Skip to main content

Stop Introduksi Ikan Toman di Perairan Umum Pulau Jawa: Tantangan Salam Lestari, Ego Manusia dan Masa Depan Keberagaman Native Fish


Ketika perairan umum di Pulau Jawa begitu menderita didera oleh merajanya illegal fishing, over fishing, limbah pabrik dan limbah rumah tangga, introduksi Spesies Asing Invasif (SAI), juga telah lama didera oleh introduksi apex predator bernama Channa micropeltes yang banyak dilakukan para pemancing. Quo vadis native fish dan keberagaman spesies ikan asli di perairan umum Pulau Jawa?

Saya menuliskan catatan ini karena mendapati seminggu terakhir ini ternyata di sebuah era digital dan komunikasi global, ketika manusia begitu mudah mengakses sumber-sumber informasi, dan juga melakukan komunikasi, mayoritas pemancing di Pulau Jawa ini lebih pintar menulis dan menjadikan ego sebagai kebenaran, dibandingkan dengan membaca dan merenungkan baik-baik apa yang dibacanya. Tanggal 4 Juli 2017 ketika saya sedang dalam ‘nikmatnya’ menunggu keberangkatan kembali ke kejamnya ‘pelukan’ ibukota, di penghujung arus balik Lebaran yang seperti tak kunjung usai, di media sosial beberapa sahabat pemancing di kota Pekalongan saya lihat bahwa mereka berencana melakukan tebar benih (restocking) ikan tomman (Channa micropeltes) di perairan umum di daerahnya. Saya langsung bereaksi tegas agar hal tersebut diurungkan karena tomman bukanlah native fish di perairan umum di Pekalongan. Jadi jika memang berniat peduli dengan pengkayaan populasi ikan di lokasi tertentu di pulau ini, dengan cara melakukan restocking ikan ataupun melakukan introduksi spesies ikan di daerahnya, baiknya di pelajari dahulu sejarah ikan di daerah tersebut dan terutama kaidah-kaidah terkait restocking ini. Cara menggali informasi sejarah ikan di lokasi tersebut bisa ditanyakan ke kalangan orang tua yang mengenal lokasi, dan kalau ada juga bisa melalui jurnal-jurnal ilmiah yang mungkin ada di perpustakaan dan internet (banyak sekali jurnal ilmiah tentang restocking di internet meskipun itu kebanyakan adalah hasil penelitian orang luar di daerahnya sana tetapi selalu ada keping pengetahuan yang selalu bisa kita dapatkan terkait restocking ini), ataupun berdiskusi dengan rekan-rekan pemancing kita yang lain yang mungkin memahami tentang restocking ini dan lain sebagainya. Kelegaan menyeruak ketika kemudian rekan-rekan pemancing di Pekalongan kemudian sepakat mengurungkan niatnya tersebut dan kemudian membulatkan tekadnya untuk mengganti spesies untuk restocking dengan spesies ikan asli (native fish) yang memang sejak dahulu kala sudah ada di daerahnya tersebut. Terimakasih para sahabat di Pekalongan, maafkan saya menuliskannya di blog ini. Saya selalu respek dengan para sahabat semua selama ini terutama semangatnya untuk ‘melawan’ kegiatan illegal fishing dan juga destruktif fishing lainnya di Pekalongan. Tetapi terkait tomman ini memang tidak sepatutnya kita tebarkan begitu saja di perairan umum di Pulau Jawa ini. Masih banyak sekali spesies ikan asli Pekalongan yang membutuhkan semangat kepedulian dari para sahabat semuanya untuk kita kembalikan keberadaannya seperti semula, dibandingkan dengan menebarkan spesies yang non native fish dan apalagi merupakan apex predator species (pemangsa puncak). Saya semakin respek dengan para sahabat di Pekalongan tersebut semuanya karena mampu menundukkan ego sebagai pemancing sport, yang jujur saja sangat menyukai tarikan dari ikan-ikan pemangsa yang bertenaga dibandingkan dengan tarikan ikan-ikan asli yang rata-rata bukanlah idaman pemancing sport di Jawa saat ini. Hal yang kurang lebih sama hampir terjadi di Temanggung, Jawa Tengah pada akhir April lalu. Ada seseorang yang sangat populer berencana untuk menebarkan benih ikan toman di perairan Temanggung (saya melihat persiapannya di media sosial). Untungnya kemudian dibatalkan akibat banyaknya himbauan dari para pemancing Temanggung yang khawatir dengan masa depan ikan-ikan asli Temanggung jika sampai di perairan tawar mereka ditebari benih ikan toman. Berbagai sumber menyebutkan bahwa benih ikan ini konon berasal dari Kalimantan. Ada yang menyangsikan hal ini dengan mengatakan informasi yang lebih mencengangkan, bahwa anakan ikan toman tersebut berasal dari budidaya yang dilakukan di Pulau Jawa.



Masih di tengah ‘ruwetnya’ arus balik, para sahabat dari pesisir utara Pulau Jawa lainnya juga memberi kabar terkait ikan jenis Channa. Namun bukanlah tentang penebaran toman, akan tetapi matinya ikan-ikan jenis pemangsa di  Waduk Cacaban. Cacaban adalah waduk / bendungan yang terletak di Kecamatan Kedungbanteng, Tegal, Jawa Tengah. Ikan yang mati, entah apa penyebabnya meski kuat dugaan adalah karena terjadi aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan racun ikan, kebanyakan adalah jenis Channa striata (gabus). Tetapi kemudian mereka melanjutkan bahwa ada spesies Channa micropeltes juga yang mati. Saya kurang yakin dengan informasi ini karena di foto-foto yang dikirimkan kepada saya ikan-ikan tersebut kondisi tubuhnya sudah sangat rusak. Ada satu ekor yang saya amati memiliki sirip atas yang cukup lebar dan kemungkinan ini adalah ikan jenis Channa micropeltes atau yang dikatakan dengan toman tersebut. Bisa jadi memang toman, bisa jadi bukan. Pertanyaannya kemudian jika memang itu adalah ikan toman, darimana ikan ini berasal? Karena Cacaban bukanlah habitat asli ikan jenis ini. Tidak hanya di Cacaban saja sebenarnya, setahu saya sejak saya mengenal dunia sportfishing di negeri ini, mulai tahun 2007 di Majalah Mancing, saya belum pernah mendapatkan infromasi bahwa spesies ikan toman adalah spesies asli yang mendiami perairan umum di Pulau Jawa. Saya kemudian teringat keterangan seorang tukang perahu di Waduk Cirata, Jawa Barat, ketika pada bulan April lalu berada di waduk ini. Waduk Cirata saat ini adalah perairan umum yang bisa jadi adalah salah satu lokasi budidaya ikan air tawar terbesar di Pulau Jawa. Waduk yang dibangun dengan membendung DAS Citarum ini setahu saya juga bukanlah habitat asli ikan jenis Channa micropeltes. Akan tetapi, entah kapan tepatnya, sejak tahun 2012 perubahan besar terjadi dengan “jebolnya keramba budidaya yang rupanya diam-diam membudidayakan ikan jenis apex predator ini. Informasi dari para sahabat pemancing di selatan Jakarta yang saya temui lebih menggelisahkan. Bahwa sejak 2011an telah ada yang melakukan penebaran ikan toman secara diam-diam ke perairan Cirata. Siapakah mereka? Kiranya akan menjadi sensitif jika saya sebutkan dengan jelas namanya. Nyatanya kini Cirata adalah toman fishing ground yang paling sibuk di Pulau Jawa ini. Banyak sekali trip kasting digelar ke perairan ini dan entah sudah berapa ratus ataupun ribu ekor ikan toman menghiasi media sosial dengan senyum khas pemancing yang selalu berbahagia ketika memamerkan hasil strike mereka. Sebagian besar lupa bahwa toman bukanlah ikan asli DAS Citarum. Yang penting happy. Yang penting strike. Karena sebagai pemancing sport di pulau ini, sudah cukup jika hanya mewarnai hidupnya dengan dua hal itu saja? Lho Om, kita memutar perekonomian masyarakat lho dengan memancing kesana? Betul! Tetapi tidak hanya toman yang bisa memutar perekonomian sebuah daerah. Masih banyak spesies lainnya yang bisa memutar perekonomian sebuah tempat. Bahkan kalau hanya memutar perekonomian, mungkin bisa dilihat di Cianjur, Jawa Barat. Bagaimana ikan asli Cianjur berukuran mini yang bernama beunteur memutar perekonomian yang bahkan berskala luas! Yang saya bicarakan adalah “stop introduksi ikan toman”, yakni memasukkan spesies baru bernama Channa micropeltes ke sebuah habitat yang bukan aslinya dan ini tentunya tentang perairan umum. Dan saya berbicara bulan Juli 2017 untuk seluruh perairan umum di Pulau Jawab. Siapa yang mengkritisi sampeyan memancing ikan toman di Cirata?! Ataukah karena sampeyan yang menebarnya kesana di tahun-tahun 2011-2012 seperti diceritakan masyarakat itukah? Kog sudah ‘gas’ tinggi saja kalau berbicara? Suasana di seberang tetiba menjadi sunyi.

Semuanya bermula pada tanggal 4 Juli 2017, dilandasi kegelisahan melihat aktifitas restocking ikan toman yang terus berlanjut dan info terakhir juga telah terjadi di perairan umum sekitar Yogyakarta, bersama beberapa sahabat Wild Water Indonesia saya kemudian merancang campaign agar kegiatan restocking ikan jenis apex predator ini dihentikan. Harapan kami adalah kawan-kawan memahami bahwa perairan umum adalah milik semua orang, yang mana tentunya perilaku kita juga harus memperhitungkan kepentingan banyak orang dan bukan hanya kepentingan diri sendiri dan atau komunitasnya saja. Dan lebih jauh lagi bahwa melakukan restocking ikan itu ada aturan-aturannya, jadi tidak bisa sembarangan begitu jaga. Karena kita hidup di tahun 2017, di sebuah Negara bernama Republik Indonesia. Yang meski negeri ini carut marut, masih mampu ‘menelurkan’ pedoman tentang bagaimana restocking ikan ini seharusnya dilakukan. Campaign ini kemudian kami publikasi tidak lama kemudian melalui media sosial (bentuknya berupa poster kecil yang cukup cantik tetapi tegas). Dan kemudian dimulailah debat nasional membahas ikan toman ini hingga lebih dari satu minggu lamanya. Ada yang sehat, ada yang asal njeplak. Ada yang terus menampilkan kedewasaan, ada yang selalu nyinyir. Ada yang melakukan diskusi dengan membawa hasil-hasil kajian ilmu pengetahuan dan science, ada yang membawa “katanya-katanya”. Ada yang tetap di jalur diskusi tentang introduksi, ada yang terus berusaha membelokkan diskusi dan bahkan berusaha melakukan character assassin kepada saya (meski dilakukannya di timeline sendiri). Ada yang menggunakan sebuah “titik” untuk mengeneralisasi seluruh wilayah. Ada yang menggunakan seratus tahun lebih yang lalu sebagai pembenaran cara berfikir dan tindakan pada hari ini. Ada yang bahkan bisa mengatakan bahwa telaga di sebelah rumahnya awalnya tidak memiliki ikan sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa ini strategi saya agar menjadi artis (kalau ini sudah dari dulu, artis di belakang layar). Ada yang mengatakan untuk menaikkan rating (dikira saya sebuah tayangan di televisi?). Ada yang mengatakan ini strategi saya mempromosikan Batanta Lures agar laku (keluar dari mulut pemancing pebisnis yang melihat saya sedang bersiap memulai usaha kecil-kecilan bernama Batanta Lures). Ada yang mengaku sedang mengigau tetapi kemudian banyak sekali menguji pemahaman saya dengan berkomentar di timeline? Ada yang mengakhiri diskusi dengan mengundang saya ke daerahnya tetapi kemudian di sana ternyata menyebutkan nama saya sebagai alasan dibatalkannya suatu kegiatan yang seharusnya menjadi berkah konservasi perairan jangka panjang yang adil untuk semua manusia (bukan hanya pemancing) di daerah sekitarnya?

Ada juga yang kemudian menghubungi kepada saya dan menyatakan simpati telah berani menyuarakan kritik yang mengandung resiko sangat besar ditinggalkan dan dibenci banyak sekali pemancing sport di Pulau Jawa ini. Hal yang saya jawab dengan terimakasih dan juga bahwa saya telah melalui berbagai resiko besar sejak gencar melakukan kampanye perairan ini. Ada yang menghubungi saya dan menyampaikan pengakuan dosanya karena pernah ikut serta melakukan restocking ikan toman secara diam-diam ke danau di daerah mereka di pulau ini. Orang-orang seperti ini yang ternyata juga adalah kawan-kawan mancing semua sejak dahulu kala, mengundang kagum saya. Perbedaan tidak menjadikan kita menjadi saling mencibir dan merendahkan tetapi bagaimana caranya bersama-sama mencapai kesalingmengertian yang lebih tinggi. Ada yang sampai detik tulisan ini dibuat seminggu kemudian tetap tidak mau mengerti bahwa apa yang dia lakukan dengan tebar ikan toman yang tidak sesuai aturan itu sebagai satu-satunya kebenaran. Ada yang bahkan sampai detik ini tidak mengerti sama sekali apa arti “introduksi”, “restocking” dan “native fish”. Ada yang bahkan tidak bisa menerima kesalahannya melakukan tebar ikan toman sembarangan dengan tidak mengindahkan pedoman yang dibuat lembaga negaranya sendiri (yang dibuat oleh para ahli), dengan mencari pembenaran ke tahun 1831 pada masa yang kita tidak tahu apa-apa dan bagaimana penelitian dilakukan Cuvier waktu itu. Begitu banyaknya referensi bertebaran di internet dari sumber yang tidak bisa dianggap sembarangan tidak diindahkan untuk memperkaya pengetahuan? Memiliki mata dan kemampuan membaca dan mencari sumber informasi, tetapi semuanya kalah oleh karena satu kata, ego! Karena ego di mayoritas pemancing di negeri ini adalah nomer satu dan harus dijunjung tinggi. Tidak apa-apa otak tumpul tetapi asalkan keren, mancing terus, strike terus, angkat ikan terus. Tidak peduli perairan mereka sendiri didera illegal fishing dan juga limbah. Yang penting memancing dan ngangkat ikan! Ada yang menyuruh saya fokus saja pada ‘melawan’ illegal fishing daripada anti introduksi ikan toman di Pulau Jawa. Saran yang sangat baik dan saya jawab dari dulu sudah Pak sampai hari ini, Anda kapan? Sunyi, selalu tidak ada jawaban. Begitulah dunia, begitu banyak orang pandai berbicara tetapi sangat sedikit yang berbuat?! Dan terkadang meskipun itu hanya untuk melakukan hal-hal sederhana yang dia ucapkan sendiri?! Ironis memang! Sebegitu sibuknya debat nasional toman ini sampai-sampai seseorang yang begitu dekat dengan saya bertanya. What are you doing exactly? Sorry amore, I have new job as call center toman!

Sebuah peta digital distribusi ikan toman yang dikeluarkan oleh Allen Benziger cs lebih mengejutkan. Bahwa distribusi ikan predator ini di Pulau Jawa telah tersebar dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Kata distribusi ini menarik, karena menyatakan seperti apa sebaran ikan toman ini berdasarkan peta tahun 2011 ini. Tetapi jika dibaca dalam bahasa “pasar”, distribusi ini seperti mengatakan hal yang sebenarnya karena pendistribusian (dalam konteks berdagang) benih-benih ikan toman tersebut  sepertinya memang awalnya berasal dari arah Barat, menyeberang Selat Sunda, kemudian diperdagangkan dan menyebar ke berbagai penjuru Jawa Barat, dan saat ini posisinya sudah mulai merambah Jawa Tengah (untuk daerah ini kabarnya banyak yang didatangkan dari beberapa daerah di Kalimantan). Semoga tidak sampai di Jawa Timur!!! Tetapi siapa bisa menghadang begitu banyak ego dan keinginan untuk bersenang-senang dari para pemancing yang hanya memiliki keinginan yang sederhana saja dalam hidupnya? Pokoke ngangkat ikan predator! Daripada jauh-jauh dan mahal-mahal keluar biaya mancing ke Kalimantan dan Sumatera, ya mending tebar saja di danau sungai dan selokan sekitar rumah sendiri, tidak lama kemudian bisa dinikmati?! Tinggal ‘dibalut’ dengan memutar perekonomian setempat, memperkaya keberagaman ikan di lokasi setempat (duh….?!) dan lain sebagainya, selesai?! Pokoke asyik!!!

Baiklah mari kita kembali tarik ke belakang jauh sebelum kita semua terlahir ke dunia ini terkait Channa micropeltes ini di Pulau Jawa. Saya hadirkan salah satu alasan pembenaran yang banyak digunakan sebagai pembelaan mereka-mereka yang pro dengan introduksi ikan toman di Pulau Jawa. Walaupun alasan pembenaran ini sebenarnya buanyak sekali dan jujur saya sampai bingung menyarikannya karena saking “unik-uniknya”. Sumber lama yang dibuat peneliti bernama Cuvier menyebutkan bahwa spesies Ophicephalus micropeltes, type locality-nya adalah “Java”, Indonesia. Begitulah yang begitu banyak disebutkan di berbagai sumber di internet (kawan-kawan tinggal ketik saja di Google keywords Channa micropeltes dan akan keluar semua linknya) yang mana sumber-sumber tersebut mengambilnya dari Histoire naturelle des poissons terbitan tahun 1831 halaman 427. Dan ini kemudian digunakan sebagai sebagai tameng pembelaan yang paling sering diulang oleh begitu banyak orang yang setahu saja mengetahui hal seperti ini juga karena kebetulan me-repeat dan me-share saja salah satu status di media sosial Facebook saja. Sebagian lagi seperti kemudian mendapatkan angin dan kemudian me-share kembali dan kemudian seperti bisa berkata apapun dan semuanya harus benar. Bahkan bisa jadi tanpa tahu apa itu arti dari “type locality” sesungguhnya. Type locality dalam ranah penelitian biologi adalah tempat mengambil sebuah sampel penelitian. Jadi di Jawa benar ada toman dong Om Mike awalnya kalau begitu? Kalau mengacu pada “benar ada toman” saja, jawabnya iya. Ini tentunya dengan menganggap bahw Cuvier memang benar-benar mengambil sampelnya pada 1831 tersebut di perairannya Pulau Jawa. Bukan di tempat lain kemudian mengamati dan merangkumnya di Jawa. Dan juga bahwa spesies yang diambil sampelnya itu juga memang aslinya benar-benar asli Jawa dan bukannya terdapat di sebuah perairan darat di Pulau Jawa tetapi hasil ‘introduksi’ oleh campur tangan manusia yang terjadi di masa sebelum 1831. Kenapa saya begitu pesimis? Kawan-kawan silahkan lihat sendiri kemudian peta yang dirilis oleh USGS dan kemudian dijadikan salah satu referensi di Wikipedia terkait Channa micropeltes. Kenapa di sebuah peta keluaran lembaga sedemikian bergengsi dan kemudian dirilis oleh situs pengetahuan bergengsi pula di dunia ini kemudian menyatakan di peta tahun 2004 tersebut, ikan toman bukanlah native fish di Pulau Jawa? Ada yang bisa menjawab? Sunyi. Seluruh suara asal njeplak di media sosial itu tetiba menjadi sunyi. Demikian yang saya amati di sebuah group Facebook yang begitu pro dengan introduksi tomman di Pulau Jawa. Tidak ada yang menjawab “mungkin punah”, karena mungkin takut akan kenyataan sederhana berikut ini; Ikan wader dan bahkan cethul yang ibaratnya ikan jelata tidak punya power yang signifikan dalam sistem rantai makanan saja sampai detik ini masih ada di Jawa, lalu bagaimana menjelaskan spesies apex predator Channa micropeltes bisa punah dari Pulau Jawa?! Sehingga kemudian ada perbedaan mencolok antara “type locality”-nya Cuvier 1831 dengan peta keluaran USGS tahun 2004 yang menyatakan bahwa Channa micropeltes bukan native fish Pulau Jawa?! Jawabannya, gelap?! Tetapi mari kita bayangkan tentang keberadaan ikan wader dan ikan cethul jika takut mengatakannya. Atau begini, mungkin kemudian bisa sedikit saja kemudian bisa memahami bahwa “type locality” itu memang tidak bisa dijadikan alasan pembenaran ataupun generalisasi tindakan?! Okelah berdasarkan Cuvier 1831 kemudian banyak yang membacanya dengan “pernah ada” sehingga bisa dan ditebar dimanapun? Memang para sahabat tahu dimana “pernah adanya” tersebut? Di titik yang mana? Dengan persis berdasarkan bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan dan bukan katanya-katanya?! Kalau tidak mari kemudian kita membaca kembali definisi native fish atau yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ikan lokal / asli!
Semua debat dan ‘mendidihnya’ polemik terkait ikan toman di Pulau Jawa ini sekali lagi gegara sebuah poster digital berwarna dominan kuning melambangkan harus waspada yang dikeluarkan oleh Wild Water Indonesia yang berbunyi: STOP INTRODUKSI TOMAN DI PERAIRAN UMUM PULAU JAWA! Poster didesain oleh seorang sahabat WWI yang tinggal di Yogyakarta, kemudian kami sebarluaskan melalui jaringan WWI di berbagai daerah. Dan kemudian terjadilah, snakehead war! Tetapi kita telah melalui puncak “perang toman” tahun 2017 yang kembali mereda ini, saya hanya ingin tidak lelah mengingatkan bahwa kita hidup di tahun 2017 di sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namanya sebuah negara, tentunya memiliki sebuah tatanan di berbagai bidang kehidupan bagi warganya. Tidak perlu kita pahami semuanya karena tidak mungkin juga dipahami semuanya, secukupnya saja. Oleh karenanya tidak ada salahnya mari kita meluangkan waktu membaca-baca apa-apa yang oleh negara ini, melalui lembaga yang telah diberi wewenang, kemudian merumuskan dalam bentuk kebijakan/peraturan/pedoman/dan lain sebagainya terkait perairan kita, jangan hanya sibuk dengan pamer tackle, urusan uncal, strike dan pamer foto ikan saja. Ada yang sifatnya telah menjadi sebuah Undang-undang. Ada juga yang masih sifatnya adalah himbauan/pedoman dari lembaga yang berwenang. Terkait introduksi ikan, saya mengajak para pembaca untuk kemudian membaca sebuah ‘buku panduan’ berjudul Pedoman Umum Restoking Jenis Ikan Terancam Punah” yang dipublikasikan oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015). Ada linknya di internet jika para sahabat mengetikan judul tersebut di Google, silahkan jika ingin membaca selengkapnya. Ada beberapa hal yang ingin saya kutip di catatan ini seperti apa adanya tertulis di ‘buku panduan’ tersebut karena sangat mendasar dan terkait erat untuk membantu para sahabat memahami masalah introduksi, restocking, native fish dan lain sebagainya. Akan saya ‘gelar’ beberapa hal yang cukup penting dan mendasar tersebut di bawah ini;

Kata Pengantar, halaman v
Upaya pelestarian adalah serangkaian kegiatan konservasi yang dilakukan dengan tujuan untuk menambah atau meningkatkan jumlah individu baru dalam populasi suatu jenis dan juga upaya untuk mempertahankan jumlah individu dalam suatu populasi. Secara umum, upaya pelestarian dapat dilakukan melalui kegiatan restoking (penebaran kembali) jenis ikan asli/lokal ke habitat alam. Agar pelaksanaan restoking berlangsung baik dan tidak merusak keanekaragaman hayati, maka dibutuhkan panduan tata cara restoking jenis ikan terancam punah.”(Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, IR. Agus Dermawan, M. si.)

Daftar Istilah, Halaman xi
“Spesies atau jenis : suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat dengan anggota kelompok yang lain. Ikan : Segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan asli/lokal : ikan dan/ atau sumber daya ikan lainnya yang berasal dari alam Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui berasal dari alam darat atau laut Indonesia dan berasal atau hidup di daerah tertentu dan/atau berbeda ekosistemnya di wilayah perairan Indonesia. Ikan endemik : jenis ikan tertentu yang hanya memiliki sebaran geografis alami terbatas dan/atau karakteristik ekosistem tertentu. Ikan Asing/Introduksi : jenis ikan yang berasal dari luar ekosistem yang masuk ke dalam suatu ekosistem tertentu, dimana sebelumnya jenis tersebut tidak berada di wilayah perairan atau ekosistem tersebut. Ikan invasif/berbahaya : jenis ikan tertentu yang berasal dari luar ekosistem yang merugikan dan membahayakan kelestarian sumber daya ikan, lingkungan, dan manusia. Jenis Ikan Langka : jenis ikan tertentu yang populasinya sangat kecil atau kelimpahan stoknya terbatas.”

Introduksi : Pelepasan jenis ikan baru ke suatu wilayah perairan atau ekosistem dimana ikan tersebut semula tidak ada di perairan yang bersangkutan.

Restoking : Penebaran kembali jenis ikan asli/lokal pada berbagai stadia dan umur ke dalam populasi alam untuk memulihkan biomassa induk yang hampir punah sampai pada satu tingkat yang dapat mengulangi hasil yang substansial dan teratur

Maksud, Tujuan dan Sasaran Restoking, Halaman 25
“Restoking merupakan bagian dari upaya pengkayaan populasi ikan di suatu perairan tertentu, di mana jenis ikan yang dimasukkan ke dalam perairan tersebut merupakan ikan asli tempatan (native species). Tujuan utama melakukan restoking adalah meningkatnya ukuran populasi ikan lokal yang sebelumnya mengalami penurunan akibat penangkapan atau penyebab lainnya termasuk gangguan habitat, pencemaran, ataupun penyebab yang bersifat ekologis misalnya persaingan dan pemangsaan. Restoking juga bertujuan untuk mempertahankan tingkat keanekaragaman hayati ikan di suatu perairan, sehingga keragaman genetik dapat dipertahankan. Terjaganya biodiversitas biota perairan termasuk ikan merupakan upaya untuk mempertahankan struktur dan fungsi ekologis kawasan perairan serta ora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya. Hal ini akan menjamin keseimbangan ekologis (ecological balance) yang merupakan ciri dari suatu perairan yang sehat. Sasaran kegiatan restoking adalah lokasi perairan yang sebelumnya diketahui telah mengalami penurunan sumberdaya ikan-ikan lokalnya. Dasar yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi tersebut dapat merupakan hasil riset maupun informasi yang diperoleh dari masyarakat/komunitas lokal. Sasaran berikutnya adalah jenis ikan lokal yang sudah menurun tersebut untuk dilakukan penambahan/pengkayaan, yaitu melalui penebaran anak-anak ikan atau stadia tertentu dari jenis yang menurun tersebut yang dihasilkan dari budidaya. Oleh sebab itu kegiatan restoking tidak akan optimal bilamana tidak didukung oleh sarana dan prasarana budidaya ikan.”

Saya tidak ingin memperpanjang polemik dan debat. Kalau panduan itu masih dirasa kurang untuk memahami kampanye ini, kawan-kawan silahkan membaca aturan yang memiliki kekuatan hukum lebih kuat, namanya UU Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tepatnya Pasal 14 ayat 4, Pasal 16 ayat 1, Pasal 87 ayat 2 dan Pasal 88. Silahkan dibaca baik-baik dan dipahami diam-diam juga tidak apa-apa. Mohon kembali diingat, sedari awal melakukan kampanya STOP INTRODUKSI IKAN TOMAN DI PERAIRAN UMUM PULAU JAWA INI selain poster berwarna kuning tersebut kalau saya juga hanya menyertakan link yang mengacu pada ‘buku panduan’ yang dibuat oleh lembaga negara yang memang memiliki wewenang, dan yang saya yakin disusun oleh orang-orang yang memiliki tingkat keilmuan yang tidak diragukan lagi dan tentunya tergolong bebas interest (kepentingan) tersebut dengan maksud membuka wawasan dan pemahaman. Tetapi mungkin begini terkait introduksi toman di perairan umum ini, jika para sahabat terutama yang pro dengan introduksi toman di Pulau Jawa masih terus ingin berdebat dan harus selalu benar, dan apalagi begitu bersemangat dengan debat yang nyinyir dan tidak sehat, bahkan beberapa di antaranya setelah menulis panjang lebar dengan begitu ‘sopan’ dan ‘bijak’ kemudian mengaku “Maaf Om saya mengigau, maaf ya…” saran saja tetap kembali lagi silahkan dibaca kembali saja baik-baik beberapa hal tersebut di atas. Ini taruhlah karena katakan saja pemahaman saya dalam menyampaikan konsern stop introduksi ikan yang tidak sehat ini kurang dapat dipahami karena keterbatasan pengetahuan saya. Siapa yang bisa menghadang perkembangan spesies apex predator bernama toman ini di Pulau Jawa kedepannya? Dari ‘debat nasional’ kemarin saja sudah lebih dari sepuluh perairan umum berupa danau yang ditebari toman mulai dari Setu Gunung Putri di Bogor di Jawa Barat, Cirata yang sudahlah tidak perlu saya bahas ulang lagi, dan lain sebagainya hingga Jawa Tengah di Rawapening dan lain sebagainya. Kita tidak pernah tahu akan seperti apa komposisi keragaman spesies ikan di pulau ini dan bagaimana dominasi dari pemangsa puncak di perairan tawar ini. Hidup kita ada batasnya. Meski saya dan ratusan sahabat WWI mengatakan stop dan mencoba menghimbau agar introduksi tidak sehat ini dihentikan, bisa jadi tidak memiliki pengaruh apapun. Toh selama ini penebaran hampir selalu dilakukan diam-diam dan kebanyakan anonim. Meski ketika terjadi polemik  akhir-akhir ini kemudian begitu nyata terlihat siapa-siapa yang setuju dan mendukung introduksi toman karena memiliki kepentingan yang begitu nyata; agar mudah murah dan dekat memancing toman, karena terlibat bisnis jual beli ikan toman, dan juga karena bisnis tackle dan lurenya begitu laku dengan maraknya introduksi ikan toman?! Satu hal yang pasti, beberapa ratus orang sahabat Wild Water Indonesia yang hidup di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera di masa ini, yang konsisten dan BENAR-BENAR MAU DAN IKHLAS BELAJAR SEKALIGUS PEDULI tanpa ‘terbelit’ interest sempit saja tentunya (karena ada beberapa puluh sahabat Wild Water Indonesia di beberapa daerah ternyata ‘rontok’ dan kalah oleh egonya sebagai pemancing dan memilih membela introduksi ikan toman dibandingkan membela keberagaman spesies di Pulau Jawa ini dan sebagian lagi dari kelompok ini sampai membuat pengumuman berhenti dari kegiatan / konsern WWI terkait melawan maraknya illegal fishing di Pulau Jawa), telah berusaha mengingatkan ribuan pemancing di pulau ini dan juga masyarakat luas lainnya terkait introduksi ikan toman ini. Semata demi mahaga petak danum, bahasa Dayak Ngaju yang artinya “menjaga dan merawat tanah air!”. Karena SALAM LESTARI bukan hanya untuk satu spesies ikan saja, dan apalagi hanya untuk kepentingan satu generasi dan apalagi kepentingan satu kelompok pemancing saja!!!
Epilog
Begitu menarik diskusi tentang Channa micropeltes ini. Saya sendiri pernah menikmati sensasi petualangan memancing spesies ini di habitat aslinya di Kalimantan, Sumatra dan Pulau Bangka. Tetapi melihat begitu “uniknya” pembelaan atas introduksi yang tidak sehat di Pulau Jawa mulai dari “tomman is not a crime”, “bukan salah toman tetapi manusianya”, “yang bicara stop introduksi jangan munafik dan kemudian mancing toman ya” dan lain sebagainya, saya kemudian sepakat. Bahwa betul yang salah manusianya. Ada kecewa memang melihat begitu banyak sahabat baik dan sebagian merupakan pegiat pelestarian perairan yang kemudian mundur karena membela ikan toman ini, salah satunya kemudian adalah seorang militan konservasi perairan kesohor di Temanggung, Jawa Tengah. Bagi para pembaca catatan ini dan mungkin masih ingin melanjutkan DISKUSI SEHAT terkait pro kontra introduksi ikan toman di Pulau Jawa silahkan email saya di michaelrisdianto@gmail.com. Meski sekali lagi saya tegaskan STOP INTRODUKSI IKAN TOMAN DI PERAIRAN UMUM PULAU JAWA! Mari kita buka mata dengan membaca, buka hati seluas-luasnya agar dapat kita isi dengan keberagaman baik itu pengetahuan dan pengalaman. Agar hidup sebagai pemancing tidak hanya berkutat mengurus sensasi strike ikan saja tetapi juga berani mengemban tanggung jawab pelestarian dengan benar bukannya malah mencari pembenaran untuk ego, mentang-mentang seorang pemancing?! Catatan ini sebenarnya untuk saya kembali merenung dan belajar memahami apa arti pelestarian, introduksi dan lain sebagainya, dan tentunya juga jauh dari kesempurnaan untuk menghadirkan pemahaman yang menyeluruh, semoga para pembaca berada pada semangat dan persepsi yang sama untuk belajar memahami dan juga merenung ataupun kemudian berani berdiskusi dengan sehat. Meski begitu panasnya debat nasional terkait introduksi ikan toman di Pulau Jawa, tidak ada yang kemudian hari ini istilahnya saya musuhi, meski saya memahami jika kemudian begitu banyak orang menempatkan saya pada posisi “bukan lagi kawan mereka”. Intinya kampanye ini adalah untuk menghadirkan bahan belajar konservasi secara sehat dan benar. Terimakasih!
Referensi:
1.     Giant snakehead, Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Giant_snakehead)
2.     Channa micropeltes, Seriouslyfish (http://www.seriouslyfish.com/species/channa-micropeltes/)
3.     Channa micropeltes / Indonesian snakehead, Fishbase (http://www.fishbase.org/summary/344)
4.     Channa micropeltes, The IUCN Red List (http://www.iucnredlist.org/details/172432/0)
6.     Map showing the distribution range of Channa diplogramma and Channa micropeltes.( https://figshare.com/articles/_Map_showing_the_distribution_range_of_Channa_diplogramma_and_Channa_micropeltes_/432007)

Comments