Skip to main content

Wild Water Indonesia: Barisan Merah Hitam Untuk Masa Depan Perairan Indonesia Yang Lebih Baik (Bagian 1)


Ketika mengawali kampanye Wild Water Indonesia: Stop Setrum Racun dan Bom Ikan ini pada 30 April 2016 lalu di Jembatan Tayan, lalu ke daerah Nanga Tayap, lalu ke Kampung Lubuk Kakap di pedalaman Kalimantan Barat, saya tidak mengira sama sekali bahwa kemudian dukungan yang datang begitu hebatnya. Sebagian besar dukungan tersebut berasal dari kalangan para pemancing sport yang selama ini sudah saya kenal bertahun-tahun sebelumnya, tetapi ada juga dukungan dari pihak-pihak lainnya yang bahkan dalam hidupnya tidak terkait dengan urusan ikan sama sekali. Seorang kawan bernama Wijayadi dari Singkawang & kawan saya kang Budhi K. dari Bogor patut saya sebutkan disini karena merekalah yang pertama dengan sukarela mengenakan t-shirt “tidak biasa” ini bersama saya di atas jembatan Tayan. Sebagai contoh dukungan yang datang dari berbagai kalangan lain ini misalnya. Seorang ‘juragan’ toko seluler di Putussibau di Kalimantan Barat, memborong t-shirt hanya untuk dibagikan ke pengunjung dan rekan-rekan di kotanya. Kata beliau yang saya tidak bisa sebutkan namanya, pesan dalam t-shirt tersebut sangat baik dan sangat penting di jaman seperti ini. Seorang pimpinan perusahaan di Ketapang, Kalimantan Barat mengatakan hal yang sama dan kemudian mendukung kampanye dan penggalangan dana ini dengan juga memborong hampir seratusan pieces t-shirt Wild Water untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Saya ingin ikut serta menyebarkan pesan dan mencoba merubah mindset orang-orang yang ‘bodoh’ itu. Maksudnya para perusak perairan (tukang setrum, racun dan bom ikan). Seorang ibu rumah tangga di Kalimantan Timur, mendukung program ini dengan menyebarkannya ke lingkungan kerja dan rumah tinggalnya, padahal sehari-hari bekerja mengurusi obat herbal, tidak ada kaitannya dengan perairan. Dari pernyataan sikap di Kalimantan Barat inilah kemudian ‘gelombang’ kampanye yang melibatkan begitu banyak individu menyebar ke seluruh penjuru negeri, dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Sumbawa hingga Papua. Begitu banyak nama yang ingin ikut serta menyebarkan pesan kegelisahan ini, dan rasanya tidak perlu saya tuliskan satu persatu namanya disini. Banyaknya dukungan ini di satu sisi membahagiakan saya, bahwa ternyata saya tidak berjalan sendirian. Di satu sisi ini juga menyedihkan, karena bahwa ternyata memang problem setrum racun dan bom ikan ini terjadi dimana-mana dan rata-rata terjadi dalam tingkatan yang menyedihkan. Saya menyebut masa-masa awal kampanye WWI ini adalah Tahap 1, ketika saya ibaratnya masih melakukan mapping daerah dan juga jaringan peduli perairan yang mungkin ada di negeri ini.

Memang banyak pertanyaan tentang kampanye ini baik dari rekan-rekan yang terlibat untuk ikut peduli, dan juga orang-orang lainnya yang hanya menonton. Apa sebenarnya Wild Water Indonesia itu bang, tanya mereka. Selama ini saya hanya menjawab by person, itupun kalau muncul pertanyaan saja. Mungkin kini saatnya saya jawab secara ‘online’ sehingga siapapun dapat mengaksesnya darimanapun dan kapanpun. Wild Water Indonesia (WWI) yang pasti bukanlah sebuah LSM ataupun lembaga-lembaga swadaya yang mungkin banyak kawan-kawan kenal selama ini. Yang mana lembaga-lembaga tersebut mengelola dana tertentu dari pihak tertentu dengan concern dan juga interests (kepentingan) tertentu. WWI hanyalah hasil kegelisahan seorang kuli media keliling yang begitu miris melihat banyak sekali perubahan drastis di berbagai ekosistem perairan di negeri ini, dan kemudian ingin melakukan sesuatu, yakni peduli. Seorang kuli media tersebut sejatinya tidak ingin merepotkan kawan-kawannya pemancing, saudara-saudaranya, dan lain sebagainya untuk ikut-ikutan peduli seperti dia lakukan. Karena dia mengetahui bahwa jalan kepedulian yang dia lalui ini tidak populer di dunia yang dipenuhi begitu banyak ‘racun’ akibat munculnya begitu banyak media sosial. Tidak akan banyak mendatangkan “like” dan pujian di media sosial. Tidak akan mendatangkan followers dan fans. Tidak akan mendatangkan ratusan comments. Dan lain sebagainya. Jalan kepedulian ini hanya akan mendatangkan repot dan juga resiko karena yang akan dihadapi begitu kompleks. Hari ini, ketika saya menuliskan catatan ini, hitungan kasar saya individu-individu yang ikut peduli dan ‘berbaris’ bersama mengkampanyekan stop setrum racun dan bom ikan sudah mencapai 350-an orang. Mereka bergerak di lingkungan masing-masing, di daerah masing-masing, dengan caranya yang bisa dilakukan. Tanpa pamrih dan dengan modal sendiri-sendiri! Saya terkejut dan terharu. Jumlah yang sangat banyak untuk saya sapa satu persatu secara kontinyu. Apalagi untuk saya datangi satu persatu, hampir tidak mungkin karena apa lah saya ini, karena saya ini ibaratnya mau pergi mancing jauh saja juga harus nabung jauh-jauh hari dulu. Tetapi jumlah ini tetap saja tidak seberapa dibandingkan massa besar yang menjadi parasit perairan di negeri ini, yang menghancurkan ekosistem perairan di negeri ini. Seberapapun itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua yang terlibat dalam kampanye bersama ini.  Salam hormat, salam persaudaraan. Terimakasih untuk kepeduliannya dan safety first! Jadi singkatnya, kini definisi WWI adalah sebuah jaringan kepedulian yang ingin membuat perbedaan dan perubahan lebih baik pada ekosistem perairan di negeri ini, bukan untuk diri sendiri yang terlibat dalam kampanye ini, tetapi untuk ekosistem itu sendiri dan untuk generasi berikutnya! Untuk anak cucu mereka, untuk anak cucu orang lain, dan bahkan untuk anak cucu para perusak perairan itu juga! Karena cita-cita saya ketika membuat WWI ini sebenarnya sangat sederhana; agar supaya ekosistem perairan dan potensinya dapat kembali pulih (jika memang itu sudah hancur), dan ekosistem yang masih terjaga dapat tetap seperti apa adanya tidak diserbu para tukang setrum racun dan bom ikan. Nama “wild water indonesia”-nya sendiri juga dipilih sekaligus menjadi cita-cita dari gerakan ini. Bayangkan sungai danau dan laut yang begitu melimpah ikannya karena ketiadaan polutan, dan cara tangkap yang merusak (setrum racun dan bom ikan), dan juga tidak ada sampah sampah plastik berserakan. Itulah cita-cita WWI yang juga kemudian menjadi nama jaringan ini. Wild water, perairan air liar, perairan alami, perairan ‘perawan’. Mungkin apa yang saya bayangkan ini terkesan utopis, tetapi apapun itu, jika sedikit-sedikit ada yang berani mencoba mewujudkannya, sangat mungkin menjadi kenyataan, apalagi jika yang peduli banyak orang?!

Lalu bagaimana mungkin WWI ini bukan LSM yang menerima dan mengelola dana dari pihak tertentu (berikut interests yang membebaninya)? Karena saat ini apa yang dilakukan oleh saya sendiri dan juga rekan-rekan lainnya dan kemudian diunggah ke media sosial begitu ‘heboh’? Saya pastikan, apapun yang dibuat oleh WWI dananya dari ya rekan-rekan yang peduli semuanya itu sendiri! Ratusan kaos-kaos dan disebarkan ke berbagai daerah itu dibuat by order saja, jika ada yang berminat (means ingin mendukung kampanye ini) baru disablon dan kemudian dikirimkan. WWI bukan semacam distro kaos dengan pesan lingkungan, yang mencari keuntungan dengan jualan kepedulian. BUKAN! Saya tidak mencari untung dengan membuat kaos-kaos WWI ini, tidak juga sedang membangun bisnis distro atau apapun itu lah namanya. Tetapi saya sedang begitu gelisah dengan kondisi perairan di negeri ini dan ingin melakukan semacam tindakan penyadaran melalui himbauan-himbauan, dan hal yang seperti itu juga yang saya inginkan untuk dilakukan oleh rekan-rekan semuanya di daerah lain, menyebarkan pesan kebaikan. Saya berfikir saat itu (antara Maret – April) dengan sesuatu yang cool mungkin kampanye ini bisa cepat menyebar, yang ingin ikut serta kampanye pun dapat menyebarkan pesan kebaikan ini ke semua kalangan karena media kampanye yang dipakai adalah sesuatu yang ‘keren’ dan pantas dikenakan. Kemudian jadilah t-shirt WWI tersebut. Coba saya tanya sekarang, dengan t-shirt yang memuat pesan yang tidak biasa tersebut, adakah kawan-kawan malu mengenakannya? Justru bangga bukan karena ikut peduli? Karena memang ini bukan sesuatu yang untuk kepentingan sendiri, kelompok? Ini untuk kepentingan banyak orang?! Dan kita dengan sukarela ambil sikap nyata?! Saya sendiri sering mengenakannya di pesawat dan lain sebagainya. Gerakan penyadaran dapat dilakukan dimanapun dan kepada siapapun, karena jika kita hanya melakukannya on the spot (sungai, danau dan laut misalnya) lingkup penyebaran pesan bisa jadi sangat terbatas. Ketika kita melakukannya di keramaian, justru ini akan memiliki efek yang lebih hebat. Karena bisa jadi di keramaian itulah banyak orang dengan berbagai latar belakang, kepentingan dan juga wewenang akan membacanya. Misalnya siapa tahu saat itu ada seorang tokoh masyarakat, kemudian diam-diam sesuai dengan wewenang dan statusnya kemudian ikut menyatakan hal yang sama ke masyarakatnya. Atau pengambil kebijakan di suatu daerah. Dan lain sebagainya. Kampanye ini didesain ‘sehalus’ mungkin dan se-membumi mungkin, sehingga penyadaran berjalan tenang tetapi kemudian bisa menyentuh ke sanubari banyak orang. Lalu bagaimana dengan spanduk-spanduk yang tersebar ke seluruh penjuru negeri itu? Itu bukannya seperti semacam penyebaran spanduk kampanye-kampanye partai tertentu dan atau LSM tertentu? Begini kawan-kawan. Semua hal harus dilakukan dengan cara dan metode tertentu. Jika tujuannya baik dan apalagi untuk kepentingan banyak orang, why not dengan spanduk?! Bahkan kalau perlu spanduk-spanduk itu disebarkan ke setiap daerah yang memiliki masalah perairan yang cukup berat, sehingga masyarakatnya tergerak untuk berubah. Memang spanduk dan t-shirt bukan satu-satunya cara, tetapi saat ini itulah yang bisa saya pikirkan dan kerjakan. Kawan-kawan di daerah bisa memperluas bentuk kampanye ini dengan caranya masing-masing, dengan menjalin inisiatif yang sama di daerahnya masing-masing. Bukan karena dan untuk WWI, tetapi untuk lingkungan dan masyarakatnya itu sendiri. Spanduk-spanduk yang saat ini mungkin banyak kawan-kawan lihat di berbagai media sosial, yang disebarkan dan dibawa kemana-mana oleh jaringan WWI, juga berasal dari strategi produksi t-shirt dari tahap pertama (menas dananya dari kawan-kawan yang peduli sendiri). Ada sekitar 250-an t-shirt yang dibuat atas pesanan rekan-rekan peduli di daerah. Harga produksi t-shirt tentunya menjadi berkurang karena volume bertambah. Sedikit sisa dari ongkos produksi t-shirt itulah yang kemudian saya konversi menjadi puluhan spanduk dan ongkos kirim ke berbagai daerah. Lalu perjalanan saya sendiri ke Kalimantan Tengah untuk ikut berpatroli dengan masyarakat yang peduli perairan disana? Itu dana pribadi saya sendiri, hasil nabung sedikit demi sedikit, dan kemudian mengambil cuti. Saya bukan tipe orang yang cuma bisa berbicara dan mengeluarkan kata-kata bijak setiap hari, tetapi aslinya duduk manis sambil ngalay di media sosial. Saya tipe orang yang apa saya ucapkan, means juga saya kerjakan dengan segala resikonya! Jadi saya sendiri membawa kampanye ini kemana-mana pun juga menggunakan dana sendiri. Semoga tiga paragraf awal dalam catatan ini dapat memberi gambaran yang cukup tentang apa itu WWI, dan bagaimana kampanye stop setrum racun dan bom ikan WWI ini dijalankan.

Lima bulan berlalu sejak pernyataan sikap di Jembatan Tayan, Kalimantan Barat itu dan dukungan terus mengalir dari berbagai individu. Jumlah individu yang ikut concern dengan kegelisahan ini berdasarkan hitungan saya setidaknya telah melibatkan 350-an orang dari berbagai daerah, dengan berbagai latar belakang berbeda. Saya mengucapkan terimakasih dan salam hormat untuk semuanya. Saya percaya Anda semuanya ikut bergabung melakukan kepedulian ini bukan karena tujuan pragmatis sesaat, juga bukan untuk tujuan lainnya, melainkan murni untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan ikut peduli dengan kondisi perairan kita. Demi perairan dan segala potensinya, demi generasi berikutnya, demi anak cucu kita. Saya sendiri belum memilki anak cucu, tetapi jika suatu hari mereka hadir di dunia ini, saya ingin mereka tersenyum ketika masih bisa melihat ikan-ikan asli negeri ini di habitatnya. Mungkin mereka akan memancingnya karena bisa jadi ada yang akan meneruskan hobi saya, atau mungkin mereka akan memakannya sebagian karena memang potensi perairan negeri ini sejatinya diciptakan Yang Esa untuk dimanfaatkan oleh manusianya. Tentunya bukan dengan cara sembari dirusak, melainkan dengan cara yang berkelanjutkan (sustainable). Mungkin saya ini ibarat seorang perempuan yang mengandung, mengandung kegelisahan. Pada tahun 2014 saat itu saya berada di sebuah kampung di Sungai Rungan, Kalimantan Tengah. Kabut asap akibat kebakaran hutan begitu hebatnya, pandangan hanya beberapa meter saja, panas luar biasa, udara sangat tidak sehat. Ada kejadian yang luar biasa mengundang amarah saat itu, arah hulu sungai ini rupanya suatu hari diracun oleh oknum-oknum tukang racun ikan. Ikan-ikan yang mati (tembiring, tapah, lais, seluang, patin dan lain sebagainya) begitu banyak! Miris melihatnya ketika seluruh aliran sungai dipenuhi oleh ikan-ikan yang menggelepar. Sungai Rungan bukanlah sungai kecil, lebarnya ada 40-an meter, dan bahkan di beberapa daerah bisa sampai seratusan meter. Memang saat itu debit air menyusut luar biasa drastis, tetapi tetap saja, jika ada yang menebar racun di sungai ini, diperlukan bahan yang luar biasa banyak. Lha kog tegaaaa?! Ini sungai untuk ribuan orang baik itu untuk mencari penghidupan mencari ikan, mandi dan juga cuci. Oknum-oknum berpikiran sempit ini konon kemudian dicari masyarakat yang geram dan juga polisi, kemudian dipenjara. Itu memang sudah seharusnya karena urusan setrum racun dan bom ikan ada aturannya di UU RI No. 31 Tahun 2004 dan UU No. 45 Tahun 2010, artinya mereka melanggar undang-undang negara dan harus diproses hukum. Saya salut dengan aparat penegak hukum yang ada di wilayah ini dapat bertindak cepat dan konsekuen melakukan tugasnya, karena banyak aparat hukum di daerah lain seperti tutup mata dengan urusan setrum racun dan bom ikan ini. Mayoritas masyarakat di DAS Rungan tentunya menginginkan sungai ini tetap menjadi arena perburuan sumber pangan setiap hari. Dengan kejadian tersebut menyadarkan bahwa akan selalu saja ada ‘parasit’ dalam setiap masyarakat. Harus ada kontrol, pengawasan agar hal serupa tidak terulang kembali. Karena efek jangka panjangnya begitu luar biasa merusak. Sampai tahun 2016 ini saja misalnya, kini sangat sulit sekali mendapatkan ikan tapah dan tembiring di sungai ini, apalagi ikan-ikan kecil lainnya. Memang di Sungai Rungan banyak sekali aktifitas penambangan emas yang membuat wajah sungai ini begitu memilukan. Tetapi selama ini berdasarkan keterangan masyarakat, meski sungai dipenuhi oleh bising penambangan emas dan juga airnya sangat keruh, ikan-ikan masih mudah didapatkan. Tetapi sejak kejadian tahun 2014, ikan-ikan seperti menghilang. Beberapa kampung kemudian berinisiatif membentuk kelompok-kelompok pengawas sungai dan danau (POKMASWAS), tugasnya mencegah adanya aktifitas setrum dan racun di Rungan, dan atau melakukan tindakan yang diperlukan jika masih ada yang berani melakukannya. Tahun ini mereka telah genap berusia dua tahun, mungkin memang terlambat kehadiran kelompok-kelompok ini, tetapi tetap saja lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Banyak masyarakat di daerah lain begitu apatis dengan tindakan-tindakan merusak yang dilakukan oknum-oknum tertentu, di DAS Rungan saya gembira hal seperti itu tidak terjadi. Memang seharusnya aparat hukum yang melakukan pekerjaan ini, karena memang itulah tugas mereka. Tetapi inisiatif warga seperti ini adalah sesuatu yang patut didukung dan diteladani masyarakat lain. Karena jujur saja jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum, berapa sih jumlahnya, tidak mungkin mengawasi sungai ratusan kilometer tersebut? Lha kalau masyarakat, mereka menyebar di seluruh penjuru DAS Rungan, tentunya bisa langsung melakukan tindakan dengan cepat dan juga aksi preventif di kampungnya masing-masing. Kebahagiaan saya bertambah setelah mengetahui pelopor-pelopor POKMASWAS ini adalah orang-orang yang pernah saya ajak bicara pada tahun 2014 tersebut. Karena alasan historis dan ‘keluarga’ inilah kemudian saya ingin melepas rindu dengan kembali berkeliling DAS Rungan dan danau-danau sekitarnya sembari membawa pesan kegelisahan yang selama ini saya sebarkan melalui jaringan WWI.

Petuk Barunai dan Panjehang selalu menjadi tujuan utama saya ketika ‘pulang kampung’ ke Sungai Rungan. Di dua kelurahan ini banyak sekali keluarga baru saya. Dari kedua tempat ini juga semua rencana keliling yang akan saya lakukan disusun jauh-jauh hari. Perjalanan liburan (karena saya sengaja mengambil cuti kerja demi melakukannya) yang tidak biasa tetapi penuh makna dan pencerahan. Jika banyak orang mengambil cuti kerja untuk melewatkan waktu bersama pacar, keluarga dengan menikmati lokasi-lokasi wisata, saya malah blusukan, jeblok-jeblokan lumpur, hujan-hujanan, gelap-gelapan di hutan bersama masyarakat yang peduli dengan perairan di sekitarnya. Itupun tidak saya lakukan di kampung halaman saya sendiri. Karena memang ini tidak ada urusannya dengan sentimentil-sentimentil seperti itu, kampanye wild water ini untuk masa depan perairan di negeri ini! Jelas saya akan melakukannya dimanapun dan kapanpun setiap kali mampu melakukannya. Apalagi untuk Kalimantan, kalau perlu (semoga Tuhan mengijinkan) saya akan berkeliling seluruh Kalimantan demi untuk menyebarluaskan pesan kegelisahan ini. Selama ini memang sudah berkeliling Kalimantan, demi menunaikan tugas pekerjaan. Saya tidak ingin ada bias dan tumpang tindih atas apa yang saya lakukan. Kampanye ini harus bebas dari bias-bias yang tidak perlu, jadi jika ada jalan untuk melakukannya di seluruh Kalimantan akan saya bebaskan dari banyak embel-embel yang menempel dalam kehidupan saya sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan. Tidak baik jika kita melakukan sesuatu kemudian banyak bias dan interets yang mengikutinya. Saya sebagai individu yang mencintai perairan, itu saja prinsip saya dalam melakukan gerakan ini.  Kalimantan sudah ibarat kampung halaman saya sendiri saking seringnya keliling ke pulau ini. Masyarakatnya begitu nice dengan alam yang masih megah, selalu membuat saya selalu rindu untuk kembali dan terus kembali. Memang selalu ada ‘parasit’ yang menggerogoti masyarakat juga alamnya, hal seperti ini akan selalu ada di setiap masyarakat dimanapun itu. Tetapi sungguh saya tidak rela jika keindahan, kemegahan, dan kekayaan perairannya dan juga kebaikan orang-orangnya berubah atau malahan rusak karena ulah ‘parasit’ baik itu yang datang dari luar Kalimantan ataupun yang berasal dari dalam Kalimantan sendiri. Entah kenapa, saya begitu mencintai tanah Kalimantan dan juga masyarakatnya.

Ada lima hari penuh yang saya habiskan di daerah aliran Sungai Rungan ini bersama beberapa orang anggota POKMASWAS Kelurahan Panjehang dan Petuk Barunai. Bersama mereka saya melakukan beberapa perjalanan yang tidak biasa saya lakukan di wilayah Kalimantan seperti sebelumnya. Jika di waktu-waktu lalu kedatangan ke Kalimantan adalah selalu dalam konteks menunaikan tugas, kali ini berbeda sama sekali, yakni untuk melakukan perjalanan penyadaran melalui himbauan. Memang cara yang saya tempuh bukanlah cara yang gempita, karena semuanya dilakukan dengan menggunakan dana pribadi seadanya. Harapannya adalah agar pesan kegelisahan tentang kondisi perairan tawar di wilayah ini menyebar ke sebanyak mungkin orang. Sesaat setelah menginjak kota Palangkaraya saya langsung menuju ke Petuk Barunai, hanya mampir sebentar di kota untuk mengisi perbekalan dan silaturahmi dengan beberapa kawan baik di kota ini. Mendung melingkupi seluruh penjuru langit ketika saya sudah berada di kelotok yang akan membawa saya ke Kelurahan Petuk Barunai. Cuaca memang semakin sulit diprediksi karena dua tahun terakhir pada bulan September adalah musim kering, yang terjadi saat itu sebaliknya. Spanduk stop setrum yang saya bawa kemudian kami pasang di kelotok milik seorang kawan dekat dari Petuk Barunai, dan kemudian kami bawa berkeliling naik hulu dan turun hilir beberapa waktu. Hampir semua kampung di wilayah ini berada di tepian sungai, yang artinya banyak konsentrasi manusia di tepian sungai. Baik itu sedang memeriksa perahu, mandi dan cuci, dan lain sebagainya. Apalagi saat senja, 50% lebih manusia di sekitar Sungai Rungan ini ada di tepian sungai untuk mandi. Pada momen seperti inilah, kami berharap spanduk yang kami bawa berkeliling dapat dibaca oleh sebanyak mungkin orang dan mengetuk sanubari mereka. Jika mereka ada yang saat ini masih melakukan illegal fishing, semoga kemudian terketuk hatinya agar berubah. Jika mereka adalah orang-orang biasa yang sehari-hari tidak pernah merusak perairan, semoga dapat mengingatkan orang-orang di sekitarnya. Spanduk stop setrum yang pada bulan-bulan ini juga dipegang oleh sebagian sahabat WWI di daerah lain juga kurang lebih diperlakukan sama seperti saya lakukan. Yakni bagaimana caranya agar dapat menjadi media penyampai pesan kebaikan tetapi dengan strategi tidak seperti partai-partai, caleg dan lain sebagainya yang obral ribuan kaos dan spanduk di masa kampanye. Karena jujur saja jumlah spanduk WWI yang ada saat ini sangat sangat terbatas, saya tidak pernah meninggalkan spanduk stop setrum ini di satu titik. Melainkan terus membawanya ke berbagai lokasi lainnya di wilayah ini dan dibentangkan beberapa waktu kemudian dibawa lagi ke daerah/titik lainnya, dan kemudian dibentangkan beberapa waktu, kemudian dibawa lagi. Ini adalah solusi untuk mengakali keterbatasan spanduk yang ada.

Rata-rata di satu titik, misalnya sebuah dermaga sungai yang penuh lalu lalang orang dan perahu, akan kami bentang selama satu hari. Jika di ‘pintu’ masuk sebuah danau di sekitar sungai, sekitar setengah harian. Jadi meskipun kemarin saya cuma membawa satu spanduk, tetapi pesannya menyebar ke banyak sekali orang dengan strategi seperti ini. Saya menyebutnya strategi ala anak kos! Selama singgah di titik-titik strategis di DAS Rungan, bersama bapak-bapak yang menjadi anggota POKMASWAS kami bisa bersilaturahmi ke masyarakat di titik tersebut, siapapun itu. Berbicara tentang apa saja, dan terutama tentang apa maksud yang kami lakukan hari itu. Tidak ada yang tidak setuju dengan pesan yang dimuat dalam spanduk. Semua setuju bahwa hal itu memang harus dihentikan karena ikan-ikan bisa punah! Ibu-ibu di warung, tukang sayur yang melintas, anak-anak muda yang sedang nongkrong di dermaga, kakek nenek yang sedang menikmati masa senja di depan dermaga kampung, dan lain sebagainya! Semua setuju bahwa setrum dan racun ikan (di sungai-sungai Kalimantan tidak ada aktifitas bom ikan) harus dihentikan! Lalu kenapa masih saja ada oknum-oknum yang lolos melakukan hal tersebut, padahal mayoritas masyarakat tidak setuju dengan adanya illegal fishing tersebut, tanya saya kepada beberapa orang. Jawabannya sangat klise. Sebab mereka juga sedang mencari makan dengan cara yang merusak itu. Dan juga karena semuanya dilakukan dengan diam-diam, jadi sulit terpantau dan dilakukan tindakan. Terkadang kalau kami ingatkan, misalnya jika bertemu dengan kegiatan illegal fishing, malah kami yang kena masalah karena bisa jadi ketika kejadian tersebut, kami kalah jumlah orang. Mereka bisa rombongan yang terdiri dari 10-15 orang kalau beraksi.

Inilah yang sejak awal bergulirnya kampanye stop setrum racun dan bom ikan ini, yang juga saya ingatkan ke seluruh sahabat Wild Water Indonesia di berbagai daerah, dengan resiko. Kita tidak sedang meniti jalanan yang mulus, melainkan jalan yang terjal dan penuh resiko. Yang bisa saya katakan, seberat apapun itu, jangan lelah berbuat kebaikan. Jangan kebalik, yang salah begitu berani, yang benar malahan melempem. Dari cerita-cerita yang dituturkan masyarakat yang saya jumpai selama lima hari du DAS Rungan kemarin, menunjukkan bahwa dengan hadirnya POKMASWAS di setiap kelurahan di daerah sini menjadi penting. Setiap kelurahan memiliki anggota patroli sekitar 15-20 orang, memang jumlah ini juga tidak banyak mengingat areal patroli yang sangat luas. Pun itupun anggota patroli ini sebenarnya juga masyarakat biasa yang sehari-hari harus berjibaku juga mencari penghidupannya. Tetapi dengan keberadaan POKMASWAS ini setidaknya bisa melakukan tindakan preventif sejak di pusat-pusat pemukiman masyarakat disana dengan melakukan pendekatan persuasif ke semua orang tentang bahaya dan efek buruk illegal fishing. Friksi antara kelompok oknum tukang setrum dan racun memang sangat mungkin terjadi, solusi yang saya tawarkan kepada masyarakat yang saya ajak bicara adalah. Kalau melihat kegiatan seperti itu, dan kebetulan kalah jumlah orang, cukup kenali saja siapa-siapa orangnya, lalu secepat mungkin hubungi POKMASWAS terdekat, dan kalau memungkinkan langsung ke petugas kepolisian setempat. Kalau memang berani menegur, meskipun kalah jumlah, itu lebih baik. Ada informasi menarik kemarin di Sungai Rungan, tentang seorang perempuan pemberani yang menantang kelompok tukang setrum di sebuah anak sungai kecil di tengah hutan, sendirian. Saat itu konon ibu perkasa ini sedang memancing ikan-ikan kecil untuk lauk keluarganya (hal umum di Kalimantan ketika seorang ibu mencari sumber nutrisi di sungai sendirian dengan sampan kecil), lalu melintaslah rombongan tukang setrum dari daerah lain yang beroperasi di sungai-sungai kecil di lokasi jauh dari pemukiman pemilik ulayat sungai tersebut. Ibu ini menghimbau kelompok ini untuk menghentikan kegiatannya, dan karena malah mendapatkan tantangan dari kelompok perusak ini (karena merasa menang jumlah), ibu ini ternyata malah tidak mundur, dia meladeni tantangan kontak fisik orang-orang tersebut. Hasilnya adalah, seluruh tukang setrum itu sekarang ‘ngekos’ di sel. Sang ibu kini tetap menjalaninya hari-harinya memancing ikan salap dan lais di sungai-sungai kecil mencari lauk pauk untuk keluarganya dengan damai. Sayangnya ketika saya berkunjung ke rumahnya untuk silaturahmi, di Kelurahan Panjehang, beliau sedang berada di dalam hutan jauh dari pemukiman bersama keluarganya, berburu dan juga mencari ikan.

Yang begitu kuat saya rasakan ketika berkeliling bersama beberapa masyarakat anggota POKMASWAS di DAS Rungan kemarin adalah dedikasi pada amanat yang diemban. Beratnya medan yang menguras fisik dan juga mood, tidak pernah sedetikpun menyurutkan niat mereka menemani saya berkeliling. Hujan dan panas silih berganti, mengarungi sungai, melintasi sungai-sungai kecil yang sulit, berkutat di sungai-sungai hutan yang rapat, dan lain sebagainya. Memang saya telah mengalokasikan nominal tertentu untuk mengganti lelah mereka, itung-itung mereka bekerja harian, tetapi sebenarnya jumlahnya sangatlah kecil, mengingat keterbatasan saya juga. Tetapi sepertinya bukan nominal itu yang menjadi sumber api semangat mereka, saya mengenal mereka sejak 2014 dan mereka bukanlah orang-orang berpamrih seperti itu, tetapi karena keyakinan akan niat baik dari semua yang kami lakukan saat itu. Hal seperti ini jugalah yang saya lihat di seluruh sahabat Wild Water Indonesia lainnya di berbagai daerah selama ini, keyakinan menjalani kepedulian karena hal ini untuk kebaikan banyak orang dan lingkungan. Ketika saya berjibaku membawa keliling spanduk di Kalimantan Tengah, beberapa rekan di daerah lain juga sedang melakukan hal yang sama. Yang paling awal mempublish hasil kegiatannya dengan spanduk tersebut malahan kawan-kawan dari Pulau Bangka, lalu disusul kawan-kawan dari Ikatan Mancing Casting Sukoharjo – Jawa Tengah. Kawan-kawan di Malang Selatan - Jawa Timur, kampung halaman saya, juga melakukan hal yang sama. Suwun lek! Beberapa daerah lain belum mempublish kegiatannya dengan spanduk itu karena masih menunggu momen tepat untuk berkeliling dan juga blusukan ke lokasi-lokasi yang tepat. Terimakasih kawan. Yang agak mengaggetkan, spanduk peduli seperti ini bukan sesuatu yang populer di komunitas orang-orang mancing, tetapi saya menerima banyak sekali permintaan untuk mengirimkan barang ini ke beberapa daerah dari komunitas mancing setempat. Mau kami bawa blusukan mancing dan pasang di daerah tersebut om, kata mereka. Jawab saya, semua harus bersabar, sebab itu dibuat bukan dari keberlimpahan saya, melainkan dari membagi keterbatasan saya terutama dari segi nominal. Yang bisa saya pastikan, akan saya kirimkan nanti ketika saya sudah mampu membuatnya. Baik itu dari dana pribadi, ataupun hasil dari memanage sedikit selisih produksi t-shirt Wild Water Indonesia yang mungkin masih akan dipesan kawan-kawan lainnya. Tuhan rupanya langsung mengabulkan niat baik kita semua, belum juga saya beranjak pergi dari Kalimantan Tengah, ada 100-an pcs t-shirt yang dipesan kawan-kawan dari daerah lain melalui medsos. Ini berarti tidak lama lagi spanduk-spanduk itu juga bisa segera diproduksi, karena ongkos untuk membuatnya sudah dibantu dari pesanan t-shirt tersebut. Sekali lagi, terimakasih kawan! Selamat berjuang. Hati-hati. Jalan yang kita lewati sangat terjal dan juga licin. Safety first! God bless! (Gang Damai, Jakarta, September 2016)





 


















 
































* Foto-foto yang dipasang di postingan ini merupakan bentuk kepedulian yang saya lakukan dan juga oleh kawan-kawan di berbagai daerah: 1). Saya melakukannya di Kalimantan Tengah bersama Petugas Patroli Pokmaswas Desa Panjehang didukung oleh kawan-kawan Angler Kuwaci Waluh (Palangkaraya). 2). Kawan-kawan di Pulau Bangka melakukan 'aksi'-nya di Danau Paya Benua. 3). Teman-teman Jogja Kenthir Team & 100% Nyobok (Solo) di Pantai Wediombo, Yogyakarta. 4). Kawan-kawan Forum Mancing Pekalongan beraksi di Karang Korowelang, Sungai Slamaran dan sungai-sungai sekitar Pekalongan. 5). Kawan-kawan IMCS (Ikatan Mancing Casting Sukoharjo) melakukannya di Waduk Mulur, Sukoharjo, Jawa Tengah. 6). Kawan-kawan Pemuda Gambiran melakukannya di Pantai gesing, Yogyakarta. 7). Kawan-kawan Banten Wild Fishing di Ujung Kulon, Banten. TERIMAKASIH KAWAN-KAWAN SEMUANYA. SEMOGA IKAN-IKAN MEMBALASNYA.

* Untuk foto-foto kegiatan seluruh sahabat Wild Water Indonesia lainnya di berbagai daerah dapat dilihat di akun Instagram @wildwater_indonesia. Atau juga dapat diperiksa di page Facebook Wild water Indonesia: Stop Setrum, Racun & Bom Ikan). Pictures captured by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without our permission. Don't make money with our pictures without respect!!!

Comments