknik mencari ikan di sungai-sungai kecil yang dangkal (di wilayah ini
hampir tidak ada rawa dan juga danau karena berada di pegunungan) dengan alat
bantu yang disebut tangguk. Tangguk
ini sebenarnya adalah sejenis wadah dari anyaman bambu atau rotan, bisa dipakai
untuk membawa barang-barang dari kebun dan lain sebagainya, dengan bagian atas tangguk ini terbuka (tidak ada penutup).
Alat rumah tangga sebenarnya dengan beragam kegunaan yang sangat praktis.
Karena anyaman bambu/rotan memang selalu memiliki rongga yang banyak,
masyarakat Beginci terkadang menggunakannya sebagai alat bantu untuk menyerok
ikan. Akan tetapi kegiatan ini biasanya hanya dilakukan oleh kaum perempuan
saja, sangat jarang ada kaum lelaki melakukan perburuan teknik ini karena
terkesan “unyu-unyu”. Kalau kaum lelaki biasanya akan memilih berburu babi di
hutan dan atau memancing di sekitar jeram yang berarus deras. Bebicara kaum
perempuan dan perburuan di perairan tawar, saya teringat beberapa masyarakat
suku lain di negeri ini yang kaum perempuannya juga pandai dan tangguh dalam
berburu. Di Pulau Makian, Maluku Utara misalnya, ada yang disebut teknik bagapo (berburu ikan dengan alat bantu
sapu lidi!). Di masyarakat Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah, kaum perempuan di pedalaman sering berburu ikan
dengan teknik yang disebut ngeruhi
(tangan kosong di danau yang mengering) dan memburu
(tangan kosong dengan kombinasi jaring di perairan dangkal). Dan masih
banyak kaum perempuan dari daerah lain yang juga tangguh berburu di perairan
tawar. Oh ya mama-mama Papua di sekitar Danau Ayamaru di Papua Barat misalnya,
juga mengenal teknik handfishing yang
disebut dengan nama raba-raba!
Sore itu jarum jam menunjukkan pukul 15.00 Wib, matahari
sepertinya masih terus marah-marah sejak pagi, panas sekali, dan kami mulai
melangkahkan kaki ke sungai kecil di belakang Kampung Lubuk Kakap (kampung utama
orang-orang Dayak Beginci). Enam orang perempuan Beginci, ada yang tua juga
muda, telah mendahului langkah kami menuju ke sungai, biar cepat adem katanya. Memang benar sungai kecil
yang jaraknya cuma beberapa ratus meter dari kampung ini sangat teduh, bening,
dan tentunya airnya juga sangat segar dan dingin! Saya buktikan langsung dengan
merendam kaki, membasuh muka yang mulai lusuh karena telah suting dari pagi
(suting kegiatan lain). Jika di masyarakat lain perburuan di perairan tawar
lebih banyak didominasi kaum perempuan berumur setengah baya ke atas, kelompok nangguk orang Beginci ini malah
didominasi anak-anak muda. Ini menarik karena biasanya justru para perempuan
muda-lah yang enggan bermain kotor-kotoran dan atau basah-basahan di
sungai/danau/rawa yang ada. Mereka lebih senang duduk-duduk di beranda rumah
sambil melihat orang-orang yang melintas. Hehehehe! Dari komposisi umur yang
terdapat dalam kelompok nangguk ini, beberapa
say alihat malah masih remaja, saya tidak perlu khawatir regenerasi kearifan
lokal yang ramah lingkungan ini akan terputus, setidaknya tidak dalam waktu
dekat ini. Tongkrongan remaja perempuan Beginci ini pun juga sangat serius, dan
seperti menyatakan kami siap berpetualang, sebab selain tangguk, di pinggang
diikatkan sebilah parang. Suasana di titik ‘start’ saat itu juga sangat hangat,
sepertinya semua gembira bisa ngadem di
sungai kecil belakang kampung tersebut. Jika bagi orang-orang asli kampung saja
begitu menyenangkan bisa ngadem di
sungai, apalagi bagi saya? Gemericik air, suara burung, desau angin, dan juga
segarnya udara yang memenuhi paru-paru kita. Hmmmmmm.... Terkadang apa yang
kita sebut dengan “berharga” itu adalah sesuatu yang tidak harus kita beli
dengan setumpuk uang!
Kegiatan nangguk akan
dilakukan dari arah hilir menuju ke hulu, berarti sambil berjalan menentang
arus air. Kelompok nangguk akan
bergerak beriringan tetapi tidak dalam barisan yang teratur, kemudian menyasar
struktur tepian yang terlindung, lubang-lubang di tepian sungai, di bawah kayu
atau dedaunan, dan lain sebagainya. Pergerakan dan gerakan menyerokkan tangguk
akan di arahkan ke tempat-tempat seperti saya sebutkan tadi. Dengan berjalan
menentang arus, praktis kelompok akan meninggalkan aliran keruh di arah
belakang mereka, arah depan atau areal baru akan selalu bening. Pergerakan ini
tentunya untuk memudahkan pengamatan lokasi atau sarang ikan di sungai dan
sebenarnya juga karena mengikuti karakter ikan yang berenang menghadap arus,
jadi kita bermaksud menangkapnya dari arah belakang. Pun kalau ikan-ikan
ataupun udang lari menjauh, pasti akan bergerak ke arah hulu lagi bukannya ke
arah hilir, jadi masih ada kemungkinan untuk diamati kembali keberadaannya dan
di-tangguk lagi. Tidak mudah sebenarnya perburuan ini, karena bagaimanapun ikan
dan udang memiliki ekor dan bisa berenang, berenang sesukanya dan tentunya
ketika habitat tiba-tiba ramai oleh orang, pasti akan cepat-cepat berlindung
dan atau berenang menjauh. Yang menarik kelompok ini tetap bergerak penuh
semangat sembari terus basah-basahan, ada maupun tidak di areal yang mereka
lewati. Rupanya memang ada kegembiraan tertentu di kalangan orang Beginci
dengan air sungai, mungkin karena kalau kita berdiam di kampung, panasnya
terasa luar biasa membakar kulit kita! Pada beberapa kesempatan saya melihat,
bahwa dokumentasi nangguk ini
kemudian menjadi bias antara apakah ini kegiatan mencari ikan dan udang,
ataukah kegiatan bermain air dengan gembira. Tetapi tidak mengapa sebenarnya,
karena malah bisa memperkuat kesan kearifan lokal yang penuh keceriaan. Bagi
saya hidup dengan gembira adalah salah satu kunci kebahagiaan dalam menjalani
hidup yang juga kadang hitam, putih, dan abu-abu ini. Cara bergerak dari arah
hilir ke hulu ini juga terdapat dalam kegiatan perburuan perairan tawar raba-raba di Danau Ayamaru, ngeruhi dan memburu di Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Singkat cerita, Puji
Tuhan hasil kami semua nangguk selama
empat jam, adalah dua genggam ikan, kepiting dan udang berukuran mini!
Hahahaha! Ekosistem sungai yang berubah, ataukah karena kesulitan akibat
beningnya air sehingga ikan dan udang lebih waspada dengan kegaduhan pergerakan
kelompok ini? Apapun itu, berbahagialah mereka yang selalu bisa bersyukur. Saya
tidak melihat raut sedih ataupun gundah sedikitpun dari orang-orang Beginci ini
dengan hasil yang didapatkan, selalu senang, dan kalaupun wajahnya paling
‘asem’ menurut saya adalah, ekspresi datar saja. Tidak ada yang wajahnya
‘buram’ seperti saya. Hahaha!
Terakhir saya akan singgung sedikit tentang teknik ngancar. Ngancar ini pada dasarnya
adalah teknik mancing tradisional saja. Joran/stik bisa menggunakan bambu
kecil, batang rotan, ataupun pelepah palem kecil. Apapun yang bisa dijadikan
stik/joran pancing. Talinya tali monofilament biasa (kalau dahulu sih konon
memakai tali dari rautan rotan dan atau akar-akaran yang kuat). Pancingnya kini
juga sudah pancing single hook biasa
yang kita lihat di toko-toko pancing. Umpannya seringnya menggunakan cacing
tanah biasa yang berukuran besar. Teknik mancing seperti kebanyakan dilakukan
orang. Yang pasti dalam ngancar kita
tidak menggunakan pelampung, jadi umpan memang diproyeksikan turun ke dasar
sungai (pemberat menggunakan kerikil kecil). Targetnya segala jenis ikan,
sedapatnya. Tetapi karena masyarakat memilih menggunakan umpan cacing, waktu
itu yang banyak menyambar adalah jenis ikan berkumis (baung, dan lain
sebagainya). Kalau lagi beruntung bisa mendapatkan jenis ikan yang lebih keren
khas upper river seperti hampala (adungan) dan kalau kita hokinya memang luar
biasa, bisa juga mendapatkan ikan semah (mahseer). Tetapi itu tadi, teknik ngancar bukan diproyeksikan untuk
mencari ikan size monster dan prestisius, tetapi ikan-ikan kecil yang relatif
mudah didapatkan, dan juga nikmat dikonsumsi. Karena kegiatan ini dilakukan
dalam konteks pencarian sumber lauk pauk dan bukannya dalam rangka menekuni
hobi yang menginginkan ikan besar dan bergengsi untuk kemudian difoto dan
dipamerkan di media sosial. Ngancar adalah demi memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari masyarakat. Yang menarik menarik saat itu menurut saya dalah lokasi
ngancar ini dilakukan. Persis di tengah-tengah salah satu jeram paling ‘klasik’
di B***** K**** yang bernama Kerango. Melihat warga Dayak Beginci dan host kami
begitu bergembira dengan ikan-ikan kecil di jeram Kerango ini, saya seperti
diingatkan kembali, menjadi belajar kembali tentang nilai-nilai kehidupan di
seputar memancing. Bahwa kebahagiaan dalam memancing (kalau kita mau jujur lho
ya ini...), adalah bukan pada banyaknya dan ukuran yang harus selalu besar, dan
selalu terkait dengan ikan-ikan prestisius, melainkan pada cara kita bersyukur
terhadap apapun yang diberikan oleh Tuhan dan alam. Demikian! Salam!
* Pictures mostly by Budhi K. Some shots by Me, & Wijayadi. Please
don't use or reproduce (especially for commercial purposes)
without my permission. Don't make money with my pictures without
respect!!!
Comments