Skip to main content

Cerita Dari Pesisir Timur Moloku Kie Raha: Tantangan Memancing Ikan-ikan Pemangsa Perairan Payau Air Keruh (Bagian 1)


Belum pernah terjadi, dalam sejarah memancing saya, dengan sadar saya mengambil gunting dan kemudian memutuskan tali, yang mana pada ujungnya, masih terdapat sesuatu yang begitu kuat dan berat menggigit umpan saya, akibat ketiadaan solusi untuk mencari tahu, apa gerangan sebenarnya yang begitu perkasa menyambar umpan saya dan terus bertahan di kedalaman air yang sangat keruh itu.

Salam wild fishing! Foto pertama yang saya sertakan dalam catatan iseng ini menurut saya setidaknya bisa ikut membantu menghadirkan suasana behind the scenes atas apa yang terjadi dalam trip ini. Terutama di kalangan sportfisher, umpan yang ‘tewas’ dengan kondisi seperti itu mewakili banyak hal terutama sisi wild sebuah lokasi, potensi, nuansa petualangan yang terjadi, momen yang mengakibatkan lure sampai harus ‘tewas’ seperti itu, kira-kira ikannya jenis apa dan terkadang juga kekuatan dari ikan tersebut sebesar apa, dan lain sebagainya. Saya tidak dalam konteks mendiskreditkan pabrikan lure tersebut, meski telah saya buat siluet tetapi pasti banyak orang tetap familiar ini lure merk dan jenisnya. Maksud saya memasang lure yang dengan gagah ‘gugur’ di Halmahera Timur tersebut lebih dalam rangka untuk  menghadirkan sesuatu yang telah saya sebutkan di atas yang mungkin akan sangat sulit sekali untuk saya deskripsikan dengan kata-kata. Meski telah puluhan kali momen seperti ini terjadi, terkait lure yang sama juga, terjadi dalam perjalanan memancing saya, saya tetap menjadikan lure tersebut salah satu ‘peluru’ wajib dalam setiap petualangan wild fishing perairan payau yang saya lakukan, karena keampuhan dan karakter dari lure ini memang luar biasa. Saya berharap semoga ke depannya dibuat seri khusus yang lebih kokoh, sehingga kami para pemancing yang tidak mampu membeli banyak lure ini bisa sedikit lebih tenang ketika sedang blusukan.

Ungkapan “jangan memancing di air keruh” cukup familiar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negeri kita. Ungkapan ini banyak dipakai untuk menggambarkan sebuah situasi tertentu yang sedang terjadi dalam sebuah masyarakat, kelompok, perusahaan, keluarga, dan lain sebagainya, akan tetapi kemudian ada pihak-pihak lain yang ingin mendapatkan ‘ikan’ (baca: keuntungan) dari situasi yang tersebut dengan cara-cara tertentu. Baik situasi yang terjadi juga kegiatan yang dilakukan oleh pihak lainnya biasanya terjadi dalam situasi dan cara yang kurang baik. Kadang bisa berbentuk kekacauan dalam sebuah masyarakat yang kemudian dimanfaatkan pihak tertentu untuk merebut kekuasaan, kepanikan pasar karena faktor tertentu yang kemudian dimanfaatkan para spekulan untuk meraup keuntungan maksimal, dan lain sebagainya. Entah bagaimana awal mulanya kata “memancing” kemudian memiliki arti yang kurang baik gara-gara ungkapan ini. Siapa yang pertama kali mencetuskan ungkapan/kiasan ini? Saya tidak tahu. Tetapi ijinkan saya menggunakan ungkapan yang cukup klise tetapi terus hidup di masyarakat kita ini, tentunya dalam pemaknaan yang sangat berbeda.

Saya dan tim Jejak Petualang Wild Fishing (selanjutnya JPWF), kali ini dengan host lady angler Patricia Ranieta, tiba di Pulau Halmahera pada paruh kedua bulan Mei 2016. Cuaca masih sangat tidak menentu, kombinasi antara panas menyengat dan hujan super lebat yang bisa tiba-tiba datang. Kondisi yang tidak menentu ini saya ketahui setelah kaki menginjak Pulau Halmahera, padahal dari puluhan kali kontak telepon seluler dari Jakarta, informasi yang saya dapatkan dari penghubung kami adalah,”cuaca bagus!” Tujuan kami adalah sisi timur pulau “K’ kecil ini. Pengalaman-pengalaman beberapa rekan pemancing sebelumnya dan juga dari pemahaman saya sendiri (pertama kali menginjak Pulau Halmahera tahun 2009), pesisir timur Halmahera memiliki perairan payau (sungai-sungai peralihan) yang lebih besar, panjang dan kompleks dibandingkan dengan pesisir barat. Jadi untuk petualangan wild fishing yang akan kami lakukan, pesisir timur pastinya akan lebih mendukung dibandingkan dengan pesisir barat pulau. Apalagi kini akses ke wilayah ini sudah semakin mudah dan terbuka dengan adanya penerbangan ke beberapa titik strategis tertentu di pulau ini.  Berbeda sekali dengan masa muda saya dahulu, hehehehe, ketika berkeliling Halmahera dengan pemancing ‘gila’ Rudi Hadikesuma pada tahun 2009, hampir semua perjalanan yang kami lakukan di pulau ini semuanya melalui laut dengan kapal feri kayu, kapal kayu kecil dan lain-lain! Kini selain jalur udara yang semakin bising, jalur darat yang ada juga semakin panjang dan menghubungkan banyak sekali daerah strategis di seluruh Pulau Halmahera. Meskipun kondisi jalannya seringkali masih apa-adanya, tetapi sebagian besar telah dapat dilalui dengan kendaraan roda empat biasa (hanya beberapa titik tertentu saja yang memerlukan kendaraan khusus atau 4WD).

Kenapa harus Pulau Halmahera? Padahal cuaca peralihan dari musim penghujan ke kemarau, pancaroba ini, masih juga belum usai? Apa tidak terlalu beresiko melakukan perjalanan wild fishing trip ke perairan payau pada kondisi seperti itu? Sebenarnya sangat riskan karena dengan cuaca yang masih belum stabil pasti akan berimbas kurang baik pada kondisi sungai-sungai peralihan baik itu warna air dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana lagi, kami telah tiba di Halmahera Timur menatap sungai-sungai payau berair cukup keruh di depan kami, meski berulang kali sebelumnya kontak kami meyakinkan bahwa sungai-sungai di wilayahnya sangat jernih akibat sudah tidak turun hujan lagi (musim kemarau tiba). Saya mungkin orang yang terlalu lugas ketika sedang berbicara langsung, hari itu juga beberapa ‘semprotan’ saya alamatkan ke kontak kami tersebut, meski dia meminta maaf tidak mampu merubah apapun. Sore itu usai penerbangan melelahkan dari Jakarta, kami bersama-sama termangu di depan sebuah muara sungai memeriksa kondisi air yang tidak bening sebelum esok berencana memulai semua kegiatan. Saya bukan orang yang mudah menyerah begitu saja, menatap sungai-sungai dengan warna air yang sebenarnya kurang ideal untuk kegiatan sportfishing jujur saja sudah membuat nyali ciut dan keraguan pun menyeruak, tetapi bukankah memancing adalah tentang mencari jawaban dari sebuah tanda tanya? Ketika keraguan secara tidak saya harapkan pun mulai menyebar menghinggapi rekan-rekan lainnya, saya mencoba menghadangnya dengan,”Mungkin disinilah justru rejeki kita, di air keruh ini?!”

Patricia Ranieta, lady angler yang digadang menjadi host JPWF kali ini sebenarnya adalah newbie dalam ranah sportfishing. Karena pengalaman sportfishing dia sebelumnya hanyalah ketika saat kami bersama-sama di Kalimantan Barat mencoba mengisi waktu luang dengan belajar memancing, yang juga terjadi ketika air sedang keruh! Saat itu meskipun air upper river yang ada di wilayah itu sedang tidak kondusif, host yang sebelumnya adalah news anchor sebuah TV nasional di Jakarta juga, tetap memancing dengan semangat dan belajar cara-cara sportfishing yang mungkin dengan waktu yang ada tanpa raut muka muram sedikitpun. Ini menarik! Karena bahkan banyak pehobi mancing kawakan sekalipun, biasanya langsung males kalau sudah berhadapan dengan kondisi fishing ground yang tidak kondusif, buang-buang waktu dan tenaga katanya. Alhasil semangat dan keceriaannya ketika berada di Kalimantan Barat diganjar dengan beberapa ekor ikan hampala yang di kalangan pehobi mancing lumayan prestisius untuk spesies ikan sungai arus deras. Semangat dan keceriaan yang sama juga dia tunjukkan ketika kami tiba di Halmahera Timur dan kemudian bersama-sama menatap sungai yang airnya berwarna keruh, kita seperti diberi tambahan semangat juga ‘amanat’ jangan sampai keceriaan yang dia tunjukkan menjadi sia-sia.

Dalam setiap perjalanan saya merasakan bahwa saya menjadi lebih religius dan menurut saya ini baik. Ada suatu kesadaran sederhana yang mengkristal bahwa kita hanyalah setitik debu yang sedang mencoba memberi makna perjalanan hidup kita di dunia, dalam sebentuk bekerja dengan penuh dedikasi, menjadi manusia yang melakukan hal-hal baik sesuai citra-Nya, dan lain sebagainya. Sebelum memulai kegiatan misalnya selalu berdoa di kamar penginapan, di sungai yang akan menjadi playground kami berdoa, keluar dari kendaraan pengangkut selalu mengucapkan doa, melihat awan yang sepertinya akan berubah menjadi hujan berdoa, hendak makan siang di hutan ataupun dimanapun itu selalu memanjatkan doa, dan lain sebagainya. Padahal saya bukanlah orang yang rajin ke gereja. Ketika hampir 90% penduduk Indonesia hari itu mungkin masih meringkuk di kasur masing-masing, saya dan tim JPWF pagi itu sudah nongkrong di bagian hulu sebuah aliran sungai, di atas perahu-perahu bercadik kami, setelah sebelumnya pada pukul 04.00 WIT melaju dari kampung terdekat. Air sungai telah bergerak turun sejak pukul 02.00 WIT, yang mana pergerakan air di sungai payau sebenarnya paling ideal untuk aktifitas memancing, tetapi karena waktunya yang tidak mungkin untuk sebuah dokumentasi audio visual (baca: gelap), saya memilih ‘puncak’ dari pergerakan air turun di sungai tersebut, jadi ketika debit air sungai berada pada posisi terendahnya. Masyarakat menyebutnya dengan meti. Hari itu sesuai terawangan dari Navionics seharusnya terjadi pada pukul 06.00 WIT hingga pukul 08.30 WIT saja. Sembari menanti matahari terbangun dan mencari kami yang tersembunyi di kelebatan hutan bakau Halmahera Timur, terucap lirih dalam hati, bimbinglah dan sertailah perjalanan juga pekerjaan kami ini!

Perahu-perahu yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat Halmahera Timur jika kita amati sebenarnya hanyalah sampan berukuran kecil tetapi kemudian diberi tambahan cadik di kedua sisinya. Perahu-perahu ini meski kecil dibuat dari kayu tebal dan berat dengan posisi motoris di bagian buritan di belakang mesin, duduk dengan pantat yang terkadang menyentuh air. Untuk kegiatan memancing sport idealnya satu perahu ini hanya diisi oleh satu pemancing saja, tetapi sebagai alat pengangkut, masyarakat kadang bahkan mengisinya dengan lima sampai enam orang! Pada kondisi air sungai diam, mendayung perahu model ini tidaklah ringan, tetapi meskipun demikian sang empunya perahu akan melakukannya sendirian saja tanpa banyak bicara. Pagi itu ketika puncak surut telah berlangsung, kami kemudian mulai bergerak ‘turun’ ke arah muara secara sangat perlahan. Suara-suara saya minta diminimalisir, baik itu bunyi percakapan, bunyi kecipak dayung, dan lain sebagainya. Sebuah sungai payau yang jarang didatangi orang, meski pada kondisi warna air yang jelek sekalipun, saya anggap tetap worth it untuk diperjuangan dengan cara yang terbaik, dan menurut saya kesunyian adalah salah satu metode yang harus ditempuh, karena saya yakin penghuni sungai tidak terbiasa dengan kegaduhan yang asing. Dan meski warna air yang keruh menghalangi perburuan mangsa dari ikan-ikan predator, menurut hemat saya ikan-ikan pemangsa bagaimanapun tetap memerlukan makanan, jadi intinya kami masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan sambaran. Apalagi seluruh penghuni sistem perairan payau yang ada saat itu posisinya terkonsentrasi di aliran utama saja, akibat mengeringnya seluruh rawa bakau yang ada akibat puncak surut. Jadi mau itu ikan sebesar lidi sampai buaya yang besarnya melebihi perahu kami pun saya yakin pada tumplek blek di dalam aliran utama sungai.

Setengah jam pertama melempari point-point penting di tepian tidak membuahkan sambaran, hal yang sama juga terjadi dengan struktur perlindungan di tengah sungai yang mencuat akibat turunnya debit air. Padahal lebar sungai bagian hulu saat itu hanya sekitar 10-15an meter saja. Karakter ikan predator perairan payau, misalnya saja jenis Lutjanus goldiei dan Lutjanus argentimaculatus, jika ada umpan di sekitarnya, tidak sampai dua tiga detik akan langsung menyambarnya. Bahkan pada beberapa kejadian tidak sampai satu detik setelah umpan kita jatuh ke air sudah langsung dihajar! Namun karena kondisi air yangs angat keruh, saya sulit memastikan apakah kosongnya sambaran karena memang tidak ada penghuninya, ataukah karena memang dia tidak mampu melihat umpan kita akibat keruhnya air? Sembari terus berhanyut saya mulai dihinggapi keraguan, bisa jadi memang semua ini adalah kebodohan semata, sudah tahu kondisi sungai tidak mendukung eh malah ngeyel!? Waktu terus berlalu, masing-masing dari anggota rombongan kami (baik itu tim JPWF, kru lokal) menjadi santapan empuk pasukan agas yang sepertinya begitu gembira dengan kedatangan kami. Untungnya pasukan agas tersebut tidak ada yang memilih saya sebagai target operasi, mungkin karena kulit saya yang terlalu hitam dan tebal dengan rasa darah yang pahit. Di sebuah percabangan sungai saya melihat konstruksi struktur perlindungan ikan yang sangat rumit. Di anak sungai terbaring pohon besar dengan segala rantingnya, yang meski sangat menarik sangat sulit kemana kita harus mendaratkan umpan kita. Satu kesalahan akan berakibat sangkut dan memaksa kita mengambilnya, yang artinya kesunyian lokasi akan rusak dan jika ada penghuninya, dapat kita pastikan ikan-ikan di bawahnya akan spooky, alias takut dan cenderung waspada atau enggan menyambar umpan kita. Saya mencobanya beberapa kali dengan berbagai gaya memainkan umpan juga beragam tempo yang mungkin, sambaran itu tetap kosong. Lady angler Patricia Ranieta juga melakukannya dengan hasil yang sama meski jika saya amati titik jatuh umpannya hanya pada posisi-posisi aman saja karena sepertinya dia takut dengan sangkutan yang ada.

Jika sebuah struktur perlindungan yang begitu megah dengan tingkat kerumitannya yang maksimal saja kosong sambaran, apalagi yang kita harapkan? Di sinilah kejelian seorang pemancing sport sedang diuji oleh kondisi alam liar yang sesungguhnya. Banyak orang kemudian mengambil kesimpulan mainstream dengan, memang tidak ada ikannya, atau seringnya dengan memang susah kalau kondisinya begini. Lalu kemudian meletakkan alat pancing kemudian berkata kepada kru lokal, mari cari sungai lain yang lebih bening dan atau pulang saja istirahat sambil menunggu air sungai ini bening. Saya tidak bisa melakukan hal seperti itu karena waktu terus berjalan, perjalanan menyelesaikan tugas ini ada batasnya, juga bekal yang kami bawa lebih ada batasnya lagi. Seorang tokoh pemancing Indonesia, Adhek Amerta, suatu hari pernah berkata kepada saya. Kita harus bisa berpikir out of the box. Jika di point utama yang secara umum dianggap seharusnya disitulah posisi ikan target semestinya berada, tetapi malah kita tidak mendapatkan apa-apa, cobalah melihat point-point remeh yang lainnya, yang mungkin oleh kita sendiri dan oleh pemancing lainnya tidak dianggap penting dan harus dilempari umpan. Mata saya kemudian tertuju pada sebuah celah kecil di tepian sungai, bukan sebuah anak sungai, tetapi hanya celah kecil yang seperti memisahkan daratan hutan mangrove. Saking kecilnya tidak akan bisa kita kenali jika kita tidak melakukan pengamatan dengan seksama. Ada rembesan air yang muncul di sana yang berasal dari kedalaman hutan mangrove. Udang dan ikan-ikan kecil setahu saya suka lalu lalang di sekitar rembesan seperti ini karena aliran air yang ada sering membawa makanan mereka menuju ke sungai utama (sungai besar). Tangan saya memberi isyarat ke tiga perahu di belakang saya agar seluruh rombongan tenang, dayung diangkat dan jangan gaduh. Dengan cepat saya mengganti umpan dengan warna putih polos dari sebuah pabrikan lure asal USA. Daya selamnya sekitar 3-4 meter, tetapi bentuknya sangat ramping dengan lengkungan yang menggoda. Umpan tersebut seringnya saya pakai di laut ketika kasting ikan tenggiri di perairan dangkal (reef). Saya kemudian melemparkan umpan dengan perasaan yang biasa saja, dengan muka yang juga biasa saja (muka datar dan cenderung ‘dingin’ kalau kata semua kawan-kawan saya). Sedetik usai umpan jatuh persis di point yang saya incar, yang saya ingat kemudian betapa saya kemudian hampir terjungkal jatuh ke air (akibat posisi kuda-kuda yang tidak kuat) dan juga karena kurangnya konsentrasi. Saat itu saya menggunakan rod, reel juga tali yang saya pasang adalah kelas heavy duty semuanya, dengan posisi drag yang cukup berat, tetapi saya tidak mampu menahan tarikan sangat kuat dari sesuatu yang menyambar umpan saya di bawah sana, reel pun tidak berhenti berteriak, saya mencoba melawan sembari mencoba bangun dan berdiri dengan lebih baik, pada posisi itulah alam liar mencapai kemenangan karena kemudian saya kembali dipaksa jatuh terduduk di atas perahu akibat putusnya tali tergesek batang kayu yang berada di dalam sungai. Saya bukan orang yang pintar mengumpat, apalagi mengucapkan sumpah serapah, tetapi entah kenapa pagi itu saya meneriakkan beberapa “kata mutiara” yang kurang pantas sembari memaki kebodohan diri. Kru lokal yang berada di perahu lain ada yang berucap mungkin itu aadalah buaya, sebagian motoris berkata bahwa dia sempat melihat sebentuk sirip besar ketika ikan menyambar umpan dekat permukaan air. Yang saya lihat kembali hanyalah celah kecil yang tetap tersembunyi, yang kondisinya juga tetap seperti semula, tetapi kini dengan tambahan sakit di dada ketika saya menatapnya. Hahahaha!

Proses berhanyut selanjutnya adalah siklus mencari jawaban atas tanda tanya seperti sebelumnya. Kita kembali melakukan pengamatan sembari bergerak ke arah muara, terus melemparkan umpan ke titik-titik yang kita anggap potensial, sembari terus mengingatkan diri agar tidak putus harapan. Bagaimanapun, memancing di kondisi air yag keruh memerlukan usaha yang lebih, kesabaran yang lebih, semangat yang lebih dan juga motivasi yang lebih. Jika ada sesuatu hal yang mungkin begitu kontras dengan diri saya tetapi sekaligus memberi tambahan semangat kepada saya hari itu, usai putusnya tali di celah kecil, adalah seseorang newbie, host Patricia Ranieta di perahu saya yang tetap semangat, tersenyum, ceria dengan segala kondisi yang ada saat itu, padahal dia pun juga belum mendapatkan ikan sama sekali, padahal hari itu matahari juga sangat terik. Padahal ini adalah trip wild fishing pertama dia, yang mana kebanyakan newbie seringnya akan mudah rontok, kalau tidak segera mendapatkan ikan. Siapapun yang pernah berpetualang di ekosistem perairan payau pasti memahami maksud saya ini. Ini bukan sekedar panas yang akan selesai jika kita memakai kaos lengan panjang, topi, buff ataupun pelindung tubuh lainnya. Tetapi kondisi udara yang sangat spesifik, angin dan kelembaban yang ada relatif ‘kejam’ menyiksa manusia. Di beberapa percabangan sungai kecil berikutnya ada hiburan kecil dari ikan-ikan table size yang didominasi oleh kerapu hitam dan mangrove jack, salah satu ikan table size yang landed hari itu ada yang disebut dengan nama somasi putih atau somasi air, yakni jenis Lutjanus yang ukurannya hanya selebar telapak tangan orang dewasa saja.  Beberapa lure baru yang saya bawa, crank bait Sparrow Echo Mark II, sempat saya coba di sungai-sungai kecil tersebut dan hasilnya saya kira cukup make sense, memang bukan ikan besar tetapi keampuhannya memang patut dipuji dalam kondisi air yang tidak ideal tersebut. Berpuluh sambaran saya dapatkan dengan lure ini ketika berada di sungai kecil tersebut, sesuatu yang menggembirakan terutama bagi kru lokal saya karena itu artinya ada sebagian “ikan goreng” yang boleh mereka bawa pulang. Sebelumnya saya berjanji bahwa hanya ikan-ikan goreng (untuk menyebut ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat) yang boleh dibawa pulang, itupun dalam jumlah yang masuk akal, sedangkan untuk ikan-ikan langka terutama Indonesian black bass (Lutjanus goldiei WAJIB release dan tidak boleh ada pertanyaan dan adu argumen terkait hal ini). Pencarian jawaban atas tanda tanya besar keberadaan ikan-ikan bergengsi hari itu akhirnya terhenti oleh panggilan alam yang tak mungkin ditolak, lapar! Kami beristirahat di sebuah rumah kebun tepi sungai sembari membuka bekal, dan kemudian meredakan gundah dengan membuat kopi dari alat masak portable yang selalu kami bawa berpetualang.

Waktu istirahat yang ada lebih dari cukup untuk melakukan evaluasi proses berhanyut pada pagi hingga siang hari, konsolidasi ulang seluruh rombongan, persiapan ulang peralatan dan strategi dokumentasi lainnya. Melakukan dokumentasi di atas air bukanlah perkara mudah dan juga tidaklah ringan, cenderung lambat dan penuh kehati-hatian, karena taruhannya adalah peralatan super mahal yang bisa terjun bebas ke air kapan saja jika kita lengah. Ketika air pasang mulai memasuki sungai, saya memutuskan konsentrasi di satu kapal sendirian dengan ditemani dua kru lokal, dengan misi khusus menaikkan monster yang mungkin ada di sungai pada hari itu. Kesalahan saya, saya tidak sempat bertanya lebih detil tentang kesiapan kru lokal yang di perahu saya, apakah berani menghadapi segala situasi yang mungkin terjadi di depan nantinya. Jika dilihat dari peralatan yang saya pegang pada siang itu mungkin saya terkesan berlebihan, rod custom spinning one piece PE 5 dengan reel popping kelas menengah, terpasang tali yang juga PE 5, dengan leader 80 lbs. Bukan hal yang sering saya lakukan di sungai-sungai besar sekalipun (yang biasanya saya mentok di takcle class PE 3). Tetapi nyeri tadi pagi memang belum hilang, jadi big fish or nothing et all batin saya! Sebuah belokan sungai menghentikan proses penyisiran saya ke arah hulu, kru lokal saya suruh menghentikan perahu agak jauh dari sebuah tonggak besar yang ujungnya mencuat ke permukaan air. Ini sarang ikan monster, kata saya perlahan kepada mereka. Pada jarak lempar yang ideal saya kemudian melakukan first cast ke point tersebut. Dan ngeeeeeek ngooook ngeeeek ngiiiiiik gedubrak gedabruk ngeeeeek bla bla bla bla bla bla! Perahu menjadi gaduh seperti ada buaya yang naik ke atas ikut menumpang! Drag reel dan segala usaha fight terbaik saya tidak mampu juga menahan laju ikan, tali kembali sangkut, dan jelas terasa ikan masih ada di bawah sana.

Situasi genting menerjang perahu saya. Saya jelas harus konsentrasi penuh menahan rod dan menjaga sebisa mungkin agar posisi sangkut tidak berpotensi pada line break dan atau ikan missed hook.  Motoris harus berjibaku terus melakukan pergerakan yang baik dengan dayungnya agar posisi perahu mendukung saya yang terus bertarung di bagian haluan. Harapan untuk menaikkan apapun yang bertahan di sarang di dalam air sana hanya satu, menurunkan satu penyelam dan menaikkan apapun yang bertahan tersebut baik dengan tangan kosong atau dengan serokan ikan. Kru lokal saya yang saya pikir berani melakukan hal tersebut, menolak, tidak berani karena di sungai ini kata orang banyak buayanya. Tidak ada buaya kata saya, karena jika di point ini ada buaya, hampir dapat dipastikan tidak ada ikan yang akan menyambar lure saya seperti ini. Bagaimana kalau yang menyambar umpan bapak inilah buayanya?! Jawabnya lagi. Dan rasa nyeri saya tadi pagi menjadi semakin bertambah, mungkin memang kita harus merelakan big strike siang ini terlepas begitu saja. Tetapi ego pemancing saya kemudian menolaknya, saya menyuruh kru lokal mengeluarkan HT dari dalam tas saya, dua perahu lainnya yang berada sekitar 500 meter di belakang, saya panggil untuk merapat. Harapan saya, ada kru lokal lainnya yang berani terjun ke air dan mengeluarkan jawaban pencarian kami hari itu. Semuanya menolak, ada buaya katanya. Setengah jam lebih kami adu argumen dalam suasana yang panas dan berujung pada kecewa. Kita memang tidak bisa memaksa orang, yang meski kami bayar per hari melebihi upah harian apapun di daerah ini, untuk mempertaruhkan segalanya dengan potensi resiko yang besar (jika memang di sungai ini ada buayanya ya). Jelas saya kecewa, karena malam sebelumnya saya telah membuat MoU dengan semua kru lokal, jika ada big strike dan sangkut harus ada yang berani terjun, dan semuanya mengiyakan. Tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Saya malu menjadi pemarah, dan dalam keseharian saya selalu berusaha tidak menjadi pemarah (muka saya ini saja tidak sedang marah pun sudah banyak orang menganggap saya marah, saking datar dan dinginnya), tetapi keadaan siang itu benar-benar di luar dugaan semuanya dan beberapa saat saya sempat lupa diri. Saya mengalah, apalah artinya seekor ikan dibanding keselamatan dan kenyamanan seluruh anggota rombongan, apalagi waktu dokumentasi juga masih panjang? Usai ‘mengusir’ seluruh kru lokal lain agar menjauhkan perahunya sampai saya tidak bisa melihatnya di belokan sungai, saya mengambil pliers (tang khusus mancing) yang selalu tergantung di ikat pinggang saya dan memutuskan tali sembari menahan amuk di hati. Pamali sebenarnya yang saya lakukan ini, karena untuk momen seperti inilah justru saya dan tim JPWF datang ke tempat-tempat seperti ini dimanapun di negeri ini.

Menjelang sore hari, seiring datangnya mendung tebal entah dari mana, juga halilintar yang tiba-tiba saja seperti ‘meledak’ di sebelah telinga, kami terpaksa ‘mundur’ dan kembali ke basecamp kami di sebuah kota kecil di Halmahera Timur. Patricia Ranieta cukup gembira karena hari itu berhasil menggaet ikan mangrove jack pertamanya dengan cara sportfishing, dan entah kenapa saya juga ikut gembira karenanya. Hehehe! Saya percaya hoki merupakan SALAH SATU ‘kunci’ penting dalam setiap aktifitas memancing yang kita lakukan. Tetapi pengalaman tak terduga yang kami dapatkan selama memancing di air keruh pada hari ini, semoga hal tersebut adalah jawaban dari doa-doa, ‘buah’ dari semangat, kerja keras, keyakinan dan tentunya keniscayaan dari sebuah ekosistem perairan yang selama ini dijaga dengan konsep berkelanjutan oleh masyarakat di sekitarnya! Salam wild fishing!(Bersambung)



















* Pictures mostly by Me, Patricia Ranieta, Budhi Kurniawan, Hermanto. Drone by Faishal Umar. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!

Comments