Dulu di sepanjang Jalan Dago diadakan festival seni tahunan yang selalu menyedot massa dalam jumlah yang sangat besar. Disponsori oleh sebuah raksasa rokok di Indonesia. Namun karena rasa festival seninya malah kemudian menjadi meredup, marginal dan kemudian malah dominan konsumerismenya, festival itu dihentikan. Ini hanya rekaman ingatan dari pendengaran saya saja terhadap hal itu, sebab sebenarnya kenapa festival seni itu dihentikan saya tidak tahu secara pasti. Namun satu hal yang sangat saya ingat dengan pasti di festival itu pernah digelar lomba foto spontan. Diikuti oleh fotografer-fotografer yang memang selalu membanjiri festival ini baik untuk menunaikan tugasnya sebagai jurnalis dan atau fotografer hobi yang sedang memburu momen. Dan saya ada disana. Sebagai anak kampung yang keracunan foto yang belajar otodidak dan sangat bangga meski hanya memiliki kamera Nikon F80 analog yang hanya dilengkapi lensa kit. Tidak ada yang istimewa sama sekali dengan tongkrongan saya. Namun saya adalah orang yang berprinsip jika kita merasa malu dengan apa yang kita miliki lebih baik mati saja, maka saya cuek saja bertanding dengan fotografer-fotografer yang memiliki ‘senjata’ yang mematikan. Dan keyakinan yang dibakar oleh semangat membara membuahkan hasil manis. Suatu hari terpampang di koran nama saya menang lomba itu meski hanya untuk kategori hiburan. Hasil dari ‘menembak’ momen di dekat perempatan dekat Bank BCA Dago ini. Tidak masalah sama sekali meski hanya hadiah hiburan. Yang paling penting bagi saya adalah sebuah bukti nyata akan sebuah keyakinan. Saya tidak bermaksud secara khusus mengenang hal itu ketika berdiri di dekat perempatan Bank BCA Dago itu kemarin, namun momen bertahun silam itulah yang paling saya ingat ketika saya memotret ‘manifesto’ dari seniman-seniman Bandung ini hari Sabtu lalu.
Dulu di sepanjang Jalan Dago diadakan festival seni tahunan yang selalu menyedot massa dalam jumlah yang sangat besar. Disponsori oleh sebuah raksasa rokok di Indonesia. Namun karena rasa festival seninya malah kemudian menjadi meredup, marginal dan kemudian malah dominan konsumerismenya, festival itu dihentikan. Ini hanya rekaman ingatan dari pendengaran saya saja terhadap hal itu, sebab sebenarnya kenapa festival seni itu dihentikan saya tidak tahu secara pasti. Namun satu hal yang sangat saya ingat dengan pasti di festival itu pernah digelar lomba foto spontan. Diikuti oleh fotografer-fotografer yang memang selalu membanjiri festival ini baik untuk menunaikan tugasnya sebagai jurnalis dan atau fotografer hobi yang sedang memburu momen. Dan saya ada disana. Sebagai anak kampung yang keracunan foto yang belajar otodidak dan sangat bangga meski hanya memiliki kamera Nikon F80 analog yang hanya dilengkapi lensa kit. Tidak ada yang istimewa sama sekali dengan tongkrongan saya. Namun saya adalah orang yang berprinsip jika kita merasa malu dengan apa yang kita miliki lebih baik mati saja, maka saya cuek saja bertanding dengan fotografer-fotografer yang memiliki ‘senjata’ yang mematikan. Dan keyakinan yang dibakar oleh semangat membara membuahkan hasil manis. Suatu hari terpampang di koran nama saya menang lomba itu meski hanya untuk kategori hiburan. Hasil dari ‘menembak’ momen di dekat perempatan dekat Bank BCA Dago ini. Tidak masalah sama sekali meski hanya hadiah hiburan. Yang paling penting bagi saya adalah sebuah bukti nyata akan sebuah keyakinan. Saya tidak bermaksud secara khusus mengenang hal itu ketika berdiri di dekat perempatan Bank BCA Dago itu kemarin, namun momen bertahun silam itulah yang paling saya ingat ketika saya memotret ‘manifesto’ dari seniman-seniman Bandung ini hari Sabtu lalu.
Comments