Para Penjaga Batas Negeri: Kisah Tentang Ikan-ikan, Suku Yee, Tentara,dan Para Pemancing di Perbatasan RI – PNG (Bagian 1)
Tentara dan pemancing, datang dan pergi silih berganti dari Desa Toray, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Desa kecil dekat perbatasan RI – PNG. Tetapi orang-orang Suku Yee dan ikan-ikan tentunya terus tinggal. Hidup tenang dalam keberlimpahan sumber daya alam megah terjaga, yang menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk melanjutkan hidup. Ketika mengawali perjalanan ini terlintas sekejap di kepala, bahwa akhirnya setelah sepuluh tahun, bentang geografis ribuan kilometer yang terangkum dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” itu selesai juga bagi saya. Semuanya karena mengurus ikan! Tetapi ternyata ketika ekspedisi mencapai ‘ujungnya’, ketika hari itu kami berkumpul di sebuah tugu perbatasan paling besar yang ada di Sota, sembari menghidupkan ponsel yang kembali ada gunanya, saya salah duga. Ekspedisi Rawa Camo JPWF Trans|7 ke ujung negeri kemarin itu hanyalah awal untuk sesuatu yang baru bagi saya, sesuatu yang berbeda. Tetapi saya percaya semua ini yang terbaik dan merupakan rencana-Nya!
Deo gratias. Terimakasih Tuhan bisa kembali menulis. Ketika kami bertujuh akhirnya tiba di Desa Toray, Distrik Sota, suasana desa terlihat begitu sunyi. Jarak desa ini dengan negara PNG hanya 3 kilometer jauhnya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi tetapi tidak ada kegiatan berarti dilakukan oleh masyarakat yang menyita perhatian. Rawa-rawa sekitar desa terlihat telah mengering, debit air menyusut drastis hingga dua meter dan terlihat dari bekas lumpur dan lumut yang masih menempel di pepohonan. Beberapa warga terlihat berkegiatan di kejauhan di rawa-rawa yang mengering. Pemandangan yang sama juga saya jumpai di sepanjang jalan antara Merauke menuju ke Toray meski terlihat samar karena kami melintas sejak dini hari. Hari itu tanggal delapan belas Agustus, hari ketiga kami menginjak kembali Tanah Papua untuk kesekian kalinya. Berangkat dari Jakarta pukul sebelas malam pada tanggal 16 Agustus, kami harus menginap satu malam dahulu di Merauke pada tanggal 17 karena kabarnya di seluruh penjuru Merauke, apalagi di daerah perbatasan, tidak diperbolehkan ada aktifitas yang berlebihan pada tanggal tersebut selain melakukan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71. Toray merupakan kampung orang-orang Suku Yee, salah satu suku perbatasan di Papua yang memegang ulayat atas sebuah kawasan entah berapa ribu hektar luasnya di perbatasan antara RI - PNG. Mencakup hutan tropis dan hutan rawa, sungai-sungai besar, dan juga beberapa danau besar. Beberapa tentara melintas di jalanan desa dan kami kembali terlibat percakapan pagi yang hangat. Sebelumnya kami telah sempat mampir sebentar ke Pos Toray, ‘melaporkan’ maksud kedatangan kami di wilayah ini. Sudah beberapa bulan Satgas Pamtas dari Batalyon 407/Padmakesuma bertugas di wilayah ini. Batalyon ini setahu saya berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Saya ingat karena bertahun lalu pernah suting di dekat Markas Yon 407/Padmakesuma ini untuk Jejak Si Gundul Trans|7. Saya tidak kesulitan sama sekali berbicara dengan mereka yang memang pada dasarnya begitu ramah. Suasana sekejap berubah tidak seperti di perbatasan Papua – PNG, tetapi serasa di Jawa. Pemandu kami Mas Mamiek Slamet (asli Ponorogo), adalah pemancing paling populer di media sosial yang tinggal di Merauke, adalah orang yang paling ‘kompor meleduk’ sepanjang waktu dalam perjalanan ini. Ketika matahari semakin tinggi, tetapi beberapa masyarakat Toray yang telah terikat janji dengan kami tidak juga muncul ke meeting point yang disepakati yakni di rumah Bapak H*****, saya, Bang Joe Michael (host JPWF), Kang KB (produser), Faishal Umar (pilot drone), Pak Ugi dan dua orang driver memutuskan untuk rebahan di tumpukan kayu yang berada di tepian rawa karena kami anggap teduh. Mata kami sepertinya tidak bisa kompromi lagi akibat melotot sepanjang jalan antara Merauke – Toray, enam jam lamanya. Hanya Mas Mamiek Slamet yang hilir mudik keliling kampung mencari masyarakat. Dia memang bertugas mengamankan seluruh keperluan dan kelancaran perjalanan ini, mulai dari urusan logistik, ulayat, kru, dan lain sebagainya. Hal yang telah dijalaninya bertahun-tahun sebagai operator mancing satu-satunya di Merauke di bawah bendera Arwana Fishing Guide.
Tengah hari satu persatu masyarakat yang ‘terikat’ janji
menjadi kru lokal ekspedisi akhirnya bermunculan. Langit telah berubah menjadi
gelap padahal sebelumnya panas terik. Tidak mudah memang mengikat janji dengan
orang-orang yang terbiasa hidup begitu tenang (baca: santai). Namun kita memang
harus memiliki pengertian lebih, bagaimanapun mereka adalah tuan rumah. Semua
kru lokal kami adalah para lelaki tua dan muda yang masih memiliki garis
keturunan langsung dengan pemilik ulayat danau yang akan menjadi arena
eksplorasi kami selama di perbatasan. Di Papua, urusan hak ulayat harus selalu
mendapatkan perhatian khusus siapapun yang bekerja ataupun berkegiatan terutama
di wilayah pedesaan dan pedalaman. Karena jika sampai ada missed kita bisa terkena denda adat yang jumlahnya bisa membuat
kita pingsan. Sanksi diusir masih mending, lha kalau kita ditahan oleh
masyarakat karena dianggap melanggar hak ulayat? Ini yang berabe! Untuk
mengamankan urusan ulayat ini, seingat saya ada 14 pemegang hak ulayat yang
harus kami selesaikan pembayaran “uang ketok pintu”-nya sebelum masuk ke danau
dan nantinya dilanjutkan berkegiatan di sungai-sungai besar di wilayah ini. Masyarakat
menyebutnya Rawa Camo. Danau terisolasi dekat perbatasan RI – PNG tetapi
jaraknya dari Desa Toray “hanya” satu hari perjalanan penuh (10-12 jam) saja
menggunakan perahu bermesin 15 PK itupun akan ditambah dengan mendayung selama
separoh perjalanannya. Demikian informasi yang saya dengar dari Mas Mamiek
seminggu sebelumnya di Jakarta melalui telepon. Saya telah terbiasa dengan
perjalanan-perjalanan di pedalaman yang ‘gila’. Jadi hal-hal seperti di
perbatasan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Meski saya sedikit gelisah
akibat ngaret-nya masyarakat pasti
akan berimbas banyak pada perjalanan yang akan segera kami lakukan dari Toray
menuju ke Rawa Camo. Misi Ekspedisi Rawa
Camo JPWF TRANS|7 2016 sendiri adalah mencari keterbaruan informasi tentang
sebaran ikan Arwana Papua (Scleropages
jardini) di danau-danau terisolasi. Selama ini banyak anggapan bahwa
sebaran ikan ini hanya ada di aliran sungai-sungai besar dan atau danau yang
terhubung langsung dengan sungai besar. Acuannya adalah semua report dan
destinasi yang dianggap ada arwana-nya adalah selalu aliran sungai besar.
Misalnya saja kalau di Merauke antara lain Sungai Kalimaru dan Sungai Manggu. Rawa
Camo adalah cerukan terisolasi yang berbeda dengan danau-danau lainnya di
Kabupaten Merauke. Tidak menerima air dari sungai (hanya dari mata air), dan
juga tidak terhubung secara langsung dengan aliran sungai besar. Mungkin pada
jaman kuno mengalirkan air ke sungai besar (meski jarak sungainya sendiri saat
ini puluhan kilometer jauhnya dari danau, terpisah oleh sistem rawa yang super
kompleks dan maha luas). Lebih kompleks dari rawa-rawa di film Swamp Thing!
Ketika perahu pertama (long
boat) menyalakan mesin, usai berbagai urusan yang adaaa saja dilakukan oleh
masyarakat, waktu telah menunjukkan pukul 14.00 waktu setempat. Total kru lokal
yang bergabung hari itu ada 15 orang dan semuanya memiliki hak atas ulayat
lokasi danau yang akan kami tuju. Rintik sisa hujan masih turun tetapi tidak
boleh tertahan lagi karena ekspedisi ini ibaratnya belum mendapatkan apa-apa,
belum merekam gambar satu detik pun. Sungai Kalimaru adalah sungai besar dengan
kedalaman berkisar antara 5 paling dangkal hingga yang paling dalam 15an meter.
Arus sungai cukup deras tetapi tidak ada jeram. Kelokan-kelokan sungai beberapa
di antaranya cukup tajam sehingga kami harus hati-hati ‘mengambil’ belokkan.
Sepanjang perjalanan saya melihat ratusan point memancing yang terlihat sangat
potensial. Tak terhitung jumlahnya rebahan batang kayu besar di kanan dan kiri
sungai, ini bukannya spot mancing semua? Tanya saya kepada masyarakat di long boat saya. Memang! Jawab mereka.
Selama ini mereka kalau hendak memancing ataupun menjaring ikan cukup mendayung
saja ke sungai, tidak perlu jauh-jauh. Di Kalimaru ini menurut mereka malah
berdiam ikan-ikan berukuran besar baik itu arwana, golden barramundi, dan ikan
duri (hercules). Kami sebenarnya
telah mendengar tentang hal ini dari Mas Mamiek, tetapi memang misi ekspedisi
ini berbeda, bukan sekedar mencari strike. Kami adalah pemancing sport pertama
di dunia yang akan memancing di Rawa Camo untuk menguak sebaran spesies arwana
di danau terisolasi. Karena sejak jaman kuno Rawa Camo tidak pernah dibuka dan
didatangi oleh orang luar siapapun itu kecuali masyarakat Suku Yee sendiri saat
mencari anakan ikan arwana pada musimnya. Tentang ikan arwana, di wilayah Suku
Yee ikan ini tidak pernah dipancing ataupun dijaring untuk dikonsumsi. Ikan
arwana hanya diburu ketika musim tertentu saja, itupun hanya untuk diambil
telurnya saja. Ikan arwana yang dewasa akan dilepaskan kembali ke habitatnya.
Kenapa demikian? Apakah karena suku ini mengenal konsep catch and release? Jika maksudnya adalah konsep seperti dipegang
pemancing, tidak. Tetapi begini alasannya. Yang laku di pasaran Merauke adalah
anakan ikan arwana, dan bukannya ikan arwana dewasa. Harganya lumayan
menggiurkan per ekornya, itulah sebabnya ketika musim bertelur hanya anakan
ikan arwana saja yang diambil. Indukan dilepaskan kembali dengan harapan mereka
akan panen kembali. Setiap musim satu orang Suku Yee (yang rajin) bisa
mendapatkan beratus dan bahkan beribu anakan ikan arwana. Jika dikalikan dengan
harga per ekornya, setiap musim mereka bisa membeli motor terbaru beberapa
buah. Memang ini memiliki efek pada regenerasi spesies ini, tetapi masih cukup
ramah lingkungan karena indukan arwana hampir tidak pernah ditangkap untuk
konsumsi. Itulah sebabnya, populasi ikan arwana di wilayah ini masih sangat
melimpah. Bahkan menurut saya, lebih banyak disini dibandingkan dengan di Rawa
Biru misalnya (juga di Kabupaten Merauke) yang begitu kesohor itu gara-gara
sering diekspose berbagai program mancing di televisi kita. Termasuk di Trans|7
juga sih. Hehehe!
Dua jam setelah menyusuri aliran Kalimaru, semua long boat menghentikan mesinnya untuk
kemudian didayung masuk aliran yang sangat kecil seperti selokan di antara
kelebatan hutan tanaman bush. Inilah
pintu masuk menuju ke Rawa Camo. Jika perjalanan lancar tidak banyak portal, maksudnya pohon roboh yang
melintang, kami akan tiba di Rawa Camo tujuh jam kemudian! Kalau lancaaar! Perhitungan
kasar saya, setidaknya kami akan tiba di Rawa Camo pada pukul sembilan atau
sepuluh malam. Karena semua sudah sepakat apapun yang terjadi, kami hanya akan
terus maju dan terus maju. Berapapun pohon yang harus dipotong, berapapun itu
buaya yang menghadang! Bermalam di hutan rawa yang dipenuhi tanaman bush memang bukan pilihan yang menarik.
Ketika bangun kalau menurut masyarakat, kita bisa tiba-tiba kurus kering karena
darah kita disedot oleh berjuta nyamuk. Bahkan masyarakat Suku Yee sendiri yang
sudah sejak bayi hidup dari rawa ini, menolak jika diharuskan menginap di
perjalanan di tengah hutan. Walapun tujuan kami di Rawa Camo sana sebenarnya
juga sama-sama hutan rawa. Jadi bukan karena banyaknya buaya yang berkeliaran
mencari makanan, kalau buaya mereka malah akan sangat senang karena artinya
akan ada tambahan daging untuk ekspedisi ini. Tetapi jutaan nyamuuuk?! Longboat
kami berjumlah 3 buah, masing-masing mampu mengangkut hingga sepuluh orang,
panjang sekitar 10an meter. Dibuat dari kayu besar tunggal dari jenis kayu yang
sangat keras. Jadi tidak mudah sama sekali mendayung dan mendorong
perahu-perahu ini melintasi aliran kecil yang dijejali ganggang, vegetasi dan
juga banyak sekali rebahan kayu di beberapa titiknya. Saya tidak ingat lagi
berapa jumlahnya, yang saya ingat, untungya, urusan memotong kayu roboh di
sepanjang aliran tersebut selesai tepat ketika gelap menjelang. Sisanya
hanyalah terus mendayung menerjang kerapatan tanaman air dan mencari jalan di
antara pohon-pohon bush. Mungkin ini
adalah perjalanan menyusuri rawa paling berat sekaligus paling heroik seumur
hidup saya. Orang-orang Suku Yee yang sedari awal terlihat begitu santai dan
suka ngaret itu, menjelma menjadi
pasukan berani mati dengan tenaga seperti monster yang menerjang apapun di
depan perahu-perahu kami dengan dayaung dan parang. Teruuus dan terussss. Di
beberapa titik kami melihat penampakan buaya, terlihat dari matanya, tetapi
mereka bukannya malah melaju melainkan berhenti dan terjun ke air mengejarnya
sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak saya mengerti.
Insane! Hujan deras sempat mengguyur
kami beberapa waktu lamanya. Dalam temaram cahaya headlamp dan pendar air hujan yang begitu deras, saya melihat
sebuah perjuangan yang begitu epik sekelompok manusia hitam berbadan besar berjibaku
melawan ganasnya alam liar dengan sekelompok kuli media dari Jakarta yang terus
termenung meratapi nasib di atas long
boat. Hahaha!
Kapankah kita akan sampai? Tanya saya untuk kesekian kalinya, satu
jam lagi. Jawab masyarakat, jawaban yang telah saya dengar berkali-kali sejak
gelap memeluk seluruh penjuru hutan petang tadi! Itu sudah terlihat lampu camp
kita, kata mereka sambil menunjuk ke arah depan, yang saya lihat hanyalah
bayangan pohon bush dan gambaran
samar sepiring nasi panas dengan lauk ikan goreng di atasnya. Hahaha! Kami telah mengirim tim
pendahulu dua hari sebelumnya ke Rawa Camo, merekalah yang akan membangun camp
dan lain sebagainya, sehingga ketika rombongan utama datang semua sudah dalam
kondisi siap. Kesanalah akhir tujuan perjalanan ‘gila’ malam ini akan berakhir.
Entah itu dimana letaknya karena jika saya hitung sejak petang tadi sudah
delapan jam lebih mereka mendayung seperti orang kesurupan dalam bayangan gelap
hutan rawa yang maha perkasa!
Mungkin saya sedang didera
kelaparan yang sangat karena seingat saya rombongan ini terakhir kali isi
‘bensin’ pada pukul tiga sore ketika sudah berada di jalur aliran kecil.
Pengarungan rawa ini menjadi terasa sangat lama dan membosankan, dimana-mana
hanya warna hitam, dan dingin yang semakin menjadi akibat semua baju yang basah
terkena hujan sebelumnya. Atau karena secara sugesti saya tidak memiliki
bayangan jauhnya jarak dan waktu tempuh yang tersisa secara mencukupi sehingga
semua terasa sangat lamban dan lama. Duduk di long boat model Papua juga merupakan tantangan tersendiri bagi punggung
dan pinggang kita. Kalau hanya 1-2 jam memang tidak terasa, tetapi hampir
sepuluh jam? Sangat terasa bedanya! Barang yang sarat dan juga jumlah orang di
masing-masing loang boat tidak memungkinkan siapapun untuk sekedar meluruskan
pinggang karena akan memakan jatah lapak orang lainnya. Jika dilihat di peta,
hutan rawa yang sedang kami susuri ini berada persis di sebelah garis imajiner
perbatasan RI – PNG. Di Toray saja misalnya, saking dekatnya, masyarakat kalau
sedang bosan bisa main-main pergi ke luar negeri dengan berjalan kaki. Begitu
juga masyarakat PNG kalau sedang pengen nongkrong dengan kawan-kawannya orang
RI bisa pagi datang dan sore kembali pulang ke negaranya. Tidak perlu paspor,
tiket pesawat, tidak perlu ponsel untuk update status sedang ke luar negeri,
dan lain sebagainya. Cukup nyeker,
bawa sagu secukupnya, bawa parang, panah atau tombak, di perjalanan bisa dapat
binatang buruan untuk dijual dan atau dijadikan bekal. Saya sudah mempersiapkan
perbekalan ini dalam skala yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Jika kita
di Jawa, mungkin sudah cukup untuk menggelar selametan untuk dua RT. Sebagian logistik sudah dibawa oleh tim
pendahulu, dan sisanya berbarengan dengan kami hari ini. Itulah sebabnya long boat menjadi sangat berat dan sulit
sekali manuver. Untungnya orang-orang Suku Yee adalah tuan rumah yang tangguh. Mereka
sehari-hari bisa melakukan hal seperti ini 7-10 jam ketika mencari penghidupan
di hutan rawa, hanya dengan berbekal sebungkus sagu dan rokok (ikan cari di
jalan, semuanya di jalan). Dengan membawa kami, kuli keliling yang entah
darimana asalnya ini, adalah suatu perubahan yang sangat drastis. Saya tidak
mengatakan mereka materalis, tetapi maksud saya, bahwa semua hal yang terkait
perjalanan ini sudah dipersiapkan semuanya untuk ‘keamanan & kenyamanan’
semuanya. Jadi memang tidak mungkin untuk tidak menjadi sangat bersemangat,
bergairah! Sangat mungkin sebenarnya memotong jalur disana sini karena toh
semuanya adalah genangan rawa. Hutan bush
selalu memiliki celah-celah yang selalu bisa diterobos perahu. Tetapi
orang-orang Suku Yee tidak melakukannya, mereka terus mengikuti semacam alur
kecil di rawa-rawa ini meski konsekuensinya terkadang menjadi melambung jauh.
Mereka takut nyasar ke negara
sebelah. Kalau mereka sendirian tidak apa-apa mau itu nyasar sebulan atau
setahun juga. Masalahnya kali ini ada ‘cargo’ penting, kuli keliling dengan
segala peralatan dokumentasinya, urusannya akan menjadi sangat berbeda jika
kemudian papasan dengan patroli perbatasannya negara PNG. Ekspedisi bisa
‘gulung tikar’ dan seluruh kru bisa jadi akan ditahan karena memasuki wilayah
negara lain tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Saya tidak ingat dengan
pasti jam berapa tiba di basecamp kami
di Rawa Camo karena usai proses loading
barang yang saya ingat adalah mengeluarkan Trangia dan kemudian membuat kopi
hitam untuk kru inti. Basecamp kami
dibangun di semacam gundukan kecil yang terbuka, cukup strategis memang
posisinya dan lebih dari itu, aman dari basah karena resapan air rawa. Meski
hanya gundukan tanah rendah, jika kita duduk diatasnya bisa mengamati
sekeliling dengan mudah, ini penting terutama untuk memantau datangnya ancaman
yang tidak diharapkan terutama dari buaya. Terdiri dari empat tenda besar dari
terpal dengan peruntukkan yang berbeda. Pemilik gundukan tanah ini adalah Bapak
Y***, tetua Suku Yee yang juga ikut dalam ekspedisi ini. Yang tidak saya duga
adalah, di antara rombongan kami, ada bayi belum genap satu tahun yang malah
sudah lebih dahulu tiba di basecamp
ini! Saya mendengar dari tangisnya yang keras, sepertinya terkejut akibat dini
hari ada kegaduhan tiba-tiba karena kedatangan kami. Mungkin bayi mungil itu
ingin ikut mengucapkan selamat datang?!
(Bersambung)
Comments