Skip to main content

Sang Raja Arus Deras Yang Tercancam: Populasi Ikan Green Mahseer di Pulau Jawa dan Upaya Melawan Kepunahannya


Saya sedang mengamati beberapa file underwater oleh-oleh perjalanan beberapa bulan lalu ke beberapa daerah di Jawa Tengah menjumpai beberapa sahabat Wild Water Indonesia yang konsern dengan perairan tawar di daerah mereka, dan kemudian tertegun dengan beberapa file saat kami melakukan restocking dan juga catch and release ikan langka green mahseer. Sulit menjelaskannya tetapi intinya semakin lama saya melihatnya ada beragam kesan yang muncul kemudian. Salah satunya adalah betapa ‘imut’-nya ikan ini ketika sedang berenang di dalam air. Penampakannya yang menggemaskan seperti menutupi kemampuan terhebatnya bahwa dialah sang raja arus deras di seluruh sungai pegunungan di Asia Selatan hingga Tenggara, termasuk negeri kita Indonesia. Mungkinkah anak cucu kita masih akan bisa melihat secara langsung di perairan alami spesies ikan yang luar biasa ini? Catatan ini sebenarnya pengingat bagi saya sendiri untuk terus ambil bagian dalam aksi kepedulian menjaga ikan-ikan langka yang populasinya semakin terancam di negeri ini.

Judulnya mungkin berlebihan. Tetapi sepengetahuan saya hingga hari ini spesies ikan dalam keluarga mahseer, apapun itu namanya kemudian disebut, karena beda wilayah beda nama, adalah rajanya arus deras. Di Kalimantan misalnya di jeram-jeram yang bisa menghanyutkan apapun, dan bahkan ketika spesies ikan lainnya minggir menghindari arus besar aliran sebuah sungai, termasuk juga manusia yang telah memiliki akal budi dan peralatan mahal seperti perahu bermesin pun, ikan-ikan dalam keluarga mahseer malah asyik bermain-main dalam derassnya arus yang ada. Ada banyak kesempatan ketika berada di sungai pegunungan di Kalimantan, dan kebetulan perahu saya sedang drifting ke arah hilir mengikuti arus, ketika berada di jeram-jeram besar yang berbahaya, kita biasanya akan menghidupkan mesin agar laju perahu terkendali dan berhanyut dengan aman. Masyarakat sering menyuruh saya melihat ke arah bawah ke arah air persis bawah perahu di kepala arus di jeram-jeram tersebut. Saya terkadang sulit mempercayainya, bahwa dalam samar arus yang terkadang berbuih dan begitu derasnya, kita terkadang akan melihat bayangan tipis puluhan ikan berbaris menghadap arus. Itulah ikan-ikan mahseer, apapun jenisnya karen abanyak sekali jenis spesies dalam keluarga ikan mahseer ini, sang raja arus deras. Tidak ada yang bisa menandingi keperkasaan mahseer dalam melawan arus deras sungai pegunungan, dimanapun itu di sungai-sungai Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Ada beberapa nama yang saya tahu untuk menyebut ikan mahseer di Kalimantan. Orang Punan di Kalimantan Timur menyebutnya dengan atuk ong. Di Kalimantan Utara orang Dayak Berusu menyebutnya pelian atau sapan. Begitu juga dengan orang-orang Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Timur, orang-orang Dayak Long Glaat misalnya menyebutnya ikan nyaran (untuk green mahseer) dan ikan tebelaq (untuk spesies red mahseer). Di Pulau Jawa setahu saya ada beberapa sebutan untuk menyebut ikan dalam keluarga mahseer ini. Di Jawa Barat seringnya disebut dengan nama kancra (Kuningan), soro (Cianjur). Di Jawa Tengah sering disebut dengan nama mangur (Temanggung & Magelang), sengkaring (Jawa Timur) dan tombro (Limbangan & Boja). Di Indonesia, sebaran ikan ini terdapat di Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Di Sumatra populasi ikan mahseer di perairan liar sudah mulai turun tetapi berkat kearifan lokal bernama lubuk larangan, keberadaan spesies ikan mahseer di Sumatra masih cukup sehat. Di Kalimantan, secara umum populasinya masih cukup sehat karena habitatnya yang memang cukup ekstrim dan rata-rata jauh dari tekanan eksploitasi yang berlebihan. Meski hal ini juga mulai harus dipikirkan ulang karena banyak masyarakat yang masih menerapkan cara tangkap tidak ramah lingkungan pada musim tertentu.

Di Pulau Jawa jenis ikan mahseer yang ada kebanyakan adalah ikan green mahseer (Neolissichius hexagonalis), tetapi tentu saja populasi sudah sangat memprihatinkan! Ini bisa jadi adalah keniscayaan sebuah pulau terpadat di Indonesia dimana kualitas lingkungan pulau ini mengalami tekanan sangat kuat akibat ledakan populasi manusia. Spesies bernama manusia yang setiap kepalanya memiliki pikiran bebas sendiri dan sebagian besar merasa sebagai penguasa atas segala hal yang ada di muka bumi. Pada kenyataannya, sungai-sungai yang menjadi habitat spesies ikan mahseer di Pulau Jawa memang mengalami perubahan akibat tekanan lingkungan terus menerus dan semakin berat. Pemukiman manusia dan pembangunan fisik lainnya terus merangsek ke arah pegunungan, karena pesisir dan dataran rendah telah begitu padat. Aliran sungai juga semakin deras diserbu oleh pestisida yanag ‘bocor’ dari persawahan pada musim tertentu. Kualitas hutan di pegunungan yang semakin memprihatinkan sehingga pada musim kemarau sungai-sungai upper river hampir mengering, hal yang oleh banyak orang rakus dimanfaatkan untuk memanen semua isi sungai tanpa menyisakan sedikitpun (over fishing). Dan yang paling berat menekan populasi ikan mahseer di sungai-sungai upper river Pulau Jawa adalah manusia itu sendiri yang dengan sadar menyerang populasi ikan mahseer dengan aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (setrum, racun, dan bom ikan). Memang ada kearifan lokal berbalut mistis dan religius yang berhasil menyelamatkan spesies ikan ini di beberapa daerah. Di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat spesies ikan kancra bodas (Tor duoronensis) dapat hidup dengan tenang hingga hari ini karena adanya kepercayaan bahwa spesies yang hidup di Kolam Cigugur adalah ikan peliharaan Sunan Gunung Jati, tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa, pada tahun 1420. Kolam yang menjadi tempat pelepasan ikan kancra bodas sendiri airnya berasal dari mata air yang bermunculan usai moksanya Eyang Cigugur atau Ki Gede Padara, seorang sakti pengelana yang mencari jati diri kemudian masuk Islam dan moksa pada tahun tersebut.

Kita kembali ke urusan spesies ikan yang terancam akibat pennangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia di Pulau Jawa. Setrum dan racun ikan mungkin cukup familiar di telinga banyak orang. Tetapi bom ikan di perairan tawar pegunungan Pulau Jawa? Saya sendiri hampir tidak mempercayainya, karena seringnya bom ikan digunakan di lautan yang luas. Tetapi di sebuah desa kecil di Jawa Tengah saya pernah face to face dengan seorang lurah yang pernah melaporkan sendiri adiknya kepada kepolisian karena ketahuan melempar bom ikan di sebuah kedung (lubuk) yang dipenuhi ikan tombro pada musim kemarau. Alasan orang itu melemparkan bom apa? Karena ikan-ikan di kedung ini (katanya ukuranny abesar-besar hingga seukuran paha orang dewasa) katanya sulit sekali ditangkap dengan alat pancing dan atau jaring! Saya salut dengan ketegasan pak lurah ini yang saya tahu itu pasti sangat dilematis, berani memenjarakan adik kandungnya sendiri karena telah melanggar UU No. 31 Tahun 2004 jo UU. No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 84 Ayat 2. Tentunya sang adik kemudian dipenjarakan sekian lama, dia telah membayar kesalahannya dengan kesatria. Saya tertarik untuk membuat dokumentasi audio visual terkait dua orang ini untuk Wild Water Indonesia nantinya. Tetapi masalahnya adalah, bisakah populasi ikan mahseer di kedung tersebut juga pulih seiring pelaku menghabiskan masa tahanan? Tentu tidak! Bahkan bertahun-tahun setelah kejadian tersebut kedung itu tetap saja sunyi dari kecipak ikan tombro besar dan juga kecil. Tentu saja tombro kecil juga menjadi sulit didapatkan karena sang induk telah tewas dibunuh oleh keserakahan manusia! Regenerasi ikan mahseer di Sungai X ini menjadi rusak! Siapa yang rugi? Semua orang hingga hari ini saya menuliskan catatan ini! Sungai X di daerah Limbangan, Jawa Tengah tersebut tiada lagi ikan tombro monster yang disegani semua orang karena keindahan dan keperkasaannya! Tiada lagi spesies bergengsi yang bisa dikisahkan kepada anak cucu ketika senja menyerbu pegunungan dan kabut tipis mencoba memeluk setiap makhluk yang ada. Hanya karena satu orang manusia tergoda melakukan angkara!? Tiada lagi kisah klasik manusia versus ikan dalam pertarungan yang adil dan kesatria. Kemegahan masa lalu terlempar ke ruang gelap sudut sejarah yang begitu sulit untuk dihadirkan kembali.

Ada usaha mulia untuk meredam serangan degradasi ekosistem perairan di daerah Limbangan ini yang dilakukan oleh para sahabat, kebetulan juga merupakan bagian dari jaringan kepedulian Wild Water Indonesia (WWI). Beberapa sahabat WWI dari daerah Limbangan dan Boja kini bergiat melakukan kampanye perairan tawar dengan secara kontinyu berkeliling kampung dan sungai-sungai yang ada memasang banner larangan illegal fishing dan sembari sedikit demi sedikit mengedukasi dan menghimbau masyarakat agar jangan lagi melakukan cara tangkap ikan yang merusak. Beberapa aparat desa juga mendukung aksi mulia ini dengan ikut serta aktif menghimbau siapapun agar meninggalkan cara-cara tidak ramah lingkungan tersebut. Saya telah melihat semua foto dan juga video yang dikirimkan dari Limbangan dan sungguh mengharukan. Memang akan selalu ada pelajaran dalam setiap fase kehidupan manusia. Yang lupa memang terkadang terus lupa dan tidak peduli. Justru yang selama ini tidak pernah melakukan tindakan tidak terpuji, yang ibaratnya bahkan tidak memiliki dosa maupun hutang terhadap perairan sekitarnya, malah merekalah yang kemudian bergiat melakukan sesuatu yang kiranya bisa memulihkan kembali kesehatan habitat tombro di Boja dan Limbangan, Jawa Tengah. Saya berharap bisa kembali lagi ke daerah ini dan bersama-sama dengan mereka melakukan sesuatu yang bisa demi perairan tawar di wilayah ini. Tidak ada hingar dari apa yang dilakukan orang-orang yang peduli di daerah Limbangan dan Boja ini. Kami ini khan orang-orang dari kota kecil mas, malu lah rame-rame seperti lainnya. Biarlah begini saja yang penting kami ini juga peduli dengan sekitar kami sendiri. Ibarat embun di pegunungan, tidak banyak yang mengetahui kapan dia muncul, bersinar diterpa sinar mentari, dan kemudian menghilang ditelan panasnya hari. Tetapi kehadirannya jelas merupakans esuatu yang sangat penting untuk sekitarnya. Bayangkan sebuah pegunungan tanpa embun di pagi hari? Kira-kira begitulah yang dilakukan para sahabat WWI di Limbangan dan Boja. Ada yang disela-sela menjalaninya sebagai tukang ojek merelokasi ikan-ikan mahseer ke lokasi yang lebih aman di sungai-sungai yang terpantau masyarakat, ada yang sembari pulang kerja mengingatkan rombongan tukang setrum ikan agar menghentikan aktifitasnya, ada yang saking banyaknya waktu luang setiap hari nongkrong di tepi kali mengabsen semua kegiatan semua orang yang ada. Ada yang setiap malam ‘mengganggu’ saya dengan kiriman foto-foto patroli sambil mancing ke seluruh penjuru sungai yang ada. Jadi agak bias antara apakah ini tebar racun mancing ataukah laporan kegiatan? Hahaha! Apapun itu, terimakasih kawan!

Saya juga mendapatkan informasi keterbaruan populasi tentang spesies green mahseer ini dari seorang kawan yang sering main ke hulu Citarum, Jawa Barat bahwa spesies ini juga mengalami tekanan hebat akibat maraknya setrum dan racun ikan. Begitu juga dengan sungai-sungai pegunungan di Cianjur. Ikan yang disana disebut soro ini juga semakin sulit dijumpai akibat tekanan terhadap ekosistem yang masif. Baik itu overfishing, dan juga setrum dan racun ikan. Di hulu Citarum sudah mulai ada gerakan kepedulian untuk mengembalikan populasi ikan ini dengan melakukan kampanye ke masyarakat desa di daerah hulu Citarum. Memang hasilnya belum kelihatan sama sekali karena memang memulihkan populasi sebuah spesies adalah usaha tak kenal lelah bertahun-tahun, itupun harus didukung oleh semua pihak. Ada banyak kisah ‘lucu’ (pilu) mengenai pemulihan spesies langka di Pulau Jawa ini, dan bisa jadi juga terjadi di daerah lain di luar Jawa. Misalnya begini, ada sekelompok orang yang konsern misalnya dengan pemulihan spesies ikan yang mulai langka ini. Di Magelang (HvM), Temanggung (MMT & TFC), Boja (BFFC), Citarum dan lain-lain. Berbagai upaya ditempuh agar dapat melakukan restocking ikan-ikan langka tersebut di sungai-sungai tertentu yang dianggap mahseer-nya telah hampir punah. Maka kemudian ditebarlah bibit ikan langka tersebut. Ada yang mendapatkan benihnya dari hasil mencari di sungai-sungai yang masih cukup sehat (sebenarnya hampir tidak ada yang seperti ini di Jawa), ada yang menempuh cara sampai melakukan breeding seperti saya lihat di sebuah desa di Magelang. Kemudian ditebarlah anakan atau benih ikan langak tersebut. Eeeeh, tidak lama kemudian dipanen oleh orang lainnya tanpa kesadaran sama sekali untuk melepaskannya kembali. Ada yang memanennya dengan memancing, menjaring, dan bahkan paling menyedihkan kemudian disetrum dan diracun. Yang menarik adalah, bahwa semangat kepedulian yang dipikul oleh para sahabat WWI tersebut tidak kendor sedikitpun. Jika aktifitas ‘panen’ tersebut terpantau akan langsung diingkatkan bahwa itu adalah ikan yang hampir punah baiknay dilepaskan saja. Ada yang rela kemudian membeli ikan tersebut mumpung masih hidup kemudian dilepaskan kembali diam-diam di lokasi yang tersembunyi. Yang terlambat menangkal aktifitas ‘panen’ ikan yang baru ditebar tersebut kemudian akan melakukan restocking kembali di waktu yang berbeda.

Saya salut dengan semangat kepedulian yang pantang menyerah seperti ini. Sebab apa keuntungannya kalau dipikir secara akal sehat? Kalaupun ada bentuk dari hasil restocking ini, hanyalah bahwa suatu hari nanti, jika masih ada kesempatan, paling-paling bahwa orang-orang yang konsern tersebut bisa melihat orang lain mendapatkan dan atau memancingnya sendiri kembali sebuah spesies di habitat alaminya. Jika tidak ada waktu dan kesempatan lagi ‘bermain’ di sungai karena kesehatan dan mungkin juga usia misalnya, paling hanya bisa mendengar cerita dari orang lain. Di sebuah desa kecil di Magelang, Jawa Tengah secara tidak sengaja saya pernah menjumpai seorang kakek yang memiliki kolam kecil di samping rumahnya. Isinya ada beragam ikan tetapi paling banyak adalah ikan-ikan green mahseer. Ini mengaggetkan karena saya pikir semua itu adalah hasil dari breeding. Kemudian saya tanya, mbah saking pundi ulamipun niki trus di damel nopo njenengan ngingu mangur? Mbah, dari mana asal ikan-ikan ini dan buat apa njenengan (kata ganti sebutan tetapi halus untuk menyebut orang yang lebih tua dalam bahasa Jawa) memelihara ikan-ikan ini? Rupanya semua ikan yang ada di kolamnya itu adalah hasil membeli ikan-ikan pancingan warga lainnya yang kebetulan melintas di depan rumahnya. Tujuannya, ketika musim kemarau akan dilepaskan kembali ke sungai. Kalau ada yang besar akan dijadikan indukan siapa tahu bisa menghasilkan bibit. Kebetulan saya lihat kolamnya memang persis di sebuah aliran sungai kecil dan berarus deras, sehingga rekayasa aliran arusnya cukup mudah dibuat apalagi posisi kolam lebih rendah dari sungai kecil di sebelahnya. Menarik, karena begini, ikan-ikan yang akan dilepaskan kembali ke sungai pada musim kemarau bisa jadi kemudian akan dipancing lagi oleh warga, dan kemudian dalam tanda kutip akan dijual kembali kepadanya. Tetapi kakek ini tidak lelah melakukan hal yang sama berulang-ulang, bertahun-tahun! Mesake iwak jenis iki wes angel mosok arep digoreng karo wong-wong makane tak tuku wae trus tak ingu ngko diculne meneh...? Kasihan ikan jenis ini sudah langka daripada digoreng orang-orang itu mending saya beli saja dan kupelihara nanti dilepaskan lagi! Padahal saya lihat rumah kakek ini, bukan bermaksud melihat materi, biasa-biasa saja. Akhir cerita hari itu saya mendapatkan banyak sekali ikan green mahseer dari simbah untuk kemudian saya lepaskan kembali di sungai terdekat. Padahal baru bertemu dan ngobrol ya baru sore itu, sudah gitu saya juga ngelunjak minta kopi pula. Hahaha! Mungkin ini yang disebut ikhlas?! Dan, di tengah masifnya gempuran alayisme di dunia mancing Indonesia saat ini, saya bahagia masih melihat ada orang-orang yang konsern lingkungan perairan sekitar mereka dengan melakukan hal-hal sederhana yang bisa. Saya ikut berbahagia karena dengan sadar menjadi bagian kepedulian perairan ini. Semoga aksi-aksi kepedulian perairan yang ada saat ini semakin meluas, semakin mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Semoga semakin banyak yang ikhlas menempuh jalan sunyi kepedulian ini. Jauh dari yang wangi-wangi. Juga berada di ‘tepian’ arus hingar bingar media sosial dunia mancing Indonesia yang dilanda alayisme yang semakin menjadi. Semoga Tuhan merestui kepedulian kita semua! Untuk anak cucu kita. Untuk masa depan perairan Indonesia yang lebih baik! Amin! Salam Wild water Indonesia!











* Pictures captured around Magelang, Temanggung, and Boja. 2016. By Me. Three small district in Central Java. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!

Comments

ikan semah said…
Artikelnya bagus Mas..saya jadi terharu membacanya.. bersyukur masih ada yang konsen ttg ikan ini dalam konaervas, kami juga sedang belajar untuk upaya konservasi ex-situ untuk beberaoa spesies. Tor soro, T douronenais dan T tambroides. (Jojo Subagja.
ikan semah said…
Maaf ada bbrp salah ketik.konservasi..tor douronensis
indra Kusuma said…
Bukankah di daerah cilongok banyumas sudah bisa di biakkan dan diperjualbelikan?...
Unknown said…
Tahun ini daerah sukorejo kendal siap tebar benih masher..
Anonymous said…
di kudus tombro hanya ada di kolam2
sungai dikudus rata2 sudah rusak, populasi ikan lokal juga mendekati kepunahan seperti betok, tawes, wader kali, jepet, sepat dll
yang masih bertahan cuma ikan gabus itupun gk banyak seperti dulu
paling yg msih bisa dijumpai saat mancing ya nila & munjaer
Anonymous said…
Di parakan (sungai galeh) masih ada mahser tapi masih yang kecil kecil
husni said…
kalo nama lokal ikan ujeg, di sungai/kali keruh bumiayu sdh sgt langka, dulu aja cuma pernah dapat sekali. kalonikan wader,.uceng masih banyak, meskipun banyak di strum untuk dijual di warung warung makan (wader goreng)
Amin Yovies said…
ujeg yang bentuknya kaya melem, tapi lonjong/gilig kan? di sungai pemali wilayah atas (kecamatan paguyangan brebes) sudah punah sama sekali. tiga puluhan tahun lebih saya tidak pernah lihat lagi ikan ujeg....
bambangph said…
Green Mahseer memang perlu upaya pelestarian, seperti di Sungai Sengkarang Di Lebakbarang Kabupaten Pekalongan, Dulu di tahun 70-80 an terjadi over fishing dengan bom serta racun menggunakan Apotas untuk menangkap ikan, dimana ikan2 yang besar dan yang kecil (anak2 ikan) semua habis, setelah hampir sepuluh tahun lebih sungai2 menjadi sepi ahirnya timbul kerinduan masyarakat akan populasi ikan mahseer ini yang oleh penduduk setempat disebut ikan kemprung (untuk ukuran yg kecil) dan ikan Tombro (untuk ukuran yg sebesar Betis/paha) dan nampaknya populasi ikan mahseer sudah mulai banyak karena ikan hanya boleh diambil dg dipancing.
namun sekarang jumlah pemancingnya menjadi sangat banyak, dari lain kecamatan bahkan banyak pemancing dari banjarnegara memancing di sungai ini.
Terakhir ikan yang cukup lumayan besar telah berhasil di pancing dg berat &,8 Kg di tahun 2020 ini.