Saya mencintai Jatinangor, kota kecil di sebelah Bandung bagian Timur. Sejak pertama kali menjejak Jatinangor dan Bandung di tahun 1999 saya telah menyukainya. Bandung adalah kota yang tidak terlalu besar, dingin, hijau, segar dan warganya ramah. Kini telah ada beberapa yang berubah namun cinta saya rasanya tidak berubah. Bandung masih lebih memanusiakan penghuni dan para pengunjungnya dibandingkan dengan Jakarta misalnya. Haha.
Kembali ke Bandung berarti kembali ke masa lalu. Sulit menghapus jejak-jejak yang pernah tertinggal selama 7 tahun di sini selama saya kuliah. Sejatinya saya kuliah UNPAD namun yang berada di Jatinangor, kota (menurut saya desa) kecil yang cenderung kering, berantakan, dan penuh oleh kos-kosan hingga sekarang. Kini telah banyak yang berubah di Jatinangor karena telah berdiri dengan megahnya pusat-pusat konsumerisme seperti misalnya mall. Jurang pemisah serta friksi antara warga yang kebanyakan berkemampuan ekonomi biasa saja dengan pendatang (mahasiswa) yang berkecukupan semakin tinggi.
Saya meluncur dari Jakarta menggunakan KA Parahyangan menuju Bandung dengan tiket seharga 30K. Harga tiket turun jauh dibandingkan dulu di jaman saya kuliah dimana tiket KA Parahyangan bisa tembus 60K. Kini karena kalah dengan bis-bis yang lebih cepat dan murah yang melaju mulus menembus Tol Cipularang mau tidak mau tiket kereta api diturunkan. Tentu ini sangat baik untuk penumpang seperti saya.
Pemberhentian pertama saya di Bandung adalah CCF di Jl. Purnawarman. Untuk menemui kawan lama saya yang telah sukses menjadi designer grafis CCF dan juga sebuah distro besar di Bandung, FRBLT (Firebolt). Ageng Purna Galih (APG) namanya. Darinya semenjak kuliah dulu saya belajar banyak. APG, menurut saya, adalah seniman yang lengkap. Menjelajah berbagai wilayah seni dengan pemahaman dan semangat yang tinggi. Dari fotografi hingga musik. Dari mengulik program design grafis hingga menggambar dengan pensil. Saya salut padanya. Tak dinyana ketika sedang asyik melepas rindu di CCF melintas kawan Parasastra, Anes, pertemuan semakin meriah. Bergelas capuccino semakin cepat tandas.
Senja saya meluncur menuju Jatinangor. Kawan-kawan Parasastra, UKM Fotografi di Fak. Sastra UNPAD, mengabari saya bahwa akan ada kurasi foto menjelang pameran yang akan digelar oleh para calon anggota baru Parasastra. Saya tentu sangat gembira dengan khabar ini. Pada tahun 2006 bersama 7 kawan foto lain saya membentuk Parasastra ini. Kini tunas baru terus bermunculan. Tidak seperti kami di tahun 2006 yang lebih bermodalkan semangat dibandingkan kemudahan-kemudahan kini generasi penerus Parasastra ini setidaknya hidup di dunia yang lebih mudah dibandingkan masa kami dulu karena kini Jatinangor lebih modern. Lebih banyak kesempatan untuk orang-orang kreatif berkegiatan. Berbahagialah kalian kawan dan teruslah berkarya. Malam dengan Parasastra ini saya tutup dengan makan malam di CafĂ© Daun dan kos-kosan “geng Jajongs”. Disana sambil bercengkrama kami menonton sepak bola. Chelsea menang 2-1 atas Arsenal. Juventus menahan imbang Inter Milan 1-1.
Ngantuk berat. Namun saya telah berjanji untuk melewatkan hari Minggu dengan kawan-kawan mancing saya yang berdomosili di Bandung. Candra Sonjaya, Ayung, Hary B, dan Andrie. Beberapa kawan lain tidak sempat bergabung karena sibuk. Acara kami adalah membahas metal jig untuk deep sea fishing buatan Ayung dan Candra dan lalu mancing ikan sepat. Ikan sepat adalah ikan mungil yang menggemaskan. Dari ratusan strike hanya beberapa puluh saja yang bisa kami naikkan saking gesit dan kecilnya mulut ikan. Namun semua gembira. Saya juga langsung lulus ujian memancing ikan sepat ini. Padahal ini kali pertama saya memancing “monster” galian pasir itu. Hahaha!
Malam hari selepas bubar dengan kawan-kawan mancing saya kebingungan harus berteduh dimana karena tiba-tiba hujan menggila di Bandung. Tetapi saya kemudian ingat seorang kawan berpesan jika ke Bandung suruh mengabari. Saya pun sms ke Jimmy, kawan satu kosan jaman kuliah di Jatinangor, mahasiswa FIKOM asal Bangka. Dan kosannya di Dipati Ukur itulah saya berteduh malam itu. Menyeruput kopi panas sambil Facebook-an. Dan menyambut pagi dengan ditemani merpati. What a life! Thanks Jim!
Saya beruntung saya tidak harus selalu ngantor. Ini membuat banyak kawan iri. Maka hari Senin saya lewatkan untuk kembali menjumpai APG yang kali ini akan datang ke CCF bersama sang istri tercinta, Dewi. Pasangan muda yang telah pacaran sejak jaman kuliah dulu. Waktu mereka berdua menikah saya tidak bisa datang karena keburu di Aceh untuk beberapa waktu jadi meski tetap tidak bisa disamakan kondisinya saya berharap ini bisa menjadi maaf saya karena tidak bisa datang ke pernikahan mereka. Semoga kalian berdua bahagia selamanya Ge, Dew…
Pertemuan dengan APG dan Dewi di CCF Bandung semakin ramai dengan hadirnya dua sahabat mancing saya, Silas dan Paulus, yang pada sehari sebelumnya tidak bisa bergabung dalam trip hunting “monster” sepat ke Cimahi. Kami membahas beberapa hal mengenai mancing dan bersepakat untuk suatu saat mengadakan acara khusus mancing kolam di Bandung.
Begitulah kisah saya menapaki kembali Jatinangor dan Bandung. Menemui kawan lama, kawan baru, menemui jejak-jejak diri saya sendiri. Saya bersyukur memiliki begitu banyak kawan yang siap menyambut dan menemani saya selama di kota yang tidak lagi dingin ini. Semoga saya dan kehadiran saya selama di Jatinangor dan Bandung juga membuat mereka gembira seperti saya rasakan. Semoga saya menjadi seorang sahabat sebenarnya seorang sahabat bagi mereka semua. Semoga... Sampai jumpa lagi Bandung…
Comments