Skip to main content

Jalan Terjal Menuju Seko: Ojek Paling Ekstrim di Dunia dan Urat Nadi Kehidupan Segitiga ‘Emas’ Jantung Sulawesi (Bagian 2)


Akibat jalur transportasi darat yang ektsrim (baca: buruk), para tukang ojek, patteke (kuda beban), dan orang-orang nekat yang berani membawa mobil 4wd (meski terkadang harus terjebak di perjalanan selama 1 bulan), memiliki peranan sangat besar pada arus keluar komoditas seperti kakao, kopi dan beras tarone dari dataran tinggi Seko (1200-1800 mdpl). Mereka juga yang mampu secara kontinyu membawa masuk barang-barang kebutuhan sehari-hari dari kota Masamba (ibukota Kab. Luwu Utara) ke Seko. Dikepung oleh Pegunungan Quarles dan Verbeek, Seko yang berada di atap Pegunungan “Tokalekaju” memang hanya untuk orang-orang bernyali. Segitiga ‘Emas’ Jantung Sulawesi ini memerlukan perhatian lebih dan juga  goodwill dari berbagai pihak, agar kemegahan, keindahan, kesuburan dan juga ribuan jiwa yang hidup di atasnya tidak terlalu lama ‘kesepian’ dan merasa ditinggalkan. Akses darat yang bersahabat untuk berbagai moda transportasi menurut saya adalah prioritas utama yang harus segera dibenahi. Baru kemudian kecukupan listriknya. Pertama kali dalam hidup saya, usai 10 hari terus berada di atas motor ojek dengan medan yang begitu berat, saya mengkhawatirkan kesehatan pantat dan pinggang saya. Untukmu Seko, catatan ini dibuat!

Deo Gratias. Terimakasih Tuhan. Usai perjalanan panjang yang melelahkan dua hari sebelumnya, meski badan terasa remuk redam karena goncangan dua hari penuh yang begitu hebat di jalur ojek ekstrim, kami akhirnya bisa memulai mengerjakan lanjutan tugas yang ada. Dataran tinggi Seko nyatanya adalah keluasan kontur geografis yang sangat beragam. Seko Padang didominasi oleh savana maha luas, Seko Lemo dan Seko Tengah adalah pegunungan dan berbukit terjal. Yang menjadi fokus perjalanan kami kali ini adalah Seko Padang. Sesuai dengan namanya, Seko Padang adalah bentang alam yang melulu padang savana sejauh mata memandang. Savana di Seko Padang, sejauh ini adalah savana terluas yang pernah saya jejaki. Dari rekaman drone saya melihat betapa sebuah savana begitu ‘menipu’. Jika kita lihat dengan mata telanjang terlihat begitu halus, begitu lembut. Tetapi sebenarnya merupakan kombinasi perbukitan berumput dengan ketinggian rata-rata 20-30an meter, celah-celah dengan aliran sungai kecil, dan beberapa adalah urat nadi berupa sungai-sungai besar khas dataran tinggi (berarus deras). Tetapi berbeda dengan sungai arus deras di Kalimantan misalnya yang berada di pegunungan terjal dengan kanopi pepohonan tua, sungai-sungai di Seko Padang adalah sungai arus deras yang terbuka dengan kanan-kiri berupa savana, mirip dengan sungai-sungai di film-film koboi dengan jeram-jeram kecil. Masyarakat menuturkan jika kita ingin menjejaki point to point dari sisi yang berbeda dari ‘tepian’ savana ini, diperlukan waktu sehari penuh dengan menggunakan kendaraan roda dua, moda transportasi satu-satunya saat ini yang make sense. Ada sarana transportasi satu lagi yang sering digunakan oleh masyarakat tetapi lebih untuk mengangkut barang, yaitu kuda pateke, kuda beban. Memang ada beberapa buah mobil di wilayah ini, dinaikkan oleh masyarakat dari Masamba ketika musim kemarau, tetapi tidak mungkin untuk menggunakan mobil melintasi padang savana yang begitu luas ini karena 80 % lebih tidak ada jalan untuk kendaraan roda empat. Jalanan utama yang berliku di seluruh penjuru savana adalah jalan tradisional yang dahulunya merupakan jalur jalan kaki masyarakat dan jalur kuda pateke saja, yang kini kemudian diambil alih oleh kendaraan roda dua. Selintas jalur yang ada sangat cocok untuk dipakai sebagai ajang bersepeda cross country dan ataupun motocross. Hewan ternak milik masyarakat berupa kuda dan kerbau berserak di segala penjuru savana, dibiarkan begitu saja menikmati kebebasannya. Kerbau kini lebih banyak dipelihara oleh masyarakat dibandingkan dengan kuda. Populasi kuda di wilayah ini berangsur menurun karena beberapa hal. Pertama adalah karena mahalnya ongkos pemeliharaan dan juga semakin sempitnya ‘lahan’ peruntukannya. Karena kehadiran kendaraan roda dua jelas mengikis peran kuda sebagai sarana angkut. Bahkan sebagian para penyedia jasa pateke sendiri telah menjual kuda-kuda mereka di Masamba karena jasa mereka semakin tidak laku lagi. Memang masih ada beberapa penyedia jasa pateke yang setia di wilayah ini, tetapi jumlahnya semakin berkurang. Arus perubahan memang tidak bisa dibendung oleh siapapun, dimanapun, termasuk di dataran tinggi Seko. Memelihara kerbau lebih menjanjikan, tinggal dibiarkan begitu saja di savana, menjadi gemuk dan berkembang biak hingga ratusan ekor, dan sesekali waktu dijual ke para pedagang yang akan membawa kerbau-kerbau ini ke daerah Toraja. Nilai pertukarannya lumayan tinggi, tetapi para peternak di Seko kini hanya menerima pembeli di atas saja (di Seko maksudnya), tidak mau lagi membawa kerbau-kerbau mereka turun ke Masamba (perlu seminggu lebih jika membawa kerbau turun), karena akan membuat bargain position mereka menjadi lemah. Harga menjadi tidak terkontrol, pembeli yang mengetahui bahwa masyarakat Seko tidak mungkin untuk membawa kembali kerbau naik, akan menawar dengan harga yang sangat rendah. Sangat tidakmenguntungkan bagi masyarakat Seko yang berharap ‘tabungannya’, yakni kerbau, bisa dikonversi dalam nilai yang tinggi dan menjadi ‘asuransi’ jangka panjang mereka melanjutkan hidup di pegunungan yang terpencil.

Masyarakat pegunungan yang terpencil, bukan terisolasi, mungkin paling tepat untuk menyebut ketersendirian dataran tinggi Seko. Memang secara jarak dari Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara, hanya 130an kilometer saja. Tetapi mengingat akses darat yang begitu berat dan paling mudah bisa diakses dengan motor-motor ojek saja (jalurnya malahan sangat ekstrim malahan di musim hujan) membuat dataran tinggi Seko seperti begitu sendirian dan tidak terlalu terhubung dengan dinamika kehidupan masyarakat lainnya di dataran rendah ‘jantung’ Sulawesi lainnya. Memang telah ada penerbangan perintis, juga ada sinyal telepon seluler di beberapa desa di wilayah ini, tetapi tetap saja semua itu tidak membuat Seko selalu ‘hadir’ dalam hiruk pikuk kehidupan masyarakat lainnya. Yang mengundang respek saya adalah bahwa mereka begitu penuh semangat. Mungkin ini adalah keniscayaan sebuah masyaraat karena selama entah berapa puluh atau ratus tahun mereka harus menjalani hidup ‘sendirian’. Kemandirian mereka mewujud dalam berbagai hal. Pemenuhan kebutuhan pangan jelas menjadi prioritas utama yang selama ini mereka jalani. Untungnya dataran tinggi Seko memiliki kesuburan tanah yang luar biasa. Beras khas Seko yang dinamakan beras tarone, beras organik yang ditanam oleh seluruh masyarakat Seko adalah beras kualitas unggulan yang setiap tahun menghasilkan stok pangan lebih dari cukup bagi setiap keluarga di Seko. Bahkan masih ada yang bisa dikirimkan ke sanak saudara di luar daerah dan atau dijual ke masyarakat lain meskipun mengirimkannya harus bermandi peluh di jalur ekstrim dengan kendaraan roda dua, yang sekali angkut kemampuan motornya hanya 100an kilogram saja (maksimal). Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, dengan bantuan pemerintah dibangun turbin-turbin meskipun kapasitasnya tidak seberapa tetapi setidaknya masyarakat tidak harus menggunakan lampu minyak dan atau lilin untuk penerangan. Untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya masyarakat juga memenuhinya dengan menyingsingkan lengan bajunya masing-masing. Gula tebu misalnya dibuat dari tanaman tebu yang memang khusus ditanam hanya untuk memenuhi kebutuhan gula. Peralatan rumah tangga misalnya, banyak dibuat dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam di sekitar mereka. Dan lain sebagainya. Komunikasi ke dataran tinggi Seko masih harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pihak, karena hanya titik-titik tertentu saja yang mendapatkan sinyal telepon seluler. Itupun kondisinya seperti hidung yang sedang flu, naik turun seperti ingus. Akan tetapi, Seko adalah satu dari beberapa kecamatan di Indonesia yang memiliki bandara sendiri. Meski hanya dilayani oleh satu maskapai penerbangan perintis, ini lumayan membantu mobilitas manusia keluar dan masuk ke Seko dengan cepat. Dari Masamba hanya perlu waktu terbang setengah jam saja dan kita sudah akan tiba di Seko Padang, kalau dari Palu sekitar 40an menit saja. Masalahnya adalah penerbangan yang sulit diprediksi, meskipun sebenarnya sudah ada jadwalnya, karena pengaruh perubahan alam pegunungan Seko yang bisa berubah-ubah drastis setipa harinya. Kapasitas pun seperti layaknya penerbangan perintis sangat sedikit, prioritas hanya untuk pengangkutan manusia saja, dan bukannya barang, jadi jumlah barang bawaan sangat-sangat dibatasi. Sangat tidak cocok untuk kuli keliling seperti saya yang membawa barang keperluan dokumentasi yang puluhan kilogram. Jadi meskipun anggaplah kita mampu membayar over bagasi milik kita, misalnya jumlah over bagasi kita 50-60 kilogram, belum tentu bagasi itu terangkut, karena itu tadi, prioritas kapasitas pesawat adalah untuk angkutan manusia dan bukannya barang. Ketika penumpang pesawat pada hari itu sedang penuh, maka barang kita pun bisa ditinggalkan di bandara untuk diangkut lagi entah kapan. Mendapatkan tiketnya pun sangat sulit melebihi sulitnya mencari pacar. Hehehehe! Jadi Seko menurut saya bukanlah dataran tinggi yang terisolasi, dalam artian benar-benar tertutup dari dunia luar, tetapi terpencil. Telepon walaupun susah ada, penerbangan ada walaupun juga susah, ojek ada meskipun dua hari. Tetapi memang secara geografis terpisah dari masyarakat lainnya, sehingga jauh dari hangat dan indahnya kehidupan bertetangga dengan masyarakat lain. Saya masih sering menerima pesan singkat dan juga telepon dari beberapa masyarakat yang membantu dokumentasi kami kemarin November 20016 di Seko. Setiap kali saya tanyakan kabar, jawabannya selalu baik dan baik. Syukurlah. Semangat mereka memang tidak pernah kendor sedikitpun dan sellau penuh syukur meskipun hidup terpencil jauh di pegunungan!

Jika ditotal, tujuh hari tujuh malam saya dan tim berada di Seko Padang. Setiap hari berkeliling kesana kemari menyusuri jalanan tanah berlubang dimana-mana itu di keluasan savana bolak-balik dari dan ke kampung lainnya. Setiap malam sibuk dengan urusan listrik yang mati hidup setiap setengah jam sekali dan terkadang lebih sering dari itu. Dan setiap pagi dan sore juga disibukkan dengan pertanyaan dan mengumpulkan keberanian, apakah akan mandi ataukah tidak saking dinginnya udara di pegunungan ini. Apalagi ketika angin dari pegunungan sekitar Seko Padang sedang berhembus ke arah kampung, ke arah dataran rendahnya, brrrrrrrr, saya rela hanya mandi sekali dalam sehari setiap sore saja, itupun terkadang ada perasaan tidak rela saking dinginnya udara. Tetapi daki usai bekerja seharian tidak begitu berharga untuk dibawa tidur, sehingga selalu saya usahakan untuk mandi setiap sore harinya sembari ‘bernanyi’ rock n roll di kamar mandi. Saya tidak akan membahas detail tentang pekerjaan dokumentasi yang kami lakukan di wilayah ini, tetapi saya yakin sebagian besar pengunjung blog ini sudah pernah menonton episode-episodenya yang ditayangan di program Jejak Petualang Trans|7. After all, saya dapat merangkum dalam satu kalimat panjang tentang masyarakat Seko. Mereka adalah orang-orang yang penuh semangat! Memang perubahan tidak dapat dibendung oleh siapapun di wilayah ini, semuanya bergerak ke arah modernitas, ke arah yang mungkin sering disebut banyak orang dengan definisi kemajuan. Ringkik kuda patteke memang semakin jarang terdengar, digantikan deru kendaraan roda dua dimana-mana. Sebagian generasi mudanya juga sudah semakin banyak yang merantau, agar dapat mengimbangi kehidupan dunia yang juga terus berubah. Sebagian menempuh pendidikan di kota kabupaten dan bahkan hingga ke Makassar untuk kemudian kembali lagi membangun Seko. Sebagian tidak kembali karena menemukan yang lebih baik dan disukai di dunia luar sana. Hiburan, jika dapat dikatakan demikian yang saya lihat setiap pagi dari basecamp kami di Kampung Eno adalah puluhan bocah-bocah SD yang berangkat menuju ke sekolah. Ada kompleks sekolahan di depan basecamp kami dimana SD, SMP dan SMA berada di areal yang sama. Saya selalu tersita dengan keceriaan bocah-bocah berbaju merah putih itu setiap paginya dibandingkan dengan anak-anak SMP dan SMA nya. Anak-anak SMP dan SMA nya tidak menarik sama sekali, seperti misalnya saya membuat perbandingan sederhana, bocah sang empunya basecamp kami yang masih kecil, bisa berlari girang menuju ke sekolahan yang hanya berjarak selemparan batu itu sambil berteriak ke ibunya menyatakan bahwa dirinya berangkat sekolah. Anak SMP dan SMA yang rumahnya tetanggaan dengan basecamp kami, berangkat dengan menggunakan motor, jaraknya hanya 70an meter dari rumah!!! Gosh!!! Pendidikan formal memang tidak selalu berhasil merubah mental sebuah generasi dan atau seseorang menjadi lebih baik!!!

Ada banyak sekali kampung yang kami datangi, mulai dari Bana hingga Marante dan lain sebagainya. Saya tidak ingat lagi nama-namanya dengan jelas. Jaraknya ada yang hanya setengah jam berkendara dari basecamp, ada yang sampai tiga jam berkendara dengan motor. Kondisi jalannya ada yang lumayan halus, tetapi banyak sekali yang berlubang. Ya, mobilitas di Seko memang melelahkan! Dengan empat motor sarat penumpang dan muatan, kami menjelma menjadi seperti kelompok kecil yang begitu sibuk dan menyita perhatian. Karena setiap hari berkeliling! Pagi buta saat orang-orang Seko sendiri masih menguap dan menunggu kopi diseduh, kami sudah meraung di jalanan mengejar waktu karena bisa jadi hari itu kami harus mengakses kampung yang paling jauh. Sore ketika orang-orang Seko sudah duduk manis di depan tungku dapur dan atau bercengkrama dengan keluarga di teras rumah, kami bisa jadi masih di jalan dan atau baru tiba dari perjalanan dalam lelah. Sebagian dari perjalanan itu sembari ditemani dengan hujan deras yang menyakitkan mata juga kepala! Yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya adalah bahwa ternyata di dataran tinggi Seko banyak sekali terdapat sungai-sungai besar, meskipun relatif dangkal. Tipe upper river tetapi dengan jeram-jeram yang kecil. Sungai-sungai ini katanya merupakan hulunya sungai-sungai di Sulawesi Barat, lebar badan sungai-sungai ini benar-benar tidak pernah say abayangkan sebelumnya bisa ada di sebuah dataran tinggi seperti ini. Ada tiga sungai utama yang lebarnya rata-rata 70an meter dan bahkan lebih. Di musim penghujan seperti kemarin memang airnya cenderung keruh, tetapi juag cepat sekali kembali jernih. Dasar sungainya berbatu dan berair dingin. Tetapi berdasarkan penuturan masyarakat spesies ikan yang ada sangatlah terbatas. Hanya ada ikan karper, ikan mujaer, sidat, dan ikan lokal satu lagi yang saya lupa namanya. Karper, mujaer, gabus adalah hasil introduksi bertahun-tahun yang lalu dari Dinas Perikanan Kab. Luwu Utara. Secara kasat mata sungai-sungai di Seko sangat ideal sebagai habitat ikan keluarga barb fish seperti hampala dan juga ikan dalam family Tor seperti ikan nyaran, pelian, sapan, dan lain-lain seperti banyak terdapat di sungai pegunungan di Kalimantan. Tetapi keduanya tidak ada di Seko. Mungkin inilah salah satu bukti kebenaran Garris Wallacea bahwa ada perbedaan spesies baik di air dan daratan Indonesia bagian timur berbeda dengan yang ada di Indonesia bagian barat. Masyarakat memancing ikan-ikan yang ada di sungai dengan teknik tradisional, menggunakan kaleng bekas sebagai gulungan senar yang kemudian ditaruh di sebuah tingkat kayu yang ditancapkan di pinggir sungai. Ujung ka tali adalah single hook murahan yang dipasangi umpan cacing. Kalau disambar kaleng akan berbunyi dan kemudian tali ditarik perlahan. Biasanya warga memancing malam hari dengan harapan juga disambar oleh sidat yang rata-rata ukurannya besar-besar. Saya jangankan memikirkan mancing di sungai-sungai Seko ikut masyarakat ketika malam hari, memikirkan mandi usai bekerja saja terkadang saya tidak lulus! Entah kenapa saya seorang pemancing ini tidak tertarik sama sekali untuk sekedar nongkrong satu atau dua jam di tepi sungai malam-malam selama di Seko, mungkin karena pikiran begitu tersita dengan banyaknya agenda dalam waktu yang sempit itu, dan juga karena pinggang begitu panas akibat setiap hari terus duduk di jok motor yang keras itu?! Ada dua kegiatan perburuan ikan yang sering dilakukan masyarakat di sungai yang menyita perhatian saya, namanya sumoloku dan satunya sinoro. Teknik pertama adalah untuk mencari ikan ketika musim banjir dengan semacam perangkap menyerupai bubu, perangkap dibuat dari rotan, mirip dan sebesar kurungan ayam. Umpannya adalah dedak yang dibungkus karung plastik dan kemudian direndam di tepian sungai. Pelakunya adalah lelaki dewasa. Dan teknik sinoro adalah usaha mencari lauk pauk berupa udang-udang kecil serupa rebon di sungai-sungai kecil yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan peralatan serokan dari bambu yang kalau di Jawa disebut irik, alat untuk meniriskan sayuran dan lain-lain. Sungai di satu sisi memang menegaskan kekayaan dan kemegahan alam Seko, di sisi yang lain juga menjadi wajah alam yang terkadang menghambat mobilitas masyarakat, terutama ketika musim banjir. Banyak sekali jalur antar kampung di dataran tinggi Seko yang terpisahkan oleh sungai. Ketika musim kemarau semuanya begitu mudah, meski tidak ada jembatan misalnya, tinggal melintas menyeberangi bagian sungai yang dangkal dan pastinya bening itu. Tetapi ketika musim banjir? Debit air jelas meningkat dan laju arus begitu kencang, sangat berbahaya menyeberanginya dengan berjalan kaki. Diperlukan rakit untuk tiba di sisi lain sungai karena banyak sekali titik-titik mobilitas masyarakat yang belum ada jembatan gantungnya. Masalahnya terkadang posisi rakit yang hanya satu buah itu, yang juga reot itu, terkadang sedang berada di seberang sana. Jadilah siapapun yang ingin menyeberang harus menunggu orang lain dari sisi lainnya menyeberang dahulu, sangat menyita waktu juga tenaga! Motor-motor harus diangkut berulang kali dengan resiko jatuh ke sungai karena pergerakan rakit yang liar. Pernah ada momen ketika menuju ke Bana misalnya, sekitar 1 jam dari Eno, saya berbarengan dengan rombongan ibu-ibu yang akan membawa bayi-bayi mereka ke posyandu. Kami tertahan selama hampir sejam hanya karena tidak ada yang ‘mengantarkan’ rakit itu dari seberang. Kasihan bayi-bayi itu, salah satunya sedang demam tinggi.

Seko, kesemuanya baik itu Seko Padang, Seko tengah dan Seko Lemo menurut hemat saya memiliki begitu banyak kemegahan dan kekayaan alam yang menjadikan wilayah ini memiliki bargain position yang sangat kuat untuk ‘dijual’ dan dikembangkan. Untuk wisata, daerah ini sangat indah! Savananya, pegunungannya, kehidupan masyarakatnya dan lain sebagainya. Untuk pertanian dan perkebunan? Sudah sejak lama mereka membuktikan bahwa mereka adalah salah satu yang terbaik mengelola bidang itu di Pulau Sulawesi. Kehidupan savana lainnya juga merupakan keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak mengurus infrastruktur pendukung bagi kemajuan dan kemudahan kehidupan dan masa depan yang lebih baik dari ribuan orang Seko ini. Saya memiliki mimpi sederhana, suatu hari nanti jika bisa kembali ke dataran tinggi Seko, sudah bisa melewati jalur darat yang kemarin begitu ekstrim itu dengan kendaraan roda empat dengan nyaman, mungkin juga sembari mendengarkan musik sembari menikmati kemegahan lanskap sepanjang perjalanan. Entah berapa puluh tahun lagi ini akan terwujud. Listrik juga semoga sudah menyala dengan stabil dengan daya yang mencukupi. Ini juga entah berapa puluh tahun lagi terwujud. Dan jika umur saya panjang, saya ingin melihat di sebuah brosur wisata suatu hari nanti semacam tawaran paket wisata keluarga misalnya, “Ayo berwisata ke Seko, jantungnya Sulawesi”. Atau “Ayo nikmati liburan mu ke Seko, jantungnya Sulawesi!” Jika momen itu bisa terjadi dan bisa saya alami, doa dan harapan saya ketika melakukan perjalanan kemarin bersama rekan-rekan di Jejak Petualang Trans|7 dan juga ketika menulis catatan kecil ini berarti sudah terpenuhi! Saat ini yang bisa saya katakan adalah “Jalan untuk Seko! Listrik untuk Seko! Jantungnya Sulawesi!” Semoga kalian semua, orang-orang Seko tetap semangat dan tidak menyerah! Terimakasih telah mengajari saya dengan begitu dalam makna dari kata semangat dan tidak menyerah! Salam!
































































* Pictures captured at Seko, South Sulawesi, November 2016. Pleased on't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments