Tantangan Laman Peruya Part 3: Menjaga Komitmen Pemanfaatan Hutan Tropis Yang Berkelanjutan Demi Generasi Berikutnya
Kehadiran saya dan tim Jejak Petualang Trans|7 di sebuah
desa pedalaman Kalimantan Barat beberapa waktu lalu sebenarnya adalah untuk
‘melihat’ dengan lebih dalam tentang bagaimana sebuah unit sosial yang berada
jauh di pedalaman menjalani kehidupannya, berikut dalam menghadapi
tantangan-tantangan yang ada saat ini. Masyarakat Dayak Beginci, ada juga yang
menyebutnya Dayak Laman Peruya, adalah sebuah sub suku yang konon merupakan
anak suku Ot-Danum di Kalimantan Tengah. Perjalanan sejarah juga politik pada masa
lampau (pada jaman kerajaan-kerajaan) kemudian membuat sub suku ini terpaksa
masuk dalam wilayah Kalimantan Barat. Baiknya saya tidak perlu membahas migrasi
sekaligus ‘perpindahan’ unit sosial ini pada masa lampau karena kisahnya
terlalu panjang dan juga pada beberapa bagian cukup sensitif. Kini (setelah
migrasi panjang dan terus berpindah selama beberapa generasi) masyarakat ini
mendiami sebuah noktah kecil di daerah aliran Sungai B***** K***, sekitar 10
jam dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Desa kecil mereka berada di ‘tengah’
hutan dan satu-satunya akses yang make sense ke wilayah mereka saat ini adalah
melalui jalan logging milik sebuah perusahaan HPH dengan
menggunakan kendaraan gardan ganda. Ada satu akses lagi sebenarnya melalui
sungai, tetapi bisa jadi kita akan stuck di kedalaman hutan karena sungai di
wilayah ini banyak 'wall' jeram monster! Jika dilihat di peta, desa mereka
berada tidak jauh dari garis imajiner yang merupakan batas antara Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah, yang awalnya memang dari sanalah mereka berasal.
Tentang patroli hutan
yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Beginci dan Dayak Kayong, dan pihak-pihak
lain yang concern dengan
keberlanjutan kawasan hutan tropis (hutan primer) di daerah Nanga Tayap, Ketapang
ini saya tidak akan menulis banyak. Sedikit, saya ingin memberi gambaran saja
tentang kondisi hutan tropis di negeri kita. Kawasan hutan di Indonesia pernah
menempati urutan ketiga terluas di dunia (pertama Brasil, kedua Kongo) dengan
luas 162 juta hektar. Kita bisa bayangkan manfaat dari “paru-paru dunia” ini
dari keberagaman flora faunanya, fungsi tata air, untuk ilmu pengetahuan,
farmasi, dan lain sebagainya. Sayangnya paru-paru dunia ini telah lama dan
terus terkoyak oleh pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan (tahun 2007
Indonesia mendapat juara sebagai negara dengan deforestasi tertinggi dari
Guiness World Records dengan tingkat kerusakan 300 kali lapangan bola setiap
jamnya). Dari kebakaran hutan dan lahan pada kurun waktu 1997-1998 saja,
terjadi deforestasi sekitar 9,75 juta hektare (ADB), namun menurut luasnya
mencapai Walhi 13 juta hektare. Deforestasi lain yang menggerus hutan-hutan
Sumatera, Kalimantan hingga Papua, hingga tahun 1997 diyakini tidak kurang
telah merobek paru-paru dunia ini seluas 10 juta ha. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1980-1990-an juga terjadi
dengan mulai merosotnya kualitas lingkungan dan pelanggaran hak dan tradisi
masyarakat setempat yang hidupnya terkait dengan hutan tropis.
Apa yang saya tuliskan sekilas di atas merupakan rangkuman tentang
“kesedihan” kondisi hutan tropis kita yang banyak tersebar di internet. Apakah
data-data ini valid? Terlalu polos hidup kita selama ini menurut saya jika kita
masih meragukan semua data ini, silahkan ‘berselancar’ di internet mencari
informasi tentang hutan tropis Indonesia, dan selamat menikmati suguhan pahit
yang akan tersaji. Jadi saya begitu bersyukur bahwa masih ada masyarakat adat
yang teguh memegang komitmen menjaga hutan ulayat milik mereka, bersama
pihak-pihak lainnya, demi keberlangsungan potensi yang ada sehingga dapat
diwariskan kepada anak cucu. Dengan potensi alam yang telah diberikan kepada
manusia, memang kita memiliki hak untuk memanfaatkannya, cara pemanfaatan ini
yang patut diperhatikan, seperti apa? Apakah caranya membabi buta tanpa peduli
bahwa sejatinya semua sumber daya alam seharusnya juga dapat dinikmati oleh
generasi berikutnya? Ataukah cara-cara pemanfaatannya penuh kearifan lokal dan
tidak rakus, sehingga alam megah yang dititipkan kepada kita juga tetap megah
hingga nanti. Banyak pihak, baik individu, masyarakat, perusahaan besar,
pemerintah daerah, dan lain sebagainya yang tergoda dengan menghabiskan semua
hutan tropis yang ada di wilayahnya demi tumpukan lembaran nominal yang akan
habis sesaat. Banyak juga yang penuh tanggung jawab memanfaatkannya tetapi
dengan prinsip sustainable yang ketat. Apa yang saya lihat di wilayah adat
orang-orang Daya Beginci dan Dayak Kayoung cukup menghibur hati saya di tengah
laju deforestasi hutan tropis Indonesia. Hasil patroli hari itu adalah berhasil
‘menangkap’ satu kelompok pemburu burung yang disinyalir melakukan perburuan
burung yang mulai langka, dan satu kelompok pembalak liar yang menebang
pohon-pohon yang dilindungi.
Betul, bahwa masyarakat, begitu juga pihak-pihak lainnya di
wilayah ini tetap memanfaatkan hutan tropis yang ada baik dalam skala kecil
ataupun besar, tetapi yang tidak dilupakan, prinsip berkelanjutan tetap dipegang
teguh. Sebagai gambaran tentang hal ini adalah, di wilayah nanga Tayap ini ada
sebuah perusahaan HPH besar yang telah beroperasi sejak tahun 1975 (mungkin eksploitasi
hutannya, produksinya, sudah dilakukan sejak 1978-an), tetapi jika kita lihat
kondisi hutannya di tahun 2016 ini, karena mereka memegang teguh prinsip
sustainable tersebut, masih begitu megah. Saya tidak ada kepentingan apapun
dengan menulis seperti ini, selain mengabarkan kepada publik dengan dengan
benar, menyatakan apa adanya seperti yang saya lihat saat itu ketika berada di
wilayah ini. Bukan karena saya dibantu melintasi ratusan kilometer jalur logging di dalam kawasan ini, dengan
support armada yang memadai dan sangat membantu kegiatan yang saya lakukan
bersama masyarakat, kemudian saya menulis seperti ini. Begini gambarannya
saudara-saudara, saya pernah melihat hutan-hutan yang telah hancur di wilayah
lain di negeri ini, padahal belum lama (kurang dari 20 tahun) dieksploitasi
baik itu untuk diambil kayunya oleh perusahaan HPH ataupun mulai dibuka untuk dijadikan
lahan oleh masyarakat. Kehancuran yang sebenarnya bisa dihindari andaikan
masyarakat di sekitarnya, pengelola HPH-nya, tidak tamak. Di Nanga Tayap,
Ketapang keadaannya sungguh di luar
dugaan saya, padahal eksploitasi yang dilakukan (dari sisi perusahaan HPH saja
sudah sejak sekitar 1978-an). Hutannya masih benar-benar hutan tropis yang
megah! Belum lama ini saya mendapat informasi di Jakarta, bahwa di Indonesia
hanya ada 7 perusahaan HPH yang memenuhi standar sertifikasi pemanfaatan hutan
yang sustainable (entah apa nama sertifikasi tersebut), dan yang beroperasi di
Nanga Tayap ini salah satunya. Semoga mereka semua yang telah begitu
bersemangat memanfaatkan sekaligus menjaga keberlanjutan hutan tropis di
wilayah Nanga Tayap dan juga wilayah lain di Indonesia, tidak pernah kenal
lelah untuk melanjutkan niat mulia tersebut. Juga tidak pernah kenal lelah
mewariskan semangat sustainable yang telah dijalani ini kepada generasi
penerusnya.
Catatan pendek ini saya buat sekaligus sebagai ucapan terimakasih
dan salam kepada semua pihak yang terlibat dalam patroli hutan hari itu. Yang
bersama-sama dalam satu semangat yang sama menyusuri ratusan kilometer jalur logging yang ‘aduhai’ itu, menjelajahi puluhan kilometer trekking di dalam kelebatan hutan,
bermandi peluh selama kegiatan, dan lain sebagainya. Teruskan! Salam!
* Pictures mostly by Budhi K. Some shots by Me, &
Wijayadi. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes)
without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments