Tanah Air Merah Putih: 71 Tahun Kebebasan Menentukan Nasib Sendiri danDan Masa Depan Perairan Indonesia
Dear sahabat Wild Water Indonesia dimanapun berada. Ide awal membuat catatan iseng ini sebenarnya muncul ketika saya berada di Pulau Inggelan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Tepatnya pada bulan Juni 2016. Niat awalnya adalah memberi ‘kado’ kemerdekaan kepada negeri tercinta Indonesia yang merayakan 71 tahun kemerdekaannya. Semacam ingin merenungkan apa-apa yang bisa saya sarikan sebagai anak bangsa selama ini. Tetapi karena banyak sekali hal, ide tersebut kemudian ‘terjepit’ di antara banyak sekali tugas dan kesibukan sebagai kuli media dan secara otomatis kemudian ikut berkelana mengikuti raga ini pergi kemana. Pertengan Juli ketika berada di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat sebenarnya kegelisahan ini seharusnya berhasil dituliskan. Tetapi ternyata urung untuk diwujudkan karena ‘didera’ kesibukan mencari ikan di teluk terbesar di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara, yang tidak saya sangka, ternyata telah mengalami perubahan ekosistem yang luar biasa. Hari ini, tanggal 23 Agustus 2016, ketika mendapatkan kesempatan langka untuk menulis, di tengah beratnya sebuah perjalanan panjang di alam liar, posisi saya sedang berada di antah barantah ‘dipeluk’ kompleksnya hutan rawa ulayat masyarakat Suku Yee, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Ini adalah hari ke delapan tim Jejak Petualang Wild Fishing bersama masyarakat Desa Toray menggelar ekspedisi terliar sekaligus teraneh dalam ‘karir’ saya menggeluti dunia mancing sekaligus media; Jejak Petualang Wild Fishing - Ekspedisi Rawa Camo! Tiga hari masih tersisa sebelum kami keluar hutan dan kembali ke Merauke, masyarakat akan kembali ke kampung mereka, ke dunia ramai. Kisah Rawa Camo ini tentunya akan saya tuliskan nanti karena memang masih belum usai. Jadi maksud saya begini, sejujurnya saya bukan bagian orang pintar yang bisa berbicara banyak hal tentang lingkungan seperti banyak kita lihat di televisi dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan gambaran mobilitas saya dan juga medan yang saya jelajahi, dalam sebulan setidaknya tiga minggu saya berada di medan-medan ‘wild’ seperti itu, jadi ketika saya ingin menulis tentang apa-apa yang saya lihat alami rasakan dan renungkan, based on experience seperti itu, saya merasa bahwa saya tidak melakukannya dalam konteks ‘mengiggau’, tetapi memang pernah melihat semuanya dengan pemahaman yang cukup dan concern tertentu. Wild Water Indonesia yang saya ‘bangun’ bersama rekan-rekan pemancing dan pecinta perairan lainnya adalah bukti concern lingkungan saya terutama terhadap masa depan perairan di Indonesia. Jejak Petualang Wild Fishing, program petualangan baru yang usianya masih belia kurang dari tiga tahun, juga merupakan tayangan petualangan yang sengaja kami bangun agar berbeda dengan memberi muatan besar pada pesan kelestarian lingkungan, keberlanjutan potensi perairan, dan juga membantu menguatkan kearifan lokal dalam menjaga dan memanfaatkan potensi perairan yang ada.
Banyak hal di perairan kita yang telah dan terus berubah,
yang sialnya, menurut saya ke arah yang mengerikan! Anggap saja catatan iseng
ini adalah review terhadap perjalanan pribadi juga perjalanan tugas, tetapi
beberapa hal kemudian menjadi perhatian khusus saya secara pribadi. Memang
banyak anak bangsa ini yang mampu berkeliling kemanapun ke seluruh penjuru negeri,
dengan tujuannya masing-masing tentunya, dan lain sebagainya. Saya hanyalah
anak bangsa yang kebetulan mampu berkeliling karena tugas ‘mulia’ mencari
berita dan kemudian mengabarkannya kepada khalayak luas. Pekerjaan yang menjadi
bagian angan ketika saya masih sibuk mengejar sks di sebuah universitas negeri
di Bandung dan Puji Tuhan sudah delapan tahun ini menjadi kenyataan, dan
kemudian saya jalani dengan semangat dalam suka dan dukanya. Apalah artinya
seorang manusia tanpa bekerja?! Pekerjaan yang bisa jadi menjadi banyak angan
orang lainnya di luar sana karena dianggap banyak “enak”-nya. Well hidup itu kalau kata orang Jawa sawang sinawang, saling melihat saja
sebenarnya. Orang cenderung hanya melihat sisi enaknya saja dari kehidupan
orang lain, dan bukan sisi yang ‘sebelahnya’ yang bisa jadi begitu banyak pahit
getirnya. Saya hanya bisa bersyukur dengan apapun pekerjaan saya, bukan karena
di profesi ini saya mendapatkan begitu banyak ‘lembaran’ ajaib itu, tidak sama
sekali karena ini bukanlah profesi yang bisa mendatangkan hal seperti itu.
Tetapi karena kesempatan mengenal banyak sekali orang, mengalami banyak sekali
kejadian, mengetahui banyak sekali hal ‘istimewa’, mengunjungi banyak sekali
tempat dan lain sebagainya.
Kita kembali lagi ke tempat dimana ide awal tulisan ini
muncul. Pulau Inggelan (ada juga yang menyebutnya England) di Kabupaten
Halmahera Timur, Maluku Utara. Saya berada di tempat ini pada pertengahan Mei
hingga awal Juni 2016, menumpang di sebuah rumah kebun kecil milik masyarakat. Disebut
Inggelan (peng-Indonesiaan dari England) karena konon pada masa PD II pulau ini
pernah menjadi basis salah satu unit tentara Sekutu dalam meruntuhkan
pendudukan Jepang di Maluku Utara terutama di Pulau Halmahera. Pulau Inggelan
adalah noktah kecil yang berada di depan Tanjung Sowli, Halmahera Timur.
Merupakan basis strategis jika kita hendak mengeksplorasi perairan payau di
seluruh tanjung. Juga merupakan basis strategis para nelayan yang melaut di
sekitar wilayah ini karena memiliki sumber air tawar. Ada sekitar tujuh sistem
sungai payau di Tanjung Sowli ini. Saya lupa nama-nama sungainya tetapi salah
satu sungai tersebut kalau tidak salah namanya Beb. Sungai terbesar dengan
panjang aliran yang cukup menjanjikan, sekitar lima kilometer ke arah darat
(pegunungan). Semua sungai tersebut jika diakses dari Inggelan hanya perlu
waktu tidak sampai setengah jam (dengan mesin 15 PK), tetapi harus teliti saat
masuk dan keluar dari sungai, karena jika sedang surut maka perahu kita akan
tersangkut di lautan lumpur yang berada di depan muara-muaranya. Dan sekali
tersangkut itu artinya beberapa jam kemudian bisa keluar yakni dengan menunggu
air pasang, karena tidak mungkin mendorong perahu melewati jebakan lumpur yang
menghisap tersebut. Sangat berbahaya!
Saya mendengar kata Inggelan untuk pertama kalinya pada
bulan Mei ketika saat itu berada di sungai-sungai sekitar kota Maba, juga di
Halmahera Timur. Sungai-sungai di sekitar Maba menurut saya masih memiliki
potensi yang sangat menjanjikan. Baik itu untuk menyokong kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari (pemenuhan nutrisi) dan juga sebagai destinasi
sportfishing. Untuk masyarakat, sungai-sungai payau di sekitar Maba memiliki
potensi beragam jenis ikan, kepiting, juga kerang yang melimpah. Asal kita mau
saja ‘turun’ ke sungai hamper semuanya bisa didapatkan. Saya membuktikannya
sendiri dimana sehari kita bisa dengan mudah mendapatkan puluhan kilogram
kerang darah, banyak sekali kepiting berukuran ‘monster’, dan ketika memancing
bisa mendapatkan puluhan sambaran dalam sehari! Menurut masyarakat saat itu,
sungai-sungai di sekitar Maba masih secara potensi dibandingkan sungai-sungai
di ‘depan’ Inggelan. Itulah sebabnya sebulan kemudian saya dan tim Jejak
Petualang Trans|7 kemudian merapat ke Inggelan. Bulan Juni yang aneh, karena
ternyata curah hujan masih sangat tinggi. Memang curah hujan tinggi ini tidak
mempengaruhi kejernihan air di sungai-sungai di depan Inggelan, tetapi saya
yakin ini mempengaruhi hunting behavior dari ikan-ikan perairan payau mengingat
hujan tentunya akan mengurangi kadar payau dari air sungai yang ada. Kami tetap
mendapatkan ‘hujan’ sambaran dari beberapa spesies perairan payau seperti
mangrove jack, kerapu dan beberapa ikan lainnya. Tetapi target utama sayangnya
tidak kami dapatkan sama sekali. Ikan Indonesian black bass (Lutjanus goldiei)
yang menjadi target utama kami, hilang entah kemana. Ini mengherankan karena
secara kasat mata kondisi sungai baik itu struktur tepian dan perlindungan ikan
dari batang-batang pohon sangat menjanjikan. Usut punya usut, berdasarkan info
dari para nelayan yang saat itu juga mendirikan camp di Inggelan, sekitar 2014
sungai-sungai di Tanjung Sowli pernah diserbu tukang racun entah darimana,
dengan menebarkan racun yang membuat sebagian besar penghuni sungai musnah! Terutama
ikan Indonesian black bass yang oleh masyarakat disebut ikan somasi hitam. Jadi
kalaupun kami masih mendapatkan banyak sambaran dari somasi merah (mangrove
jack) dan juga ikan jenis kerapu, itu menurut mereka sebenarnya adalah
ikan-ikan baru yang datang dari lautan lepas dan mulai kembali menghuni sungai.
Para pelaku racun sungai-sungai tersebut menurut masyarakat
saat ini masih mendekam di penjara, tetapi efek perbuatan mereka belum pulih
sepenuhnya setelah dua tahun mereka melakukannya. Kekejaman yang terjadi di
Tanjung Sowli ini hanya satu dari beragam hal serupa yang menimpa berbagai
sungai, danau, dan lain sebagainya di berbagai daerah di negeri ini. Selalu ada
geram setiap kali saya mendengar hal-hal seperti ini, karena akibatnya begitu
menyedihkan, tetapi sebagai pekerja keliling yang tidak pernah menetap di suatu
daerah dalam waktu yang lama, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki
kemampuan untuk ikut berkontribusi dengan lebih baik untuk ikut menjaga apa-apa
yang menurut saya pantas untuk dijaga dengan baik. Di sisa waktu yang ada saat
itu secara pribadi (bukan secara tim), saya kemudian menjalin silaturahmi
dadakan dengan semua nelayan yang saat itu juga nge-camp di Pulau Inggelan.
Sebisa mungkin saya berusaha membagi kegelisahan saya tentang akibat dari cara
tangkap ikan yang merusak tersebut. Saya mengambil resiko, karena bisa jadi
sebenarnya ada juga dari mereka yang mungkin malahan selama ini melakukan
proses penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak. Tetapi niat baik membuat
saya melupakan segala resiko yang mungkin terjadi. Para nelayan muda menjadi target ‘kampanye’
saya karena saya yakin mereka lebih bisa untuk diajak bicara dan di masa
mendatang mereka masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Kebutuhan mereka
juga generasi penerus mereka terhadap ikan (yang artinya bahwa ekosistem tempat
ikan hidup harus dijaga dengan baik) menjadi “jurus” saya agar mereka menjadi
para nelayan yang yang lebih bijak. Hari terakhir sebelum kami meninggalkan
Inggelan, saya meninggalkan dua t-shirt Wild Water Indonesia: STOP SETRUM RACUN
& BOM IKAN kepada dua pemuda yang ada di pulau tersebut. Satu dua orang
yang kemudian tergerak dengan pesan tersebut, saya yakin bisa membuat perbedaan
di Tanjung Sowli di masa mendatang. Daripada tidak ada sama sekali?!
Kini kita lanjutkan tulisan gelisah ini ke Teluk Saleh,
Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Teluk terluas di seluruh Kepulauan Nusa
Tenggara. Dalam setahun terakhir ini sepertinya saya bolak-balik ke teluk ini
untuk beberapa misi. Pertama adalah untuk ikut ‘merayakan’ musim telur ikan
tuing-tuing (ikan terbang) yang dipanen masyarakat nelayan di sana. Hasilnya
saat itu (kalau tidak salah Agustus 2015) sangat melimpah. Harganya yang sangat
menjanjikan di pasaran sehingga membuat telur ikan tuing-tuing penyokong
penting perekonomian masyarakat nelayan di Teluk Saleh, ketika ikan-ikan tidak
lagi bisa diharapkan. Saya sempat berfikir apakah panen massal telur ikan
tuing-tuing ini tidak mengganggu regenerasi ikan terbang ini, masyarakat
nelayan menunjukkannya secara langsung, bahwa tidak setiap rumpun akan diambil
semua telurnya. Dari ribuan telur yang menempel di satu rumpon, maka akan
ditinggalkan setidaknya 10-an % agar memijah menjadi ikan terbang. Saya respek
dengan tanggung jawab lingkungan yang mereka lakukan, kesadaran pemanfaatan
secara berkelanjutan mereka cukup tinggi. Waktu yang lain saya sempat mengikuti
kearifan lokal yang masih ada di komunitas nelayan di Teluk Saleh, utamanya
komunitas nelayan keturunan Bugis, yakni kegiatan perburuan yang disebut dengan
nama boa-boa. Kegiatan perburuan yang
sangat unik tetapi melelahkan, karena kita harus terus bergerak di pesisir
pantai di kedalaman satu meteran, dengan membawa lari alat yang disebut lari-lariang. Semacam alat usir ikan yang dibuat dari rangkaian
kayu kering yang disatukan dengan tali sepanjang 50-an meter. Sebegitu
tingginya kah prinsip perburuan yang berkelanjutan di kalangan masyarakat
nelayan Teluk Saleh? Ketika masyarakat nelayan lain begitu mudah melemparkan
bom ikan dan menggunakan jaring yang memiliki kemampuan mengeruk semua isi
lautan demi volume tangkap dan pemasukan ekonomi sebanyak mungkin?!
Musim ubur-ubur di Teluk Saleh juga menjadi momen yang tidak
saya lewatkan. Momen ‘paling panas’ di Teluk Saleh ketika milyaran ubur-ubur
seperti hendak mengambil alih dominasi atas teluk ini. Musim ini berlangsung
antara September hingga Februari, tetapi saya datang pada penghujung musim, dan
itupun masih terpana dengan berjubelnya ubur-ubur memenuhi seluruh penjuru
teluk. Memang musim ubur-ubur memutar roda perekonomian masyarakat dalam skala
“mega” di kawasan ini, karena hasilnya diekspor ke luar negeri terutama Cina.
Tetapi yang agak luput dari pengamatan banyak orang adalah, bahwa ubur-ubur
sebenarnya merupakan salah satu indikasi bahwa ekosistem laut di kawasan
tersebut telah berubah. Boleh dibaca dengan “mulai tidak sehat”. Kenapa
demikian, karena ubur-ubur bisa merajalela di sebuah kawasan hanya jika tidak ada ‘penguasa’ dominan
lainnya, dalam hal ini ikan-ikan pemangsa. Artinya? Saya yakin saudara-saudara
memahami maksud dari pertanyaan ini. Saya tidak bermaksud menyerang Teluk
Saleh, apalagi juga banyak keluarga baru saya yang tinggal di sana. Maksud saya
begini, apa yang terjadi di Teluk Saleh sekarang bisa jadi adalah ‘buah’ dari
oknum-oknum tidak bertanggung jawab dari generasi sebelumnya. Kenapa saya sebut
demikian? Pada bulan Juli 2016, saya dan tim Jejak Petualang Wild Fishing
berkeliling hamper 50 % reef (karang dangkal) di wilayah ini. Kami menyewa
kapal besar dan juga kapal-kapal kecil termasuk juga membawa kayak agar kami
dapat mengeksplorasi dengan lebih seksama potensi reef-reef tersebut. Hasilnya?
Tanda Tanya besar kemana ikan-ikan yang biasanya selalu ramai menghuni karang
dangkal tersebut? Ribuan lemparan umpan, berpuluh hari berusaha mencari ikan,
hanya menghasilkan beberapa ikan berukuran mini. Apakah kami yang terlalu bodoh
memancing? Ataukah kami yang terlalu bodoh membaca arus dan lain sebagainya?
Ataukah para nelayan “jagoan” yang menjadi guide kami tersebut salah memilih
lokasi? Saya lebih condong pada persepsi, bahwa memang ada yang berubah di
Teluk Saleh. Kondisi dasar reef-reef yang terlihat begitu “sakit” menjadi bukti
nyata bahwa pernah terjadi kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak
bertanggung jawab. Saya paham, perut yang lapar perlu diisi makanan, nelayan
harus memiliki uang dari ikan-ikan yang dihasilkan. Tetapi apakah dengan harus
mengorbankan sumber penghidupannya itu sendiri? Saya percaya bahwa para pelaku
kejahatan perairan seperti ini tidak banyak sebenarnya, tetapi masalahnya,
akibatnya harus ditanggung oleh banyak sekali orang! Dan bahkan oleh
mereka-mereka yang mungkin saat ini belum dilahirkan!
Hari ini saya berada di liarnya sistem perairan rawa kuno di
antah barantah pedalaman Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Rawa Camo, tulisan
iseng “tanah air merah putih” ini belum juga usai, padahal tanggal 17 Agustus
2016 telah lama berlalu. Saya terkadang keheranan, begitu banyak hal yang
menyita waktu saya, baik itu ketika berada di Jakarta yang memang notabene
sibuk itu, dan juga ketika di pedalaman yang sunyi ini. Rasa-rasanya ketika
berada di pedalaman, kesibukan saya berlipat ganda tiga empat kali lipat
dibandingkan dengan ketika berada di ibukota. Bunyi genset yang sama sekali
tidak merdu menjadi santapan telinga, mengalahkan bunyi indah satwa hutan yang
mengepung kami di pedalaman ini. Masyarakat Suku Yee yang menemani kami,
kebanyakan adalah para anggota marga yang memiliki hak ulayat rawa ini,
sebagian telah terlelap, sebagian lagi sepertinya sedang bercerita hal-hal yang
lucu (mob Papua). Suara tawa mereka yang khas masih terdengar dari tenda saya. Lelah sebenarnya mulai mendera raga saking beratnya medan yang kami lahap setiap hari. Tidak lama lagi kami akan melepaskan diri dari 'pelukan' erat Rawa Camo. Saya yakin bahwa ekspedisi ini memiliki oleh-oleh yang berharga bagi pemahaman banyak orang tentang potensi perairan rawa
di Pulau Papua, utamanya di Kabupaten Merauke. Tentunya semua akan saya tuliskan nantinya.
Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan yang lama tertunda ini adalah, dalam suasana
71 tahun kebebasan menentukan nasib sendiri ini, adalah sebuah pertanyaan.
Apakah kita anak-anak bangsa memahami dengan tanggung jawab dan kebijaksanaan,
bahwa kita memiliki amanat untuk mewariskan dengan baik perairan negeri ini
berikut potensinya kepada anak cucu kita, ataukah kita hanyalah kumpulan
parasit yang hanya bisa begitu rakus makan dan berkembang biak sembari
‘membunuh’ inangnya? Salam Wild Water Indonesia! (Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke,
Papua, Agustus 2016).
* KETERANGAN FOTO: Pemuda pada foto-foto di atas adalah Y***** (22 tahun), salah satu pemilik ulayat di Rawa Camo. Sebenarnya kehadirannya sebagai kru dayung JPWF Ekspedisi Rawa Camo 2016 adalah mewakili ayahnya yang telah renta (menggantikan tenaga sebagai tukang dayung sekaligus mengawasi jalannya kegiatan dalam konteks pemilik ulayat). Rawa Camo dimiliki oleh 12 marga Suku Yee, salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Merauke, Papua. Pemuda ini menurut saya adalah contoh pemuda yang berdedidkasi. Sehari-hari hidup dengan mencari ikan tilapia, tujuh jam mendayung dari rumahnya di Desa Toray, Distrik Sota. Selama kegiatan begitu giat membantu tim, dan sepertinya selalu bergembira. Dia juga memiliki keinginan kuat selalu mempelajari hal-hal baru dan menyerap informasi-informasi baru. Saya yakin di masa mendatang Y***** dapat menjadi figur penting dalam kehidupan Suku Yee. Generasi harapan seperti inilah yang menurut saya patut dipertimbangkan untuk menjadi 'agen' perubahan di berbagai daerah pedalaman di negeri ini. Picture captured at Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke, Papua. August 2016. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
* KETERANGAN FOTO: Pemuda pada foto-foto di atas adalah Y***** (22 tahun), salah satu pemilik ulayat di Rawa Camo. Sebenarnya kehadirannya sebagai kru dayung JPWF Ekspedisi Rawa Camo 2016 adalah mewakili ayahnya yang telah renta (menggantikan tenaga sebagai tukang dayung sekaligus mengawasi jalannya kegiatan dalam konteks pemilik ulayat). Rawa Camo dimiliki oleh 12 marga Suku Yee, salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Merauke, Papua. Pemuda ini menurut saya adalah contoh pemuda yang berdedidkasi. Sehari-hari hidup dengan mencari ikan tilapia, tujuh jam mendayung dari rumahnya di Desa Toray, Distrik Sota. Selama kegiatan begitu giat membantu tim, dan sepertinya selalu bergembira. Dia juga memiliki keinginan kuat selalu mempelajari hal-hal baru dan menyerap informasi-informasi baru. Saya yakin di masa mendatang Y***** dapat menjadi figur penting dalam kehidupan Suku Yee. Generasi harapan seperti inilah yang menurut saya patut dipertimbangkan untuk menjadi 'agen' perubahan di berbagai daerah pedalaman di negeri ini. Picture captured at Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke, Papua. August 2016. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!
Comments
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<