Badai di Atas Inggelan: Malaikat Renta & Belum Pulihnya Populasi IkanPemangsa di Tanjung Sowli, Halmahera Timur
Bukan perjalanan yang mudah dan sebentar agar kami dapat
sampai di Pulau Inggelan (disebut Inggelan karena pada masa PD II menjadi salah
satu pos serbu tentara Sekutu yang hendak merebut Halmahera dari tangan tentara
Jepang), Kabupaten Halmahera Timur. Dari sejak kami bertolak dari Jakarta pada
pagi buta pukul 03.00 Wib, pesawat akan transit dua kali. Pertama di Menado
selama dua jam, transit yang patut disyukuri karena kami bisa turun bandara
untuk sekedar mengisi perut, transit kedua terjadi di Ternate kurang lebih
setengah jam saja (penumpang tidak bisa turun), barulah kami tiba di Buli. Jadi
kalau ditotal penerbangan memakan waktu sekitar 8-an jam (termasuk transit)
karena pesawat mendarat di Buli pada pukul 12.35 waktu setempat. Dari Buli ini
kami masih harus menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam ke Maba, ibukota
Halmahera Timur. Karena sebuah perjalanan ke pedalaman dan atau lokasi pesisir
yang terisolir memerlukan banyak sekali persiapan (logistik, dan lain
sebagainya), kami singgah di Maba selama satu malam sembari mempersiapkan
segala keperluan untuk digunakan di Pulau Inggelan. Mulai dari kelambu untuk
menghadang serbuan nyamuk nantinya, peralatan berkemah, dan juga berbagai
barang lainnya mulai dari stavol
untuk menstabilkan daya dari genset hingga sayur-mayur. Pulau Inggelan adalah
pulau kosong yang meski letaknya di kawasan pesisir, sangat jauh dari pemukiman
warga. Pemukiman terdekat jaraknya adalah empat jam dengan menggunakan perahu
kecil 15 PK. Jadi biasanya memang saya akan mempersiapkan semuanya yang
diperlukan sebelum masuk ke daerah “wild” yang kami tuju. Kenapa demikian,
bukan semata faktor di lokasi tidak ada apa-apa selain alam liar. Tetapi tidak
make sense kita menghabiskan waktu PP 8 jam untuk berbelanja ke desa terdekat
nantinya, berapa puluh liter BBM yang akan habis (Indonesia bagian timur sangat
ajaib harga BBM-nya), waktu jelas menjadi begitu sia-sia karena seharusnya bisa
dipakai menyelesaikan tugas lainnya! Kondisi-kondisi seperti ini terkadang
tidak dipahami oleh orang-orang yang jarang berpetualang, sehingga konsep semua
dilakukan dalam “termin” sangat sulit dirubah hingga hari ini. Menggesek kartu
ATM saja kalau posisi kita di pedalaman, misalnya di Perbatasan RI-PNG di Sota,
Merauke - Papua, sekali gesek bukannya mendapatkan uang, malah kehilangan
banyak uang karena kita harus sewa mobil dari pedalaman yang jika dihitung PP
sudah pasti akan habis 3 juta! Dengan perhitungan tarif mobil avanza disana
yang sekali jalan luar kota adalah Rp 1,5 juta! Lha kalau tim kita besar, dan
jarak yang jauh sehingga tidak mungkin tektok dalam sehari, diperlukan mobil
tambahan, maka kita akan habis 8-9 juta hanya untuk urusan mencari bank
terdekat. Ini terlalu ‘melambung’, kita kembali lagi ke Pulau Inggelan.
Seharusnya keesokan harinya kami menggunakan mobil biasa yang memang telah kami
sewa sebelumnya, tetapi seorang ‘petani’ yang memiliki kebun di sekitar Tanjung
Sowli kemudian memberi saran agar menggunakan 4WD, sebab jalanan menuju kawasan
Tanjung Sowli sangat buruk dan banyak sekali lubang dan tanjakan ekstrim,
dikhawatirkan mobil biasa kami akan nyangkut di tengah jalan. Jadilah kemudian kami melaju menjelang tengah hari menuju
titik terdekat di daratan Halmahera yang bisa menjadi ‘pintu’ untuk mengakses
Pulau Inggelan. Waktu tempuhnya sekitar 4-5 jam. Karena hari itu adalah Jumat,
kami sepakat akan berhenti jelang Jum’atan di desa terdekat yang ada agar
rekan-rekan kami yang muslim bisa menjalankan shalat Jumat. Lalu bagaimana
dengan ‘segunung’ peralatan dan logistik kami? Semua telah berangkat dengan
menggunakan perahu-perahu kecil sebanyak 4 perahu melalui jalur laut. Tidak
mungkin membawa semuanya lewat darat. Dan satu hal lagi, kami memang harus
membawa perahu-perahu dari Maba karena di Inggelan sendiri tidak ada perahu
yang dapat dipastikan bisa kami sewa. Inggelan tidak ada sinyal hp, tidak ada
desa, tidak ada penduduk. Memang ada nelayan-nelayan yang konon sering nge-camp
di pulau ini, tetapi sangat tidak disarankan untuk menyewa perahu mereka,
karena mereka sendiri disana juga sedang dalam pencarian ikan bersama
kelompoknya masing-masing. Dan pastinya akan sangat sulit mereka memberikan
perahu-perahu mereka untuk kami sewa, karena mereka akan mengkonversi tarifnya
dengan hasil harian yang mereka dapatkan jika melaut mencari ikan. Harga
menjadi tidak terkontrol dan biasanya akan sesuka hati (apalagi mengetahui kami
sangat terdesak). Permasalahan yang lebih krusial sebenarnya, mobil kami hanya
bisa sampai di ujung sebuah kampung kecil yang posisinya masih di Pulau
Halmahera, 5 jam dari kota Maba, sementara Pulau Inggelan satu jam di depan
daratan Halmahera. Lha kalau tidak mempersiapkan perahu-perahu sejak dari Maba,
apakah mobil kami harus berenang? Begitulah gambaran jalur perjalanan menuju ke
Pulau Inggelan. Ketika kami kemudian tiba di kampung kecil tersebut, hujan
angin mendera menyapu seluruh penjuru lautan dan daratan. Untungnya
perahu-perahu sewaan kami dari Maba yang lewat jalur laut sudah berada di depan
kampung tinggal merapat saja.
Karena hujan badai ini, perjalanan kami menuju Pulau
Inggelan terhenti hampir 3 jam lamanya. Seorang kakek nenek renta berkata
tunggu dulu karena berbahaya dan menawarkan gubuknya yang reot menjadi tempat
kami semua berteduh dari badai ini. Awalnya saya keheranan kenapa ada pasangan
renta tinggal di titik sepi dan terisolasi seperti itu. Sang kakek adalah
nelayan kecil yang sehari-hari mencari ikan di laut sekitar daratan utama, saya
menilainya dari ukuran sampannya dan peralatan lainnya yang dia miliki. Memang
ada beberapa gubuk lainnya di tempat tersebut tetapi sepertinya telah lama
ditinggalkan, tinggal tersisa satu pasangan tersebut. Orang-orang yang hidup
sangat sederhana. Momen seperti ini selalu menyentuh sanubari. Dalam
kesederhanaan hidup dan sepertinya kerasnya hidup, mereka tidak segan berbagi. Tetiba
saya teringat seorang tokoh masyarakat dan juga aparat desa di kawasan ini yang
pernah saya hubungi, tidak mau menemui kami, meskipun kami telah sowan ke
kampung tempat mereka tinggal. Kabarnya kemudian saya ketahui karena mereka
takut kami datang untuk menyelidiki keberadaan para pelaku bom ikan di kawasan
ini. Kami kemudian berteduh di gubuk pasangan renta yang reot dan sebagian
bocor itu mencoba berlindung dari serbuan angin dan hujan yang seperti datang
dari ‘neraka’! Yang bisa kami bagi ke pasangan renta ini saat itu hanyalah
makan siang yang terlambat kami makan karena mengejar waktu. Mereka berdua mensyukurinya
dengan menikmatinya berdua dan bahkan menyisakan satu bungkus lainnya untuk
sore hari katanya. Mungkin kami memang ditakdirkan untuk bertemu pasangan renta
ini, mungkin mereka telah dipersiapkan untuk kami oleh Sang Pencipta. Ketika
badai reda dan kami berpamitan hendak loading barang dari mobil menuju ke
perahu-perahu sewaan kami, sang nenek menghampiri saya dan berkata dalam bahasa
Indonesia yang kacau, bahwa dia punya gubuk kecil di Pulau Inggelan yang saat
ini kosong, tinggalah disana jika menurut kami kondisinya cukup layak. Saya
kaget mendengar ucapan nenek ini, karena sejak awal kami telah bersiap untuk
berkemah selama di Inggelan. Cukup kog untuk menampung kalian semuanya, katanya
lagi. Padahal total orang yang terlibat dalam perjalanan ini adalah 15-an orang
dengan ‘segunung’ barang?! Lihat saja dulu nanti, gubuknya ada kebun pepayanya
di bagian belakang, katanya lagi. Saya pun berpamitan, dan memberitahu seluruh
kru bahwa telah ada basecamp yang telah disiapkan untuk kita di Inggelan, kita
lihat dulu nanti. Menjelang Magrib ketika keempat perahu sarat muatan mendarat
di pasir putih Inggelan, setelah mengikuti petunjuk sang nenek dimana lokasi
gubuknya, kami melihat sebuah gubuk besar beratap rumbia yang sepertinya
diproyeksikan sebagai gubuk utama (karena ada semacam tempat tidur kayu yang
bahkan bisa menampung 10 orang!), juga gubuk besar kedua di sebelahnya yang
sepertinya diproyeksikan untuk menyimpan barang-barang, dan bahkan ada dapur cantik
ala outdoor yang rapi dan sangat settle di
belakang kedua gubuk besar tadi! Dalam hati sembari merinding, kakek nenek tadi
itu benar-benar manusia apa malaikat ya? Saya tidak bisa menjawabnya kecuali
seminggu lagi ketika bisa keluar lagi dari ‘pelukan’ Pulau Inggelan ini. Saya bertekad
akan kembali mampir ke gubuk reot itu!
Kenapa saya memilih Inggelan sebagai basecamp kegiatan? Yang
notabene terpisah dari daratan utama Halmahera di kawasan Tanjung Sowli.
Pertama karena Inggelan memiliki sumber air tawar dan tentunya memiliki daratan
yang tidak terkena pengaruh pasang surut. Seluruh Tanjung Sowli yang berada di
‘depan’ Inggelan adalah kawasan payau dengan hutan bakau purba ratusan hektar
luasnya. Tidak mungkin mendirikan basecamp di kawasan pasang surut tersebut
karena berkilo-kilometer ke arah daratan besar pun, masih akan terkena pasang
surut. Belum faktor kesulitan dan mahalnya membangun camp, kesulitan melakukan
kegiatan ‘rumah-tangga’ di camp, dan juga faktor-faktor lainnya mulai dari
keberadaan buaya dan bahkan agas dan nyamuk yang sudah pasti jumlahnya
milyaran. Bukan kami takut nyamuk dan agas, tetapi kondisinya berbeda, kami
telah terbiasa hidup di hutan dan lokasi apapun memang, tetapi jika dalam
sehari kita harus melawan ribuan nyamuk dan agas yang mengepung masing-masing
dari kita? Bahkan Rambo pun belum tentu sanggup melakukannya, di sisi lain kita
harus konsen melakukan pekerjaan kita dari pagi ke malam, begitu seterusnya
sepanjang hari?! Jadi Inggelan adalah pilihan paling masuk akal, dan apalagi
pulau ini merupakan persinggahan para nelayan tradisional dari laut lepas. Kami
bisa bersosialisasi dan juga memiliki back up tanda kutip yang mungkin bisa
mendukung kegiatan ini dengan keberadaan orang lain di sekitar kami. Yang
pasti, suasana menjadi tidak sepi. Dan pemikiran ini ternyata memang tepat,
banyak nelayan yang beroperasi saat itu di sekitar Inggelan dikenal oleh
kru-kru lokal kami. Jadilah kemudian keberadaan tim JPWF di Inggelan adalah
silaturahmi antar masyarakat yang hangat. Mereka juga tidak segan membantu kami
mengerjakan beberapa pekerjaan berat seperti misalnya membersihkan
sungai-sungai di Tanjung Sowli dari pohon-pohon rebah yang menyulitkan
pergerakan perahu-perahu kami, dengan ongkos kerja yang masuk akal! Keberadaan
tim yang mendatangkana berkat bagi banyak orang, ini yang menjadi kebahagiaan
saya bekerja sebagai kuli keliling, bukannya malah merepotkan orang-orang yang
hidupnya sudah keras itu. Meski saya sadar, orang-orang yang jarang
berpetualang dan kebanyakan duduk di kursi empuk sulit memahami hal-hal seperti
ini.
Pilihan kami menjadikan Tanjung Sowli sebagai tempat
pendokumentasian JPWF adalah karena informasi-informasi ‘keren’ awal yang
diberikan nelayan-nelayan dari Maba, sebulan sebelumnya saat saya dan tim JPWF
(versi lady angler) mengeksplorasi perairan payau sekitar Tanjung Kobul.
Menurut hemat saya waktu itu, kawasan Tanjung Kobul dengan tujuh sungai besar
yang ada disana, kondisinya sangat sehat dengan banyaknya strike ikan pemangsa
yang menjadi target kami. Padahal saat itu secara kejernihan air sedang sangat
rendah karena air masih relatif keruh akibat hujan yang masih sering turun. Nah
menurut kru lokal yang memandu kami saat itu, kenyataan tersebut masih kalah
jika dibandingkan dengan kondisi perairan payau di Inggelan. Mendengar info ini
saya mencoba melakukan cross check dengan metode khusus ala saya yang selama
ini saya terapkan dalam melakukan riset, dan memang sepertinya informasi yang
diberikan oleh kru lokal kami tersebut benar adanya. Apalagi para kru lokal ini
sehari-hari adalah para nelayan kepiting yang sangat memahami kondisi perairan
payau dari tanjung Kobul hingga arah tanjung Sowli. Yang tidak kami
perhitungkan dengan cermat, dan juga tidak mampu kami cross chek melalui
komunikasi jarak jauh ke Inggelan karena ketiadaan jaringan komunikasi jarak
jauh, adalah perubahan yang mungkin terjadi bukan karena alamnya itu sendiri.
Tetapi perubahan yang diakibatkan oleh campur tangan manusia, yakni manusia
yang memiliki sifat serakah dan merusak. Teori sederhana saya saat itu adalah,
mengingat lokasinya yang sangat jauh (means
untuk mengaksesnya memerlukan biaya yang mahal) tentunya perairan sekitar
Inggelan harusnya aman dari overfishing dan kegiatan merusak seperti setrum,
racun dan apalagi bom ikan. Tetapi ternyata dugaan saya ini salah besar.
Setelah blusukan ke lima sungai utama di Tanjung Sowli, dengan segala suka
dukanya. Terjerembab di lumpur, memotong kayu roboh puluhan kali, hujan deras,
petir, dan lain sebagainya. Yang kami dapatkan selama lima hari tersebut
semuanya hanyalah ikan-ikan pemangsa spesies mangrove jack, spesies yang kurang
gagah jika dibandingkan dengan target utama yang kami harapkan, yakni ikan
Indonesian black bass (Lutjanus goldiei). Memang sambaran dari mangrove jack
ini banyak sekali (sampai bosan menghitungnya), apalagi sambaran dari ikan
kerapu table size, tak terhitung lagi banyaknya. Tetapi dalam konteks sebuah
perjalanan “liar” ke lokasi yang sangat jauh, ini tentunya mengaggetkan. Karena
dalam benak saya dan seluruh rombongan, kami ingin mendapatkan sambutan dari
monster-monster yang berukuran besar dengan fighting ability yang mumpuni. Namun
meski demikian, agenda kerja yang telah kami rencanakan tidak sedikitpun
kendur. Meski harus kami akui dengan jujur hasil trip ini akan menjadi kurang
“wah” akibat ketiadaan monster fish. Monster fish, dengan tenaga bertarungnya
yang kuat, selalu menghasilkan pertarungan angler versus ikan yang menarik.
Banyak hal bisa direkam pada momen pertarungan tersebut dan secara tayangan
tentunya akan menarik.
Malam pada hari kelima kami berada di Pulau Inggelan,
beberapa nelayan yang baru merapat dari tengah laut bertamu ke gubuk kami,
menyatakan, bahwa sungai-sungai di Tanjung Sowli pernah diracun oleh
oknum-oknum masyarakat ‘daratan’ yang tidak bertanggung jawab. Kami melihatnya
sendiri katanya dan saat ini konon para pelakunya masih diamankan oleh pihak
yang berwajib. Malam itu, dua tahun lebih setelah kejadian yang dimaksud oleh
para nelayan tersebut. Tetapi jelas sekali, bahwa efek dari perbuatan kejam
oknum-oknum tersebut belum memulihkan populasi ikan-ikan pemangsa dan apalagi
ikan prestisius di Tanjung Sowli. Ini menyedihkan! Ada rasa geram dan gundah
yang sangat mendengar berita tersebut, tetapi apa mau dikata, jalan dan usaha
yang kami lakukan untuk sampai di lokasi ini tidak mudah dan juga tidak murah.
Hiburan satu-satunya yang kami dapatkan dari perairan Tanjung Sowli adalah ikan
cantik langka dan super sexy yang sering disebut dengan nama Bumble bee grouper! Yakni ikan dari
keluarga ikan kerapu dengan warna yang sangat indah menyerupai warna lebah, thats why kemudian sering disebut dengan
nama bumble bee! Pembahasan tentang Bumble bee grouper ini akan saya
tuliskan secara khusus nanti. Gundah akibat perubahan yang terjadi di Tanjung
Sowli ini sesungguhnya masih membekas hingga hari ini. Andai, andai perairan
payau di sekitar kawasan ini masih sangat sehat, sebuah ‘monumen’ abadi bisa
kami buat melalui tayangan JPWF. Nyatanya meski kami semua memiliki geram yang
sama pada tindakan-tindakan yang pernah terjadi di Tanjung Sowli, sejatinya
kami tidak mampu berbuat banyak. Sebagai kuli keliling kami hanya bisa merekam
kondisi yang ada berikut informasi-informasi terbarunya, kemudian meninggalkan
kawasan tersebut. Harapan selalu ada, melalui apa yang akan kami beritakan
nantinya, memicu tindakan-tindakan posisif (siapa tahu) di kawasan tersebut dan
kawasan-kawasan lain di berbagai penjuru negeri yang memiliki problem yang
sama. Yang saya ingat sebelum meninggalkan Inggelan pada hari keenam, adalah
memberikan kaos ‘kampanye’ Wild Water Indonesia yang saya gagas kepada dua
orang pemuda yang sehari-hari menjadi nelayan dan sering singgah di Pulau Inggelan.
Saya berharap, harapan yang sangat sederhana dan kecil, bahwa ada
individu-individu yang akan membaca dan merenungkannya nantinya. Sehingga
Tanjung Sowli dapat segera pulih dan kembali ‘tersenyum’. Pada perjalanan
‘pulang’ meninggalkan Inggelan, kami tidak lagi melalui jalur darat, melainkan
menggunakan seluruh armada ‘perang’ kami saat itu (ada empat perahu kayu
berukuran kecil). Seluruh perbekalan, peralatan dan juga kru dan kami,
desak-desakan di setiap perahu, meninggalkan dengan gundah Pulau Inggelan,
untuk kemudian menuju ke Kali Waci. Aliran sungai terbesar dan terpanjang,
sekaligus paling berbahaya di Halmahera Timur, saking seringnya terjadi konflik
antara manusia dan buaya, dan antara manusia pesisir dan “orang-orang hutan” di
sekitar aliran sungai ini. Ketika melewati tanjungan tempat kami pernah
diterjang badai, perahu yang mengangkut saya berhenti, saya ingin melunasi
janji mampir ke pasangan renta di sebuah gubuk reot yang pernah menolong kami. Mereka
masih juga ada di gubuk reot itu, tetapi sedang tiduran di bale-bale kayu yang
juga reot. Karena dikejar waktu, mengingat perjalanan kami masih sangat jauh
sekitar tujuh jam untuk sampai ke Kali Waci, saya hanya sempat mengucapkan
terimakasih ke pasangan renta tersebut, ketika menjabat tangan mereka, telah
saya selipkan beberapa lembar nominal yang menurut saya bisa mewakili rasa
terimakasih kami semua. Meski saya paham, ketulusan hati pasangan renta ini
tidak dapat dibandingkan dengan beberapa lembar nominal tersebut. Sampai jumpa
ucap saya sambil tersenyum. Hati-hati, balas mereka sembari kebingungan dengan
semua yang terjadi! Ketika saya telah kembali berada di perahu untuk kembali
mengejar tiga perahu yang telah berada di depan, saya menoleh dan melambai
kepada pasangan renta ini, keduanya masih juga berdiri di bawah pohon di
samping gubuk reot mereka. Mungkin mereka menganggap saya adalah cucunya yang
telah lama hilang! Hehehehe!
* Pictures captured at Halmahera, North Mollucas, June 2016. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<